Apakah lingkaran setan ini tidak akan pernah berakhir? Aku bersumpah iblis incest telah memilih keluargaku sebagai rumahnya. Semua dimulai dengan saudari perempuanku, ibuku, dan aku.

Orangtuaku bercerai ketika aku masih anak-anak. Bersama ayah, aku tinggal sebuah peternakan milik kakek. Aku adalah anak kesayangan ibu. Hampir setiap malam, aku menangis dan memohon kepada ayah agar mengijinkanku untuk tinggal bersama ibu. Beberapa kali ayah minta kepada ibu untuk bisa rujuk, tapi ibu selalu menolak, dan akhirnya pada usiaku yang ke 18, ayah bunuh diri.

Karena aku adalah seorang anak yang nakal, kakek dan nenek yang sering dibuat pusing oleh tingkah lakuku, akhirnya bertanya pada ibuku apakah dia bersedia membawaku. Mengingat bahwa aku adalah anak kesayangannya, ibu langsung setuju untuk merawatku kembali, bahkan katanya “Dari dulu juga aku sudah meminta agar Doni tinggal bersamaku, sayang ayahnya bersikeras untuk membawa dia.” kata ibu pada kakek dan nenek.

Aku jarang bisa bertemu dengan ibu karena dia sibuk mengelola restoran miliknya. Hal ini menyebabkan aku lebih banyak tinggal dengan kedua saudari perempuanku, yaitu Lena, dia setahun lebih tua dariku, serta adik perempuanku Marta, yang baru berusia 13 tahun. Kedua saudara perempuanku itu tampak lebih dewasa dibanding usianya, serta merupakan duplikat yang sempurna dari ibuku, payudara yang besar, pinggang ramping dan seksi, pantat yang membulat, rambut hitam, mata coklat, bibir mungil berwarna merah delima, dan hidung mancung, melengkapi penampilan mereka yang menakjubkan. Mereka begitu mirip satu sama lain, seakan-akan mereka kembar dua, oh lupa, kembar tiga dengan ibuku.

Di usiaku yang 18 tahun, hormon kelelakianku sedang giat-giatnya berproduksi. Sebagai akibatnya, aku secara perlahan terangsang oleh hampir setiap bagian tubuh wanita yang aku lihat. Sering sekali aku mengkhayalkan bercumbu dengan wanita. Apalagi aku yang dulunya tidak terbiasa dikelilingi wanita, kini tinggal dengan tiga orang wanita cantik sekaligus dengan ulahnya masing-masing.

Saudari perempuanku sering berjalan di dalam rumah dengan hanya mengenakan celana dalam dan BH saja, sedang ibuku setiap malam setelah mandi, mengenakan baju tidur yang yang memperlihatkan sebagian besar bagian tubuhnya. Kalaupun tertutup rapat, baju yang dikenakannya pasti tipis transparan. Aku belum pernah melihat seorang wanita yang benar-benar dalam keadaan telanjang bulat, namun untuk beberapa alasan, aku memiliki keinginan kuat untuk melihat rambut kemaluan wanita lebih dari bagian tubuh mereka yang lainnya.

Ibuku yang menyadari bahwa aku mungkin mengalami trauma akibat peristiwa bunuh diri ayahku, mencari cara untuk menghilangkan apa yang dia percaya sebagai kesedihan terpendam atas kematian ayah. Karena itu, saat seorang pelanggan restorannya menyarankan agar aku dikirim untuk ikut kegiatan camping yang dikelola oleh sebuah gereja, maka ibu langsung setuju, dan mendaftarkan aku sebagai salah seorang pesertanya. Dia pikir ini akan mengalihkan pikiranku dari bunuh diri ayahku. Aku sendiri sebenarnya enggan untuk pergi, kalau boleh memilih, maka aku lebih memilih untuk tinggal di rumah, tapi aku tidak memiliki alasan yang kuat untuk menolaknya.

Akhirnya terpaksa aku ikut juga. Setelah tiga hari melakukan kegiatan camping, suatu sore aku melihat kesempatan untuk mengintip para gadis yang sedang mandi. Di luar kamar mandi perempuan, tepat dibawah jendela, terdapat tangki air seribu liter. Jika aku naik ke atasnya, maka aku akan bisa mengintip ke dalam kamar mandi perempuan.

Tanpa membuang waktu lagi, segera aku naik ke atas tangki tersebut, terlihat di dalam ada beberapa orang gadis. Yang seorang kutaksir usianya sekitar 18 tahunan, yang lainnya adalah remaja putri dengan usia yang bervariasi sedang mandi dibawah shower. Hampir sepuluh menit mataku melotot melihat tubuh-tubuh telanjang tersebut, mataku sempat meneliti seluruh tubuh mereka, terutama pada bagian rambut kemaluannya. Sungguh suatu pengalaman yang fantastis.

Sayang, rupanya ulahku itu ketahuan oleh seorang pendeta, yang segera menghubungi ibuku, “Di dalam kegiatan gereja, tidak ada tempat bagi seorang anak laki-laki seperti anak ibu!” katanya kepada ibuku, karena itu ibu langsung menjemputku malam itu juga. Aku yang tidak menyangka bahwa ulahku diketahui seseorang, sangat terkejut saat ibu datang menjemput, dan aku sangat malu sampai aku tidak bisa berbicara sepanjang perjalanan pulang. Kedua saudariku yang duduk di kursi belakang cekikikan. Untungnya, tidak ada satupun yang dikatakan oleh mereka yang bisa menyebabkan bertambah parahnya penderitaan yang kualami.

Pagi berikutnya, aku bangun pagi-pagi. Karena merasa kebelet untuk kencing, aku segera pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Aku pun segera kencing setelah menutup pintu, yang kulanjutkan dengan menggosok gigi. Baru saja pasta gigi kutorehkan di atas sikat gigi, pintu kamar mandi diketuk, lalu terdengar suara Marta, adikku. “Bang, buka sebentar.” katanya.

Aku segera membuka pintu kamar mandi dan bertanya, “Ada apa?”

“Boleh aku sekalian ikut mandi?” tanyanya.

“Boleh saja, tapi aku juga tidak lama kok, paling cuma butuh satu menit,” kataku.

“Ya sudah, aku mandi sekarang. Aku juga tidak keberatan kok abang menonton aku mandi.” jawabnya sambil langsung membuka seluruh bajunya hingga kini dia berdiri telanjang bulat dihadapanku. “Tolong sabunnya,” pintanya kemudian.

Wajahku terasa panas dan terlihat merah padam dari pantulan kaca cermin yang ada di kamar mandi, sementara itu batang penisku langsung tegang kaku menonjol dari balik celana piyama yang kukenakan.

“Mmm... aku lihat penis abang besar dan panjang,“ katanya sambil melihat ke arah selangkanganku. “Pernahkah abang bercinta dengan seorang gadis sebelumnya?” tanyanya lebih lanjut.

“Err, ti-tidak!” kataku sedikit tergagap, sementara mataku melotot melihat buah dadanya yang sudah tumbuh lebih besar dari ukuran anak seusianya, besar payudaranya tidak berbeda dengan besar payudara gadis yang kemarin aku intip.

“Kenapa, bang? Apa abang tertarik melihat payudaraku? Abang ingin menyentuh payudaraku? Aku tidak keberatan kok.” kata Marta sedikit acuh tak acuh.

Aku menelan ludah dan berkata, “A-aku sangat ingin sekali,” kataku dengan suara terputus dan parau. Tanpa membuang waktu lagi, aku menangkup kedua payudaranya dengan kedua tangan dan meremasinya lembut. Terasa payudaranya yang tegak menantang tersebut sangat halus dan kenyal di tanganku, sedang kedua putingnya yang berwarna kemerahan sungguh menggiurkan, bagaikan sepasang anggur dari surga.

“I-ini sungguh sangat indah dan mengundang, bolehkah… bolehkah kuhisap?” kataku sambil mengelus sepasang puting tersebut.

“Hisaplah kalau abang mau!” jawabnya. Tanpa banyak bicara lagi, kuturunkan mukaku dan kuhisap puting payudaranya.

“Apakah ini yang abang ingin lihat ketika abang mengintip melalui jendela kamar mandi di kamp?” tanya Marta kepadaku saat aku mulai menurunkan mukaku, “Akhh…” desahnya saat aku mulai menghisap puting tersebut, sementara badannya sedikit menggeliat.

Kunikmati emutanku pada puting payudaranya, kurasakan badan Marta sedikit gemetaran saat aku mengemut putingnya. Setelah beberapa lama baru aku menjawab “Ya, tapi yang aku benar-benar sangat ingin melihat adalah rambut kemaluan perempuan. Aku sangat suka melihat vagina yang tebal dan tembem seperti punya kamu, Mar... boleh aku menyentuhnya?” tanyaku.

“Boleh, asal aku juga boleh menyentuh penis abang,” jawabnya.

Dengan tergopoh-gopoh saking gembiranya, aku segera memegang vaginanya. Sejenak kuremas mount pubicnya yang ditumbuhi rambut kemaluan yang halus dan masih jarang, jari-jariku perlahan menembus sela-sela rambut kemaluannya, dan kuelus belahan vaginanya yang terasa basah dan hangat.

Tubuh Marta kembali menggeliat, “Akhh…” desahnya saat jariku mengelus belahan vaginanya, sementara itu air mazi mulai mengalir dari lubang kencingku, cairan pelicin yang berfungsi untuk memudahkan penis masuk ke dalam lubang vagina. Jariku mulai mengulir-ulir tonjolan daging yang berada tepat pada bagian atas bibir vaginanya. Tubuh Marta kembali menggeliat “Akhh…” desahnya serasa menggetarkan jiwaku.

Lalu jariku mulai mengelus daerah sekitar lubang vaginanya, sejenak kutekan-tekan daerah disekitar itu, “Apakah ada yang pernah memasukkan penisnya di sini?” tanyaku pada Marta.

“Pernah, tapi hanya sekali. Saat itu aku sedang berkencan dengan Toni, dia sangat ingin sekali memasukkan batang penisnya kesana. Tapi setelah itu aku putus dengannya, sejak itu aku tidak pernah melakukannya lagi. Tapi aku suka cara abang menyentuhku.” jawabnya polos.

Sungguh aku nyaris tidak percaya adikku yang baru berusia 13 tahun sudah bukan perawan lagi. “Banyak teman perempuan kamu yang telah melakukannya?” tanyaku lagi dengan suar semakin parau.

“Tentu, umumnya teman-teman perempuanku sudah pernah melakukannya meskipun hanya sekali seperti aku” jawab Marta.

“Kau… kau menyukainya ketika Toni menyetubuhimu?”

“Yang bisa aku ingat adalah... rasa sakit saat pertama penisnya masuk, sakit dan perih, tapi itu tidak berlangsung lama. Toni segera memuncratkan air maninya, membuat vaginaku basah kuyup oleh cairan kental. Tapi aku sedikit menyukainya, terutama saat batang penisnya menggesek lubang vaginaku. Apa abang juga ingin memasukkan penis abang ke sana?” jawab Marta dengan nada polos dan wajah tidak bersalah.

“Tentu… tentu saja, apakah ibu sudah pergi?” tanyaku tergagap.

“Sudah… ibu sudah pergi ke restaurant, sedang kak Lena masih tidur, paling bangun juga nanti siang, abang lebih kenal kebiasaannya.” jawab Marta padaku. Lalu setelah terdiam sejenak, dia melanjutkan. “Mengapa kita tidak pergi ke kamar abang?” katanya.

Tanpa bicara lagi, segera kubopong tubuhnya dan kubaringkan di tempat tidurku. Lalu di bawah selimut, kami mulai saling menjelajahi tubuh masing-masing. Kuremas-remas buah dadanya dengan gemas, sementara mulut kami tidak henti saling berpagutan, sementara lidah kami saling belit dan saling menggelitik dengan nikmatnya.

Saat kuturunkan ciumanku ke arah lehernya, Marta segera menggeliat begitu bagian bawah telinganya kuelus dengan ujung lidahku, “Aakhhh…” desahnya menikmati aksi yang kulakukan. Lalu ciumanku terarah semakin ke bawah, menyelusuri bahu dan dadanya, sampai di pangkal payudaranya yang sebelah kanan. Sejenak aku menatapnya, lalu tanpa buang waktu lagi segera kukulum puting susunya, sementara sebelah tanganku meremasi buah dadanya yang lain.

“Akhhh… okhhh…” erang Marta tak henti-hentinya. “Sekarang, bang... masukkan sekarang! Aku sudah sangat ingin merasakan batang penis abang yang besar ini dalam vaginaku!” katanya sambil mengelus dan sedikit meremas batang penisku. Badanku menggeliat ketika merasakan elusannya. Aku segera menelungkupi tubuhnya, kucoba mendorong batang penisku ke dalam vaginanya.

“Aww…!!!“ pekik Marta tertahan, “Bukan disana, rendahkan sedikit tubuh abang.” katanya sambil memegang batang penisku dan menuntunnya ke dalam lubang yang benar. “Sekarang dorong, bang!” pintanya padaku.

Dengan sekuat tenaga, aku mendorong batang penisku, bles…!!! terasa batang penisku mulai masuk seiring dengan pekik tertahan Marta, “Akhhh…” Terasa dinding vaginanya dengan ketat menggesek batang penisku. Sekali lagi kutekan pantatku kuat-kuat dan slebb…!!! batang penisku masuk seluruhnya. Kali ini Marta bukan hanya memekik lirih, “Akkhhh…” tapi badannya juga menggelinjang kuat.

Selanjutnya naluriku yang mulai bekerja, tanpa diperintah siapapun, aku segera mengeluar-masukkan batang penisku dalam lubang vaginanya. Sementara itu, tanganku juga tidak berhenti meremasi kedua buah dadanya, dan mulutku mengulum bibirnya dengan lidah yang saling membelit. Ketika aku mengalihkan kulumanku pada puting susunya, terdengar Marta mendesah, “Akhh… enak, Bang. Gesekan penis abang dalam lubang vaginaku terasa jauh lebih enak dibandingkan dulu dengan Toni.” katanya.

Aku semakin memacu pompaanku pada vaginanya, karena ini baru kali pertama aku menyetubuhi perempuan, aku tidak dapat bertahan terlalu lama, segera kurasakan kegelian yang nikmat pada batang penisku. Seharusnya aku menahan diri, tapi aku justru semakin mempercepat pompaanku pada Marta.

Tak lama kemudian pompaanku semakin tidak terkendali. “Akhh… a-aku … okh!” ceracauku dan, crutt… crutt… kurasakan air mani muncrat dari dalam batang penisku.

Seiring dengan itu, Marta justru memutar-mutar pantatnya dengan cepat, kepalanya tertengadah dengan bibir digigitnya keras-keras. “Okhhh…” lalu dengan diiringi keluhan panjang, dia memeluk tubuhku erat-erat. Kami mencapai puncak kenikmatan secara hampir bersama-sama.

Sejenak kami terdiam kaku dalam posisi tersebut, lalu akhirnya aku menggulingkan tubuhku disisinya, setelah batang penisku yang mengerut lepas dari lubang vaginanya. “Waw... nikmat sekali, baru kali ini aku merasakan kenikmatan seperti itu. Ini barangkali yang dinamakan orgasme yang, Bang?” bisik Marta di telingaku. Aku hanya terdiam tanpa mampu menjawab.

“Dengan Toni, aku tidak merasakan seperti ini. Ini bahkan lebih nikmat dibanding kalau aku masturbasi.” celotehnya kepadaku. “Pantas banyak pria dan wanita yang menikah, rupanya bersetubuh merupakan hal yang ternikmat di dunia ini.” lanjutnya sambil meremas-remas kembali batang penisku, “ini ternyata yang jadi penyebabnya.” katanya lagi sambil tetap meremas-remas penisku. Tak lama kemudian penisku mulai tegak kembali dengan gagah beraninya.

“Waw... bang, dia kembali berdiri!” cetus Marta sambil cekikikan. Aku tidak menjawab, tapi aku langsung menggumulinya kembali, sehingga cekikikan Marta berubah menjadi lenguhan nikmat. “Akhh… abang nakal, mempermainkan klitorisku terus!” desahnya padaku. Kurasakan dari lubang vaginanya kembali mengalirkan air nikmat yang membuatnya kembali basah, setelah aku mempermainkan kelentitnya beberapa lama.

Segera kunaiki tubuhnya kembali, kali ini tanpa dituntun lagi aku langsung memasukkan batang penisku pada liang vaginanya, “Awww…” pekiknya saat batang penisku masuk kembali ke dalam vaginanya. “Perlahan sedikit, bang. Jangan terburu nafsu.” pintanya sambil menggigit telingaku pelan.

“Hemmm…” hanya itu jawabku padanya, lalu tanpa banyak bicara lagi aku segera mengayunkan pantatku, memompa vaginanya. Kali ini aku bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama, mungkin karena sebelumnya aku sudah memuncratkan air maniku, maka aku tidak segera muncrat kembali.

Rintih dan erang Marta berpadu dengan lenguhku, “akh… okh… bang… akh…”

“Ehm... ugh...” aku semakin mempercepat pompaanku, kami tidak mempedulikan tubuh kami yang sudah bermandikan keringat, bahkan di wajah Marta kulihat keringat sebesar biji jagung mengembun di kening dan ujung hidungnya.

Semakin cepat dan semakin cepat aku mendayung, semakin cepat juga kurasakan pantat Marta bergoyang mengimbangi desakanku, sampai akhirnya, “Bangggg…” serunya dan matanya terbalik ke atas dengan kepala tertengadah, kurasakan tangannya mencengkram pantatku sampai kuku jarinya melukaiku

“Okhhh…” erang Marta dengan tubuh mengejang kaku. Aku yang tidak bisa bergerak karena himpitan tangannya yang merangkul erat pantatku, terpaksa harus berdiam diri, hanya mulutku yang mengulum puting susunya, kuemut, kuelus dengan ujung lidah diselingi dengan gigitan pelan.

Saat kurasakan tubuhnya melemas, dan dekapan tangannya di pantatku mengendor, aku segera memacu kembali pantatku untuk bergerak naik turun di atas tubuhnya. Marta untuk beberapa lama masih berdiam diri dengan lemasnya, tapi kemudian pantatnya mulai bergoyang kembali melayani desakanku.

Kembali terulang paduan rintih nikmat dan erang Marta dengan lenguhanku, “Akh… okh… bang… akh…”

“Ehm... ugh...” kupercepat dan semakin kupercepat pompaanku, keringat bercucuran dari tubuhku dan tubuh Marta, kami betul-betul mandi keringat. Sampai akhirnya, kembali kurasakan rasa geli yang nikmat menjalar di batang penisku.

“Mar… aku… aku…” kataku terputus-putus karena desakan nafsu. Tapi meskipun aku tidak mengatakan dengan jelas apa yang kumaksud, tampaknya Marta bisa menangkap maksudku, itu terlihat dari jawabannya.

“Aku juga, bang… mau… okh…” katanya sambil mengguncangkan pantatnya keras-keras. Tak lama kemudian aku tidak lagi mampu menahan desakan di batang penisku.

Marta kembali mendekap pantatku erat-erat, didorongnya pantatnya ke atas sambil mengguncangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan dengan keras, “Bangggg… akkkkkhhhhh…” erangnya.

Seiring dengan itu, aku merasakan pijatan yang ketat dan nikmat sekali di batang penisku. Diiringi lenguhku yang semakin keras, “Ugh… ehmmm…” aku memuncratkan air maniku untuk yang kedua kali.

Setelah berdiam beberapa lama, kami akhirnya pulih kembali dan sepanjang pagi itu, aku dan Marta bersetubuh berulang kali, sampai sprei yang menutupi tempat tidurku basah oleh paduan ceceran air nikmat kami serta keringat yang mengucur dari tubuh kami. Marta kemudian mengganti spreiku dengan yang baru dan membawa yang lama ke mesin cuci.

Sejak saat itu aku selalu bersetubuh dengan Marta setiap hari. Sedikitnya aku menyetubuhinya sekali di pagi hari, tapi seringnya aku menyetubuhinya beberapa kali dalam sehari, bahkan kadang malam hari pun kami bersetubuh juga jika keadaan memungkinkan.

Ibuku yang melihat Marta sudah menjadi gadis remaja menjelang dewasa mengijinkan Marta memakai alat kontrasepsi, karena ibu tahu bahwa banyak remaja yang sudah melakukan hubungan seksual pada masa kini. Dengan demikian aku tidak pernah memakai kondom saat aku bersetubuh dengan Marta.

Ibu tidak pernah tahu bahwa yang selama ini selalu menyetubuhi Marta bukanlah teman atau pun pacarnya, tapi aku, kakak laki-lakinya. Sering sekali Marta mengatakan, “Aku ingin berkuda tanpa pelana,” katanya padaku sebagai isyarat bahwa dia minta disetubuhi.

“Kau terlalu banyak membaca novel seksual.” kataku padanya suatu hari, karena Marta sering sekali meminta posisi yang aneh-aneh saat bersetubuh. Tapi aku sungguh sangat mencintai Marta terutama keahliannya dalam melayaniku bersetubuh.