TANTE YANG KESEPIAN
To the point saja, ini
untuk sekedar berbagi cerita. Oke Wiro The
big germo cerita-cerita seru™ karena saru dan
ueeenak, tapi jangan tanya pak haji atau pendeta ya?!. Demi kepentingan nusa
dan bangsa semua nama dan lokasi langsung aku ganti, tidak nyerempet
dikit-dikit acan. Gini lho ceritanya :
Kejadiannya 13 tahun
yang lalu, saat aku masih kuliah disebuah kota S di P. J. Aku mempunyai teman
satu angkatan satu jurusan Yon namanya, berasal dari kota W. Kami begitu
lengketnya, study, ngobrol, jalan ngalor ngidul, ngapelin cewek satupun sering
barengnya. Sampai kecewapun sering bareng-bareng. Yon sianak "bocor"
tapi baik hati itu tinggal dirumah tantenya (yang biasa aku panggil Ibu Tari)
yang hanya punya anak gadis semata wayang. Itupun begitu lulus S1 Manajemen
perusahaan langsung dilibas habis kegadisannya sama pacarnya,dalam suatu
perkawinan, terus diboyong ke Jakarta.
Tinggallah Ibu Tari ini
sama suaminya yang pengusaha jasa konstruksi dan trading itu dengan pembantu
dan sopir. Kebetulan Yon ini keponakan kesayangan. Wajar saja dia suka besar
kepala karena jadi tumpahan sayang Ibu Tari. Sampai suatu saat dia minta
tinggal diluar rumah utama yang sebenarnya berlebih kamar, ya si tante nurut
saja. Alasan Yon biar kalau pulang ngeluyur malam, tidak mengganggu orang rumah
karena minta dibukakan pintu.
Ruang yang dia minta dan
bangun adalah gudang disebelah garasi mobil. Dengan selera anak mudanya dia
atur interior ruangan itu seenak perutnya. Setengah selesai penataan ruang yang
akhirnya jadi kamar yang cukup besar itu, sekali lagi Yon menawarkan diri agar
aku mau tinggal bersamanya. Saat itu Ibu Tari, hanya senyum-senyum saja.
seperti dulu-dulupun aku menolaknya. Gengsi dikitlah, sebab ikut tinggal
dirumah Bu Tari berarti semuanya serba gratis, itu artinya hutang budi, dan
artinya lagi : ketergantungan. Biar aku suka pusing mikirin uang kost bulanan,
makan sehari-hari atau nyuci pakaian sendiri, sedikitnya dikamar kostku aku
seperti manusia merdeka. Lha wong aku bayar!.
Tapi hari itu, entah
karena bujukan mereka, atau karena sayangku juga pada mereka dan sebaliknya
sayang mereka padaku selama ini. Akhirnya aku terima juga tawaran itu, dengan
perjanjian bahwa aku tidak mau serba gratis. Aku maunya bayar, walaupun uang
bayaran kostku itu ibarat ngencingin kolam renang buat Bu Tari yang memang kaya
itu. Toh selama ini aku menganggap rumah Bu Tari ini rumah kostku yang kedua,
sebelumnya sering juga aku nginap dan nongkrong hampir setiap hari disini.
Ada satu hal sebenarnya
yang ikut juga menghalangiku selama ini menolak tawaran Yon atau Bu Tari untuk
tinggal dirumahnya. Entah kenapa aku yang anak muda begini, suka merasakan ada
sesuatu yang aneh didada kalau bertatapan, ngobrol, bercanda, diskusi dan
berdekatan dengan bu Tari. Perempuan yang selayaknya jadi tante atau bahkan
ibuku itu. Buatku ibu Tari bukan hanya sosok perempuan cantik atau sedikitnya
orang yang melihatnya akan menilai bahwa semasa gadisnya bu tari adalah
perempuan yang luar biasa. Bukan hanya sekedar bahwa sampai setua itu ibu tari
masih punya bentuk tubuh yang meliuk-liuk. Senyumnya, dada, pinggang, sampai
kepinggulnya suka membuatku susah tidur dan baru lega jika aku beronani
membayangkan bersetubuh dengannya. Jika aku beronani tidak cukup kalau cuma
ngecret sekali saja.
Gejala apa ini, apakah
wajar aku terobsesi sosok perempuan yang tidak hanya sekedar cantik, tapi
berintelegensi bagus, penuh kasih dan mature. Buatku secantik apapun perempuan
jika tidak punya tiga unsur itu, hambar dalam selera dan pandanganku. Seperti
sebuah buku kartun yang tolol dan tidak lucu saja layaknya. Malangnya ibu Tari
memiliki semua itu, dan lebih malangnya lagi aku. Dibawah sadar sering aku
diremas-remas iri dan cemburu jika melihat ibu Tari berbincang mesra atau
melayani pak Bagong, suaminya. Begitu telaten dan indah. Gila!.
Selama aku tinggal
dirumah Bu Tari itu, pada awalnya semua biasa saja. Perhatian dan sayang Bu
Tari kurasakan tak ada bedanya terhadapku dan Yon. Kupikir semua ini naluri
keibuannya saja. Tetapi semua itu berjalan hanya sampai kurang lebih 4.
Disuatu malam dari balik
jendela kamarku kulihat beberapa kali ibu tari keluar masuk rumah dengan
gelisah menunggu Pak Bagong yang sampai jam 22.00 belum pulang. Sebentar dia
kedalam sebentar keluar lagi, duduk dikursi, memandang kejalan dengan muka
gelisah, membalik-balik majalah lalu masuk lagi. Keluar lagi. Kuperhatikan
belakangan ini ibu Tari begitu murung. Ada masalah yang dia sembunyikan.
Senyumnya sering kali getir dan terpaksa.
Aku beranjak kekamar
mandi untuk kencing. Buku Nick Carter yang sedari tadi membuat kontolku ngaceng
kugeletakan dimeja. Tapi begitu aku kembali ternyata bu Tari sudah duduk
dikursi panjang di kamarku memegang buku itu. Aku hanya meringis ketika bu Tari
meledekku membaca buku Nick Charter yang pas dicerita ah-eh-oh kertasnya aku
tekuk. Sesaat setelah kami kehabisan bahan bicara, muka Bu Tari kembali mendung
lagi. Dia berdiri, berjalan kesana sini dengan pelan tanpa suara merapikan apa
saja yang dilihatnya berantakan. Sprei tempat tidur, buku-buku, koran, majalah,
pakaian kotor dan asbak rokok.Ya maklum kamar bujanganlah. Aku pindah duduk
dikursi panjang lantas mematung memperhatikannya. Seperti tanpa kedip. Semua
yang dilakukannya adalah keindahan seorang perempuan, seorang ibu.
Setelah selesai, sejenak
bu Tari hanya berdiri, melihat jam didinding lalu menatapku dengan mata yang kosong.
Aku coba untuk tersenyum sehangat mungkin. Bu Tari duduk disampingku. Mukanya
yang tetap murung akhirnya membuatku berani bicara mengomentari sikapnya
belakangan ini dan bertanya kenapa?. Bu Tari tersenyum hambar,
menggeleng-gelengkan kepala, diam, menunduk, menarik napas dalam dan melepasnya
dengan halus. Sunyi. Seperti ingin to the point saja, bu Tari menceritakan
masalah dengan suaminya.
Seperti kampung yang
diserbu provokator dan perusuh saja, otakku tercabik-cabik, terbuka.Hubungan bu
Tari dengan suaminya selama ini ternyata semuanya penuh kepura-puraan.
Kemesraan mereka semu tak bernurani, bagai sebuah ruangan setengah kosong, dan
setengahnya lagi sekedar keterpaksaan pelaksanaan kewajiban saja. Bu Tari
berada didalamnya. Suaminya tahu tapi seperti sengaja membiarkannya memikir,
menghadapi dan menyelesaikannya sendiri.Menerima keadaan.
Entah karena kesepian,
butuh orang sebagai tumpahan hatinya yang kesal dan rasa disia-siakan. Bu tari
menceritakan bahwa pak Bagong sudah lama mempunyai istri simpanan disebuah
perumahan menengah pinggir kota. Tak pernah hal ini dia ceritakan kepada
siapapun juga kepada anaknya sendiri mbak Clara di Jakrta. Sama dengan
kebanyakan istri-istri pejabat yang walaupun tahu suaminya punya simpanan
perempuan, bu Tari hanya bisa menahan hati. Konon katanya, justru sebenarnya
banyak istri pejabat yang malah mencarikan perempuan khusus untuk dijadiakn
simpanan suaminya sendiri, demi keamanan ,nama baik" dan jabatan. Biar
sisuami tidak asal hantam dan makan sembarang wanita. Toh, Istri tahu atau
tidak, terima atau tidak, si suaminya dengan jabatan, uang dan kelelakiannya
dapat melakukan apa saja pada perempuan-perempuan yang mau. Semua itu seperti
permaisuri yang mencarikan selir untuk suaminya sendiri.
"Dia ingin punya
anak laki-laki Win (Win nama palsu gua, mau yang asli tanya dukun
santet!)" Begitu ucap Bu Tari malam itu. Matanya mulai berkaca-kaca. Dulu
bu Tari memang suka bercerita betapa inginnya dia punya anak laki-laki yang
banyak. Dia suka menyesali diri kenapa Tuhan hanya memberinya satu anak saja.
"Apakah itu alasan yang wajar Win" Ucapnya lagi. Kedua tanganya memegang tangan kananku dan matanya yang memelas lurus menatapku. Seolah meminta dukungan bahwa kelakuan Pak Bagong salah. Aku bingung. Mau ngomong apa, seribu kata aduk-adukan diotak hingga aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Diluar dugaanku, tangis bu Tari malah meledak tertahan. Dia jatuhkan mukanya kepundak kiriku. Aku bingung, tapi naluri lelakiku berkata dia teraniaya dan butuh perlindungan, hingga akhirnya tanganku begitu saja merengkuhnya. Bu tari malah membenamkan wajahnya kedadaku. Aku elus-elus punggungnya dan dengan pipiku kugesek-gesek rambutnya agar dia tenang. Kucium wangi parfum dari tubuh dan rambutnya.
"Apakah itu alasan yang wajar Win" Ucapnya lagi. Kedua tanganya memegang tangan kananku dan matanya yang memelas lurus menatapku. Seolah meminta dukungan bahwa kelakuan Pak Bagong salah. Aku bingung. Mau ngomong apa, seribu kata aduk-adukan diotak hingga aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Diluar dugaanku, tangis bu Tari malah meledak tertahan. Dia jatuhkan mukanya kepundak kiriku. Aku bingung, tapi naluri lelakiku berkata dia teraniaya dan butuh perlindungan, hingga akhirnya tanganku begitu saja merengkuhnya. Bu tari malah membenamkan wajahnya kedadaku. Aku elus-elus punggungnya dan dengan pipiku kugesek-gesek rambutnya agar dia tenang. Kucium wangi parfum dari tubuh dan rambutnya.
Sesaat rasanya, sampai
akhirnya Bu Tari menarik mukanya dan memandangiku dengan senyumnya yang gusar.
Aku ikut tersenyum. Ada malu, ada rasa bersalah, ada pertanyaan ada kehausan
dimata Bu Tari, dan ada yang menyesakan dadanya. Entah rasa sayang atau sekedar
untuk menetralisir hatinya, aku usap air matanya dengan jariku. Bu Tari hanya
diam setengah bengong menatapku. Hening. Sepi.
"Ibu bahagia sekali
win kamu mau tinggal disini. Entah bagaimana rasanya rumah ini kalau tak ada
kamu dan Yon. Sepi. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Mungkin ibu bisa mati
ngenes dirumah sebesar ini" Ucap Bu Tari pelan tertunduk murung.
"Kenapa ibu baru
menceritakannya sekarang?"Ucapku.
"Untuk apa?" Ucap bu Tari menggeleng-geleng.
"Setidaknya beban ibu dapat berkurang"
"Buat ibu cukup melihat kamu dan Yon ceria dan bahagia dirumah ini. Kalianlah yang justru membuat ibu betah dirumah. Untuk apa ibu harus mengurangi semua itu dengan masalah ibu. Ibu sayang pada kalian"Ucap Bu Tari sambil memegang jari tanganku. Aku membalasnya dengan meremas jari jemarinya pelan.
"Kamu sayang pada ibu kan win? Tanya Bu Tari menatapku.
Aku menggangguk tersenyum. Bu Tari tersenyum bahagia. Lalu entah kenapa aku nekat begitu saja mendekatkan mukaku, mencium kening dan pipinya dengan lembut. Kulihat wajah Bu Tari yang surprise tapi diam saja.
"Untuk apa?" Ucap bu Tari menggeleng-geleng.
"Setidaknya beban ibu dapat berkurang"
"Buat ibu cukup melihat kamu dan Yon ceria dan bahagia dirumah ini. Kalianlah yang justru membuat ibu betah dirumah. Untuk apa ibu harus mengurangi semua itu dengan masalah ibu. Ibu sayang pada kalian"Ucap Bu Tari sambil memegang jari tanganku. Aku membalasnya dengan meremas jari jemarinya pelan.
"Kamu sayang pada ibu kan win? Tanya Bu Tari menatapku.
Aku menggangguk tersenyum. Bu Tari tersenyum bahagia. Lalu entah kenapa aku nekat begitu saja mendekatkan mukaku, mencium kening dan pipinya dengan lembut. Kulihat wajah Bu Tari yang surprise tapi diam saja.
"Bu tari
marah?" tanyaku. Dia menggeleng-geleng dan malah balas menciumku,
menyenderkan kepalanya miring dipundakku dan melingkarkan tangan kanannya
dipinggangku. Kupeluk dia. Lama sekali rasanya kami saling berdiam diri. Tapi
aku merasakan kedamaian yang luar biasa. Sampai akhirnya suara motor Yon yang
katanya habis diskusi dikelompok studinya tiba dan suara pintu gerbang terbuka.
Sejak kejadian malam itu
hubunganku dengan Bu Tari jadi kian aneh. Mungkin awalnya hanya sekedar
memperlihatkan rasa sayang dan cinta layaknya seorang anak pada ibunya dan
sebaliknya. Walau dengan diam-diam disetiap kesempatan yang ada kami saling
tidak menyembunyikan semua itu. Bertatapan dengan mesra, bercanda dan saling
memperhatikan lebih dari dulu-dulu.
Tapi seperti air yang
tak diatur, semua mengalir begitu saja. Kian lama bu Tari dan aku berani saling
mencium. Cium sayang dan lembut disetiap kesempatan yang ada tanpa seisi rumah
tahu Tapi kegalauan dihatiku tetap saja tak dapat kuingkari. Sering aku
bertanya sendiri : sayangku, cintaku, ciumanku dan pelukanku pada Bu Tari
apakah manifestasi seorang anak pada sosok ibunya, atau seorang lelaki pada
seorang perempuan. Hati dan otakku setiap hari dililit pertanyaan sialan itu.
Begitu menjengkelkan.
Semua itu berjalan
sampai tak dapat kuingkari bahwa birahi selalu mengikutiku jika aku berdekatan
dan mencium Bu Tari. Selama ini aku berusaha menekannya. Tapi itu meledak
disuatu sore yang sepi.
Semula aku hanya ingin
meminjam koran yang biasanya tergeletak diruang keluarga rumah utama. Tapi saat
kulihat Bu Tari tengah berdiri menikmati ikan-ikan hias aquariumnya. Tiba-tiba
aku ingin menggodanya. Aku berjingkat perlahan dan menutup kedua matanya dengan
tanganku dari belakang. Ibu Tari kaget berusaha melepaskan tanganku. Aku menahan
tawa tetap menutup matanya. Tapi akhirnya Bu Tari mengenaliku juga. Kukendorkan
tanganku.
"Wiiiinnn kamu bikin kaget ibu saja akh.." Ucap Bu Tari tetap membelakangiku dan menarik kedua tanganku kedepan dadanya. Bu Tari bersandar didadaku. Kedua tanganku tepat mengenai payudaranya yang kurasakan empuk itu. Gelora aneh mengalir didarahku. Sementara Bu Tari terus mengomentari ikan-ikan didalam aquarium, aku justru memperhatikan bulu-bulu lembut dileher jenjangnya Rambutnya yang lurus sebahu saat itu tertarik keatas dan terjepit jepitan rambut, hingga leher bagus itu dapat kunikmati utuh. Aku berdesir. Kurasakan napasku mulai berat. Dengan bibirku akhirnya kukecup leher itu. Bu Tari merintih kegelian dan mencubit lenganku dengan genit.
"Hiiiii. Jangan Wiiinnnn akhhhh...Merinding ibu ah"
Dekapan tanganku ditetek dan dadanya makin kuat. Ketika kuperhatikan dia tidak marah dan tenang maka kuulangi lagi kecupan itu berulang-ulang. Kumis dan bekas cukuran dijanggutku membuatnya geli. Tapi kurasakan tangan Bu Tari perlahan mencengkram erat dikedua jariku dan dia diam saja. Aku makin bernapsu. Ciuman, kecupan dan hisapan bibirku makin menjadi-jadi keleher dan telinganya. Bu Tari mendesah memejamkan mata. Kepalanya bergerak-gerak mengikuti cumbuanku. Matanya terpejam dan napasnya menggelora. Kucari bibirnya, karena susah maka kuputar tubuhnya menghadapku dan langsung kusambar dengan bibirku. Kupeluk erat Bu Tari. Dia menggeliat membalas permainan bibirku. Kedua tangannya memegangi bagian belakang kepalaku seolah takut aku melepaskan ciuman bibirku. Kuremas-remas teteknya dengan tangan kananku. Bu Tari melepaskan ciumannya lalu merintih-rintih dengan kepala terdongak kebelakang seolah memberikan lehernya untukku. Dengan bibirku langsung kuciumi leher itu. Tapi tiba-tiba Bu Tari setengah menghentakan badanku seperti tengah bangun dari mimpi dan shock dia berkata : "Ya Tuhan, Wiiinnn ...apa yang kita lakukan?"
"Wiiiinnn kamu bikin kaget ibu saja akh.." Ucap Bu Tari tetap membelakangiku dan menarik kedua tanganku kedepan dadanya. Bu Tari bersandar didadaku. Kedua tanganku tepat mengenai payudaranya yang kurasakan empuk itu. Gelora aneh mengalir didarahku. Sementara Bu Tari terus mengomentari ikan-ikan didalam aquarium, aku justru memperhatikan bulu-bulu lembut dileher jenjangnya Rambutnya yang lurus sebahu saat itu tertarik keatas dan terjepit jepitan rambut, hingga leher bagus itu dapat kunikmati utuh. Aku berdesir. Kurasakan napasku mulai berat. Dengan bibirku akhirnya kukecup leher itu. Bu Tari merintih kegelian dan mencubit lenganku dengan genit.
"Hiiiii. Jangan Wiiinnnn akhhhh...Merinding ibu ah"
Dekapan tanganku ditetek dan dadanya makin kuat. Ketika kuperhatikan dia tidak marah dan tenang maka kuulangi lagi kecupan itu berulang-ulang. Kumis dan bekas cukuran dijanggutku membuatnya geli. Tapi kurasakan tangan Bu Tari perlahan mencengkram erat dikedua jariku dan dia diam saja. Aku makin bernapsu. Ciuman, kecupan dan hisapan bibirku makin menjadi-jadi keleher dan telinganya. Bu Tari mendesah memejamkan mata. Kepalanya bergerak-gerak mengikuti cumbuanku. Matanya terpejam dan napasnya menggelora. Kucari bibirnya, karena susah maka kuputar tubuhnya menghadapku dan langsung kusambar dengan bibirku. Kupeluk erat Bu Tari. Dia menggeliat membalas permainan bibirku. Kedua tangannya memegangi bagian belakang kepalaku seolah takut aku melepaskan ciuman bibirku. Kuremas-remas teteknya dengan tangan kananku. Bu Tari melepaskan ciumannya lalu merintih-rintih dengan kepala terdongak kebelakang seolah memberikan lehernya untukku. Dengan bibirku langsung kuciumi leher itu. Tapi tiba-tiba Bu Tari setengah menghentakan badanku seperti tengah bangun dari mimpi dan shock dia berkata : "Ya Tuhan, Wiiinnn ...apa yang kita lakukan?"
Bu Tari menjauhiku dan
menempelkan kepalanya kedinding menahan hati. Akupun bisu. Hening. lama sekali.
Aku kian gelisah. Aku ingin keadaan itu berakhir. Aku dekati bu Tari,
memeluknya lagi. Kata-kata cinta meluncur begitu saja dari mulutku. Semua itu
membuat bu Tari bingung. Menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlari masuk
kekamar menahan tangis.
Beberapa hari sejak
kejadian itu Bu Tari tidak menyapaku Dia selalu berusaha menghindariku. Aku
bingung, aku takut dia marah. Aku takut dia menolak cintaku. Aku takut gila,
mencintai ibu kost sendiri, istri orang dan perempuan yang jauh lebih tua
dariku. Ditolak pula. Bah!. Aku mulai murung. Tapi itu hanya lebih kurang dua
minggu. Hanya sampai pada suatu malam, bulan jatuh dipelukanku saat Bu Tari
lembut menyapaku dan tanpa bicara sepatah katapun menciumiku. Bah!. Sedari dulu
juga, jika dibalik ke"mature"annya sesekali kulihat kerling genitnya,
adalah bukti bahwa sebenarnya sudah lama aku tak bertepuk sebelah tangan. Tapi
Bu Tari takut bicara tentang cinta, bahwa dia sayang, merindukan dan
membutuhkanku adalah iya.
Selanjutnya kami selalu
berusaha bersikap wajar didepan seisi rumah maupun tetangga. Satu hal yang
pasti bahwa kami bisa dengan bebas saling bercerita tentang apa saja. Termasuk
kebiasaanku beronani dengan membayangkan bersetubuh dengannya yang membuatnya
tertawa terpingkal-pingkal. Sebaliknya dari bu tari aku tahu, bahwa suaminya
pak Sd itu aneh, diranjang bertempur tidak pernah menang tapi malah punya
simpanan. Untuk mencapai orgasme jika bersetubuh dengan suaminya dia sering
membayangkan bersetubuh denganku. Gila.
Kami terus mengalir
tanpa halangan yang berarti. Maksudku tanpa tindak-tanduk yang dapat
menimbulkan kecurigaan orang seisi rumah maupun tetangga. Sampai suatu hari Pak
Falcon tetangga kami yang tinggal 6 rumah dari kami melangsungkan pernikahan
anaknya. Seharian itu aku dirundung napsu dan cemburu. Seperti biasanya jika
dilingkungan perumahan itu ada pernikahan maka Pak Bagong dan Bu Tari akan
menjadi penerima tamu. Pak Bagong akan berbaju beskap, berjarik, blangkon dan
berkeris. Bu Tari akan berkebaya, berjarik dan berselendang dengan rambut konde
yang rapi. Bu Tari sendiri tahu bahwa dengan pakaian seperti itulah seringkali
aku mengungkapkan kekagumanku atas kecantikan dan sex apple yang
ditimbulkannya.
Rasanya aku gelisah
terus melihat kesintalan tubuh Bu Tari yang terlilit pakaian adat jawa yang
ketat itu. Jika berjalan pinggulnya bergoyang-goyang mengundang sensasi.
Beberapakali kutebar pandanganku berkeliling, selalu saja kulihat ada mata tamu
pria entah muda, entah tua ada yang tengah melirik atau memperhatikannya. Semua
itu membuatku pingin marah saja rasanya.
Tetapi sebelum seremoni
perkawinan itu usai tiba-tiba pembantu Bu Tari, yang biasanya aku panggil mbak
Suti datang mengabarkan bahwa barusan dia terima telepon dirumah yang
mengabarkan adik Pak Bagong yang tinggal di kota P mengalami kecelakaan lalu lintas.
Pak Bagong, Bu Tari, Yon, Mbak Suti dan aku akhirnya pamit pulang duluan pada
pak Falcon.
Sampai dirumah, Pak
Bagong dan Ibu Tari menelepon balik ke kota P melakukakn konfirmasi berita.
Adik pak Bagong bersama Dorti anaknyalah yang mengalami kecelakaan. Mobilnya
tertabrak bis antar kota yang selip. Dua-duanya masuk IGD rumah sakit dan Pak
Bagong sebagai anak tertua dikeluarganya diminta datang. Teman sekamarku Yon
sendiri ingin ikut nengok. Yon naksir berat pada Dorti, pernah menyatakan cinta
dua kali. Tapi dua kali pula Dorti menolak. Sementara Ibu Tari sendiri harus
tetap tinggal karena besok pagi ada tim BPKP dari Jakarta yang akan datang
melakukan audit dikantornya. Ibu Tari key person yang harus ada.
Pak Bagong dan Yon
berangkat ke kota P dengan mobilnya dan akan mampir kerumah pak Sarmin supirnya
dulu untuk diajak berangkat. Aku, Bu Tari dan Mbak Suti ngobrol sebentar
membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada adik pak Bagong dan
anaknya. Sampai mbak Suti menguap beberapa kali. Selama ngobrol tak pernah
mataku lepas dari busungnya dada Bu Tari dengan teteknya yang montok dan
sedikit terlihat. Bu Tari tahu aku selalu memperhatikannya, tapi dia membiarkan
saja, bahkan seolah justru senang dan menikmati kekagumanku, birahiku dan
kegusaranku.
"sudahlah sana tidur kalau ngantuk, aku tidak balik lagi kerumah pak Falcon kok ti, wong hampir selesai kok" Ucap. Bu Tari beranjak pergi katanya mau pipis. Ketika Bu Tari berjalan, pinggulnya yang bergoyang-goyang tak lepas mataku. Begitu padat, begitu bulat.
"sudahlah sana tidur kalau ngantuk, aku tidak balik lagi kerumah pak Falcon kok ti, wong hampir selesai kok" Ucap. Bu Tari beranjak pergi katanya mau pipis. Ketika Bu Tari berjalan, pinggulnya yang bergoyang-goyang tak lepas mataku. Begitu padat, begitu bulat.
Mbak Suti langsung pamit
tidur. Tinggallah aku diruang tengah itu, sendiri, melamun. Sekian lama
hubungan kami berjalan. Selama ini kami hanya sampai batas berpelukan,
berciuman, saling tindih diranjang dengan napas yang menderu-deru dan berujung
orgasme tanpa coitus. Entah berapa kali kontolku menekan-nekan dan
menggesek-gesek dimemeknya yang basah bercelana. Entah berapakali pejuhku
membasahi celana dalamku sendiri dan celana dalam Bu Tari. Lantas walaupun
kontolku belum pernah sekalipun masuk kememeknya, kecuali hanya menggesek-gesek
dan aku orgasme, masih perjakakah aku?.
Langkah Bu Tari
terdengar dan terus kupandangi sekujur tubuhnya yang semampai
melenggok-lenggok, dari kepala sampai kaki ketika dia berjalan kearahku. Stagen
dipinggangnya sudah tak ada hingga perutnya sedikit terlihat. Dadaku
berdebar-debar. Berkali kali kutelan ludah.
"Kamu melihat ibu,
kaya ibu ini apaan sih?!"ucap Bu Tari genit mengibaskan tangan kanan
dimukaku.
"Ibu cantik sekali, makin sexy, sexy sekali berkebaya dan saya terangsang sekali" Ucapku asal saja menunjuk kekontolku.
"Hus. Sekali, sekali. Daripada melamun sini pijitin ibu" Ucap Bu Tari duduk membelakakingiku dan menepuk pundaknya. Aku pijit kedua pundaknya perlahan-lahan. Bu Tari kadang menggeliat keenakan.
"Ibu cantik sekali, makin sexy, sexy sekali berkebaya dan saya terangsang sekali" Ucapku asal saja menunjuk kekontolku.
"Hus. Sekali, sekali. Daripada melamun sini pijitin ibu" Ucap Bu Tari duduk membelakakingiku dan menepuk pundaknya. Aku pijit kedua pundaknya perlahan-lahan. Bu Tari kadang menggeliat keenakan.
Makin lama pijitanku
makin turun, kepunggungnya, ke tulang-tulang rusuknya, kepinggangnya. Tak lama
kutarik pundaknya dan kusandarkan punggungnya kedadaku, kutempelkan pipi
kananku kepipi kirinya. Lalu kupijit kedua pahanya, kuelus-elus dan
kuremas-remas sampai kepinggulnya. Bu Tari memejamkan matanya. Pijitan
bercampur elusan kedua tanganku merambat naik dan berhenti didadanya untuk
meremas-remas buah dada yang kurasakan besar dan kenyal itu. Mukaku
kugesek-gesekan dirambut dan kondenya, pipinya, dan kukulum-kulum telinganya.
Deru napas Bu Tari mulai tak teratur kadang diselingi desahan halus. Tangan
kanannya mencoba meraih kepalaku, kadang mencengkram lembut rambutku. Telapak
tangan kirinya digosok-gosokan kepipi kiriku. Remasan tanganku ke buah dadanya
makin liar, mukaku meliuk-liuk menciumi apa saja dikepalanya. Kubuka kancimg
baju kebayanya. Sembulan sepertiga buah dada dari BHnya indah sekali. Aku makin
terangsang. Kontolku yang ngaceng sejak tadi ingin meledak rasanya. Ku tarik
baju kebayanya turun kebelakang hingga pundak dan lehernya bebas kuciumi dan
jilati. Ibu Tari mengerang nikmat. Kulingkarkan kedua tanganku memeluknya
erat-erat. Bibir Bu Tari yang setengah terbuka kusambar dengan bibirku dan
kukulum habis. Ujung lidah kami beradu, kutelusuri lidahnya sampai seberapa
jauh dapat masuk, kerongga-rongga mulutnya. Begitu kami bergantian.
Aku dan Bu Tari mulai
tak tahan, kurebahkan dia disofa. Kutelusuri tubuhnya, kuciumi dari muka, dada,
perut paha, dan betisnya yang masih dibalut kain jarik. Naik lagi dan kutindih
Bu Tari. Erangannya makin merangsangku. Kubuka ikat pinggangnku.
"Jangan disini
sayang. Nanti kalau Suti bangun....."Tiba-tiba ucap Bu Tari tak
menyelesaikan kalimatnya. Kami berdiri. Bu Tari melepas resleting celanaku,
memasukan tangannya kecelana dalamku dan meremas-remas kontolku yang tegang
dengan geregetan.
"Heeeemmmmmm" Ucapnya lalu membimbingku masuk kekamarnya berjalan mundur dengan memegang dan menarik kontolku. Itu membuat kami tertawa.
"Heeeemmmmmm" Ucapnya lalu membimbingku masuk kekamarnya berjalan mundur dengan memegang dan menarik kontolku. Itu membuat kami tertawa.
Pintu kamar dikuncinya
cepat-cepat. Kubuka bajuku dan Bu Tari setengah menunduk membuka celanaku lalu
mencari kontolku. Begitu dapat langsung dimasukan kemulutnya, dijilati
dihisap-hisap, diciumi dan kadang dikocok-kocok dengan tangannya. Yang begini
belum pernah dia lakukan. Aliran kenikmatan merambat sampai ubun-ubun kepalaku.
Aku memberinya isyarat agar melepaskan kontolku. Aku dipuncak napsu dan ingin
memasukan kontolku langsung saja kememeknya, tapi dia menolak. Badanku rasanya
makin bergetar dengan tulang yang mau berlepasan dan syaraf-syaraf ditubuhku
rasanya kelojotan nikmat. Bu Tari begitu bernapsu dan nikmat memainkan kontolku
dimulutnya
Aku tak tahan dan minta
rebahan diranjang. Bu Tari melepas baju kebayanya. Dengan tetap BH masih didada
dan kain jariknya yang belum terlepas, mulutnya langsung mengejar burung
pusakaku sampai dua biji telornyapun dia cium, jilat dan hisap. Aku makin
bergelinjang, melayang-layang nikmat. Hingga dipuncaknya, aku tak sempat lagi
memberitahunya kalau pejuhku mau keluar. Hingga akkhh...crott...crooot.
Crroott. Pejuhku muncrat didalam mulut Bu Tari. Tapi Bu Tari justru malah
bernapsu, menelannya dan terus menghisap-hisap kontolku sampai bersih, kasat
dan ngilu rasanya. Aku terkejut. Bangun terduduk.
"Ibu telan?....Apa ibu tidak jijik?"Tanyaku bodoh.
Ibu Tari menggeleng, justru mukanya cerah, kepuasan terpancar diwajahnya. Aneh pikirku.
"Orang bilang, meminum air mani perjaka akan membuat perempuan awet muda. Lepas betul atau tidak yang terang ibu sudah mencobanya barusan sayang"Ucap Bu Tari lalu menciumiku dari muka sampai dadaku, sementara tangan kanannya terus meremas-remas kontolku.
"Ayo lagi sayang, ibu pingin kamu puas" Ucap Bu Tari mesra. Kontolku yang tadi terkulai karena sudah keluar pejuh dan shock mulai menegang lagi akhirnya. Bu Tari kembali mengulum dan menghisap-isap kontolku. "Kalau ibu masih pingin, ambil semua pejuh saya "Ucapku Ibu Tari tersenyum. Kubuka BHnya dan kutarik lilitan kain jariknya. Bu Tari berdiri untuk memudahkan melepas kain jariknya. Tubuhnya yang telanjang bulat langsung kuterkam, kurebahkan dan kutindih. Dua teteknya yang besar itu kuhisap-hisap putingnya bergantian. Tangan kananku menggosok-gosok memeknya. Kuciumi, kujilati dan kuhisap-hisap semua bagian yang menurut instingku bisa membangkitkan gairahnya. Bibir, lidah, telinga, kuping leher, tetek, perut, pusar, paha, memek, betis sampai ke jari dan telapak kakinya. Tubuh Bu Tari bergelinjangan tak karuan dadanya naik-turun kelojotan. Tangan kirinya meremas-meremas teteknya dan tangan kanannya menggosok- gosok memeknya sendiri. Konde rambut Bu Tari hampir terlepas. Mulutku naik lagi keatas menyusuri betis dan paha hingga akhirnya berhenti dimemeknya. Dengan kedua tanganku kusibak pelan jembutnya. Kulihat belahan memeknya yang memerah berkilat dan bagian dalamnya ada yang berdenyut-denyut. Kuciumi dengan lembut, bahu dimemeknya membuat sensasi yang aneh. Tak pernah ada bahu seperti ini yang pernah kukenal rasanya.
"Ibu telan?....Apa ibu tidak jijik?"Tanyaku bodoh.
Ibu Tari menggeleng, justru mukanya cerah, kepuasan terpancar diwajahnya. Aneh pikirku.
"Orang bilang, meminum air mani perjaka akan membuat perempuan awet muda. Lepas betul atau tidak yang terang ibu sudah mencobanya barusan sayang"Ucap Bu Tari lalu menciumiku dari muka sampai dadaku, sementara tangan kanannya terus meremas-remas kontolku.
"Ayo lagi sayang, ibu pingin kamu puas" Ucap Bu Tari mesra. Kontolku yang tadi terkulai karena sudah keluar pejuh dan shock mulai menegang lagi akhirnya. Bu Tari kembali mengulum dan menghisap-isap kontolku. "Kalau ibu masih pingin, ambil semua pejuh saya "Ucapku Ibu Tari tersenyum. Kubuka BHnya dan kutarik lilitan kain jariknya. Bu Tari berdiri untuk memudahkan melepas kain jariknya. Tubuhnya yang telanjang bulat langsung kuterkam, kurebahkan dan kutindih. Dua teteknya yang besar itu kuhisap-hisap putingnya bergantian. Tangan kananku menggosok-gosok memeknya. Kuciumi, kujilati dan kuhisap-hisap semua bagian yang menurut instingku bisa membangkitkan gairahnya. Bibir, lidah, telinga, kuping leher, tetek, perut, pusar, paha, memek, betis sampai ke jari dan telapak kakinya. Tubuh Bu Tari bergelinjangan tak karuan dadanya naik-turun kelojotan. Tangan kirinya meremas-meremas teteknya dan tangan kanannya menggosok- gosok memeknya sendiri. Konde rambut Bu Tari hampir terlepas. Mulutku naik lagi keatas menyusuri betis dan paha hingga akhirnya berhenti dimemeknya. Dengan kedua tanganku kusibak pelan jembutnya. Kulihat belahan memeknya yang memerah berkilat dan bagian dalamnya ada yang berdenyut-denyut. Kuciumi dengan lembut, bahu dimemeknya membuat sensasi yang aneh. Tak pernah ada bahu seperti ini yang pernah kukenal rasanya.
Dengan hidung
kugesek-gesek belahan memek Bu Tari sambil menikmati aroma bahunya. Erangan dan
gelinjangan tubuhnya terlihat seperti pemandangan yang indah menggairahkan.
"AaaaKhhhk....Eeeekhhhh...enak
sekali sayang. Teruuuuuusss sayang" Rintih Bu Tari. Kujulurkan lidahku,
kujilat sedikit memeknya, ada rasa asin. Lalu dari bawah sampai atas kujulurkan
lidahku menjilati belahan memeknya. Begitu seterusnya naik turun sambil melihat
reaksi Bu Tari. "Akkhhh.......Akkkhhhhh.......Akkkhhhhhhhh...Engghhh"
Bu Tari terus merintih nikmat, tangannya mencari tangan kananku, meremas-remas
jariku lalu membawanya keteteknya. Aku tahu dia ingin yang meremas teteknya
adalah tanganku. Begitu kulakukan terus, tangan kananku' meremas teteknya,
mulutku menjilati dan menghisap-hisap memeknya, tangan kiriku mengelus-elus
pinggang, paha sampai kebetisnya yang putih mulus dan halus itu.
"Akkkhhhh...sudah
sayang...sudah....ayo sekarang sayang ibu sudah tak tahan akkkhhhh....masukan
sayang, masukan" Desah bu Tari mengerang meraih kepalaku agar menghentikan
jilatan dimemeknya dan minta dikentot. Tanpa harus mengulangi lagi
permintaannya langsung saja aku merangkak naik, menindih tubuh Bu Tari. Bu Tari
melebarkan pahanya. Kontolku menuju memeknya. Beberapa kali kucoba, memasukan,
beberapa kali pula gagal. Aku tak tahu mana yang pas lobangnya, mana yang hanya
belahan memek. Tapi tangan Bu Tari segera membantu, memegang kontolku,
membimbing kedepan lobang memeknya lalu berkata "Ya itu
sayang...disitu...tekan sayang tekan...disitu... aaakkkhhhh....ayo sayang...ibu
tak tahan...ooo..akkkhhhh" Ibu Tari merintih ketika kontolku yang kutekan
masuk seluruhnya kelobang memeknya. Sejenak tubuhku kaku, aku diam saja, aku
nervous. Batang kontolku rasanya terjepit oleh dinding memek Bu Tari yang
seperti berdenyut-denyut dan menghisap-hisap. Nikmat luar biasa. Ini yang
pertama.
Bu Tari
menggoyang-goyangkan pinggulnya, setengah berputar putar dan kadang naik turun.
Kontolku yang tertancap dimemeknya yang setengah becek dibuat seperti mainan
yang membuatnya nikmat tak karuan.
"Ayo sayang...ayo...bareng-bareng sayang...ibu mau keluar sayang...ayo..ayo....."Rintih Bu tari dengan mata setengah terpejam dan mulutnya yang terus terbuka mendesah-desah dan kian kuat menggoyang goyangkan pinggulnya. Akupun terus mengimbanginya sampai tiba-tiba Bu Tari seperti terdiam dan kedua tangannya merangkul leherku kuat-kuat dan dari mulutnya keluar desahan panjang : "Aakkkhhhhh......Oukhhhhhhhh....Engkhhhhhh......" Bersamaan dengan rintih kepuasannya, denyutan dan hisapan memek Bu Tari makin kuat dan nikmat rasanya. Akupun sudah tak tahan lagi dan ingin agar pejuhku segera keluar. Karenanya kunaik turunkan kontolku, kuputar-putar dan kunaik-turunkan terus hingga akhirnya crooottt...crooootttt.. crroooot.... "Akhhh............" Bersamaan dengan muncratnya pejuhku dimemeknya, kembali Bu Tari mendesah nikmat. Napasku memburu, aku lemas sekali rasanya. Semetara Bu Tari tetap menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan pelan dan tangannya mengelus-elus rambutku.
"Ayo sayang...ayo...bareng-bareng sayang...ibu mau keluar sayang...ayo..ayo....."Rintih Bu tari dengan mata setengah terpejam dan mulutnya yang terus terbuka mendesah-desah dan kian kuat menggoyang goyangkan pinggulnya. Akupun terus mengimbanginya sampai tiba-tiba Bu Tari seperti terdiam dan kedua tangannya merangkul leherku kuat-kuat dan dari mulutnya keluar desahan panjang : "Aakkkhhhhh......Oukhhhhhhhh....Engkhhhhhh......" Bersamaan dengan rintih kepuasannya, denyutan dan hisapan memek Bu Tari makin kuat dan nikmat rasanya. Akupun sudah tak tahan lagi dan ingin agar pejuhku segera keluar. Karenanya kunaik turunkan kontolku, kuputar-putar dan kunaik-turunkan terus hingga akhirnya crooottt...crooootttt.. crroooot.... "Akhhh............" Bersamaan dengan muncratnya pejuhku dimemeknya, kembali Bu Tari mendesah nikmat. Napasku memburu, aku lemas sekali rasanya. Semetara Bu Tari tetap menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan pelan dan tangannya mengelus-elus rambutku.
Beberapa saat kubiarkan
tubuhku menindih tubuh bugil Bu Tari tanpa tangan atau dengkulku menahan beban
badanku. Kontolku tetap menancap dimemeknya. Ketika ingin kucabut Bu Tari
melarangnya. "Jangan sayang, jangan dicabut dulu, biarkan ibu memiliki dan
menikmatinya, peluk...peluk...tetap tindihlah ibu sayang. Ibu puas, kamu puas
sayang hemmmm?....enak sayang?...." Ucap Bu Tari sambil terus menciumiku.
Malam itu kami habiskan
tidur kelonan diranjang yang biasa Ibu Tari tidur dan ngentot dengan suaminya.
Tapi sejak malam itu dan disetiap kesempatan yang ada kukentot pula Bu Tari
diranjang yang sama. Aku tak perlu lagi hanya beronani dengan membayangkan
ngentot dengannya, begitupula Bu Tari tak perlu lagi hanya sekedar membayangkan
ngentot denganku jika ia melayani suaminya. Kami baru ngentot dihotel jika
salah satu dari kami sudah tak tahan lagi sementara kesempatan dirumah tak ada.
Atau ketika obsesiku kumat untuk ngentot dengan Bu Tari dalam pakaian kebaya,
kain jarik dan berkonde. Ini terkadang aneh, berlama-lama Bu Tari ke Salon
rias, begitu selesai langsung ke Hotel dan kuobok-obok sampai berantakan. (Aneh
ya?!.).
Sering pula jika keadaan
memungkinkan, Bu Tari suka menyelinap kekamarku untuk "fast sex". Sex
cepat dengan tetap masih berpakaian. Tandanya Bu Tari masuk kekamarku sudah
tanpa celana dalam dan dipuncak napsu. Ini sering terjadi jika Bu Tari sedang
butuh tapi Pak Bagong tak acuh terus tidur.
Tentang memek Bu Tari,
mungkin itu yang disebut memek empot ayam. Memek yang tak pernah kutemui pada
semua perempuan (adik-adik, mbak-mbak, tante-tante dan ibu-ibu rumah tangga
yang muda maupun tua) yang pernah kutiduri, sampai hari ini sekalipun diumurku
yang 37 tahun.
No comments:
Post a Comment