Bagian pertama kisah ini dimulai ketika jam |
dua siang itu aku, Surti, meninggalkan |
pasar sambil membawa bungkusan isi |
dagangan batik, menuju ke hotel Melati. |
Pegawai hotel yang sudah mengenalku |
segera mengantar ke kamar Mas Jamal, |
langgananku pijat. Sudah tiga bulan ini |
selain jualan batik aku juga berusaha |
menambah penghasilan dengan menjadi |
juru pijat. Aku mengikuti jejak rekan |
seprofesi yang banyak bertebaran di |
pasar, terutama setelah beberapa bulan |
belakangan ini dagangan batik sepi. |
Kadang aku memijit ibu-ibu atau wanita |
pedagang yang capai, namun lebih banyak |
memijat pria. Seminggu dua atau tiga kali |
dipanggil, lumayanlah untuk menambah |
nafkah dua-tiga ratus ribu rupiah per |
bulan. | |
"Sore Mas. Sudah nunggu lama ya?" |
sapaku. | |
"Nggak, Mbak Surti. Baru juga selesai |
keliling. Duduk dulu Mbak, aku mandi |
sebentar" sahut Jamal, salesman keliling |
yang setiap mampir ke kota ini selalu |
memanggilku untuk memijatnya. Ini kali |
yang keempat aku dipanggilnya. Jamal |
masuk ke kamar mandi sementara aku |
duduk di kursi melepas penat. Kuseka |
sekitar leher yang berkeringat, kurapikan |
baju dan rok. Tak lama kemudian Jamal |
keluar berbalut handuk. Tinggi tubuhnya |
sekitar 170 cm lumayan kekar dan |
berotot. | |
"Saya permisi cuci tangan ya, Mas," |
pintaku sambil menuju ke kamar mandi. |
"Silahkan, Mbak." |
Selesai cuci tangan kudapati Jamal sudah |
tengkurap di ranjang tanpa melepas |
handuknya. Aku mendekat ke bagian |
kakinya. | |
"Tumben pakai handuk, Mas?" Tanyaku. |
Biasanya Jamal pakai celana pendek atau |
CD. | |
"Anu Mbak, celanaku kotor semua. Tiga |
hari keliling belum sempat nyuci Eee, biar |
lebih gampang mijatnya, naik ke ranjang |
aja, Mbak" kata Jamal. |
Ranjangnya memang agak besar sehingga |
susah dapat memijat dengan enak kalau |
tidak naik. Aku naik ke ranjang dan |
berlutut di kiri Jamal. Mulai memijat telapak |
kaki, terus naik ke arah betis hingga paha. |
Ikatan handuk Jamal yang agak kencang |
menutupi paha agak menyulitkan memijat |
bagian itu. |
"Maaf Mas, handuknya tolong |
dilonggarkan" |
Jamal mengangkat perutnya dan |
membuka simpul handuknya sehingga |
handuk itu sekarang jadi longgar bahkan |
disisihkannya ke samping kiri-kanan hingga |
seperti selimut yang menutup pantat. Aku |
dapat merasakan di balik handuk itu tidak |
ada apa-apa lagi yang dikenakan Jamal. |
Jantungku, janda 40 tahunan ini, jadi |
berdegup agak keras. Tapi aku coba tidak |
berpikir buruk karena pernah tiga kali |
memijat Jamal dan pria itu selalu sopan. |
Agak hati-hati kupijat bagian paha dan |
pantatnya. Beberapa kali handuk itu |
tergeser sampai kadang-kadang tak |
mampu lagi menutupi. Beberapa kali pula |
kubetulkan letaknya namun sempat pula |
terlihat pantat Jamal, bahkan ceruk hitam |
di antara pangkal pahanya. Dadaku jadi |
berdesir. Bagian pantat ke bawah selesai, |
lalu kupijit bagian pinggang ke atas. Ia |
menggeser lututnya. |
"Kelihatannya cape sekali, Mas?" sapaku |
mencairkan suasana diam. |
"Iya Mbak. Sudah cape keliling, ordernya |
tambah sedikit aja. Dagangan sekarang |
lagi sepi Mbak," jawab Jamal. |
"Dagangan batik, Mbak sendiri gimana?" |
"Sama saja, Mas. Sepi banget. Kalau nggak |
sepi nggak bakalan saya jadi tukang pijit" |
"Tapi pijitan Mbak enak lho" |
"Ala Mas ini menghina. Saya kan cuma |
belajar dari teman-teman" |
"Bener lo Mbak, kalau nggak masak aku |
jadi langganan Mbak Kalau malam sampai |
jam berapa, Mbak?" |
"Saya nggak terima pijit malam Mas. |
Pokoknya sebelum maghrib sudah harus |
sampai rumah. Saya nggak mau anak- |
anak saya tahu pekerjaan sampingan |
ibunya. Mereka hanya tahu saya jualan |
batik di pasar" |
"Ooo kenapa mesti malu, Mbak?" |
"Saya sih nggak malu, tapi kasihan kan |
kalau anak-anak saya ketahuan teman- |
temannya punya ibu tukang pijit? Sudah, |
sekarang balik Mas" |
Jamal memutar tubuhnya, tentu saja |
handuknya ikut terlibat pantatnya |
sehingga nampaklah bagian depannya |
yang polos. Beberapa saat sempat kulihat |
zakar Jamal yang mulai tegang. Buru-buru |
kubantu Jamal menutupinya, namun tetap |
saja tonjolan itu membentuk |
pemandangan yang bikin dadaku berdesir. |
Bagaimana pun aku tetap wanita yang |
beberapa tahun silam pernah melihat hal |
demikian pada diri suamiku yang telah |
tiada. Dadaku berdegup semakin cepat, |
tubuhku agak gemetar. Buru-buru |
kukonsentrasikan pijatan pada kaki Jamal. |
"Maaf, Mbak, adikku nggak mau tidur. Kalau |
lagi dipijat wanita memang selalu gitu sih |
Mbak" | |
"Ah, nggak apa, Mas. Biasa laki-laki" Aku |
coba bergurau. |
Pemandangan demikian buat tukang pijit |
perempuan memang bukan hal aneh lagi. |
Malah kadang beberapa pria yang sudah |
tak bisa menahan nafsu memegang |
tanganku dan menempelkan pada |
batangannya. Tapi dengan halus aku |
berusaha mengelak. Satu dua kali |
kuremas benda di balik celana dalam itu |
tapi setelah itu kulepaskan lagi. |
"Waktu mijit apa pernah dijahilin laki-laki |
Mbak?" | |
"Kadang-kadang ada sih Mas laki-laki yang |
nakal" | |
"Nakal gimana, Mbak?" |
"Yah, maunya tidak sekedar dipijit tapi juga |
mijit hihihi" |
"Lalu Mbak juga mau hehehe..?" |
"Ah, enggaklah Mas, nggak baik. Takut" |
"Apa ada yang pernah maksa Mbak?" |
"Iya sih, kasar sekali orang itu. Aku dipeluk- |
peluknya Ya aku marah dong" |
"Apa dia sampai meng anu Mbak?" |
"Nggak sampailah, Mas Saya buru-buru |
keluar kamar" |
Pijitanku sampai ke paha Jamal. Mau tak |
mau bagian handuk yang menonjol itu |
selalu terpampang di depan mataku. Malah |
kadang tonjolan itu seperti sengaja |
digerak-gerakkan Jamal. Lebih-lebih |
sewaktu tanganku bergerak di sekitar |
paha dalamnya dan mengenai rambut- |
rambut lebat di situ. |
"Ufhh maaf, ya Mbak terus terang aku jadi |
terangsang lo setiap dipijit Mbak, Adikku |
jadi bangun terus" Jamal berterus terang |
tapi dengan nada bergurau. |
Hal ini membuatku tersenyum. Aku |
percaya pria ini tidak bakal berbuat |
macam-macam, toh sudah tiga kali kupijat |
tanpa kejadian luar biasa. |
"Nggak apa, Mas. Asal bisa menahan diri |
saja. Eh, maaf" tanpa sengaja tanganku |
menyenggol telur dan sebagian penis |
Jamal sehingga pria itu mendesis sambil |
mengangkat pantat dan menegakkan |
adiknya sehingga handuknya tergelincir ke |
arah perut. Batang keras kaku itu segera |
saja membuat mataku agak terbelalak |
karena ukuran panjang dan besarnya |
yang agak luar biasa. Mungkin sekitar 20 |
cm dengan diameter 3 cm. Cepat kututup |
dengan handuk namun bayangan benda |
itu di benakku tak kunjung hilang. |
"Kalau aku nggak bisa nahan diri gimana, |
Mbak?" | |
"Jangan bikin saya takut ah, Mas" Aku |
menekan dada Jamal dan mulai memijat |
ke arah pundak. Mata kami bertatapan |
dan Jamal tersenyum. Aku buru-buru |
menunduk. |
"Sebenarnya Mbak nggak cocok jadi |
tukang pijit lo" |
"Kan sudah saya bilang ini terpaksa Mas, |
karena dagang batik tambah sepi" |
"Eh, Mbak, aku tanya serius nih, tapi maaf |
ya sebelumnya" |
"Tanya apa Mas?" |
"Kalau Mbak lagi mijit laki-laki yang sedang |
terangsang kayak aku gini, apa Mbak |
nggak ikut terangsang?" |
"Ah eh oh Mas ini kok tanya itu sih" |
"Aku serius pingin tahu lho Mbak Soalnya |
Mbak kan juga wanita yang masih butuh |
seks kan? Apalagi Mbak sudah menjanda |
beberapa tahun" |
"Sudah ah Mas, jangan tanya soal itu" |
"Jujur sajalah Mbak Aku nggak yakin Mbak |
sudah mati rasa sama seks. Iya kan?" Aku |
diam saja, cuma pipiku terasa panas. |
Pijatanku di bagian dada jadi melemah dan |
tanganku bergeser turun ke perut Jamal. |
"Iya kan, Mbak?" Mendadak Jamal semakin |
berani dengan memegang kedua tanganku |
yang sedang memijit perutnya. Kuangkat |
kepala dan coba menentang tatapan |
Jamal sambil berusaha menarik |
tangannya. Tapi pegangan Jamal begitu |
kuat, jadi aku pilih diam. |
"Akh aku malu Mas.." |
"Malu kenapa Mbak?" |
"Masak soal gituan dibicarakan sama |
Mas?" | |
"Nggak apa kan Mbak. Kita kan sudah |
sama-sama dewasa." Jamal tetap |
memegangi tangan. Aku diam saja dengan |
wajah menunduk. Pada dasarnya aku |
memang pemalu. |
"Mbak lihat sini dong" |
"Kenapa, Mas?" |
"Terus terang nih ya, aku pingin memeluk |
Mbak, boleh nggak?" |
Aku terjengak mendengar permintaan |
Jamal. Tak mampu bersuara. Perlahan |
Jamal bangun dan duduk mendekatiku, |
dipegangnya punggungku. |
Katanya, "Sudah sejak pertama ketemu |
dulu aku ingin sekali memeluk. Boleh kan, |
Mbak?" | |
Tanpa menunggu jawaban, Jamal semakin |
kuat memeluk punggungku dan menarik ke |
arah dirinya. Aku yang dalam posisi |
bersedeku jadi kurang kuat bertahan |
sehingga mau tak mau tubuhku tertarik |
ke tubuh Jamal. Hanya tanganku saja |
yang coba menahan supaya tubuh tidak |
terhempas ke tubuh Jamal. |
"Jangan, Mas" Tapi aku tak berdaya |
menahan ambruk tubuhku ketika Jamal |
kembali menjatuhkan tubuhnya ke ranjang |
sambil tetap memeluk. Tubuhku menimpa |
tubuhnya yang segera menguncikan |
pelukan ke tubuh sintalku tambah ketat. |
Wajah kami demikian dekat. |
"Aku hanya ingin pelukan begini kok Mbak," |
Jamal berbisik dan ia memang tidak |
melakukan apa-apa lagi selain memeluk |
tubuhku di atasnya. Aku jadi bingung, mau |
berontak atau tidak? |
"Ah, biarkan saja dulu, toh dia tidak |
melakukan apapun selain memeluk" pikirku |
sambil berusaha lebih santai. Toh aku |
pernah mengalami perlakukan lebih kasar |
dari ini. Aku pernah ditindih pria yang |
kupijat dan diremas-remas tetekku. |
Beberapa lagi malah memaksaku |
mengonani sampai pria itu terjelepak |
lemas setelah ejakulasi. Perlakuan Jamal |
yang sekarang ini hanya memelukku |
termasuk lembut. Entah kenapa dengan |
pria ini aku tak banyak memberontak. Apa |
karena aku diperlakukan dengan halus? |
Atau karena aku menyukai Jamal? Atau? |
Ah, tiba-tiba aku merasakan bibirku dingin |
karena menyentuh sesuatu. Kubuka mata |
dan ternyata Jamal tengah mencium |
bibirku. | |
Ufh aku segera menggelengkan kepala |
menghindari bibir Jamal. Namun bibir pria itu |
dengan gigih mengejar, bahkan tangan |
kanannya ikut membantu menahan |
kepalaku hingga tak bisa menggeleng lagi. |
Aku pilih mengatupkan mulut dan mata |
rapat-rapat ketika bibir Jamal |
menggerayangi. Lidah pria itu berupaya |
menerobos masuk, tapi kutahan dengan |
katupan gigi. |
"Buka bibirnya dong, Mbak" bisik Jamal. Aku |
menggeleng sambil berusaha mendorong |
tubuhnya ke atas. Namun Jamal menahan |
tubuhku dengan kuat malah sekarang |
kakinya ikut melibat pahaku dan tubuhnya |
bangun mendorong tubuh kenyalku sampai |
terbalik. Sekarang gantian aku telentang |
sementara tubuh polos Jamal di atasku. |
Bibir Jamal terus memburu bibirku. Dengan |
posisi di bawah ruang gerakku semakin |
sempit. Kecapaian membuat |
perlawananku kendor. |
"Jangan, Mas" bisikku lemah. |
"Nggak apa-apa, Mbak, aku cuma ingin |
ciuman" Desis Jamal sambil bibirnya terus |
memaksa bibirku membuka, sementara |
lidahnya pun menembus katup gigiku. Rasa |
takut, malu, marah dan bingung |
melandaku. Aku takut Jamal memaksa, |
memperkosaku. Aku juga malu karena |
sebagai janda tidak seharusnya |
diperlakukan begini. Aku ingin marah namun |
tak berdaya dibanding tenaga Jamal. Aku |
jadi bingung mau bertindak apa. Dadaku |
yang membusung pun jadi sesak ditindih |
tubuh kekar Jamal. Dengan nafas agak |
memburu, aku akhirnya tak mampu lagi |
mempertahakan katupan gigi. Kubiarkan |
lidah Jamal menerobos menjilati langit- |
langit mulutku. Bibir kami berpagutan |
semakin ketat. Air liur dan ludah pun |
membanjir dan mau tak mau ada yang |
tertelan. Jamal benar-benar menggila |
dengan ciumannya. Sepuluh menit lebih ia |
mencium, menjilat, menyedot lidahku tanpa |
lepas. Akibatnya, aku jadi ikut terbawa |
iramanya. Aku yang janda ini lama- |
kelamaan ikut mengimbangi tingkah Jamal. |
Ya, aku yang melihat Jamal tidak |
melakukan hal lain kecuali mencium, |
akhirnya membalas ciuman hot Jamal. |
"Ah, biarlah, toh Jamal hanya pingin |
berciuman. Tidak lebih" pikirku sambil |
lidahku memasuki rongga mulut Jamal, dan |
mendadak disedot dengan kuat oleh Jamal |
seperti hendak ditelan.aku jadi gelagapan. |
Agak lama barulah Jamal melepaskan |
lidahku, lalu beralih menciumi sekujur |
wajahku. Dari mata, hidung, pipi, dahi, |
telinga, sekitar leher, dagu sampai |
akhirnya balik lagi ke bibir manisku. Selama |
setengah jam lebih aku hanya manda saja |
diciumi pria yang menurutku tidak berniat |
buruk ini. Ya, dibanding pria-pria lain yang |
pernah memaksaku, Jamal tergolong |
lembut. Dan entah kenapa, ada rasa suka |
dengannya. Apa karena kegantengannya, |
apa karena usianya yang masih muda, |
atau karena aku memang butuh sentuhan |
lelaki setelah beberapa tahun ini tak lagi |
kurasakan?
Bahkan, aku hanya mendesah "Jangan, |
mas" ketika merasakan jemari Jamal mulai |
meremasi payudaraku yang masih |
menantang ini. Namun aku tak berusaha |
memberontak. Toh Jamal hanya meremas |
dari luar, pikirku. Sementara bibir pria itu |
terus melumati bibirku. Tangan itu terus |
bergerilya, satu persatu kancing bajuku |
dilepasnya. |
"Jangan, mas" Desisku lagi tanpa menolak |
dengan serius. |
Toh, aku masih pakai BH, pikirku. Ugh, BH |
itupun diremas tangan Jamal berkali-kali. |
Kadang membuatku sakit, namun juga |
memberi rasa lain yang nikmat. Mataku |
malah terpejam erat ketika jemari Jamal |
bergerilya di bawah BH dan menggapai |
putingku. |
"Egh jangan, mas" Aduuh nikmatnya. Toh, |
dia hanya memainkan payudaraku, tak |
apa-apa, pikirku semakin menikmati. Aku |
justru hampir tak merasa ketika baju dan |
behaku sudah dilempar Jamal entah |
kemana. |
Yang terasa kemudian adalah payudaraku |
kiri-kanan bergantian diremas dan dihisap |
Jamal. Digigit-gigit, dikemot, disedot, |
"dimakan", dimainkan putingnya oleh lidah |
yang lihai dan tubuhku semakin tergial-gial |
ketika perut pun ditelusuri lidah berbisa |
Jamal. |
"Aduh, aku tak tahan. Tak apa, toh Jamal |
hanya menjilati perutku" pikirku lagi |
menerima perlakuan nikmat itu. |
Malah tanganku kini ikut meremasi kepala |
Jamal yang terus turun dan turun |
mencapai pusarku. Menjilati pusarku yang |
berlubang kecil, kemudian meluncur turun |
lagi, membuat geli sekaligus nikmat. |
"Jangan, mas" lagi-lagi aku hanya mampu |
mendesiskan kata itu ketika terasa rok |
panjangku perlahan tertarik ke bawah. |
Karet elastis di bagian perut tak mampu |
menahan tarikan itu, apalagi aku berpikir, |
"Biar saja, toh aku masih pakai celana |
dalam" |
Sekarang tinggal segitiga pengaman |
melekati tubuh polosku. Terasa pahaku |
dikangkangkan dan sesuatu terasa |
mengelus-elus daerah vitalku. Sesaat |
kemudian aku kembali merasa tubuhku |
ditindih Jamal yang menekan-nekankan |
penisnya ke CD-ku. Mulut kami berpagutan |
lagi. Tangan Jamal meremas-remas |
payudara lagi. |
"Aduh aku tak tahan lagi" Kubalas |
perlakuannya yang liar dan aku tak |
mampu lagi mendesis, "Jangan, mas" |
ketika dengan cepat tangan Jamal |
menyabet CD hitamku dan melorotkannya |
ke bawah terus melepasnya dari kakiku. |
Lalu sejurus kemudian kurasakan sesuatu |
yang panjang besar memasuki gua |
garbaku. Mula-mula perlahan dan agak |
sulit, menyakitkan. Namun lama-lama |
semakin dalam, lalu semakin cepat dan |
cepat keluar masuk, naik turun. Disertai |
lonjakan-lonjakan tubuh kekar di atasku |
yang memaksa pahaku terkangkang |
selebar-lebarnya. Rasa sakit pun berubah |
jadi nikmat. |
Aku lupa segalanya, tak ingat siapa pria |
yang sedang menyetubuhiku. Jamal, |
salesman keliling, yang katanya berasal |
dari Bandung kubiarkan menyebadani, |
menggauli, menyenggamai, menembus, |
mengocok dan menggumuli tubuhku. Aku |
terlena dan yang ada hanya rasa nikmat |
yang harus kunikmati sepuasnya. |
Mumpung ada kesempatan, mumpung ada |
yang memberi, mumpung aku butuh, |
mumpung aku haus, mumpung ada yang |
memuasiku. Tubuhku masih butuh seks, |
libidoku masih tinggi, bibirku masih butuh |
diciumi, payudaraku butuh disedot-sedot, |
vulvaku butuh penis yang tegar panjang |
perkasa. Aku masih punya nafsu seks |
yang harus dipenuhi. Aku tak mau hidup |
gersang. |
Dan, aku pun masih bisa orgasme ketika |
hunjaman zakar Jamal yang bertubi-tubi |
mencapai klimaks. Genjotan pantatnya |
begitu kuat membuat penis itu terbenam |
dalam-dalam di vulvaku yang sempit. |
Nikmat bertemu nikmat dan jreet jreet |
jreet kurasakan sperma Jamal |
menyemprot, sementara hampir |
bersamaan aku cepat-cepat menggamit |
paha Jamal sambil mengejan |
menumpahkan mani. Tubuh kami |
terkejang-kejang kelojotan sambil |
mengejan menggelegakkan sperma dan |
mani bertubi-tubi. Kedua kelamin kami yang |
bertemu saling berdenyut-denyut, |
meninggalkan kesan mendalam sehingga |
kami lama tidak melepaskannya. Kubiarkan |
burung Jamal itu tetap mendekam di |
sarangku meski lendir membasahi di |
mana-mana. |
"Maaf ya, mbak, aku lupa diri," bisik Jamal. |
Aku diam memejam, nafasku tersengal- |
sengal menahan beban tubuh polos di |
atasku. Sementara penis Jamal masih |
terbenam, aku hanya bisa kangkangkan |
paha dan merasakan denyut-denyutnya |
yang masih tersisa. |
"Mengapa ini terjadi?" |
Aku membatin tak habis mengerti |
bagaimana persetubuhan ini berlangsung |
begitu saja, padahal selama jadi pemijat |
aku selalu menghindarinya. Ya, selama ini |
ada cap bahwa setiap wanita pemijat |
pasti bisa diajak main seks. Aku berusaha |
keras menepis sebutan itu, namun |
akhirnya bobol juga hari ini. Justru dengan |
Jamal, pria yang sudah jadi langganan. |
"Kalau sudah begini, apa bedanya aku |
dengan pelacur?" |
Aku masih terbengong-bengong dengan |
pemikiranku, ketika kembali terasa tubuh |
Jamal menekan-nekanku. Zakar pria itu |
pun kembali membesar panjang |
mengaduk-aduk vulvaku. Ya, ternyata |
Jamal dengan cepat bangkit birahiya lagi |
dan bangunlah "adik"nya yang perkasa itu, |
kembali menikam-nikamku yang perlahan- |
lahan kembali terbawa arus kenikmatan. |
Malah ikut mengerang ketika nikmat |
bersebadan itu menyeruak di vaginaku. |
Tak ingat lagi, apakah aku pelacur atau |
bukan. Yang penting saat ini aku butuh |
nikmat! Persenggamaan pun terulang lagi, |
kali ini malah lebih lama. Hampir satu jam |
Jamal menusuk-nusukku, menghunjamiku |
dengan super torpedonya. Kadang |
pantatku diangkatnya atau aku yang |
mengangkatnya secara refleks karena |
terbawa nikmat tiada tara setelah |
beberapa tahun aku tak merasakannya. |
Sepertinya aku ingin memuntahkan seluruh |
kerinduan persetubuhan. |
Aku kembali menggapit paha Jamal, ini kali |
yang ketiga aku orgasme. Tubuhku |
mengejang terlonjak-lonjak. Jamal sendiri |
memang tahan lama dan baru beberapa |
menit kemudian melenguh mengeluarkan |
energi terakhirnya menyemprotkan |
sperma. Sampai kurasakan hangat cairan |
itu memasuki perut. Kami benar-benar |
habis-habisan. Untuk berdiri pun harus |
menunggu beberapa menit setelah deru |
nafas mereda. |
Jam enam kurang sedikit kutinggalkan |
hotel Melati. Jalanku seperti melayang, tak |
peduli dua lembar ratusan ribu yang baru |
saja masuk ke dompet, pemberian Jamal. |
Aku tak bisa menolak, tapi "Semoga Jamal |
tidak menganggapku pelacur murahan" |
pikirku. |
"Kami melakukannya suka sama suka" |
Kupanggil becak untuk mengantar ke |
rumah. |
Itulah yang menjadi awal kisahku |
selanjutnya yang lebih mengejutkan |
karena aku kemudian terperosok ke |
jurang perzinahan yang lebih dalam |
dengan orang-orang yang semestinya |
kupeluk dengan kasih sayang. Namun, |
sebaliknya, justru merekalah yang |
akhirnya memelukku dengan nafsu. |
***** |
"Sampai malam begini, Laris bu?" sambut |
Bari, bungsuku yang kelas 3 SMU, ketika |
aku tiba di rumah. |
"Lumayan" jawabku. |
"Ini Ibu bawakan gorengan" kuberikan |
sebungkus makanan lalu terus berjalan ke |
kamar. |
Banu, kakak Bari, mengangkat bungkusan |
batikku dan menaruhnya di atas lemari. Ia |
sudah empat bulan ini dipehaka dari pabrik |
sepatu di Tangerang bersama Basuki |
kakaknya. Jadilah tiga pemuda tanggung |
anakku sekarang jadi pengangguran dan |
kembali bergantung padaku di rumah. Ya, |
semuanya terjadi gara-gara krisis di |
negeri ini. Banyak perusahaan gulung tikar, |
pehaka terjadi dimana-mana. Cari |
pekerjaan pengganti juga sulit bukan main. |
Mau usaha sendiri, tak ada modal. Hanya |
kadang mereka jadi makelar jual-beli |
motor tapi inipun hasilnya cuma cukup |
buat jajan. |
Seusai mandi dan makan, aku ingin cepat- |
cepat tidur. Tubuh cape sekali setelah tadi |
bertempur habis-habisan dengan Jamal di |
Hotel Melati. |
"Ibu tidur dulu ya" kataku pada ketiga |
anakku yang sedang asyik main kartu. |
Aku masuk ke kamar belakang. Rumah itu |
memang hanya memiliki dua kamar. Sejak |
dua anakku dipehaka maka satu kamar |
depan untuk Banu dan Basuki dan |
satunya di belakang untukku dan Bari. |
Kumatikan lampu lalu kubaringkan diri |
melepas penat. |
Bayangan pergumulanku dengan Jamal |
ternyata tak kunjung hilang dari benak. |
Setengahnya ada rasa penyesalan, |
namun sebagian lain justru rasa nikmat itu |
terus bergelenyar di dadaku, di peruku, di |
kulitku, di vulvaku. Tak lama kemudian aku |
pun terlelap, ada seulas senyum di bibirku. |
Akankah di mimpi aku berjumpa Jamal |
lagi? |
Ya, ternyata harapanku jadi kenyataan. |
Jamal muncul lagi di mimpiku. Kami |
bercumbu bagai sepasang kekasih yang |
lama tak bertemu. Tubuh telanjangku |
dibaringkannya di ranjang, kemudian dia |
merangkak di atasku. Menjilati sekujur |
tubuh dari perut naik terus hingga bibirku |
dan akhirnya agh, terasa sesuatu |
menusuk bawah perutku dengan keras |
dan tubuhku ditekannya dengan keras. |
Tubuhnya terasa semakin berat, berat, |
berat dan argghh! |
Aku terbangun, dan.. mendapati sesosok |
tubuh sedang menindihku. Kurasakan |
selangkanganku telah ngangkang dan |
sesuatu memasukinya. Kubuka mata |
memperhatikan dan dalam sinar lampu |
yang masuk dari ventilasi terlihat Bari |
sedang menyetubuhiku! Gila!! |
"Bar! Bari! Ini aku, ibumu, Bar!" protesku |
pada bungsuku yang masih 18 tahun |
sambil mendorong tubuhnya sampai |
terjengkang ke luar ranjang. Sekilas |
terasa penisnya yang tegang keluar dari |
vaginaku. Aku segera duduk di ranjang |
dan kututup tubuh telanjangku dengan |
selimut sambil memperhatikan Bari yang |
nampak ketakutan. |
"Kenapa kau lakukan ini, Bar?" tanyaku |
emosi. |
"Ttt ta tadi Ibu sendiri yang mulai" |
"Apa? Ibu yang mulai?!" aku tambah sewot |
tapi tidak berani teriak keras-keras takut |
dua anakku yang lain terbangun. |
"Bukankah Ibu tadi sudah tidur?" |
"I..iya Bu tapi Ibu seperti mengigau lalu |
memelukku" bisik Bari. |
Aku yang mendengar penjelasannya jadi |
mendelong. Sekilas aku ingat mimpiku |
bersama Jamal. |
"Ibu terus memelukku dan ak aku jadi |
terangsang, bu.." Bari terus terang sambil |
menunduk. Sementara aku masih |
bertanya-tanya benarkah itu? |
"Ceritakan apa yang sudah kulakukan |
padamu, Bar?" Sambil kutarik tangannya |
ke atas ranjang. Bari menurut sambil |
menutupi penisnya dengan sarungnya. |
Kududukkan ia di sebelahku. |
"Waktu aku tidur, kudengar Ibu mengigau |
seperti orang gelisah dan tubuh Ibu |
bergerak-gerak. Lalu mendadak Ibu |
memelukku dan" Bari diam, aku pingin tahu |
kelanjutannya. |
"Lalu?" |
"Ibu menciumi aku" |
"Apa benar?" |
"Sumpah, bu." Jawabnya, membuatku jadi |
salah tingkah. |
"Sebenarnya aku sudah berusaha |
membangunkan Ibu tapi gagal. Malah aku |
jadi terangsang Apalagi daster Ibu juga |
tak karuan lagi letaknya sampai paha Ibu |
terbuka" |
"Aku tambah terangsang waktu |
tersenggol payudara Ibu berkali-kali dan |
terangsang untuk meremasnya Aku |
tambah berani ketika Ibu hanya mendesis |
waktu kuremas, sampai akhirnya pelan- |
pelan, maaf, Ibu kutelanjangi. Maaf Bu, |
nafsuku, sudah sampai ke kepala sampai |
aku menyetubuhi Ibu" cerita Bari sambil |
menunduk. |
Aku terdiam, tak percaya apa yang |
kulakukan di dalam mimpi ternyata jadi |
kenyataan. Sialnya, aku telah bersetubuh |
dengan darah dagingku sendiri. Akhirnya |
akupun menerima penjelasan Bari. |
"Baiklah, Bari. Ini jadi rahasia kita berdua |
saja. Sekarang tidurlah kembali," pesanku. |
Bari segera melingkar di bawah |
sarungnya. |
Akupun kembali berbaring sambil |
berselimut. Kami berdiam diri saling |
memunggungi. Begitu mengejutkan |
peristiwa tadi sampai aku tak ingat untuk |
memakai dasterku lagi yang entah |
dilempar kemana. Begitu pula Bari hanya |
bertelanjang di dalam sarungnya. Namun |
rasa capai mempercepat tidurku. Dan, |
mungkin, inilah salahku karena |
menganggap sepele peristiwa ini. Aku |
menganggap ini peristiwa kecil dan sudah |
berakhir, namun tidak demikian dengan |
Bari. Pemuda tanggung ini ternyata tetap |
memendam hasrat. Kuceritakan yang |
berikut ini berdasarkan pengakuannya |
setelah segala sesuatunya terjadi. |
Malam masih panjang. Aku telah tidur |
kembali. Sementara itu, Bari justru tetap |
nyalang matanya. Tak ada lagi kantuk di |
benaknya. Yang ada justru ingatan |
bagaimana tadi dia baru saja menyetubuhi |
ibunya. Sayang, belum tuntas. Namun, |
kesempatan itu kayaknya masih terbuka, |
karena tubuh yang barusan digelutinya itu |
masih tergolek di sisinya. Telanjang dan |
hanya berselimut lurik. Andai saja selimut |
itu bisa dilepas, pasti bisa tuntas |
hasratku, pikir Bari. |
Setelah terdengar dengkur halus ibunya, |
Bari mulai berani membalikkan tubuhnya |
sampai telentang. Diliriknya tubuh di |
samping kirinya dan tubuh Bari bergetar |
ketika melihat sebagian punggung atas |
ibunya tidak tertutup selimut. Sementara |
kain sarungnya sendiri yang hanya |
menutupi sekitar perut dan paha tak |
mampu menyembunyikan gejolak syahwat |
yang membuat zakarnya tegang berdiri. |
Dengan tak sabar dilemparnya sarung ke |
bawah ranjang hingga dirinya bugil, lalu |
perlahan berguling lagi sampai ia kini |
menghadap punggung ibunya. Didekatinya |
tubuh bungkuk udang ibunya dari belakang |
sampai bau wanita itu tercium kian |
merangsangnya.
Ingatannya saat bagaimana dia meremas |
tetek ibunya tadi membuatnya berani |
menarik ke bawah selimut yang menutupi |
punggung mulus itu. Perlahan punggung itu |
sekarang terbuka sampai ke pinggang dan |
otomatis pasti bagian depannya pun |
terbuka polos pula. Teringat bagaimana |
tadi ia memeluk ibunya, perlahan Bari |
melingkarkan tangan memeluk ibunya dan |
merapatkan zakar ke pantatnya. Kulit |
dadanya bertemu kulit punggung ibunya, |
tangan kanannya memeluk perut ibunya |
dan perlahan jemarinya merambat ke |
atas. Menggapai dua gunung kembar yang |
membusung itu. |
Sementara itu kaki Bari tak tinggal diam |
membantu menarik selimut ibunya ke |
bawah. Terus ke bawah sampai paha- |
paha mulus gempal itu tak tertutup lagi. |
Maka bugillah kedua ibu dan anak itu. Tidur |
berdekapan. Satu terlelap, satunya |
bernafsu. |
Tak sabar, Bari mulai mengelus dan |
meremas pelan payudara montok mulus |
itu. Tangannya agak gemetar ketika |
menyentuh puting dengan ibu jari dan |
telunjuknya. Ditempelkan zakar ke pantat |
ibunya yang cukup besar. Dibiarkannya |
posisi itu bertahan hampir 30 menit. Dan |
ketika ibunya tetap lelap tertidur, Bari |
semakin berani. Sambil pura-pura |
menggeliat, perlahan ditariknya bahu dan |
paha ibunya sampai tubuh wanita itu |
telentang. Kemudian dengan penuh nafsu |
buah dada yang menggunduk itu dijilatinya. |
Dikuaknya selangkangan si ibu lalu |
perlahan mengarahkan zakar ke gua |
nikmat itu. Tak mau gegabah dan terlalu |
kasar seperti tadi, kini Bari melakukannya |
dengan halus. |
"Bleess" ditancapkan zakar dalam-dalam |
ke vagina ibunya lalu pantatnya diam. |
Tidak menekan terlalu keras. Malah |
lidahnya mulai menyusuri tetek dan dada |
ibunya sampai mencapai bibir dan |
menciuminya sambil tangannya meremasi |
susu montok itu. Aneh benar, Surti, ibunya, |
tetap tertidur, seolah tak merasakan |
apa-apa. Mungkin ia terlalu penat karena |
cape bergelut dengan Jamal tadi siang |
dan tidur yang terpotong barusan. |
"Eeehhghh.." Surti mendesis lirih ketika lidah |
Bari memasuki mulutnya, namun matanya |
tetap terpejam. Hanya tubuhnya saja |
bergeser kecil dan Bari memberinya ruang |
dengan sedikit mengangkat badannya |
sehingga tidak terlalu memberati Surti. |
Setelah ibunya tenang, kembali Bari |
menumpangkan badan di atas tubuh bugil |
Surti. Perlahan ia mulai memompakan |
zakarnya. |
"Shleeb.. shlebb.. jleeb.. jleebb.." berhenti lalu |
sambil menekankan zakarnya di kemutnya |
puting Surti. |
"Egghh eggh..," desis Surti sambil |
menggerakkan tubuhnya sedikit namun |
tetap tidur. |
Anehnya lagi, Bari merasa zakarnya |
seperti ada yang menghisap-hisap. |
Nikmaat dan membuatnya cepat |
mencapai puncak. Buru-buru Bari |
memompa lagi cepat-cepat, dan kini ia tak |
peduli kalau ibunya bakal bangun karena |
gerakan kasarnya. |
"Heeh.. heeh.. heeh.." nafas Bari memburu |
ketika ia menggerakkan pantatnya |
dengan gencar naik turun keluar masuk |
menusuk-nusuk lahan Surti sambil |
memeluki ketat tubuh ibunya itu dan |
mencium ketat bibirnya yang |
menggairahkan. Otomatis diperlakukan |
demikian Surti terbangun, namun |
terlambat Dalam keadaan belum sadar |
benar, mendadak Surti merasakan tubuh |
di atasnya mengejang-ngejang belasan |
kali dan terasa semprotan-semprotan |
sperma di rahimnya. Barulah tubuh itu |
terjelepak layu menindihnya. |
Surti segera mendorong tubuh itu dan ia |
segera sadar bahwa Bari telah berhasil |
menuntaskan nafsu di atas tubuhnya. |
"Ooh Bari.. Bari kenapa kamu tega menodai |
ibu?" ratap Surti sambil menangis dan |
memukuli tubuh Bari yang hanya diam |
membisu memunggunginya. Beruntung |
suasana kamar gelap sehingga mereka |
tidak dapat melihat kondisi masing-masing. |
Bayangkan betapa malu bila mereka saling |
bertatapan mata. |
"Ma.. maafkan saya, bu. Sss..saya benar- |
benar khilaf tidak bisa menahan nafsu" |
jawab Bari lirih. Pelan ia berbalik dan |
menyelimuti tubuh telanjang Surti. |
Kemudian turun dari ranjang, memakai |
sarungnya dan melangkah keluar kamar. |
Dicarinya air dingin di dapur. |
Surti sendiri dalam isak tangisnya kembali |
merebahkan diri. Tak tahu harus berbuat |
apa pada anak bungsunya itu. Mau |
dimarahi? Toh ini sudah terlanjur terjadi. |
Mau diusir dari rumah? Ia tak tega. Ia |
menyesali dirinya telah tertidur begitu |
pulas sampai tak merasa sedang |
disetubuhi anak kandungnya sendiri. |
Kenapa ia tadi begitu ceroboh dan |
menganggap sepele kejadian perkosaan |
yang pertama? Sampai tak |
memperhitungkan bahwa Bari ternyata |
nafsunya tetap berkobar-kobar. Pemuda |
seumur Bari memang sedang panas- |
panasnya. Nafsunya cepat naik. Apakah |
sebaiknya mereka tidak tidur seranjang? |
Bari biar tidur dengan kakaknya saja. Tapi |
ranjang kamar depan terlalu sempit untuk |
bertiga. Apakah ia perlu tukar tempat |
dengan Banu? |
Namun setelah memikirkan bahwa Banu |
pun mungkin juga akan terangsang |
nafsunya bila tidur bersamanya (ini |
nampak dari bahasa tubuh Banu dan |
Basuki, si sulung, yang selama dirantau |
menurut dugaan Surti pasti pernah |
berhubungan dengan wanita) maka Surti |
memutuskan tetap tidur sekamar dengan |
Bari. Biarlah kejadian ini hanya kami berdua |
yang tahu, pikirnya. Setengahnya ia juga |
menyalahkan diri karena telah |
merangsang Bari secara tak sengaja |
ketika tadi mimpi bersetubuh dengan |
Jamal. |
Sambil merenung-renung kejadian yang |
menimpa dirinya dan Bari, Surti mulai bisa |
memaklumi tindakan Bari. Ternyata anak |
bungsuku sudah dewasa dan mampu |
melakukan kewajibannya sebagai lelaki, |
bathinnya. Perlahan mata Surti kembali |
terkantuk-kantuk. Masih sekitar jam 2 dini |
hari. Sementara itu Bari yang usai minum |
air dingin duduk melamun di dapur, |
mengenang apa yang baru saja dilakukan |
atas tubuh ibunya. Barusan ia juga telah |
mencuci zakarnya dengan air dingin |
sampai benda lunak itu mengkerut lagi. |
Rasa kantuk yang menyerang |
membuatnya beranjak kembali ke kamar |
tidur. |
"Biarlah kalau ibu mau marah lagi," pikirnya |
pasrah. |
Perlahan Bari membuka pintu, masuk lalu |
menutupnya lagi. Ternyata Surti telah |
tidur kembali. Kali ini ia malah telentang dan |
lagi-lagi hanya berselimut lurik. Bari |
mengambil sedikit tempat di pinggir untuk |
merebahkan tubuhnya. Sekilas diliriknya |
wajah ibunya dalam gelap, hanya nampak |
siluet wajah seorang wanita yang belum |
tua benar. Namun tetap menarik. |
Bari coba memejamkan mata dan tidur. |
Tanpa sadar ternyata ia juga tidur hanya |
berbalut sarung yang melingkari bagian |
perut ke bawah.Cukup lama pemuda |
tanggung ini berusaha tidur sewaktu |
tanpa diduga Surti mengerang dan |
menggeliat ke arah dirinya. Bari gelagapan |
ketika tangan Surti justru memeluknya. |
Dan tubuh Bari kembali berdesir karena |
dada montok ibunya menekan dadanya |
meski masih terhalang selimut. Ini |
merupakan rangsangan hebat buat Bari, |
namun ia tak mau gegabah seperti tadi. Ia |
tak mau kejadian tadi terulang. Maka ia |
harus mampu menahan nafsunya. Kami |
boleh pelukan tapi zakarku tak boleh |
tegang, bathinnya. Dengan prinsip itu |
akhirnya Bari memberanikan diri balas |
memeluk ibunya. Malah lebih dari itu, lagi-lagi |
Bari melempar sarungnya yang |
mengganggu gerakan paha dan kakinya |
sampai bugil. Perlahan ia masuk ke dalam |
selimut ibunya dan balas memeluk tubuh |
bugil montok semok itu. Ibu dan anak itu |
pun tidur berpelukan. Kali ini Bari hanya |
menempelkan zakarnya di paha Surti dan |
bertahan sekuat tenaga supaya tidak |
ereksi. Beruntung matanya terasa sangat |
berat sehingga tak lama kemudian ia pun |
tertidur berpelukan dengan ibunya. |
Udara panas dini hari itu membuat tubuh |
mereka berkeringat. Sekitar pukul empat |
pagi, seperti kebiasaannya, Surti |
terbangun. Lagi-lagi ia hampir terkejut |
mendapati dirinya telanjang berpelukan |
dengan Bari yang bugil. Selimutnya tak |
cukup lebar menutupi tubuh mereka |
berdua hingga yang tertutup praktis |
hanya sekitar pinggul saja, sedangkan |
bagian lain benar-benar terbuka. Surti ingin |
mendorong tubuh Bari, namun ia segera |
menyadari bahwa Bari saat itu sedang |
tidur nyenyak. Ia jadi tak tega sehingga |
dibiarkannya posisi tubuhnya yang |
telentang sementara Bari menindih sambil |
memelukkan tangan dan satu kakinya |
berada di sela-sela paha Surti. Surti agak |
tenang karena tidak merasakan zakar |
Bari ereksi. |
Yang menggelisahkan justru tangan Bari |
yang menelangkupi buah dada kirinya |
serta ketelanjangan mereka. |
Bagaimanapun ia masih normal dan |
gesekan kulit dengan kulit demikian malah |
menimbulkan rangsangan yang perlahan |
menggelitikinya syahwatnya. Surti semakin |
tak tahan dan berusaha menggeser |
tangan serta menjauhkan tubuh Bari |
perlahan agar ia tak bangun. |
"Eee," terdengar suara erangan Bari yang |
merasa tidurnya terganggu. |
Ia malah tak mau melepaskan pelukannya, |
justru sedikit meremas buah dada Surti, |
membuat Surti mendesis. |
"Bari, lepaskan Ibu mau bangun" bisik Surti |
ke telinga Bari sambil mendorong lebih |
kuat. |
"Eee.. sebentar, Bu" desis Bari sambil |
mempererat pelukannya, menaikkan |
tubuhnya dan mengulum puting Surti. |
"Sudahlah, Bari jangan diulang kejadian |
semalam" Surti menjangkau kepala Bari |
sambil menggigit bibir menahan gejolak |
syahwat yang berputar di pusarnya. |
"Ibu tidak marah?" desis Bari lagi dengan |
mata masih setengah terpejam. |
"Tidak, Bar sekarang sudahlah, nanti kamu |
terangsang lagi" Perlahan Bari menggeser |
tubuhnya menjauhi ibunya. Ia melanjutkan |
tidurnya, sementara Surti segera bangun, |
mencari dasternya yang tercecer di lantai |
dan mengenakannya sebelum beranjak |
keluar kamar. Sekilas diliriknya tubuh bugil |
Bari. |
"Ia ternyata sudah dewasa" bathinnya. |
Dan, sejak itulah saat-saat tidur bersama |
seranjang dengan Bari mulai memasuki |
babak baru. Surti tak mampu menolak |
manakala Bari dengan manja memeluknya, |
menindihnya, bahkan dengan nakal |
meremasi teteknya atau malah memaksa |
Surti membuka dasternya dan menetek |
seperti anak kecil. Bagi Surti sendiri |
pelukan, tindihan, kuluman dan hisapan- |
hisapan Bari di sekujur tubuh dan buah |
dadanya sungguh merupakan rangsangan |
yang sulit dihindari. Ia tak mampu menolak |
itu semua, bahkan seolah memberi izin Bari |
melakukannya setiap malam. Ya, setiap |
malam kini ia harus menerima perlakukan |
seksual Bari yang tak kenal lelah. Pemuda |
tanggung yang tengah panas-panasnya ini |
seperti mendapat mainan baru yang |
menggairahkan. |
Kini Bari tak segan lagi bertelanjang di |
depan ibunya, bahkan seringkali ia ikut |
menelanjangi Surti hingga hanya tersisa |
CD. Bari tak segan lagi menyuruh Surti |
memegang zakarnya dan mengocoknya. |
Sementara tangannya sibuk memerah |
tetek Surti bahkan tak jarang coba |
mengelus-elus lubang nikmat Surti meski |
dari luar CD. Merasa sudah kepalang |
basah, Surti pun menikmati permainan |
seksual itu meski ia masih menjaga agar |
gua garbanya tak lagi ditembus zakar |
Bari. Ia menjepit zakar Bari dengan |
pahanya dan membiarkan sperma perjaka |
itu muncrat di luar atau di perutnya. |
Bahkan akhirnya Bari memaksa Surti |
mengulum zakar tegang itu dan menerima |
muntahan lahar panas. Mula-mula |
dimuntahkannya tapi lama-lama justru |
dinikmati dan ditelannya. Ibu dan anak ini |
akhirnya saling belajar memuasi dan |
dipuasi. |
Tak tahan, Surti mulai mengajari Bari |
memuasi dirinya pakai tangan dan |
akhirnya pakai lidah. Bari yang semula jijik, |
lama-lama terbiasa juga menjilati lubang |
sempit bergelambir milik Surti. Biji kelentit |
dan daerah G-spot merupakan |
kenikmatan tersendiri bagi Surti. Sampai ia |
kadang orgasme. Mereka berdua |
kemudian malah setiap malam tidur |
telanjang berpelukan, dan akhirnya Surti |
juga mengizinkan Bari menancapkan |
zakar ke vaginanya. Bari sudah cukup bisa |
menahan diri untuk tidak mengeluarkan |
sperma di dalam vagina Surti setelah |
diberitahu kemungkinan kehamilan bila |
spermanya masuk ke rahim. Ya, selama |
beberapa minggu, tanpa sepengetahuan |
siapapun, mereka bagai dua pengantin |
baru yang asyik dilanda nafsu. Berpacu |
mengumbar birahi, tak peduli merupakan |
hubungan incest. Bari yang masih muda |
begitu semangat dengan kegiatan seksual |
mereka sementara Surti yang sudah lama |
tidak merasakan belaian laki-laki ingin |
kerinduannya dipuasi. Nafsunya belum |
padam. Berbagai gaya mereka lakukan, |
dari yang konvensional sampai gaya anjing |
kawin, 69, sambil duduk berhadapan atau |
Surti di pangkuan Bari dan seterusnya. |
Pokoknya nikmat dan uenaak tenaan..
Sampai di suatu pagi sekitar jam 6 pagi |
Surti merasa tubuhnya sedang |
digerayangi Bari, padahal ia merasa masih |
sangat mengantuk setelah semalaman |
bertempur seru sampai dini hari. |
Dibiarkannya Bari merenggangkan |
pahanya dan untuk kesekian kalinya |
menelusupkan zakar tegangnya lalu mulai |
mengocoknya. Keras, cepat dan semakin |
cepat seperti terburu-buru Bari mengayun |
pantatnya. Ia ingin menyalurkan nafsunya |
yang muncul di pagi hari, sementara jam |
tujuh ia juga harus masuk sekolah. |
Genjotan Bari yang sedemikian keras |
lambat laun juga merangsang Surti |
menggapai nikmat di pagi itu. Sayangnya |
selagi Surti baru mencapai tahap |
pemanasan, mendadak tubuh Bari sudah |
terkejang-kejang lalu buru-buru ia |
mencabut penisnya dari lubang nikmat |
ibunya serta merta menyemprotkan |
sperma dengan deras ke perut ibunya. |
Disusul mengoser-oserkan zakar tegang |
itu ke seluruh dada hingga berakhir di |
jepitan tetek Surti. |
Vagina Surti masih berdenyut-denyut ingin |
dipuasi ketika Bari sudah meloncat keluar |
kamar untuk bersiap ke sekolah. Tinggallah |
Surti sendiri kecewa sambil mengelus-elus |
vagina dan meremasi teteknya sendiri. |
Nafsunya belum tuntas! Bari egois, hanya |
mau memuasi dirinya saja, tak peduli |
ibunya kelojotan menahan nafsu. Baru |
sekitar jam tujuh pagi Surti bangkit |
mengelap noda-noda di badan dengan CD- |
nya lalu mengenakan dasternya dan |
merapikan ranjang yang hampir tiap hari |
harus ganti sprei karena penuh bercak |
sperma dan mani mereka. Dibawanya |
sprei dan pakaian kotor ke tempat cucian, |
direndamnya dan ditaburi deterjen bubuk. |
Terdengar ada yang sedang mandi, pasti |
Banu pikir Surti. Banu, kakak Bari, |
termasuk rajin cari tambahan penghasilan. |
Meski kadang pulang dengan tangan |
hampa tapi ia selalu rajin bangun pagi, |
mandi lalu pergi entah kemana. Cari |
obyekan, katanya setiap ditanya. |
Pintu kamar mandi terbuka, Banu muncul. |
"Mau kemana Nu?" tanya Surti. |
"Cari motor, Bu. Kemarin ada teman cari |
motor bekas yang murah-murahan. Moga- |
moga motor Pak Panut belum dijual." |
"Rumah Pak Panut agak masuk ke desa |
kan?" |
"Iya, Bu, saya tahu. Paling nanti sampai |
sore baru pulang" |
Sementara Surti menjemur pakaian, |
terdengar Banu pamit mau pergi. |
"Saya pergi ya, Bu!" serunya. |
"Ati-ati ya Eh, Basuki dimana?" |
"Biasa, belum bangun, Bu" jawab Banu |
sambil keluar rumah. Pintu rumah |
ditutupnya. Selesai menjemur pakaian, |
Surti lalu mandi, dicucinya sekalian daster |
yang dipakainya. Seusai mandi ia hanya |
berbalut handuk menutupi payudara |
hingga pahanya, menjemur pakaiannya. |
Melangkah masuk ke rumah, dilihatnya |
Basuki duduk bersarung dan telanjang |
dada di kursi makan, melamun. |
Pandangannya kosong. Surti kasihan juga |
melihat sulungnya yang 25 tahun itu tak |
juga kunjung bekerja lagi. |
"Sudahlah Bas, jangan melamun terus" |
bujuk Surti sambil mengambilkan segelas |
teh. |
Diangsurkannya teh itu kepada Basuki, |
kemudian dijangkaunya kepala Basuki dan |
dielus-elusnya seperti kebiasaannya waktu |
kecil dulu. Basuki memejamkan mata dan |
mendadak tubuhnya seperti menggigil. |
"Kamu kenapa Bas?" tanya Surti heran |
melihat putranya. |
Dan lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba |
Basuki bangkit dan berbalik memeluki |
dirinya seperti orang kesetanan. |
"Bu.. tolong aku.. Bu" desisnya membuat |
Surti tambah panik. |
"Bas, Bas! Kamu kenapa?" Surti bingung |
dan berusaha melepaskan diri. |
Tapi tenaga dan tubuhnya yang hanya |
setinggi pundak Basuki tak mampu |
menahan ketika perlahan namun pasti |
Basuki mendorongnya ke kamar. Bahkan |
pergulatan mereka serta gesekan dengan |
kulit dada Basuki membuat handuknya |
terlepas dan sarung Basuki melorot. Surti |
geragapan ketika tubuh bugilnya diangkat |
Basuki ke atas ranjang dan digeluti. |
"Bas! Bas! Gila kamu.. ini aku ibumu!" Surti |
terus berontak sambil mendorong dan |
memukuli. Namun Basuki terus |
menggelutinya. |
"Bu tolong Bu, aku pingin sekali aku butuh." |
dan sadarlah Surti bahwa saat itu Basuki |
sedang dilanda birahi. Ia pasti pernah |
merasakan tubuh wanita dan sekarang, |
setelah lama puasa, butuh penyaluran. |
"Apakah aku harus memenuhi |
hasratnya?" pikir Surti cepat. |
"Bas Bas jangan Ibu kau jadikan |
pelampiasan Ugh" Surti tak menyelesaikan |
kata-katanya karena putingnya dihisap |
keras sementara tangan Basuki |
menggosok-gosok dan memasukkan |
jemari ke vaginanya dengan ganas. |
Mengaduk-aduknya. Surti tergerinjal, |
nafsunya yang tadi belum dituntaskan |
Bari kembali bangkit. |
"Ah, kenapa lagi-lagi aku dinodai anakku?" |
jerit hati Surti. |
Tenaganya melemah. |
"Bas egh jangan Bas," lemah suara Surti |
ketika melihat zakar Basuki tegang |
panjang memerah dengan urat-urat |
kehitaman di sekelilingnya. |
"Aku tidak tahan lagi, Bu" Basuki |
menempatkan pantatnya di antara paha |
Surti, mengarahkan pedang tumpulnya ke |
lubang nikmat ibunya lalu. |
"Sleepp sleep bless bless" Surti sampai |
terangkat pantatnya ketika zakar |
panjang nan tegar milik Basuki mencapai |
rahimnya dan menyentuh-nyentuh pusat |
kenikmatannya. Kemudian dengan cepat |
menusuk-nusuk dan memompanya |
bertubi-tubi. |
"Shh shh sudah Bas.. cukup stop Ibu nggak |
tahan" bibir Surti bergumam menolak tapi |
entah kenapa tangannya justru |
merangkul erat leher Basuki dan membuka |
pahanya semakin lebar. Basuki tak peduli, |
terus bergoyang dan bergerak naik turun. |
"Hshh hshh cukup Bas jangan kamu |
keluarkan spermamu di dalam Ibu bisa |
hamil" Surti semakin terhanyut oleh |
gerakan Basuki yang jauh lebih lihai |
dibanding Bari. |
Tanpa sadar ia mulai mengimbangi dengan |
putaran pantatnya Basuki sendiri seperti |
tak mendengar suara Surti dan benar |
saja beberapa menit kemudian, dengan |
zakar tetap menancap, tubuhnya mulai |
terkejang-kejang berkejat-kejat lalu |
"croott croott.." bersamaan dengan |
tekanan pantat ke vagina ibunya sekeras- |
kerasnya muncratlah sperma membanjiri |
rahim Surti. Gilanya Surti justru |
menggapitkan pahanya erat-erat ke |
pantat Basuki serta memeluk |
punggungnya erat-erat dan maninya pun |
mengalir deras. Basuki ejakulasi. Surti |
orgasme. Bareng. |
Sejurus kemudian dua tubuh layu yang |
berpelukan erat itu saling melepaskan diri. |
Terjelepak kelelahan, terbaring telentang. |
Dada mereka naik turun ngos-ngosan. |
Masing-masing dengan pikiran melayang- |
layang. Basuki dengan kesadaran sudah |
menyetubuhi Ibu kandungnya dengan |
nafsu sebagaimana ia dulu sering salurkan |
ke wanita bayaran. Sementara Surti |
sadar bahwa lagi-lagi ia telah bersetubuh |
dengan anak kandungnya. Lagi-lagi ia jadi |
pelampiasan nafsu anaknya. Tapi |
bukankah ia juga ikut menikmati lampiasan |
nafsu itu? Malah seperti membuka pintu |
kesempatan untuk terjadinya seks incest |
itu? |
"Kamu sudah puas, Bas?" tanya Surti |
berusaha tegar, "kalau belum cepat |
lampiaskan lagi hasratmu ke tubuh Ibumu |
ini biar tuntas sekalian biar kamu tidak |
melamun yang tidak-tidak lagi" entah |
keberanian dari mana Surti mengucapkan |
tantangan ini. |
Tentu saja Basuki terkejut. Perlahan ia |
memiringkan tubuhnya dan dipandanginya |
wajah wanita setengah baya yang adalah |
Ibu kandungnya itu. Wanita yang tubuhnya |
bugil telentang itu matanya terpejam. |
Mengingatkan Basuki pada seorang |
wanita sebaya yang dulu pertama kali |
merenggut perjakanya di rantau. Ya, |
Basuki ingat benar bagaimana ia melepas |
perjakanya di atas tubuh istri majikannya |
yang kesepian karena sering ditinggal |
suaminya pergi bisnis. Beberapa bulan |
mereka berhubungan. Dan entah kenapa |
sejak itu Basuki selalu menyukai |
berhubungan badan dengan wanita yang |
lebih tua, baik wanita bayaran atau yang |
sekedar cari teman bersebadan. |
Kini, setelah berbulan-bulan puasa, Basuki |
tak tahan untuk meletupkan hasrat |
syahwatnya. Untuk mencari wanita |
bayaran ia tak lagi punya modal, untuk |
mencari istri-istri kesepian tak lagi |
semudah di kota besar dulu. Akhirnya |
diam-diam ia memendam hasrat nafsu |
pada Surti, yang semula ditahan-tahannya |
karena bagaimanapun dia adalah Ibu |
kandungnya. Namun bendungan itu jebol |
pagi ini ketika nafsu telah merasuk sampai |
di ubun-ubun Basuki dan kesempatan |
terbuka manakala rumah sepi dan Surti |
seperti menantangnya dengan hanya |
berbalut handuk. Sama seperti wanita |
yang dulu memperjakainya juga hanya |
berbalut handuk ketika menyeretnya ke |
ranjang nikmat. |
Demi mendengar tantangan ibunya, |
percaya nggak percaya Basuki |
mendekatkan wajah ke muka Surti. |
Namun mata Surti terus terpejam, seolah |
menanti aksi Basuki selanjutnya. |
Pandangan Basuki menyapu seluruh |
wajah lalu menurun ke payudara montok |
meski agak kendor, perut yang masih |
langsing lalu bukit rimbun di bawahnya |
yang masih tersisa lengket cairan mereka |
tadi. Antara sadar dan tidak Basuki |
menggerayangkan tangan ke sekujur |
tubuh ibunya. Tubuh Surti jadi merinding. |
Digigitnya bibir bawah, coba bertahan dari |
rangsangan itu. Namun sulit sekali, terlebih |
manakala Basuki dengan piawainya mulai |
menggunakan lidahnya menggantikan |
tangan. Seperti lintah, lidah itu bergerak |
menelusuri wajah, leher, payudara, perut, |
pusar hingga akhirnya bermuara di |
kerimbunan semak-semak lebat Surti. |
Dikangkangkannya paha Surti lalu. dengan |
ganas lidah Basuki menyapu, menelusup |
dan menjilat-jilat liar lubang nikmat Surti. |
Menimbulkan rangsangan hebat yang |
membuat Surti refleks memegang kepala |
Basuki dan menekannya seolah ingin |
memasukkan seluruhnya ke lubang |
vaginanya. |
Sekejap saja Surti telah orgasme dan |
sekejap itu pula Basuki membersihkan |
seluruh mani yang keluar dengan lidahnya, |
diminumnya. Lalu lidah itu terus mengerjai |
vagina Surti, kadang kasar kadang halus. |
Sampai beberapa menit kemudian Surti |
kembali harus mengejan berkejat-kejat |
mengeluarkan maninya lagi. Orgasme lagi. |
Lagi dan lagi Entah sudah berapa kali Surti |
kelojotan orgasme tapi Basuki tetap |
segar menggarap lubang nikmat itu |
dengan lidahnya. |
"Agh.. am.. ampun Bas cukup Ibu tak tahan |
lagi Ibu lemes banget" desis Surti sambil |
terus meremasi rambut kepala Basuki |
setelah orgasmenya yang ketujuh atau |
delapan. |
Tulangnya seperti dilolosi. Sementara lidah |
Basuki masih mempermainkan klitnya, |
menggigit-gigit kecil, menarik-nariknya. Ibu |
dan anak sudah tak ingat lagi hubungan |
darah di antara mereka. Yang penting |
gejolak nafsu terpenuhi. |
Surti tak mampu menggerakkan tubuh lagi |
ketika Basuki merayapi tubuhnya lalu sekali |
lagi menancapkan zakar tegarnya ke |
lubang vagina Surti menggantikan lidahnya. |
"Jangan keras-keras, Bas" pinta Surti |
yang merasa ngilu di vaginanya. Rupanya |
Basuki tahu itu dan ia menggerakkan |
pantatnya dengan santai, tidak tergesa- |
gesa. Justru kini ia lebih mementingkan |
pagutan bibir dan lidahnya memasuki mulut |
Surti. Saling belit, saling sedot, sambil |
tangannya meremas-remas gundukan |
gunung kembar Surti hingga puting itu jadi |
keras. |
Sampai berjam-jam lamanya Basuki |
memperlakukan ibunya seperti itu tanpa |
sekalipun ia ejakulasi. Sementara Surti |
entah sudah berapa belas kali orgasme, |
rasanya habis seluruh maninya. Setelah |
hampir tiga jam, Basuki berbisik, "Ak aku |
mau keluar, Bu" |
"Jangan di dalam, Bas Ibu bisa hamil" |
"Keluar di luar tidak enak, Bu" Basuki |
meneruskan genjotannya. |
Cepat, cepat dan semakin cepat. Surti ikut |
terlonjak-lonjak mengikuti irama tarikan |
zakar Basuki. Tak mampu menolak |
kemauannya sampai akhirnya Basuki |
kejang-kejang sambil menyemprotkan |
sperma berliter-liter. "Creett.. Cruutt.." |
belasan kali bagai air bah. Lalu tubuh kekar |
itu diam menelungkupi Surti tanpa |
mengeluarkan zakarnya dari vagina. |
Denyut-denyutnya masih dirasakan Surti. |
Gila benar ini anak bisa tahan sedemikian |
lama. |
Kelelahan membuat mereka tidur |
berpelukan. Surti tak ingat lagi untuk pergi |
ke pasar. Sudah terlalu siang setelah |
empat jam pergumulan tadi. Justru yang |
terbayang kini adalah kejadian yang bakal |
dilaluinya di hari-hari berikut, yakni harus |
melayani kebutuhan seks si sulung dan |
bungsu bergantian. Si bungsu di malam |
hari, dan si sulung di siang hari. Mereka |
tidak boleh saling tahu. |
Namun, bagaimana dengan Banu, anak |
kedua. Apakah ia juga akan minta jatah |
untuk menyetubuhinya? Kuatkah Surti |
menghadapi tiga "pejantan" ini setiap hari? |
Bagaimana kalau suatu ketika ia digarap |
mereka bertiga ramai-ramai? Atau |
sepanjang hari digilir mereka? Surti tak |
mampu membayangkan itu semua. |
Surti mengharap tanggapan pembaca, |
apakah skandal nikmat dengan anak-anak |
kandung ini akan terus dilanjutkan dengan |
anak kedua, atau cukup dengan si bungsu |
dan si sulung saja? Adakah pembaca |
yang mau memberi saran buat Surti? |
Kirim email ke penulis, akan disampaikan |
kepada Surti sehingga ia memiliki kepastian |
dalam bertindak. Yang jelas ia sekarang |
rajin minum pil KB supaya tidak hamil dan |
melahirkan anak sekaligus cucu sendiri. |
Terima kasih. Salam dari Surti untuk |
semua pembaca.
Beberapa minggu setelah kejadian |
pertama dengan Basuki, aku telah berpikir. |
Aku rasa anakku yang kedua, Banu, juga |
harus mendapatkan jatah seperti kedua |
saudaranya. Tidak adil rasanya jika dia |
tidak mendapatkannya. Lagipula, semua |
yang aku lakukan sudah telanjur jauh. |
Mengapa tidak aku teruskan saja. Hanya |
saja aku belum mendapatkan cara yang |
tepat untuk meminta anakku Banu. |
Mungkin aku sudah terkena penyakit |
kelainan sex karena aku sangat menikmati |
hubunganku dengan anak-anakku sendiri. |
Tapi biarlah, daripada harus menjajakan |
diri, aku pikir lebih baik begitu. Kesempatan |
untuk bersetubuh dengan Banu akhirnya |
datang ketika kedua Saudaranya sedang |
tidak ada di rumah. |
Bari sedang ke rumah temannya, |
sedangkan Basuki pergi ke kota lain |
selama beberapa hari. Jadi otomatis aku |
tidak mendapatkan kepuasan selama |
beberapa hari itu, karena aku tidak |
disentuh oleh kedua anakku yang telah |
menjadi pemuas nafsuku. Aku tidak |
mampu lagi menahan nafsuku untuk |
bersetubuh, dan aku tidak mau |
bersetubuh dengan orang lain yang tidak |
aku kenal. Aku bingung. Sampai ketika aku |
sedang duduk di ruang tengah aku melihat |
Banu yang baru saja selesai mandi dan |
keluar dari kamar mandi dengan hanya |
mengenakan celana pendek. Aku |
terkesiap. Ternyata tubuh Banu tidak jauh |
berbeda dengan kedua saudaranya. |
Atletis dan juga mengagumkan. Hasratku |
yang sudah sampai ke ubun-ubun |
menggelapkan nuraniku. Aku berpikir, |
biarlah sekalian aku nikmati tubuh semua |
anak-anakku. Tanpa pikir panjang, aku |
panggil Banu. |
"Banu, kemari sebentar Nak," panggilku. |
Banu menoleh ke arahku dan berjalan |
menghampiriku. |
"Ada apa Bu? Banu baru mandi nih. Mau |
pake baju dulu," kata Banu sambil |
menghampiriku. |
"Tidak usah pakai baju Nak. Kemari |
sebentar. Ibu mau bicara dengan kamu." |
Kataku meyakinkan Banu. |
"Tapi Bu, Banu kedinginan. Banu mau pakai |
baju dulu," jawab Banu ngotot. |
"Udah, nggak usah membantah Ibu," |
kataku sambil berdiri dan menarik tangan |
Banu untuk mendekat. |
"Duduk di samping Ibu," kataku lagi. |
Banu pun akhirnya menurut dan duduk di |
sampingku. Aku pandangi tubuh setengah |
telanjang yang duduk di sampingku. |
Sempurna. Itulah yang ada di benakku |
saat ini. |
"Boleh Ibu tanya Nak?" tanyaku kepada |
Banu. |
"Ya tentu saja boleh Bu, emang ada apa |
sih?" Banu balik bertanya kepadaku sambil |
matanya memandangku penuh selidik. |
"Kamu udah punya pacar Nak?" tanyaku |
basa basi. |
"Ya belum donk Bu, emang kenapa sih Ibu |
tanya itu?" jawab Banu. |
"Jadi kamu belum pernah ciuman donk?" |
tanyaku memancing. |
Banu kelihatan keheranan dengan |
pertanyaanku tadi. Dia hanya diam |
beberapa saat. |
"Ya belum pernah donk. Kok Ibu tanya |
begitu sih? Ada apa?" tanya Banu |
keheranan. |
"Nggak kok. Kalau memang belum pernah, |
Ibu cuman ingin mengajari kamu ciuman. Itu |
pun kalau kamu mau?" jawabku ngawur. |
"Ibu serius? Ibu nggak sedang bercanda |
kan?" tanya Banu lagi dengan nada tidak |
percaya. |
Aku hanya menganggukkan kepala, lalu |
mendekatkan tubuhku kepadanya. Kepala |
kami begitu dekat sehingga aku bisa |
merasakan hembusan nafasnya. Aku |
dekatkan bibirku ke bibirnya. Lalu aku |
tempelkan bibirku. Banu hanya diam saja |
dan tidak bereaksi. Aku mencoba lebih |
aktif lagi. Aku dekap tubuhnya, sehingga |
tubuh kami bersatu. |
"Kalau ciuman, bibirnya dibuka sedikit donk |
Nak," pintaku karena bibir Banu hanya |
tertutup rapat. |
Aku cium lagi bibirnya, dia membuka |
bibirnya sedikit sehingga aku mencoba |
memasukkan lidahku ke mulutnya. Lidahku |
dan lidahnya beradu di dalam mulutnya. |
Terkadang aku sedot mulutnya untuk |
mendapatkan sedikit air ludahnya. Lalu aku |
telan air ludahnya yang terasa nikmat. |
Setelah sekitar 15 menit kami berciuman |
dengan mesranya, aku lepaskan |
dekapanku pada tubuhnya. Banu seperti |
tidak rela untuk melepaskan diriku. |
"Bagaimana Nak? Kamu suka?" tanyaku. |
"Enak sekali Bu. Boleh lagi? Banu masih |
pengen nih." Kata Banu sambil terengah- |
engah. |
"Boleh saja Nak. Bahkan lebih juga boleh |
kok." kataku lagi. |
Aku berdiri di hadapannya. Lalu aku |
perlahan-lahan menurunkan resleting |
dasterku. Aku turunkan dasterku dan aku |
buang ke samping sofa. Sekarang aku |
hanya menggunakan BH dan celana dalam |
saja. Aku lihat Banu terkesiap dan |
menelan ludah melihat pemandangan yang |
indah di depannya. Aku melangkah |
mendekat ke arahnya. Aku dekatkan |
wajahku. Kami pun berciuman kembali. Kali |
ini Banu sudah lebih mahir. Dia |
memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. |
Lidah kami bertautan seperti dua ekor ular |
yang sedang bertarung. |
Hanya suara desahan kami berdua yang |
memenuhi ruangan itu. Aku pegang |
tangan kanannya dan aku arahkan ke |
buah dadaku yang masih terbalut oleh bra. |
Secara alami tangan Banu mulai |
meremas-remas payudaraku dari luar bra. |
Aku semakin terangsang saat tangannya |
meremas payudaraku. Tangan kiriku |
mengusap-usap bagian luar celananya. |
"Buka BH Ibu, sayang.. Ohh," pintaku sambil |
mendesah. |
Tanpa diminta dua kali, tangan Banu |
dengan cekatan membuka kaitan BH-ku. |
Kini di depan wajahnya terpampang dua |
buah bukit kembar yang sangat ranum |
dan menggairahkan. |
"Bu, susu Ibu gede sekali, ukuran berapa |
sih Bu?" tanya Banu takjub melihat |
besarnya payudaraku. |
"38B sayang, gede kan? Kamu suka |
sayang?" jawabku penuh nada |
kebanggaan pada propertiku yang satu ini. |
"Pegang susu Ibu sayang," pintaku sambil |
mendekapkan tangannya ke payudaraku. |
Mungkin ini yang disebut dengan nafsu |
alami. Secara otomatis tangannya mulai |
meremas-remas payudaraku. Aku hanya |
bisa mendesah-desah tak karuan |
mendapatkan perlakuan seperti itu. Tak |
hanya meremas-remas, sepuluh menit |
kemudian Banu secara naluriah mulai |
mengecup dan menjilati kedua gunung |
kembar yang ada di depannya. |
"Ahh.. Enaak.. Sayang.. Teruuss.. Emmpphh.." |
aku meracau tak karuan mendapat |
perlakuan seperti itu. |
Kini hanya sehelai celana dalam yang |
melekat di tubuh kami. Tak sabar, aku |
menjauhkan kepala Banu dari kedua |
gunung kembarku. Aku suruh Banu untuk |
duduk di sofa. Peluh membasahi tubuh |
kami berdua meskipun permainan baru |
saja di mulai. Aku berjongkok di antara |
kedua belah pahanya yang terbuka. Aku |
pandangi tonjolan besar yang berada |
dalam penjara yang disebut celana dalam. |
Aku usap-usap bagian luar celana Banu. |
Banu menggelinjang mendapat perlakuan |
seperti itu. Perlahan aku pegang pinggiran |
celana dalam Banu dan aku berusaha |
untuk melepaskan celana dalam itu dari |
tubuhnya. |
Sebuah pemandangan yang sangat indah |
bagiku terpampang begitu saja ketika |
celana dalam itu sudah lepas dari |
tubuhnya. Kini Banu sudah telanjang bulat. |
Kontol yang sangat besar, dengan |
panjang sekitar 18 cm dan diameter yang |
cukup besar membuat diriku menelan |
ludah. Aku pegang kontol Banu dengan |
tangan kananku. Aku elus-elus kontol itu |
pelan-pelan. Banu hanya mendesah saja |
mendapatkan perlakuan itu. Aku dekatkan |
wajahku ke kontol Banu. Aku ciumi ujung |
kontol yang merekah itu, lalu aku jilati |
kontol itu. Banu semakin tidak karuan |
mendapat perlakuan yang semakin |
merangsang itu. Lima menit kemudian, aku |
masukkan kontol Banu ke dalam mulutku |
dan aku oral kontol Banu. |
"Ohh.. Enaakk Buu.. Teruus.." Banu |
mendesah. |
Aku memasukkan kontol Banu ke dalam |
mulutku dan juga secara bergantian |
mengocok kontolnya dengan tangan |
kananku sambil menjilati buah pelirnya. |
Setelah itu aku masukkan lagi kontol Banu |
ke dalam mulutku lalu aku memaju |
mundurkan mulutku sedangkan tanganku |
bekerja meremas-remas kedua pelirnya |
dengan lembut. |
"Enaakk.. Bu.. Kontooll.. enaakk.. Teruss.." |
Kata-kata semacam itu terus-menerus |
keluar dari mulut Banu. Sekitar sepuluh |
menit kemudian Banu memegang bagian |
belakang kepalaku seakan-akan tidak mau |
melepaskan hisapan mulutku dari |
kontolnya. |
"Buu.. Mauu.. Ke.. Lu. Aar.. Ceepaat.." teriak |
Banu. |
Aku semakin mempercepat kocokan |
mulutku di kontolnya. Tidak lama kemudian |
aku merasakan adanya denyutan- |
denyutan yang menandakan kalau Banu |
akan mencapai puncak. |
"Keluarkaan sayang, keluarkan di mulut |
Ibu," kataku di antara desahan nafasku |
dan nafasnya dan di antara kesibukanku |
mengoral kontolnya. |
Creet.. Croot.. Creet.., mungkin sebanyak |
sembilan atau sepuluh semprotan sperma |
Banu memenuhi rongga mulutku. Hampir |
saja mulutku tidak dapat menampung |
banyaknya semprotan sperma Banu yang |
sangat banyak itu. Wangi dan gurih, itulah |
yang aku rasakan. Mungkin dikarenakan |
Banu masihlah perjaka (atau tidak??). |
Banu duduk telentang dan bersandar di |
sandaran sofa dengan nafas yang |
terengah-engah seperti baru berlarian. |
Tapi, dia memang baru saja 'berlarian' |
mengejar nafsunya bukan? Aku lalu duduk |
di sampingnya. Aku biarkan dia istirahat |
dulu, aku tidak ingin terburu-buru meskipun |
nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun. Ini |
adalah yang pertama baginya. Aku ingin |
kepuasan untuk kami bedua. |
"Kamu capek Nak? Pejumu tadi benar- |
benar lezat Nak. Ibu sangat menikmatinya", |
sanjungku tentang spermanya yang aku |
telan tadi. Banu hanya tersenyum saja |
mendengar sanjunganku. |
Setelah aku melihat Banu sudah mulai |
tenang, aku dekatkan wajahku ke |
wajahnya. Seperti sudah mengerti yang |
aku maksud, Banu juga mendekatkan |
wajahnya ke wajahku. Mulut kami bersatu |
dan kami berciuman. Aku buka sedikit |
mulutku, bagitu juga Banu. Lidahnya mulai |
masuk ke dalam mulutku dan menyapu |
seluruh rongga mulutku. Kedua lidah kami |
beradu, saling membelit dan saling menjilat. |
Aku dekap tubuhnya erat sedangkan |
Banu memegang bagian belakang |
kepalaku. Aku rasakan kedua gunung |
kembarku bersentuhan dengan dada |
bidang milik Banu. Banu berusaha |
menidurkan aku di sofa sambil kedua |
tangannya bergerilya di seluruh tubuhku. |
Sekarang aku telentang di sofa dan Banu |
berada di atas menindihku. |
"Ludahi Ibu, Nak. Ibu haus. Ludahi Ibu," |
pintaku kepada Banu untuk memberikan |
air ludahnya kepadaku. |
Banu menjauhkan sedikit mulutnya dari |
mulutku. Mulut Banu mengecap-kecap, |
berusaha mengumpulkan air ludah |
sebanyak-banyaknya. Setelah dirasa |
cukup banyak, Banu mendekatkan |
mulutnya kembali ke mulutku. Aku |
membuka mulutku seperti ikan yang |
megap-megap kekurangan air. Perlahan |
Banu membuka mulutnya. Aku dapat |
melihat air ludah yang mengucur keluar |
dari mulut Banu. Aku dekatkan mulutku |
dan aku satukan mulutku dengan mulut |
Banu. Aku tampung semua air ludah yang |
dikeluarkan oleh Banu. Aku katupkan |
mulutku lalu aku kecap-kecap sebentar |
kumpulan air ludah Banu yang berada di |
mulutku lalu aku menelannya. Aku dekap |
kepalanya lalu kami berciuman kembali. Aku |
rasakan di bawah, kontolnya kembali |
menegang. Sesaat kemudian, aku |
lepaskan dekapanku lalu aku dorong tubuh |
Banu ke bawah. |
"Buka celana dalam Ibu Nak. Ayo lakukan," |
aku meminta Banu untuk membuka celana |
dalamku.
Banu mendekatkan kedua tangannya ke |
pahaku lalu menarik celana dalamku ke |
bawah. Aku mengangkat pantatku sedikit |
untuk memudahkan dirinya menelanjangiku. |
Tak sampai hitungan menit, celana |
dalamku sudah lepas dari tubuhku. Kini |
kami berdua sudah dalam keadaan |
telanjang bulat. Sekarang Banu benar- |
benar terpana melihat pemandangan |
paling indah yang tidak pernah dilihat atau |
bahkan diimpikan sepanjang hidupnya. Di |
hadapannya, sebuah vagina yang bersih |
karena tidak ada bulu-bulunya |
terpampang jelas di depan matanya. Aku |
melihat keragu-raguan di matanya. Seperti |
seorang guru yang sedang mengajari |
muridnya, aku dekatkan kepala Banu ke |
vaginaku. |
"Jangan bengong aja Nak. Cium memek ibu, |
jilat memek Ibu. Lakukan apa saja Nak," |
aku menyuruh Banu untuk melakukan |
aksinya. |
Tak lama, Banu mendekatkan kepalanya |
ke vaginaku dan mulai menciumi |
permukaan vaginaku. Aku mendesah |
pelan. Lima menit setelah puas menciumi |
seluruh permukaan vaginaku, Banu |
mengeluarkan lidahnya dan mulai menjilati |
vaginaku. Aku merasakan permukaan |
yang kenyal dan basah yang menyentuh |
vaginaku. Perasaanku semakin tidak |
karuan saja. Tangan kananku berusaha |
membantu. Dengan dua jari aku berusaha |
membuka vaginaku sehingga sekarang |
tidak hanya permukaanya saja yang |
tersapu oleh lidah Banu, tetapi lidah Banu |
juga mulai masuk ke dalam vaginaku. Banu |
bahkan bisa menggigit-gigit kecil. |
Nafasku semakin tidak beraturan. Tanpa |
diperintah, Banu memasukkan dua jari |
tangan kanannya ke vaginaku. Aku |
semakin tidak karuan saja. Dia mengocok- |
ngocok vaginaku sambil tetap menjilatinya. |
Pantatku bergoyang-goyang tidak karuan. |
Tidak puas hanya menjilati vaginaku saja, |
saat pantatku terangkat Banu juga |
menjilati lubang pantatku. Aku sebenarnya |
ingin melarangnya karena itu menjijikkan |
tetapi aku tidak sanggup karena nafsu |
sudah menguasaiku. Tidak sampai lima |
belas menit kemudian aku merasakan ada |
dorongan kuat dalam diriku. |
"Ahh.. Ibuu mauu keluuaar.. Naakk.." teriakku |
mendekati orgasmeku yang pertama. |
Serr.., ser.., air maniku muncrat keluar. |
Seakan tidak ingin mengecewakan Ibunya, |
Banu membuka mulutnya lebar-lebar |
untuk menampung muncratan air maniku. |
Beberapa semprotan sempat mengenai |
wajahnya. Mulutnya menggembung |
seakan tidak muat menampung |
banyaknya air maniku yang memang |
sudah tidak keluar selama beberapa hari. |
Aku mengira Banu akan menelan air |
maniku, tetapi ternyata pikiranku salah. |
Setelah yakin bahwa vaginaku sudah tidak |
mengeluarkan mani lagi, Banu |
mendekatkan kepalanya ke kepalaku. Aku |
masih belum tahu apa maksudnya. |
Tangan kanan Banu memegang pipiku |
memintaku untuk membuka mulutku. Aku |
dapat menebak apa maunya, dan entah |
mengapa aku mau saja membuka mulutku |
lebar-lebar. Banu membuka mulutnya |
sedikit demi sedikit. Dan sedikit demi |
sedikut pula, setetes demi setetes air |
maniku yang sudah ditampung Banu di |
mulutnya menetes ke mulutku. Aku |
menerima tetesan demi tetesan. |
Tak lama, Banu mendekatkan mulutnya |
dan menciumku dengan mulut yang sedikit |
terbuka. Air mani yang sudah berpindah |
tempat ke mulutku dipermainkannya. Lalu |
Banu membalik tubuhku sehingga kini aku |
berada di atas tubuhnya sambil kedua |
mulut kami masih tetap menyatu. Dalam |
posisi di atas Banu, mau tidak mau air |
maniku yang sudah berada di mulutku |
kembali mengucur ke mulutnya karena |
mulut kami berdua membuka. Tak menyia- |
nyiakannya, kali ini Banu langsung menelan |
semua air maniku yang tadi kami buat |
mainan di mulut kami berdua. Ditelannya |
semua air mani itu tanpa sedikitpun yang |
tersisa untukku. |
"Aahh.. Segar sekali air mani Ibu.. Enak Bu..," |
kata Banu sambil tersenyum di sela |
daesah nafasnya yang masih tidak |
teratur. |
"Kamu suka Nak? Ibu senang kalau kamu |
menyukainya. Peju kamu juga enak kok," |
kataku menimpali, sambil tersenyum |
kepadanya. |
Tak berlama-lama, aku turun ke bagian |
selangkangannya. Aku pegang kontolnya |
yang masih tegang seperti tiang bendera. |
Aku pegang kontol Banu dengan tangan |
kananku. Tidak menunggu lama, aku oral |
lagi kontol Banu. Banu kembali mendesah- |
desah mendapat perlakuan itu lagi. Aku |
memajumundurkan mulutku yang sedang |
menghisap kontol anakku. Sepuluh menit |
kemudian, aku minta Banu untuk berdiri |
dari sofa. Aku tidur telentang di sofa |
menggantikan dirinya. |
"Masukkan kontolmu sayang. Memek Ibu |
sudah pengen ngerasain kontol gedemu," |
pintaku kepada Banu sambl menyibakkan |
lubang vaginaku untuk memudahkan |
penetrasi yang akan dilakukan Banu. |
Banu memegang kontolnya dan bersiap- |
siap untuk mencobloskan ke vaginaku. |
Diusap-usapkannya ujung kontolnya di |
pintu masuk vaginaku dan.. Breess.. |
"Aahh..," teriakku ketika kontol gede itu |
menembus vaginaku. |
Sleep.. Sleep.. Plok.., suara kocokan kontol |
banu di vaginaku. |
"Enaakk.. Yaangg.. Teruss.. Kontolmu gede.. |
Naak.." aku meracau tidak karuan. |
Banu tidak berkata apa-apa. Hanya |
desahan-desahan yang semakin keras |
yang keluar dari mulutnya. Keringat deras |
membasahi tubuhnya. Aku pandangi |
wajahnya. Betapa tampannya anakku ini, |
dalam hati aku berpikir. Aku |
menggoyangkan pantatku untuk |
mengimbangi permainan Banu. Aku |
mengusap keringat yang membasahi |
wajahnya dengan kedua tanganku. |
Mungkin ini adalah kasih sayang seorang |
ibu. |
Lima belas menit kemudian, aku meminta |
Banu untuk mencabut kontolnya dari |
vaginaku. Banu melakukannya walaupun |
dengan keraguan. Lalu aku memintanya |
untuk tidur telentang di sofa. Setelah Banu |
tiduran, aku mengangkangi |
selangkangannya. Aku pegang kontol |
Banu, lalu aku mencoba untuk |
mengepaskan ke lobang vaginaku. Setelah |
aku rasa tepat, aku turunkan pantatku |
dan.., Bleess.. |
Kontol Banu kembali memasuki sarangnya. |
Aku menaikturunkan tubuhku untuk |
mengocok kontol Banu. Kedua gunung |
kembarku bergoyang naik turun seperti |
mau lepas. Aku pegang tangan Banu dan |
aku arahkan ke payudaraku. Banu sudah |
mengerti apa yang aku mau. Sambil |
menggerakkan pantatnya naik turun |
menyambut vaginaku, kedua tangan Banu |
bergerak aktif meremas-remas |
payudaraku. Hal ini semakin menambah |
rangsangan buatku dan.. |
Seerr.. Seer.. Seerr.., aku mengalami |
orgasme yang kedua. Tetapi Banu |
tampaknya tidak peduli dengan itu. Dia |
tetap saja menaikturunkan pantatnya. |
Aku biarkan saja dia meski sebenarnya |
aku ingin istirahat. |
"Bu, ganti posisi donk, Ibu turun dulu," kali ini |
Banu yang meminta untuk berganti posisi. |
Aku lepaskan jepitan vaginaku yang basah |
karena sudah orgasme. Banu berdiri dari |
sofa. |
"Sekarang Ibu berdiri menghadap sofa, lalu |
berpegangan ke sofa," pinta Banu. |
Aku yang masih tidak mengerti apa |
maksudnya mengikuti saja apa maunya. |
Setelah aku berposisi menungging sambil |
berpegangan ke sofa, Banu memasukkan |
kontolnya ke vaginaku dari belakang. |
"Aahhggh.. Hebatt.. Kamu naakk..", aku |
menjerit lagi. |
Kali ini dengan posisi yang belakangan aku |
ketahui bernama "Doggy Style" kami |
berdua melanjutkan 'olahraga' seks kami. |
Dari belakang Banu meremas-remas dan |
mengusap-usap pantatku. Ruangan ini |
dipenuhi dengan suara-suara erotis yang |
menandakan dua insan sedang beradu |
kenikmatan. Tak hanya meremas |
pantatku, dari belakang Banu juga |
meremas-remas kedua payudaraku. Aku |
pun tidak mau kalah. Vaginaku meremas- |
remas kontolnya yang sedang berada di |
dalamnya. Pantatku pun tidak mau tinggal |
diam. Aku memutar-mutar pantatku untuk |
menambah sensasi yang dirasakan oleh |
Banu. Rupanya apa yang aku lakukan itu |
membuat pertahanannya runtuh juga. |
Aku pun tidak bisa lagi menahan |
orgasmeku yang ketiga. |
"Sayaangghh Ibu mau keluaarr laggii..," aku |
menjerit keras ketika aku merasakan |
akan orgasme untuk yang ketiga kalinya. |
Seerr.. Seerr.. Aku merasakan vaginaku |
basah oleh air maniku sendiri. |
"Buu.. Aku juugaa mauu keluaarr..," teriak |
Banu. Mendengar itu aku segera saja |
meminta Banu untuk mencabut kontolnya. |
"Cabut kontolmu sayang.. Ibu mau minum |
air pejumu lagi..," aku memintanya. |
Banu segera mencabut kontolnya. Aku |
segera saja berbalik dan memasukkan |
kontolnya ke mulutku. Aku tidak peduli |
dengan air maniku yang masih menempel |
di kontolnya. Toh, rasanya juga enak. |
Sepuluh menit aku mengocok kontolnya |
dalam mulutku dan.. |
Croot.. Croot.. Croot.., sperma Banu |
menyemprot ke dalam rongga mulutku. |
Tidak sebanyak yang pertama memang, |
tapi aku tidak peduli. Semua sperma yang |
disemprotkan kontol Banu aku telan. Gurih |
dan wangi. Aku semakin menyukai rasa |
sperma dari anak-anakku. Setelah |
kontolnya tidak lagi mengeluarkan sperma, |
aku jilati kontolnya untuk |
membersihkannya. |
Banu lalu duduk di sofa dengan nafas |
yang tidak karuan. Aku memandangnya, |
dan dia pun memandangku. Aku |
tersenyum kepadanya, begitu juga dia. Aku |
suruh dia mendekat. Aku peluk dia seperti |
seorang kekasih yang lama tidak bertemu. |
"Terima kasih Nak. Ma'af, Ibu melakukan ini |
kepadamu. Kamu suka?" aku bertanya |
kepadanya. |
"Banu bahagia sekali meskipun Banu tidak |
tahu mengapa Ibu melakukan ini. Tapi Banu |
tidak peduli. Banu sayang sama Ibu," jawab |
Banu sambil tersenyum. |
"Tapi, bolehkah Banu melakukan ini lagi |
sama Ibu?" tanya anakku itu. Aku |
tersenyum mendengar pertanyaannya. |
Toh, ini semua aku yang memulai. |
"Tentu saja sayang. Kapanpun kamu mau, |
selama tidak ada orang," jawabku sambil |
mengelus kepalanya. |
Selama kedua saudaranya tidak ada di |
rumah, aku dan Banu terus melakukan |
hubungan sedarah itu. Kami melakukannya |
di tempat tidur, di dapur, di kamar mandi di |
mana saja asal memungkinkan. Aku pasti |
akan menceritakan kelanjutan hubungan |
yang kami lakukan selama kedua |
saudaranya tidak ada di rumah dalam |
tulisan selanjutnya. |
Dan setelah kedua saudaranya pulang, |
ada satu kejutan besar yang aku lakukan. |
Aku menceritakan kepada mereka bertiga |
bahwa aku sudah bersebadan dengan |
ketiganya. Walau sangat terkejut mereka |
dapat menerimanya. Cerita tentang ini |
juga akan aku ceritakan dalam tulisanku |
selanjutnya. Aku mengucapkan terima |
kasih yang sebesar-besarnya kepada |
teman penulisku yang bersedia mendengar |
kisahku dan bersusah payah menuliskan |
cerita ini di situs RumahSeks. |
|
|
|
|
|
No comments:
Post a Comment