Rumah Dosa
Apartemen yang kami tinggali berada di tingkat dua sebuah gedung apartemen yang tingkat pertamanya digunakan untuk lahan bisnis. Tepat di bawah kami adalah toko yang menjual barang-barang dari kulit, seperti tas, jaket, sepatu dan barang-barang lainnya. Di malam hari, cahaya lampu jalan yang temaram sampai juga ke dalam kamar-kamar kami. Pada saat-saat tertentu di malam hari, sering saya mencium bau kulit dari toko di bawah dan saya cukup menyukai baunya, sedangkan suara kereta api juga terkadang terdengar sayup-sayup melintasi rel kereta yang berjarak kurang lebih 500 meteran.
Tata letak apartemen yang kami tinggali melebar, dengan kamarku dan kamar saudari perempuanku berada di sayap utara, bagian tengah terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan dan dapur, sedang sayap selatan terdiri dari kamar ibuku. Di kedua ujung sayap juga terdapat kamar mandi.
Sedangkan pintu masuk ke dalam apartemen juga ada dua, yaitu yang satu dari ruang lobby, ini merupakan pintu utama dan terhubung pada jalan raya di depan apartemen kami, disana terdapat lift dan tangga yang menghubungkan setiap tingkat dari gedung apartemen, menggunakan jalan ini kita akan sampai pada pintu ruang tamu apartemen kami.
Pintu kedua adalah menggunakan tangga darurat yang berada di samping apartemen kami serta terhubung pada gang di samping gedung apartemen. Jika kita menggunakan jalan ini, kita akan sampai pada pintu darurat yang terletak di dalam dapur. Dapur itu sendiri berada dekat dengan sayap selatan, sehingga begitu kita keluar dari dapur, kita akan keluar pada lorong depan kamar ibuku.
Tata ruang yang seperti ini juga memberi kebebasan pada ibuku saat dia berkencan dengan beberapa orang relasinya. Aku tahu persis bahwa ibuku terkadang memberi pelayanan seksual kepada relasi-relasinya tersebut, baik dengan tujuan memperlancar usahanya, maupun sekedar kencan biasa untuk kesenangannya. Pada umumnya relasi tersebut telah memiliki keluarga sendiri.
Saya ingat salah seorang teman kencan ibu adalah seorang salesman mobil bekas dengan istri dan dua anak yang berusia remaja. Aku tidak tahu apa yang membuat ibu tertarik padanya, mengingat meskipun ibuku menikah di usia muda dan telah memiliki tiga orang anak dari hasil pernikahannya dengan ayahku, tapi ibuku adalah seorang wanita cantik yang awet muda, dengan bentuk tubuh yang masih tetap menggiurkan bagi laki-laki, bahkan aku yakin jika ibu mau, ibu masih mungkin mendapatkan jodoh seorang perjaka. Itu terlihat jelas dari cara kaum lelaki memandangnya, apabila ibu keluar rumah.
Aku ingat saat pertama kali aku melihat ibuku telanjang, kejadian itu setelah kurang lebih satu bulan sejak aku dan Marta berhubungan seksual. Suatu hari seperti biasa aku kuliah dan pulang lebih awal dari biasanya, rupanya keluargaku termasuk ibuku menyangka bahwa aku yang biasanya sampai ke rumah jam 10 malam, masih belum lagi akan pulang, karena hari baru menunjukkan pukul 7 malam. Hal itu terbukti kemudian dari tidak tertutupnya pintu kamar ibuku, meskipun aku heran kenapa ibu tidak memperhitungkan kedua saudariku. Saat itu karena malas memutar ke depan yang jaraknya lebih jauh, aku masuk melalui pintu darurat yang biasanya merupakan tugasku untuk menguncinya.
Setelah aku masuk dan keluar dari dapur, kulihat pintu kamar ibuku terbuka, dan terdengar bunyi yang tak asing lagi, suara decit batang penis yang keluar masuk di lubang vagina serta suara kepala ranjang yang mengenai dinding berulang-ulang. Penasaran, aku langsung mengintip ke dalam, meskipun saat itu lampu di kamar dipadamkan, tapi cahaya lampu jalanan mampu menerangi kamar ibuku melalui jendela kamar, walaupun temaram.
Disana kulihat ibuku tengah bersenggama dengan si Salesman mobil bekas, saat itu mereka tengah pindah posisi dari posisi misionaris menjadi posisi doggy style. Dan aku baru tahu apa yang menarik dari diri si Salesman tadi, rupanya penisnya besar dan panjang, melebihi ukuran normal. Aku melihat batang penisnya keluar masuk vagina ibuku dari arah belakang, mereka bersetubuh dengan serunya, sementara ibuku berulang-ulang merintih nikmat, berpadu dengan geraman si Salesman yang juga merasakan kenikmatan gesekan penisnya dengan dinding vagina ibuku.
“Okhhh… Herry… akhh…” rintih ibuku sambil memanggil si Salesman. Kulihat ibuku menggoyangkan pantatnya secara bervariasi, kadang didorong ke belakang menyongsong batang penis Herry yang tengah didorong ke depan, kadang bergoyang ke kiri dan ke kanan secara mendadak. Membuat Herry menggeram tak henti-hentinya. “Hemmm… ughh…”
“Kocok lebih keras, Herr… akhhh…” pinta ibuku pada Herry, yang segera menjawabnya dengan memompa ibuku lebih cepat lagi.
“Okhh… Lin… Linda… lubang vaginamu sangat seret dan nikmat, uugh…” ceracau Herry pada ibuku. Mereka tetap memacu birahi mereka tanpa mempedulikan keringat yang membanjiri tubuh Herry dan menetes pada pantat ibuku.
Lalu dengan sebuah geraman yang keras, “Hemmm… ehm…” tiba-tiba tubuh Herry menggigil, ditancapkannya batang kemaluannya dalam-dalam di lubang vagina ibuku, tubuhnya sejenak mengejang, sedangkan ibuku kalang kabut menggoyang-goyangkan pantatnya dengan keras.
“Akhh… sialan kau, Herr… aku hampir sampai, kau duluan keluar, uhh… dulu kau mampu membuat aku orgasme dua kali, sekarang kau cuma mampu sekali.” keluh ibuku setengah memekik karena kecewa. Sementara batang kemaluan Herry mulai mengerut dengan cepat dan akhirnya keluar sendiri dari lubang vagina ibuku.
Rupanya meskipun ibuku telah menggoyang pantatnya kalang kabut, tapi puncak kenikmatan bersetubuh yang kedua tidak dapat diraihnya. “Maafkan aku, Lin… habis makin lama, goyanganmu makin yahud saja, aku benar-benar tidak tahan menerimanya.” jawab Herry meminta maaf sambil merayu ibuku.
Aku sadar ibuku pasti segera keluar dari kamar, maka aku segera menyelinap ke belakang pintu dapur yang sedikit terbuka bekas aku masuk tadi. Dari celah pintu yang terbuka, segera kulihat ibuku keluar dari kamar dengan telanjang bulat, sementara wajahnya masih menunjukkan raut kecewa, sedang tangan kanannya ditangkupkan pada selangkangannya lewat celah pantatnya untuk mencegah air mani Herry berceceran di lantai.
Kulihat payudara ibuku yang besar berayun dari kiri ke kanan, sementara mount pubicnya tampak melentung ke depan, dengan rambut kemaluan yang lebat menutupinya. Kupandangi tubuh mulus ibuku sambil menelan ludah, paha bulat panjang, pinggang yang ramping, pantat besar membulat, dan buah dada yang besar, ditambah dengan wajah yang cantik. Lelaki mana yang tidak akan tergiur untuk memilikinya.
Saat itu juga aku sadar, bahwa aku sangat ingin menyetubuhinya, terbayang dalam benakku, kalau ibu bisa menyukai Herry si Salesman hanya karena batang penisnya yang lebih besar dan panjang dari ukuran normal laki-laki, maka ibuku pasti akan menyukai aku yang juga memiliki batang penis tidak kalah besar dan panjangnya dari Herry.
Ibuku rupanya langsung mandi, karena kudengar suara guyuran shower dari balik pintu kamar mandi tersebut, sementara Herry yang telah mengenakan pakaiannya, kemudian keluar dari kamar ibuku. Diketuknya pintu kamar mandi, “Lin… aku pulang ya.” katanya.
“He-eh,” jawab ibuku pendek, rupanya dia masih kecewa.
Herry segera keluar dari apartemen kami lewat ruang tamu, aku sendiri segera pergi keluar dengan menggunakan tangga darurat. Di bawah, kulihat beberapa temanku yang tinggal di apartemen yang sama, bergerombol di halaman. Rupanya mereka merencanakan main bilyard. Aku ikut dengan mereka main bilyard, tapi hanya satu game setelah itu aku pulang ke apartemen kami.
Kali ini aku pulang lewat jalan depan, sengaja kubuat beberapa suara yang cukup berisik, agar ibuku tahu aku telah pulang. Sambil bernyanyi dengan suara sumbang, aku mengunci pintu keluar dari ruang tamu. Lalu aku beranjak masuk ke ruang keluarga. Disana kulihat ibuku tengah duduk menonton TV di sofa dengan mengenakan daster yang tipis transparan, mempertontonkan keindahan tubuhnya.
“Malam, Ma, ada acara yang menarik untuk ditonton?” tanyaku pada ibuku.
“Tidak ada acara yang benar-benar menarik untuk ditonton.” jawabnya sambil meraih sebungkus rokok Dunhill Light. Diambilnya rokok sebatang dan dinyalakannya, sambil menghembuskan hisapannya yang pertama, ibuku menepuk-nepuk sofa di sampingnya, menyuruhku duduk disana.
“Rokok?” tawarnya padaku sambil menyodorkan bungkus rokok Dunhill Lightnya.
“Tentu,” jawabku sambil duduk di sampingnya dan mengambil sebatang rokok. Saat menyulut rokok, diam-diam aku merasa aneh, karena aku ingat saat pertama aku datang kemari setelah ayahku bunuh diri, aku pernah ketahuan olehnya sedang merokok di tangga, dan ibuku saat itu memarahiku sambil berceramah tidak baik seorang pemuda merokok, meskipun dia sendiri perokok.
“Don, Mama sudah berpikir tentang kamu,” katanya memulai percakapan sambil matanya tetap terarah pada TV, meskipun aku tidak yakin dia bisa menikmati tontonannya.
“Memangnya kenapa, Mam?” tanyaku sambil melirik ibuku dan menghembuskan asap rokok.
“Itu, tentang insiden di acara kamp gereja.” katanya perlahan sambil berpaling padaku.
“Mam, aku sangat menyesal atas kejadian itu. Aku tahu aku telah membuat malu mama dan keluarga kita. Aku tidak tahu harus berkata apa, yang jelas aku hanya ingin tahu bagaimana tubuh gadis-gadis jika tidak memakai baju. Itu saja, tidak ada maksud lain.” jawabku mencoba menjelaskan posisiku.
“Kamu memang laki-laki normal, karena itu wajar jika kamu punya rasa penasaran tentang bagaimana sih tubuh wanita jika tidak mengenakan baju, mama tidak terlalu menyalahkanmu…” mama terhenti sejenak lalu lanjutnya sambil memandang TV kembali. “Don, kamu tahu bahwa dari dulu kamu adalah anak kesayangan mama. Tapi karena sudah terlalu lama kamu tidak tinggal dengan mama, maka terkadang sekarang ini sulit bagi mama untuk menganggapmu sebagai anak mama, bukankah ini suatu hal yang logis? Bisakah kamu memahami apa yang mama maksudkan?”
“Sedikit kurasa.” jawabku yang sebenarnya masih kebingungan.
“Karena itu, mama sekarang akan bersikap berbeda kepadamu dari sikap mama yang sebelumnya, karena mama akan berbuat lebih jujur, sesuai dengan apa yang mama rasakan, bahwa kamu rasanya bukan anak mama, meskipun mama tetap sangat mencintaimu.” kata mama kepadaku, “Kamu bisa menerima itu bukan?” lanjutnya padaku.
Sekali lagi, meskipun aku masih kebingungan, aku menganggukkan kepalaku.
Mama mengulurkan tangan untuk mematikan rokoknya, lalu mama bergeser merapat padaku, sambil tangannya meraih tanganku serta meletakkannya di buah dadanya. Buah dada mama jauh lebih besar dari buah dada Marta yang masih tumbuh, dan aku ingat aureolesnya juga lebih besar dan berwarna coklat.
Ibuku berdiri dan menarikku sampai aku berlutut di depannya, dibukanya baju daster tipis yang menerawang itu, sehingga dia berdiri telanjang di depanku. Segera kenanganku kembali pada saat dia keluar dari kamarnya dengan tangan menangkup vaginanya lewat celah pantat, serta payudaranya yang bergoyang saat dia bergegas berjalan ke kamar mandi. Batang penisku segera mengacung tegak kaku seakan ingin menjebol celana yang tengah kupakai.
“Peluk mama, Nak! Raba, elus dan remas seluruh tubuh mama sesuka hatimu!” pintanya padaku.
Bibir dan tenggorokkanku terasa kering, dengan menelan ludah aku menuruti permintaannya. Aku memeluknya dengan erat, sementara tanganku mengelus pinggangnya yang ramping, pantat dan pinggulnya yang membulat, lalu perlahan kucium lehernya yang wangi, serta kujilati daun telinganya sampai dengan lubang telinganya. Ciuman dan jilatanku kembali beralih pada lehernya, “Akhh…” desah ibuku di telingaku.
Sejenak muka kami merenggang, kami saling bertatapan sejenak, lalu entah siapa yang memulai, tapi bibir kami akhirnya saling melekat dalam suatu ciuman yang nikmat. Kukulum bibirnya dengan gemas, sementara tanganku meremas payudaranya yang besar, “Ookh… betapa kenyal dan halusnya payudara ibuku.” batinku.
“Oh, ya… begitu caranya, itu terasa begitu nikmat. Ehm, mari kita ke kamar mama, Don! Dan buka seluruh pakaianmu.” kata ibuku kepadaku setelah kuluman bibir kami terlepas.
“Bagaimana dengan saudari-saudariku?” tanyaku dengan suara gemetar karena dorongan nafsu.
“Tenang, tadi siang mereka datang ke restaurant untuk pamit kepada mama bahwa mereka malam ini akan menginap di rumah teman-temannya. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk saling mengenal lebih intim, dengan cara yang berbeda dari biasanya.” jawab ibuku. Baru kini aku mengerti, kenapa ibu sedemikian lalainya tidak menutup pintu kamarnya saat tadi bersetubuh dengan Herry, rupanya ibu sudah tahu saudari-saudariku tidak ada, dan aku pasti belum pulang.
Aku nyaris tidak percaya dengan apa yang kualami, aku ingat betapa aku sangat ingin menidurinya hanya dua jam lalu, saat aku memergokinya bersetubuh dengan Herry. Sekarang dia mengundangku ke kamarnya di mana dia baru saja menghibur orang lain, sepertinya semua keinginanku yang tadi segera akan terlaksana.
Dengan segera aku membopong tubuh ibuku yang telanjang bulat. Sambil berjalan ke kamarnya, mulutku kembali mengulum puting susunya yang telah menegak, seakan menantang untuk diemut.
Sesampainya di kamar, kulihat tempat tidur ibuku masih berantakan. Meskipun ibuku telah merapikan seprainya, aroma persetubuhannya tadi masih tercium di udara, dan itu membuat gairahku bertambah dua kali lipat, dan batang penisku di dalam celana berdenyut-denyut kencang. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah ibuku menyadari hal itu?
Kuturunkan ibuku, sampai dia terbaring di atas ranjang dalam keadaan telanjang bulat. Seperti tengah menggodaku, kedua kakinya segera dikangkangkan, memperlihatkan secara jelas belahan vaginanya di bawah cahaya lampu kamar. Kulihat rambut kemaluan ibuku yang lebat, dan bibir vaginanya yang setengah terbuka, dan secuil daging tampak mengintip tepat pada bagian atas bibir vaginanya.
Segera kulepaskan seluruh bajuku, dan aku segera berbaring disampingnya, “Wow… rupanya anak mama memiliki batang penis yang luar biasa, ughhh… begitu indah, sangat besar dan panjang, dengan otot yang kuat!” pekik ibuku saat melihat batang penisku, sambil mengangkat sedikit kepalanya memandang penisku.
Ibu segera memiringkan tubuhnya, dan dia mendekapku erat-erat dengan tubuh telanjangnya. Kain spreinya terasa masih basah dan lengket saat dia memelukku dengan kuat.
Hal itu semakin merangsang aku, karena mengingatkan akan batang penis Herry yang menerobos lubang vagina ibuku dari belakang, dan aku nyaris tidak sabar untuk memasukkan batang penisku ke lubang yang sama.
“Cium aku, Nak!” pinta ibuku sambil perlahan mengelus batang penisku. Sedikit tergelinjang karena elusannya, aku segera mencium bibirnya yang mungil, kukulum bibirnya dengan penuh nafsu, kurasakan lidah ibuku menujah gigiku dan perlahan mengelusnya dengan ujung lidahnya.
Segera kukejutkan ibuku dengan lidahku yang kujulurkan langsung ke dalam mulutnya, “Mmmmhhh…” lenguh ibuku sambil membalas perbuatanku dengan menghisap lidahku. Kami berciuman dengan penuh gairah, lidah kami saling elus dan saling belit, membuat gairah kami melambung ke atas awan.
“Hmmm... mmm…” dengusan kami saling bersahutan, sementara nafas kami menjadi tersengal, bukan saja karena pernafasan kami sedikit terhalang oleh ciuman kami yang sangat lama, tapi juga karena nafsu yang semakin memuncak dan menggelora.
“Kamu tampaknya sudah sangat berpengalaman, apakah kamu pernah meniduri perempuan sebelum ini?” tanya ibuku padaku setelah pagutan bibir kami terlepas.
Aku sempat panik sejenak, aku khawatir mama mengetahui aktifitasku selama sebulan ini meniduri Marta, adikku, tapi segera kuingat satu-satunya bukti adalah kain spreiku yang selalu dicuci Marta setiap habis bersetubuh, karena mencucikan baju dan lainnya memang tugasnya. Jadi tidak mungkin dapat ditemukan bukti. Dan hal ini menenangkanku.
“Tidak, aku hanya pernah mencium beberapa orang gadis itu saja, selebihnya aku melihatnya di film porno yang kutonton beramai-ramai dengan temanku.” jawabku berbohong.
Ibuku menatapku dengan lekat, seakan ingin meneliti apa aku bohong atau tidak. Aku balas menatapnya sambil menenangkan diri. “Jadi kamu masih perjaka?” tanya ibu sambil tersenyum.
“Kecuali mama menganggap onani berarti kehilangan keperjakaan, maka aku memang masih perjaka.“ kembali aku berbohong.
“Doni, Doni, kamu memang anak baik, mama pikir kini saatnya kamu merasakan pengalaman pertamamu. Kemari anakku sayang, biar mama tunjukkan sesuatu.” lanjut mama sambil tersenyum senang.
Aku tergelinjang kegelian, geli yang sangat nikmat saat ibuku menjilati telingaku. “Aaghh…” erangku tak tertahankan. Lalu ibu menciumi leherku dan menggigitnya dengan gigitan mesra, kembali aku tergelinjang.
“Nah, kamu dapat berbangga kepada kawan-kawanmu bahwa seorang perempuan telah memberimu gigitan cinta, tapi awas jangan mengatakan mama yang melakukannya.” bisik ibuku di telingaku.
Lidahnya menyusur kebawah, diciuminya dadaku sambil terus dijilatnya, saat sampai pada puting susuku, tiba-tiba diemutnya sambil ujung lidahnya menggelitik ujungnya, “Akhh… Mam…” tak tertahankan, aku kembali mengerang kenikmatan. Ibuku beralih melakukan hal yang sama pada puting yang satunya lagi, kembali aku menggeliat sambil mendesah, “Aakhh…”
Sementara ibuku melakukan aksinya, tanganku tidak tinggal diam, kuremas-remas kedua buah dadanya dengan nikmatnya. Ketika jilatan ibuku sampai di perut, aku segera sadar, dia ingin membuatku mengalami orgasme dengan mulutnya, karena itu aku segera menahan kepalanya sambil berkata. “Mam, posisi tubuh mama jangan begitu. Aku pernah melihatnya di film, ini seharusnya ada di mulutku!” kataku sambil mengusap selangkangannya.
“Kau benar, itu posisi sixtynine” jawab ibuku, “Tapi itu kita lakukan nanti, sekarang mama ingin membuatmu merasakan kepuasan terlebih dahulu.” jawab mama sambil melanjutkan aksinya. Lidahnya kembali menjilati perut bawahku, sampai pangkal paha, lalu dia menjilati kantung pelirku, dan menghisapnya.
Terasa agak ngilu tapi nikmat saat ibuku mempermainkan buah pelirku, lalu lidahnya menjilat makin ke atas, kini batang penisku yang dijilatnya, sampai aku mengeluarkan air mazi yang cukup banyak, dan hup! mulut ibuku tiba-tiba mengulum kepala penisku, sambil menghisap air mazi yang meleleh keluar, “Aakhhh…” kembali desahku tak dapak kutahan.
Kini mama selain menghisap batang penisku, lidahnya juga bermain-main di lubang kencingku, mataku terbeliak merasakan kenikmatan itu, “Aakhh… mama… okh... nikmat sekali…” ceracauku sambil meremas-remas rambutnya.
Ibuku mulai menaik turunkan mulutnya untuk mengocok batang penisku, saat mulutnya turun, selalu dibarengi dengan hisapannya pada batang kemaluanku, serta jilatan lidahnya pada kepala penisku. Aku benar-benar tidak tahan lagi, hasrat yang telah muncul sejak aku melihat ibuku bersetubuh, dan telah kutahan sedemikian lama, membuatku dengan cepat merasakan rasa geli yang nikmat pada penisku.
Segera kujambak rambut di kepalanya dan kupegang kepalanya agar mengulum batang penisku lebih dalam, dan “Akhhh… okhhhh... mam… akuu… okhhh!!!” dengan erangan yang keras, aku memuncratkan air maniku di dalam mulutnya.
Ibuku tetap mengulum batang penisku, kini gerakannya searah, dari pangkal ke kepala penis, sambil terus menghisap dan menelan seluruh air maniku, tanpa tersisa. Badanku kejang beberapa saat, lalu ketika krucil.netan air maniku berakhir, tak terasa tubuh melemas.
“Gimana, nikmat?” tanya ibuku sambil melap mulutnya dengan tisue.
“Wow… hebat sekali, mam, jauh lebih nikmat daripada onani.” jawabku.
“Nah ingat-ingatlah, mulai kini mama melarang kamu onani. Kalau kamu ingin, mama akan membantu memuaskan kamu, Don.” lanjut ibuku sambil mencium bibirku.
“Mam, bolehkah aku menciumi seluruh tubuhmu?” tanyaku setelah bibir kami terpisah.
“Tentu… tentu… Doni boleh melakukannya, bahkan mama akan mengajari Doni bagaimana caranya memuaskan wanita.” jawab ibuku sambil tersenyum dan berbaring telentang di sebelahku.
Aku mulai dari menciumi dahinya, lalu menjalar mengarah ke bawah, mata, hidung, pipi, dan akhirnya kukulum bibir ibuku, cukup lama aku mengulumnya sambil lidah kami saling hisap dan saling belit. Lalu kutiru gerakannya dengan menjilati lubang telinganya, “Aaughh… kamu pintar, sayang!” desah ibuku sambil menggeliat kegelian saat lidahku menggelitik lubang telinganya.
Kugigit pelan daun telinganya, lalu kujilati belakang telinganya, jilatanku kemudian menjalar pada leher dan kuduknya, kubalas gigitan ibuku dengan memberinya cupangan yang besar di lehernya. “Ssst… jangan, Don, nanti banyak yang akan memperhatikan mama.” cegah ibuku sambil tubuhnya menggelinjang karena cupanganku. Tapi aku tidak mempedulikannya, aku terus mencupangnya sampai akhirnya ibuku menyerah dan membiarkan aku mencupangnya.
Lidahku kemudian menjalar pada bahunya, lalu dengan suatu gerakan pasti, kubuka ketiak ibuku dan kujilati ketiaknya yang tidak berbulu karena rajin ke salon. “Ssttt… hess…” desis ibuku kegelian karena ulahku. Kini lidahku menjalar di dadanya. Dengan sebuah tangan, kuremas buah dada kirinya, sedangkan mulutku kini mengulum buah dadanya yang kanan, perlahan tapi pasti, akhirnya kuemut puting susunya yang telah tegak menantang. Aku mengemut sambil mengelus-elus kepala puting itu dengan ujung lidahku. Puas dengan yang kanan, emutanku berganti pada puting yang kiri, sementara tanganku meremas dan mempermainkan buah dadanya yang kanan.
Lalu lidahku menjilati perutnya, semakin ke bawah dan tampaklah sekarang vaginanya terpampang tepat di depan mataku. Aku tertegun sejenak memandang vagina ibuku, vagina itu lebih besar dibanding punya Marta, dengan rambut kemaluan yang lebih lebat juga. Kugerakkan tanganku untuk membuat kaki ibuku lebih terkangkang.
Terlihat klitorisnya juga lebih besar dan lebih menonjol dibandingkan Marta, sementara bibir vaginanya tampak sedikit menggelambir. Kusingkapkan bibir vaginanya dengan jariku sehingga bagian dalam vaginanya yang berwarna merah kecoklatan muncul, terlihat cairan pelicin mulai muncul dari lobang vaginanya.
“Apa yang sedang kau lihat, sayang? Ini namanya klitoris dan merupakan pusat kenikmatan wanita, semua wanita akan segera mengalami orgasme jika itu dimainkan dengan benar.” kata ibuku sambil jari telunjuk kanannya menunjuk seupil daging yang berada tepat di atas bibir vaginanya.
Tanpa membuang waktu lagi kujulurkan lidahku dan kujilat sepanjang vaginanya. “Aakkhhhh... okhhh…” erang ibuku penuh nikmat. Selama beberapa saat kulakukan hal itu, sebelum dengan tiba-tiba kukulum cepat klitorisnya. Ibuku menggelinjang dengan hebat sambil mengerang lebih keras “Aaaakkkhhhh… okhhhhh… akkkkhhhh...” erang nikmatnya terasa menggetarkan jiwaku.
Kulihat tangan ibuku meremas-remas kain sprei dengan kuatnya, sementara kakinya mulai menyepak-nyepak tempat tidur. Aksiku kini berubah, kujilat sekali dari atas ke bawah, lalu lidahku kujulurkan masuk dalam lobang vaginanya, terasa cairan pelicin ibu sedikit asin rasanya.
Aku kembali mengulum klitorisnya, sementara dua jariku kumasukkan ke dalam lobang vaginanya. Baru juga dua kali jari-jariku menggelitik bagian dalam vaginanya, pantat ibuku tiba-tiba terangkat ke atas, sedangkan kedua tangannya menekan kepalaku ke arah selangkangannya, “Aaaakkkhhhh… okhhhh…” dengan erangan yang keras, puncak kenikmatan seksual ibuku diraihnya.
Lalu saat tubuhnya melemas, aku segera menelungkupinya, dan kumasukkan batang penisku ke dalam lubang vaginanya, blesss!!! penisku masuk seluruhnya yang langsung disambut dengan emutan dinding vaginanya. Dari posisi klitorisnya yang menonjol, aku tahu aku harus lebih banyak melakukan gesekan agar klitorisnya juga lebih banyak tergesek rambut kemaluanku. Dan aku melakukannya.
Tubuh ibuku yang mula-mula masih lemas dan membiarkan aku memompanya, perlahan berubah, kini dia memberi respon dengan menggoyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan, mengimbangi desakanku. “Aakhhh… okhh… kamu pintar sekali, Don… okhhh!!!” ceracau ibuku ketika dia mulai mengimbangi pompaanku. Aku sendiri hanya bisa mendengus-dengus karena nikmatnya, ternyata dinding vagina ibuku masih ketat meskipun dia sudah berusia 40 tahun.
“Aaaakkkhhh… okkhhh…” desahan ibuku berpadu dengan lenguhanku.
“Uughhh… ukhhh...” kupercepat pompaanku, lalu kurasakan ibuku mulai memutar-mutar pantatnya, aku segera merubah cara memompaku dengan memompa sambil memutar-mutar pantatku berlawanan arah dengan putarannya.
“Akhhhh… okkhhhh…” desah kami semakin keras.
Tidak berapa lama kemudian, tiba-tiba tubuh ibuku mengejang sambil menaikkan pantatnya tinggi-tinggi. “Doniiiii… okhh… akh… mama... akhh… keluarghh…” ceracaunya sambil menekan pantatku dengan kedua tangannya. Kubiarkan ibuku menikmati orgasmenya, sampai akhirnya tubuhnya melemas sedangkan matanya terpejam.
Kucium bibirnya sekilas lalu aku segera memompanya lagi. Ibuku masih belum menunjukkan reaksi, tapi aku tetap memompanya perlahan untuk membangkitkan kembali gairahnya. Dan harapanku terlaksana beberapa menit kemudian, kurasakan ibuku mulai merespon pompaanku.
“Linda sayang, aku ingin kamu menungging.” bisikku di telinganya.
Ibuku yang sejak tadi memejamkan matanya, tiba-tiba membuka matanya, “Huss…Doni mulai kurang ajar ya sama mama?” katanya sambil mencubit pelan pinggangku.
“Kenapa, Lin… bukankah kamu tidak bisa menganggap aku anakmu, maka akupun tidak bisa menganggapmu ibuku, bahkan kini aku sudah menyetubuhimu, maka kamu sekarang sudah jadi istriku, Linda saying!” jawabku.
“Uh… kamu ada-ada saja, tapi… emmm, Doni boleh memanggilku Linda saat kita bersetubuh, atau hanya ada kita berdua. Tapi kalau ada orang lain, Doni tetap harus memanggilku mama, mengerti?” katanya sambil tetap memutar-mutar pantatnya. Ketika dilihatnya aku mengangguk, ibuku tersenyum dan mencium bibirku, “Ayo kalau kamu ingin posisi doggystyle,” katanya kemdian.
Aku menghentikan pompaanku, lalu kami berganti posisi dan kembali kumasukkan batang kemaluanku ke dalam lobang vagina ibuku, dalam posisi ini kemutan dinding vagina ibuku terasa lebih ketat, pantas Herry segera menyerah. Tapi tidak dengan aku, aku telah bertekad untuk memuaskan ibuku sampai dia bertekuk lutut pada diriku, karena aku berniat menghilangkan kebiasaannya bersetubuh dengan lelaki lain. Aku bertekad sejak sekarang hanya aku yang boleh menyetubuhinya.
Kulakukan segala cara untuk membuatnya cepat menggapai orgasmenya, sementara aku sendiri harus bertahan sekuat tenaga agar tidak muncrat lebih dahulu. Pengalamanku dengan Marta banyak membantuku, kuulurkan sebelah tanganku untuk meraih klitorisnya, dan mengulir-ulirnya. Ibuku hanya bertahan beberapa menit sampai akhirnya dia mencapai orgasmenya yang kedua.
“Akhhh… okhhh…” erangnya dengan keras sebelum tubuhnya mengejang kaku, kembali kubiarkan ibuku sampai tubuhnya lemas kembali, lalu segera kuminta padanya agar berbaring terlentang kembali. “Okhhh… kamu hebat sekali, Don!” katanya dengan suara lemah, sambil membaringkan tubuhnya yang masih lemas.
Tanpa banyak bicara lagi, aku segera memompanya, lagi dan lagi sampai akhirnya akupu tidak dapat bertahan lebih lama, “Ughhh, Linda…aku tidak tahan lagi!” kataku kepada ibuku.
“Tahan sebentar, sayang, aku juga mau sampai.” jawabnya sambil mengguncang-guncangkan pantatnya dengan dahsyat. Aku kini berdiam diri, berusaha keras agar bisa merasakan orgasme secara bersamaan.
Dan ketika tangan ibuku kembali mencengkram pantat dengan kerasnya, akupun memucratkan air maniku yang kedua kalinya malam itu, bersamaan dengan orgasme kelima ibuku karena ulahku.
“Lin, akhhh…”
“Doniiii... okhhh…”
Erang kami bersamaan saat puncak kenikmatan persetubuhan kami raih secara bersama. Tubuh kami mengejang dengan kuatnya, lalu perlahan melemas dan aku ambruk di atas tubuh ibuku. Sejenak kami terdiam merasakan sisa-sisa kenikmatan. Setelah beberapa saat, baru aku mengangkat kepalaku menatap wajah cantik ibuku. Seulas senyum tampak di bibir ibuku ketika mata kami bertemu pandang.
Kucium bibirnya lembut, lalu kupandangi kembali wajahnya yang cantik. “Mama tidak mengira kau begitu hebatnya, untuk membuat kamu mengeluarkan air mani kedua kalinya, harus mama bayar dengan empat kali orgasme. Tahukah kamu, hal seperti ini baru kali ini mama alami.” katanya dengan suara lirih setengah mengambang.
“Sebenarnya mama hampir tidak percaya kalau Doni masih perjaka, karena apa yang tadi Doni lakukan sulit dikerjakan oleh orang yang sangat berpengalaman sekalipun, tapi mama terpaksa percaya, karena hanya perjaka yang langsung bisa tegang lagi setelah memuncratkan air maninya.” lanjutnya dengan suara tetap lirih, tapi kurasakan tangannya meraba batang kemaluanku yang memang menegang lagi.
Aku hanya tersenyum sambil kembali memasukkan batang penisku ke dalam lubang vaginanya, “Uughh… kamu memang luar biasa, Doni sayangku!” kata ibuku saat batang penisku masuk kembali ke dalam vaginanya.
“Linda sayang, mulai kini Doni tidak mengijinkan kamu berhubungan seks dengan laki-laki lain, hanya aku yang boleh menyetubuhimu. Doni minta kamu tinggalkan kebiasaan membawa laki-laki ke dalam kamar ini, baik dengan alasan bisnis maupun hanya sekedar memenuhi hasrat seksualmu. Doni akan setia memuaskanmu kapan pun juga, sehingga kamu tidak memerlukan siapapun lagi, berjanjilah padaku sekarang.” kataku kepada ibuku.
“Darimana kamu tahu aku suka membawa laki-laki ke kamar ini?” tanya ibuku dengan kening berkerut.
“Aku, Lena dan Marta tidak buta, Lindaku sayang, karena itu kuminta kamu berjanji padaku untuk tidak bersetubuh dengan siapapun juga kecuali denganku.” kataku sambil mulai memaju mundurkan pantatku, tapi mataku tetap memandang mata ibuku.
Mata ibuku sedikit meredup saat dirasakannya gesekan batang penisku di lubang vaginanya, “Aku berjanji sayang, asal Doni juga berjanji selalu siap menyetubuhiku kapan saja.” katanya sambil mulai menggoyangkan pantatnya lagi.
Malam itu aku menyetubuhinya sebanyak tiga kali, dan membuat ibuku mengalami orgasme tak kurang dari sebelas kali. Sejak saat itu Linda, ibuku, tidak pernah lagi menerima tamu laki-laki, dan aku harus membagi waktuku untuk meyetubuhi dua orang perempuan sekaligus, Linda, Ibuku dan Marta, adikku.
Aku dan ibuku sering mandi bersama dan aku menyabuni sekujur tubuhnya, termasuk payudaranya yang besar dan rambut kemaluannya yang lebat dan hitam, serta vaginanya. Pada saat seperti itu selalu ibuku menghisap batang kemaluanku, tapi aku tidak pernah lagi mengijinkannya menghisap air maniku, tapi saat dia memberiku blowjob, setiap kali pula aku memasturbasinya, sampai dia orgasme. Dan setiap kali aku menuntaskan permainan di kamar mandi dengan persetubuhan yang mengasyikan. Berbagai macam gaya kami lakukan, mulai dari ibuku bersandar di dinding kamar mandi sambil mengangkat sebelah kakinya dan aku berdiri memompanya, atau dia berdiri sambil nungging sementara aku memompanya dari belakang, sampai dia duduk di pinggir bak mandi sementara aku memompanya dari depan.
Tapi saat-saat yang paling kusukai adalah ketika ibuku dengan telanjang bulat menyelinap ke tempat tidurku. Kadang di siang hari jika kami ada yang terangsang, selalu saling menghubungi, lalu janjian bertemu di sebuah motel dan kami bercinta habis-habisan di kamar motel.
Bertahun kami melakukannya, sampai akhirnya Lena menyandang gelar sarjana dan menikah dengan teman kuliahnya, mereka pindah ke kota lain yang jauh karena suaminya bekerja disana. Sedang Marta adikku setamat SMA, dia menikah karena hamil oleh ulahku, suaminya adalah laki-laki yang dijebaknya untuk menyetubuhinya, lalu dia harus bertanggung jawab untuk kehamilan yang disebabkan ulahku.
Ibuku sendiri senang Marta cepat menikah, karena dengan demikian hanya tinggal kami berdua yang ada di rumah, apalagi Marta juga dibawa suaminya pindah ke kota yang cukup jauh, kami makin bebas bertindak seperti suami istri di apartemen kami, meskipun sebetulnya kami adalah ibu dan anak. Saat aku meraih gelar sarjanaku setahun setelah Marta menikah, aku tidak bekerja tapi mengurus restauran milik ibuku atau istriku.
Aku lulus jadi sarjana pada usia 23 tahun, sedangkan ibuku berusia 42 tahun, tapi sampai saat itu ibuku masih belum menopause, justru saat kami berpikir ibuku tidak mungkin punya anak lagi, ibuku hamil oleh ulahku tanpa bisa mencari kambing hitam, dan hanya berselisih satu minggu kemudian aku menerima berita Lena juga tengah hamil.
Meskipun aku mencegahnya, tapi pada bulan kedelapan kehamilannya, Lena datang sendiri tanpa didampingi suaminya yang mendapat tugas keluar negeri selama enam bulan. Lena pulang dengan maksud untuk melahirkan di kota kami. Betapa terkejutnya Lena saat dia melihat ibuku juga sedang hamil.
Tanpa sepengetahuan ibuku, Lena sempat bertanya ibu hamil oleh siapa padaku, yang kujawab dengan mengangkat bahu. Lena tidak lagi bertanya, meskipun dari pembicaraan dia kemudian, aku tahu Lena sedang menduga-duga siapa diantara laki-laki yang dulu sering mengunjungi ibuku, yang membuatnya hamil.
Usia kandungan ibuku dengan usia kandungan Lena hanya berselisih dua minggu. Meskipun selama dia tinggal, Lena tidak melihat laki-laki datang ke apartemen kami, tapi itu adalah suatu hal yang wajar karena hamil tuanya ibuku.
Lalu sebuah kecelakaan terjadi, Lena jatuh di tangga darurat yang menyebabkan dia dilarikan ke rumah sakit. Dua minggu Lena dirawat, Lena memang selamat, tapi bayinya meninggal. Lena menangis meraung-raung karena kehilangan bayinya, sulit bagi dia mempertanggungjawabkan kehilangan tersebut kepada suaminya yang sangat mendambakan anak.
Lena sangat khawatir diceraikan suaminya karena anaknya meninggal, karena itu dia sampai saat ini tidak memberi kabar apapun pada suaminya tentang meninggalnya anak yang dikandungnya. Lalu aku berunding dengan ibuku, akhirnya ibuku setuju untuk memberikan bayi yang dikandungnya kepada Lena. Aku bertugas untuk membuat kenal lahir anakku, yang kupalsukan atas nama Lena dan suaminya.
Bayi yang dilahirkan ibuku adalah bayi perempuan, aku beri dia nama Ninda, kependekkan dari namaku dan nama ibuku, meskipun yang kemudian memberi nama seolah-olah ibuku, tapi sebetulnya akulah yang memberi nama dan ibuku hanya menyetujuinya.
Bayi itu langsung diurus Lena sejak dilahirkan, hampir sebulan setengah setelah melahirkan, aku dan ibuku mulai tidak tahan untuk berhubungan seks, apalagi kami sebelumnya terbiasa bebas dirumah, tapi kini terhalang oleh adanya Lena yang nyaris tidak pernah meninggalkan rumah. Bahkan malam hari pun aku dan ibuku sulit menyelinap justru karena Ninda sering menangis di malam hari mencari air susu. Akhirnya kami menemukan akal, ibuku kembali mengurus restaurantnya, sedangkan aku tinggal dirumah. Jika aku pergi pamit pada Lena mau ngobyek, maka sebenarnya aku janjian dengan ibu untuk pergi ke motel.
Suatu hari setelah ibuku pergi ke restaurant, aku duduk di sofa ruang tengah, lalu Lena sambil membawa Ninda datang padaku, dia hanya mengenakan daster tipis, yang kancing baju atasnya terbuka. Lena duduk disampingku sambil mengeluh, “Uh... kenapa air susuku tidak mau muncul juga, bagaimana kalau suamiku bertanya kenapa aku tidak menyusui sendiri bayi ini?” katanya sambil mengeluarkan buah dadanya dan menyodorkan putingnya pada mulut Ninda.
Ninda memang mencoba mengemutnya tapi sebentar kemudian melepaskannya karena tidak ada air susu yang mengalir, “Bagaimana ini?” keluh Lena kebingungan. Aku sendiri terpaku melotot menatap buah dada Lena yang montok, tidak kalah oleh ibuku besarnya, hanya aerolanya saja yang lebih kecil, dan putingnya lebih merah ketimbang punya ibuku..
Lena yang sadar dengan ulahku, kemudian memasukkan buah dadanya, “Doniii… belum sembuh juga penyakitmu mengintip perempuan!” katanya, jelas Lena terkenang ulahku waktu di kamp gereja itu. “Don, boleh aku tanya kenapa kamu belum menikah juga?” tanyanya dengan suara lembut ketika melihat aku tersipu malu.
“A-aku tidak pernah punya keberanian untuk mendekati wanita.” jawabku berbohong, sementara iblis telah memberikan rancangan bagiku untuk bisa meniduri Lena.
“Kenapa, bukankah kamu laki-laki normal?” tanyanya lagi.
Aku pura-pura menunduk sedih. “Entahlah, Len, kalau aku melihat wanita sering nafsuku bangkit, tapi saat aku mendekatinya, aku tidak mampu.” jawabku dengan suara diparau-paraukan.
“Kamu pernah konsultasi pada dokter atau psikiater?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk. “kata dokter, aku normal-normal saja, sedangkan kata psikiater ada sesuatu yang memblok alam bawah sadarku, sehingga aku tidak mampu, seharusnya aku berlatih berhubungan seks dengan seorang wanita, tapi kemana aku harus mencari wanita seperti itu?” cetusku pada Lena.
Lena terdiam beberapa lama, aku juga mendiamkannya sambil tetap mengekspresikan muka orang yang sedang putus asa. Setelah keheningan yang mencekam akhirnya Lena angkat bicara, “Ka-kamu… mau berlatih denganku?” tanyanya dengan suara ragu.
Kuangkat mukaku, kupasang ekspresi tidak percaya dan harapan, “Su-sungguh kamu mau berlatih denganku?” tanyaku.
Dengan wajah memerah, Lena mengangguk, “Kamu telah membantuku membujuk ibu untuk memberikan anaknya padaku, kini giliranku membantu kamu.” katanya dengan suara lirih.
Meskipun hatiku terlonjak kegirangan, tapi aku hanya menatapnya dengan pandangan penuh harapan. “Tapi bagaimana caranya?” tanyaku sambil menatapnya.
Lena tersenyum dengan muka merah sambil berkata, “Ikut aku ke kamar,” pintanya sambil melangkah ke kamarnya.
Sesampainya di kamar, ditidurkannya Ninda di boks tempat tidur bayi, “Buka seluruh bajumu.” pintanya padaku sambil membuka bajunya, lalu branya, hingga kini tubuh montoknya hanya tinggal dibalut celana dalam, buah dada Lena ternyata lebih besar dari punya Marta, meskipun lebih kecil dari Linda, ibuku. Hanya aerolanya saja yang sama besarnya dengan milik ibuku.
Kuikuti perbuatannya dengan melepas semua bajuku kecuali celana dalamku. “Buka semuanya!” pintanya padaku. Kali ini kulepas celana dalamku sehingga batang penisku tegak mengacung dengan gagah beraninya. “Woow… Don, batang penismu luar biasa besarnya… apa gak salah dengan omonganmu, kok aku lihat dia bisa berdiri dengan sempurna?” katanya sambil memperhatikan batang penisku.
Aku segera sadar dengan peran yang tengah kujalani, “Iya, dari dulu juga selalu tegak, tapi pas mau dimasukin layu lagi.” kataku dengan nada sengaja kubuat antara kesal dan sedih.
“Ehmm… kini aku mengerti, mungkin ada yang salah dengan caramu, kemarilah berbaring di sampingku.” katanya sambil mendahului berbaring.
“Kamu curang menyuruh aku membuka semua, tapi kamu sendiri masih memakai celana dalam.” kataku sambil berbaring di sampingnya.
Lena sejenak kulihat ragu, “Baiklah, aku akan melepas celana dalamku, tapi kamu harus berjanji untuk tidak memasukkan batang besarmu ke dalam vaginaku, kita hanya akan saling menggesekkannya saja.” katanya kemudian sambil melepas celana dalamnya setelah melihat aku mengangguk.
“Boleh aku melihatnya?” tanyaku sambil bangkit duduk.
Lena kembali ragu tapi kemudian dia menganggukkan kepalanya, “Ok, kamu bisa melihatnya, dan kamu memang harus mempelajarinya.” katanya sambil duduk dengan kaki terkangkang. Lalu Lena mulai menyebutkan seluruh bagian dari vaginanya, sambil menunjuknya “Dan ini lubang vagina tempat dimana batang penis masuk kalau dua orang sedang bersetubuh, tapi kita tidak akan melakukan itu, kita hanya akan menggesekkannya saja agar kamu bisa berlatih.” katanya mengakhiri ceramahnya sambil kembali membaringkan tubuhnya lagi.
“Kini peluk dan cumbu aku!” pintanya padaku. Aku yang telah sangat terangsang karena melihat bagian dalam vaginanya yang memerah, segera menelungkupinya, kupeluk tubuhnya sementara bibirku langsung menyerbu bibirnya, kukulum sejenak lalu kujulurkan lidahku ke dalam mulutnya.
“Hufhh...” desahnya ketika menerima serbuanku. “Kamu rupanya sudah sangat berpengalaman dalam berciuman.” katanya dengan nafas sedikit terengah akibat serbuanku.
“Berciuman sih sudah kulakukan sejak kamu belum menikah, sayang aku tidak bisa menuntaskannya.” kataku sambil mencumbu leher dan telinganya.
Lena menggeliat sambil mendesah. “Aakhh… perlahan sedikit.” pintanya. Tapi aku yang sudah kadung bernafsu tidak menghiraukannya, mulut dan lidahku berpindah-pindah tempat operasi, mulai dari bibir, leher, buah dada, dan putingnya selalu menjadi incaranku, kukulum, kuemut dan kujilat secara berganti-ganti, sementara sebelah tanganku meremasi buah dadanya sedangkan batang penisku kugesek-gesekkan pada belahan vaginanya.
Lena mulai menggelinjangkan tubuhnya, erang yang tadinya ditahan-tahan, kini terlepas tanpa bisa disembunyikan lagi. “Aakhh… okhhh…” erangnya berulang-ulang. Sementara pantatnya mulai bergoyang-goyang mengimbangi desakan batang penisku. Sengaja kupergencar lagi seranganku dengan tujuan saat aku memasukkan batang penisku, dia tidak mampu lagi menolaknya.
“Aaakhh… aaakkkhhh...” erangnya saat kepala penisku menyundul-nyundul klitorisnya, sementara kakinya mulai menyepak-nyepak tempat tidur. Dari batang penisku, kutahu vagina Lena sudah sangat basah. “Ber-berhenti, Don…” katanya terpatah-patah dengan suara lemah disela desahnya, memintaku untuk menghentikan aksiku. Aku sadar itu adalah sisa kesadarannya akan tujuan kami melakukan ini, tapi ini justru merupakan aba-aba bagiku untuk segera memasukkan batang penisku ke dalam lubang vaginanya.
Dengan ancang-ancang penuh, aku mengincar lubang vaginanya, dan ”Ughhh!!!” lenguhku saat kepala batang penisku menembus lubang vaginanya, blesss!!! batang penisku amblas sebatas kepalanya.
“Doniii… jangannnn…” pekik Lena dengan mata terbelak lebar, sementara pantatnya berguncang dengan hebatnya untuk mengeluarkan batang penisku, sedangkan tangannya mencoba menolak tubuhku, tapi tenaganya sangat lemah.
Aku yang sudah menduga hal itu segera mempererat pelukanku dan himpitan pantatku ke selangkangannya, bahkan pada saat-saat demikian kucoba untuk memasukkan batang penisku lebih dalam. Meskipun agak susah karena rontaannya, tapi akhirnya aku mendapat kesempatan untuk menghentakkan batang penisku sekuatnya ke dalam lubang vaginanya.
“Ughh…” lenguhku saat menusukkan batang penisku sekuatnya, kurasakan betapa ketatnya himpitan dinding lubang vagina Lena, dan blesss!!! seluruh batang penisku amblas.
“Aawww…” pekik Lena saat batang penisku amblas seluruhnya. Sejenak kami terdiam lalu pecahlah isak Lena. “K-kamu… kamu jahat, Don... kamu memasukkannya!” katanya disela isaknya.
“Maafkan aku, Len, aku sungguh tidak bisa menahan keinginanku untuk merasakan bagaimana rasanya memasukkan penisku ke dalam lubang vagina perempuan.” kataku sambil membelai rambutnya.
“K-kini… kini kamu sudah sembuh, cepat cabut penismu!” pinta Lena sambil memandangku.
Aku menggelengkan kepala, “Tidak, aku sudah kadung memasukkannya, aku kini ingin merasakan bagaimana rasanya bersetubuh.” kataku sambil mulai memaju mundurkan pantatku. Kulihat Lena mencoba untuk memberontak, tapi rontaannya lemah dan tidak bertenaga. Setelah nyata tidak berhasil, Lena mencoba melawanku dengan cara halus, tubuhnya kaku seperti batang pisang, tidak merespon pompaanku, sementara bibirnya digigitnya dengan keras.
Aku semakin tertantang untuk menaklukkan Lena, kukeluarkan semua kemampuan dan pengalamanku untuk membuatnya menyerah, akhirnya setelah lima menit berusaha, kulihat sebuah kepasrahan muncul dari sorot matanya, mata itu pelan menyayu dan akhirnya terpejam, sementara bibirnya terbuka mengeluarkan desah nikmat yang sejak tadi ditahannya. “Ooooookkkkkhhhhh…” lalu pantatnya mulai bergoyang melayani pompaanku, mulanya pelan tapi makin lama makin cepat.
Kurang dari dua menit sejak dia merespon, tubuh Lena tiba-tiba mengejang. ”Aakhhh… Donniiii… okhh…” erangnya sambil merangkul tubuhku erat-erat, aku tahu Lena sudah mencapai orgasme. Kubiarkan sejenak, setelah terasa tubuhnya melemas, segera kupompa lagi.
Luar biasa, kurang dari semenit kemudian, pantatnya mulai bergoyang lagi, “Ssssstttt… shhh…” desisnya bagai orang yang kepedasan.
“Nikmat, sayang?” kataku sambil mencium bibirnya sekilas, matanya yang sejak tadi terpejam kini terbuka, mata kami bertemu pandang dan perlahan matanya mengejap sekali sambil bibirnya menyunggingkan senyum, dan mata itu kembali tertutup dengan muka semakin memerah. Aku tahu Lena telah mengiyakan pertanyaanku. Dan aku melanjutkan pompaanku.
Lena kembali mencapai orgasmenya tidak lama kemudian, kali ini dia menjerit kecil sambil menggigit bahuku saat tubuhnya mengejang. Aku yang ingin membuktikan penguasaanku terhadap Lena berbisik padanya setelah tubuhnya kembali melemas. “Kini kamu yang diatas menunggangi aku ya?” kataku sambil membalikan tubuh kami. Sejenak kemaluan kami terpisah.
Lena berpindah posisi dan mengangkangiku setelah sebelumnya dia meraih tissue dan membersihkan vaginanya yang becek. Tak lama kemudia dia menunggangiku, dengan posisi ini, Lena lah yang banyak bergerak dan memegang kendali persetubuhan. Hanya terkadang aku menaikkan pantatku menyongsong pantatnya yang turun sehingga batang kemaluanku amblas makin dalam di lubang vaginanya, sedangkan kedua tanganku aktif meremas-remas payudaranya.
Lena benar-benar bagaikan orang yang kesetanan memacu tubuhku, keringatnya menganak sungai dan menetes di tubuhku, kadang badannya ditengkurapkan menindih badanku, kadang dia duduk tegak. Dan yang paling menyenangkan adalah saat dia menurunkan pantatnya sambil melakukan gerakan memutar, serasa batang penisku dipilin-pilin oleh dinding lubang vaginanya, kurasakan rasa geli mulai timbul dibatang penisku.
“Len, aku sebentar lagi mau muncrat nih.” kataku pada Lena.
“A-aku juga mau sebentar lagi, barengan aja.” katanya disela dengus nafasnya.
Kucoba bertahan, tapi saat Lena semakin tidak terkendali, akhirnya aku muncrat juga. “Ughhh… Lena…” kataku sambil menahan pantatnya agar rapat dengan selangkanganku dan, crett… crett… air maniku menyembur deras.
Pada saat yang bersamaan, kulihat Lena menengadahkan wajahnya memandang langit-langit kamar, tubuhnya mengejang. “Oouhggg… akkhhh…” erangnya dengan keras. Rupanya kami mencapai puncak kenikmatan bersetubuh secara bersamaan.
Sejenak kami terdiam dalam posisi itu, lalu tubuh Lena yang melemas ambruk menimpa tubuhku, kupeluk tubuhnya erat-erat sambil meresapi sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kami raih.
Hampir seperempat jam kami berdiam diri dengan posisi seperti itu, batang penisku yang sudah mengerut akhirnya lepas dari lubang vaginanya. “Kamu bohong kan dengan penyakitmu?” tuding Lena dengan suara lirih sambil masih tetap menindihku.
Aku tidak menjawab, sementara Lena melanjutkan kata-katanya. “Tapi aku tidak marah kepadamu, kamu baru saja memberi pengalaman terindah dan ternikmat selama hidupku. Abang yang menjadi suamiku belum pernah mampu melakukannya seperti ini, paling skornya hanya 1-1, bahkan kadang aku tidak mendapat orgasme saat besetubuh dengannya. Tapi kini skornya 3-1, suatu hal yang tidak pernah kuimpikan, tapi kini jadi kenyataan.” katanya masih dengan suara lirih sambil menggulingkan badannya hingga kini kami berbaring berdampingan.
Kubalikan badanku hingga kini aku menghadap padanya yang masih tetap berbaring, pelan kucium bibirnya, dan kami berpagutan erat. “Syukurlah kalau kamu tidak marah, habis kamu sih merangsangku, jadi terpaksa aku melakukannya.” kataku sambil mengelus-elus pinggangnya. “Len, kamu masih mampu?” tanyaku kemudian.
Lena memandangku dengan pandangan bertanya, kupegang tangannya dan kubimbing ke penisku. “Aww… kamu sudah berdiri lagi?” tanyanya dengan takjub. “Se-sebentar, beri aku waktu untuk memulihkan kondisiku barang seperempat jam, lalu kita lakukan lagi.” katanya dengan muka memerah saat tanganku mulai mengelus-elus belahan vaginanya.
Dan kami kembali bersetubuh lagi, puncak demi puncak kenikmatan kupersembahkan pada Lena, hari itu aku tiga kali memuncratkan airmaniku, sementara Lena tidak kurang dari sembilan kali meraih orgasmenya.
Sejak saat itu sampai Lena kembali kepada suaminya, aku selalu melayani dua orang perempuan dalam sehari. Kenikmatan birahi yang kami reguk seakan akan tidak ada puasnya. Menjelang kepulangannya, Lena sempat bertanya padaklu dengan pandangan menyelidik. “Doni, sebenarnya Ninda anak mama dengan siapa? Aku telah lama memikirkannya, laki-laki seperti kamu berkumpul berdua dengan mama, rasanya tidak mungkin tidak terjadi sesuatu. Ninda bukankah itu kependekan namamu dan nama mama? Benar bukan Ninda adalah anak mama dari kamu?” tanyanya.
Aku tidak menjawab pertanyaannya, aku hanya tersenyum sambil mencium sekilas bibirnya. Dan aku hanya bisa nyengir saat pamit Lena merangkul aku dan ibuku, sehingga kami bertiga saling berangkulan erat, dan Lena berkata padaku dengan didengar ibuku, “Jaga istrimu baik-baik yah… adikku yang nakal!” katanya sambil mencium pipiku, lalu pada ibuku dia berkata “Tolong jaga satu-satunya adik laki-lakiku ya, iparku yang cantik!” katanya sambil mencium pipi ibuku.
Lalu sambil berbalik dia berkata, “Terima kasih kalian telah memberikan anak kalian padaku, sehingga suamiku menjadi sangat bahagia. Aku janji akan merawatnya seperti aku merawat anak kandungku sendiri.” katanya sambil mengedipkan sebelah matanya pada kami, aku dan ibuku. Dan tanpa memberi kesempatan lagi, Lena segera melangkah keluar.
“Da-darimana Lena tahu hubungan kita?” tanya ibuku dengan muka bingung meskipun matanya masih menatap pintu yang barusan digunakan Lena.
“Sudahlah, Lin, tak usah kita pikirkan. Yang penting Lena tidak marah, bahkan dari kata-katanya, tampaknya dia justru merestui hubungan kita, dan yang lebih penting lagi, kini kita tinggal berdua sehingga kita bebas seperti semula melakukan apa saja.” kataku sambil membopong tubuh ibuku dan membawanya ke kamar tidurnya yang sebenarnya merupakan kamar tidur kami.
“Ughh… dasar kamu yang tidak ada puasnya.” kata ibuku sambil menggigit pelan telingaku, “Cepat kamu setubuhi aku dan puaskan aku berkali-kali, anak kurang ajar yang doyan menyetubuhi ibunya sendiri.” bisiknya lagi di telingaku.
***
Waktu berjalan dengan cepat, Sepuluh tahun sejak ibuku melahirkan anakku, kudengar Lena bercerai dengan suaminya, dan setahun kemudian dia menikah lagi dengan seorang pria yang sepuluh tahun lebih muda dari usianya. Aku sendiri tidak pernah menikah secara resmi, buat apa, toh ada ibuku yang sekaligus juga menjadi istriku.
Tapi empat tahun kemudian, atau lima belas tahun sejak melahirkan Ninda, ibuku meninggal dalam kecelakaan jalan raya, saat dia baru keluar dari sebuah mall. Sejak saat itu aku hidup sendiri dan menyepi.
Tapi itu tidak lama, lima bulan setelah ibuku meninggal, aku mendapat telephone dari Lena, dia bertanya maukah aku merawat Ninda, karena suaminya yang sekarang tampaknya menaksir Ninda, sementara sikap Ninda sendiri terlalu gampangan. Karenanya Lena khawatir kalau suaminya menjalin hubungan gelap dengan Ninda.
“Dia membutuhkan figur yang kuat dan bisa mendidiknya, suatu hal yang tidak sanggup kuberikan” katanya padaku.
Aku segera menyetujuinya untuk menerima Ninda di rumahku, karena sebenarnyalah dia adalah putriku satu-satunya. Tanpa sadar bahwa aku telah membuka babak baru dalam kehidupan incest seksualku.
No comments:
Post a Comment