Monday 7 April 2014

Aku Diperkosa Tiga Anakku

di perkosa tiga anak ku 3

Bagian pertama kisah ini dimulai ketika jam
dua siang itu aku, Surti, meninggalkan
pasar sambil membawa bungkusan isi
dagangan batik, menuju ke hotel Melati.
Pegawai hotel yang sudah mengenalku
segera mengantar ke kamar Mas Jamal,
langgananku pijat. Sudah tiga bulan ini
selain jualan batik aku juga berusaha
menambah penghasilan dengan menjadi
juru pijat. Aku mengikuti jejak rekan
seprofesi yang banyak bertebaran di
pasar, terutama setelah beberapa bulan
belakangan ini dagangan batik sepi.
Kadang aku memijit ibu-ibu atau wanita
pedagang yang capai, namun lebih banyak
memijat pria. Seminggu dua atau tiga kali
dipanggil, lumayanlah untuk menambah
nafkah dua-tiga ratus ribu rupiah per
bulan. 
"Sore Mas. Sudah nunggu lama ya?"
sapaku. 
"Nggak, Mbak Surti. Baru juga selesai
keliling. Duduk dulu Mbak, aku mandi
sebentar" sahut Jamal, salesman keliling
yang setiap mampir ke kota ini selalu
memanggilku untuk memijatnya. Ini kali
yang keempat aku dipanggilnya. Jamal
masuk ke kamar mandi sementara aku
duduk di kursi melepas penat. Kuseka
sekitar leher yang berkeringat, kurapikan
baju dan rok. Tak lama kemudian Jamal
keluar berbalut handuk. Tinggi tubuhnya
sekitar 170 cm lumayan kekar dan
berotot. 
"Saya permisi cuci tangan ya, Mas,"
pintaku sambil menuju ke kamar mandi.
"Silahkan, Mbak."
Selesai cuci tangan kudapati Jamal sudah
tengkurap di ranjang tanpa melepas
handuknya. Aku mendekat ke bagian
kakinya. 
"Tumben pakai handuk, Mas?" Tanyaku.
Biasanya Jamal pakai celana pendek atau
CD. 
"Anu Mbak, celanaku kotor semua. Tiga
hari keliling belum sempat nyuci Eee, biar
lebih gampang mijatnya, naik ke ranjang
aja, Mbak" kata Jamal.
Ranjangnya memang agak besar sehingga
susah dapat memijat dengan enak kalau
tidak naik. Aku naik ke ranjang dan
berlutut di kiri Jamal. Mulai memijat telapak
kaki, terus naik ke arah betis hingga paha.
Ikatan handuk Jamal yang agak kencang
menutupi paha agak menyulitkan memijat
bagian itu.
"Maaf Mas, handuknya tolong
dilonggarkan"
Jamal mengangkat perutnya dan
membuka simpul handuknya sehingga
handuk itu sekarang jadi longgar bahkan
disisihkannya ke samping kiri-kanan hingga
seperti selimut yang menutup pantat. Aku
dapat merasakan di balik handuk itu tidak
ada apa-apa lagi yang dikenakan Jamal.
Jantungku, janda 40 tahunan ini, jadi
berdegup agak keras. Tapi aku coba tidak
berpikir buruk karena pernah tiga kali
memijat Jamal dan pria itu selalu sopan.
Agak hati-hati kupijat bagian paha dan
pantatnya. Beberapa kali handuk itu
tergeser sampai kadang-kadang tak
mampu lagi menutupi. Beberapa kali pula
kubetulkan letaknya namun sempat pula
terlihat pantat Jamal, bahkan ceruk hitam
di antara pangkal pahanya. Dadaku jadi
berdesir. Bagian pantat ke bawah selesai,
lalu kupijit bagian pinggang ke atas. Ia
menggeser lututnya.
"Kelihatannya cape sekali, Mas?" sapaku
mencairkan suasana diam.
"Iya Mbak. Sudah cape keliling, ordernya
tambah sedikit aja. Dagangan sekarang
lagi sepi Mbak," jawab Jamal.
"Dagangan batik, Mbak sendiri gimana?"
"Sama saja, Mas. Sepi banget. Kalau nggak
sepi nggak bakalan saya jadi tukang pijit"
"Tapi pijitan Mbak enak lho"
"Ala Mas ini menghina. Saya kan cuma
belajar dari teman-teman"
"Bener lo Mbak, kalau nggak masak aku
jadi langganan Mbak Kalau malam sampai
jam berapa, Mbak?"
"Saya nggak terima pijit malam Mas.
Pokoknya sebelum maghrib sudah harus
sampai rumah. Saya nggak mau anak-
anak saya tahu pekerjaan sampingan
ibunya. Mereka hanya tahu saya jualan
batik di pasar"
"Ooo kenapa mesti malu, Mbak?"
"Saya sih nggak malu, tapi kasihan kan
kalau anak-anak saya ketahuan teman-
temannya punya ibu tukang pijit? Sudah,
sekarang balik Mas"
Jamal memutar tubuhnya, tentu saja
handuknya ikut terlibat pantatnya
sehingga nampaklah bagian depannya
yang polos. Beberapa saat sempat kulihat
zakar Jamal yang mulai tegang. Buru-buru
kubantu Jamal menutupinya, namun tetap
saja tonjolan itu membentuk
pemandangan yang bikin dadaku berdesir.
Bagaimana pun aku tetap wanita yang
beberapa tahun silam pernah melihat hal
demikian pada diri suamiku yang telah
tiada. Dadaku berdegup semakin cepat,
tubuhku agak gemetar. Buru-buru
kukonsentrasikan pijatan pada kaki Jamal.
"Maaf, Mbak, adikku nggak mau tidur. Kalau
lagi dipijat wanita memang selalu gitu sih
Mbak" 
"Ah, nggak apa, Mas. Biasa laki-laki" Aku
coba bergurau.
Pemandangan demikian buat tukang pijit
perempuan memang bukan hal aneh lagi.
Malah kadang beberapa pria yang sudah
tak bisa menahan nafsu memegang
tanganku dan menempelkan pada
batangannya. Tapi dengan halus aku
berusaha mengelak. Satu dua kali
kuremas benda di balik celana dalam itu
tapi setelah itu kulepaskan lagi.
"Waktu mijit apa pernah dijahilin laki-laki
Mbak?" 
"Kadang-kadang ada sih Mas laki-laki yang
nakal" 
"Nakal gimana, Mbak?"
"Yah, maunya tidak sekedar dipijit tapi juga
mijit hihihi"
"Lalu Mbak juga mau hehehe..?"
"Ah, enggaklah Mas, nggak baik. Takut"
"Apa ada yang pernah maksa Mbak?"
"Iya sih, kasar sekali orang itu. Aku dipeluk-
peluknya Ya aku marah dong"
"Apa dia sampai meng anu Mbak?"
"Nggak sampailah, Mas Saya buru-buru
keluar kamar"
Pijitanku sampai ke paha Jamal. Mau tak
mau bagian handuk yang menonjol itu
selalu terpampang di depan mataku. Malah
kadang tonjolan itu seperti sengaja
digerak-gerakkan Jamal. Lebih-lebih
sewaktu tanganku bergerak di sekitar
paha dalamnya dan mengenai rambut-
rambut lebat di situ.
"Ufhh maaf, ya Mbak terus terang aku jadi
terangsang lo setiap dipijit Mbak, Adikku
jadi bangun terus" Jamal berterus terang
tapi dengan nada bergurau.
Hal ini membuatku tersenyum. Aku
percaya pria ini tidak bakal berbuat
macam-macam, toh sudah tiga kali kupijat
tanpa kejadian luar biasa.
"Nggak apa, Mas. Asal bisa menahan diri
saja. Eh, maaf" tanpa sengaja tanganku
menyenggol telur dan sebagian penis
Jamal sehingga pria itu mendesis sambil
mengangkat pantat dan menegakkan
adiknya sehingga handuknya tergelincir ke
arah perut. Batang keras kaku itu segera
saja membuat mataku agak terbelalak
karena ukuran panjang dan besarnya
yang agak luar biasa. Mungkin sekitar 20
cm dengan diameter 3 cm. Cepat kututup
dengan handuk namun bayangan benda
itu di benakku tak kunjung hilang.
"Kalau aku nggak bisa nahan diri gimana,
Mbak?" 
"Jangan bikin saya takut ah, Mas" Aku
menekan dada Jamal dan mulai memijat
ke arah pundak. Mata kami bertatapan
dan Jamal tersenyum. Aku buru-buru
menunduk.
"Sebenarnya Mbak nggak cocok jadi
tukang pijit lo"
"Kan sudah saya bilang ini terpaksa Mas,
karena dagang batik tambah sepi"
"Eh, Mbak, aku tanya serius nih, tapi maaf
ya sebelumnya"
"Tanya apa Mas?"
"Kalau Mbak lagi mijit laki-laki yang sedang
terangsang kayak aku gini, apa Mbak
nggak ikut terangsang?"
"Ah eh oh Mas ini kok tanya itu sih"
"Aku serius pingin tahu lho Mbak Soalnya
Mbak kan juga wanita yang masih butuh
seks kan? Apalagi Mbak sudah menjanda
beberapa tahun"
"Sudah ah Mas, jangan tanya soal itu"
"Jujur sajalah Mbak Aku nggak yakin Mbak
sudah mati rasa sama seks. Iya kan?" Aku
diam saja, cuma pipiku terasa panas.
Pijatanku di bagian dada jadi melemah dan
tanganku bergeser turun ke perut Jamal.
"Iya kan, Mbak?" Mendadak Jamal semakin
berani dengan memegang kedua tanganku
yang sedang memijit perutnya. Kuangkat
kepala dan coba menentang tatapan
Jamal sambil berusaha menarik
tangannya. Tapi pegangan Jamal begitu
kuat, jadi aku pilih diam.
"Akh aku malu Mas.."
"Malu kenapa Mbak?"
"Masak soal gituan dibicarakan sama
Mas?" 
"Nggak apa kan Mbak. Kita kan sudah
sama-sama dewasa." Jamal tetap
memegangi tangan. Aku diam saja dengan
wajah menunduk. Pada dasarnya aku
memang pemalu.
"Mbak lihat sini dong"
"Kenapa, Mas?"
"Terus terang nih ya, aku pingin memeluk
Mbak, boleh nggak?"
Aku terjengak mendengar permintaan
Jamal. Tak mampu bersuara. Perlahan
Jamal bangun dan duduk mendekatiku,
dipegangnya punggungku.
Katanya, "Sudah sejak pertama ketemu
dulu aku ingin sekali memeluk. Boleh kan,
Mbak?" 
Tanpa menunggu jawaban, Jamal semakin
kuat memeluk punggungku dan menarik ke
arah dirinya. Aku yang dalam posisi
bersedeku jadi kurang kuat bertahan
sehingga mau tak mau tubuhku tertarik
ke tubuh Jamal. Hanya tanganku saja
yang coba menahan supaya tubuh tidak
terhempas ke tubuh Jamal.
"Jangan, Mas" Tapi aku tak berdaya
menahan ambruk tubuhku ketika Jamal
kembali menjatuhkan tubuhnya ke ranjang
sambil tetap memeluk. Tubuhku menimpa
tubuhnya yang segera menguncikan
pelukan ke tubuh sintalku tambah ketat.
Wajah kami demikian dekat.
"Aku hanya ingin pelukan begini kok Mbak,"
Jamal berbisik dan ia memang tidak
melakukan apa-apa lagi selain memeluk
tubuhku di atasnya. Aku jadi bingung, mau
berontak atau tidak?
"Ah, biarkan saja dulu, toh dia tidak
melakukan apapun selain memeluk" pikirku
sambil berusaha lebih santai. Toh aku
pernah mengalami perlakukan lebih kasar
dari ini. Aku pernah ditindih pria yang
kupijat dan diremas-remas tetekku.
Beberapa lagi malah memaksaku
mengonani sampai pria itu terjelepak
lemas setelah ejakulasi. Perlakuan Jamal
yang sekarang ini hanya memelukku
termasuk lembut. Entah kenapa dengan
pria ini aku tak banyak memberontak. Apa
karena aku diperlakukan dengan halus?
Atau karena aku menyukai Jamal? Atau?
Ah, tiba-tiba aku merasakan bibirku dingin
karena menyentuh sesuatu. Kubuka mata
dan ternyata Jamal tengah mencium
bibirku. 
Ufh aku segera menggelengkan kepala
menghindari bibir Jamal. Namun bibir pria itu
dengan gigih mengejar, bahkan tangan
kanannya ikut membantu menahan
kepalaku hingga tak bisa menggeleng lagi.
Aku pilih mengatupkan mulut dan mata
rapat-rapat ketika bibir Jamal
menggerayangi. Lidah pria itu berupaya
menerobos masuk, tapi kutahan dengan
katupan gigi.
"Buka bibirnya dong, Mbak" bisik Jamal. Aku
menggeleng sambil berusaha mendorong
tubuhnya ke atas. Namun Jamal menahan
tubuhku dengan kuat malah sekarang
kakinya ikut melibat pahaku dan tubuhnya
bangun mendorong tubuh kenyalku sampai
terbalik. Sekarang gantian aku telentang
sementara tubuh polos Jamal di atasku.
Bibir Jamal terus memburu bibirku. Dengan
posisi di bawah ruang gerakku semakin
sempit. Kecapaian membuat
perlawananku kendor.
"Jangan, Mas" bisikku lemah.
"Nggak apa-apa, Mbak, aku cuma ingin
ciuman" Desis Jamal sambil bibirnya terus
memaksa bibirku membuka, sementara
lidahnya pun menembus katup gigiku. Rasa
takut, malu, marah dan bingung
melandaku. Aku takut Jamal memaksa,
memperkosaku. Aku juga malu karena
sebagai janda tidak seharusnya
diperlakukan begini. Aku ingin marah namun
tak berdaya dibanding tenaga Jamal. Aku
jadi bingung mau bertindak apa. Dadaku
yang membusung pun jadi sesak ditindih
tubuh kekar Jamal. Dengan nafas agak
memburu, aku akhirnya tak mampu lagi
mempertahakan katupan gigi. Kubiarkan
lidah Jamal menerobos menjilati langit-
langit mulutku. Bibir kami berpagutan
semakin ketat. Air liur dan ludah pun
membanjir dan mau tak mau ada yang
tertelan. Jamal benar-benar menggila
dengan ciumannya. Sepuluh menit lebih ia
mencium, menjilat, menyedot lidahku tanpa
lepas. Akibatnya, aku jadi ikut terbawa
iramanya. Aku yang janda ini lama-
kelamaan ikut mengimbangi tingkah Jamal.
Ya, aku yang melihat Jamal tidak
melakukan hal lain kecuali mencium,
akhirnya membalas ciuman hot Jamal.
"Ah, biarlah, toh Jamal hanya pingin
berciuman. Tidak lebih" pikirku sambil
lidahku memasuki rongga mulut Jamal, dan
mendadak disedot dengan kuat oleh Jamal
seperti hendak ditelan.aku jadi gelagapan.
Agak lama barulah Jamal melepaskan
lidahku, lalu beralih menciumi sekujur
wajahku. Dari mata, hidung, pipi, dahi,
telinga, sekitar leher, dagu sampai
akhirnya balik lagi ke bibir manisku. Selama
setengah jam lebih aku hanya manda saja
diciumi pria yang menurutku tidak berniat
buruk ini. Ya, dibanding pria-pria lain yang
pernah memaksaku, Jamal tergolong
lembut. Dan entah kenapa, ada rasa suka
dengannya. Apa karena kegantengannya,
apa karena usianya yang masih muda,
atau karena aku memang butuh sentuhan
lelaki setelah beberapa tahun ini tak lagi
kurasakan?

Bahkan, aku hanya mendesah "Jangan,
mas" ketika merasakan jemari Jamal mulai
meremasi payudaraku yang masih
menantang ini. Namun aku tak berusaha
memberontak. Toh Jamal hanya meremas
dari luar, pikirku. Sementara bibir pria itu
terus melumati bibirku. Tangan itu terus
bergerilya, satu persatu kancing bajuku
dilepasnya.
"Jangan, mas" Desisku lagi tanpa menolak
dengan serius.
Toh, aku masih pakai BH, pikirku. Ugh, BH
itupun diremas tangan Jamal berkali-kali.
Kadang membuatku sakit, namun juga
memberi rasa lain yang nikmat. Mataku
malah terpejam erat ketika jemari Jamal
bergerilya di bawah BH dan menggapai
putingku.
"Egh jangan, mas" Aduuh nikmatnya. Toh,
dia hanya memainkan payudaraku, tak
apa-apa, pikirku semakin menikmati. Aku
justru hampir tak merasa ketika baju dan
behaku sudah dilempar Jamal entah
kemana.
Yang terasa kemudian adalah payudaraku
kiri-kanan bergantian diremas dan dihisap
Jamal. Digigit-gigit, dikemot, disedot,
"dimakan", dimainkan putingnya oleh lidah
yang lihai dan tubuhku semakin tergial-gial
ketika perut pun ditelusuri lidah berbisa
Jamal.
"Aduh, aku tak tahan. Tak apa, toh Jamal
hanya menjilati perutku" pikirku lagi
menerima perlakuan nikmat itu.
Malah tanganku kini ikut meremasi kepala
Jamal yang terus turun dan turun
mencapai pusarku. Menjilati pusarku yang
berlubang kecil, kemudian meluncur turun
lagi, membuat geli sekaligus nikmat.
"Jangan, mas" lagi-lagi aku hanya mampu
mendesiskan kata itu ketika terasa rok
panjangku perlahan tertarik ke bawah.
Karet elastis di bagian perut tak mampu
menahan tarikan itu, apalagi aku berpikir,
"Biar saja, toh aku masih pakai celana
dalam"
Sekarang tinggal segitiga pengaman
melekati tubuh polosku. Terasa pahaku
dikangkangkan dan sesuatu terasa
mengelus-elus daerah vitalku. Sesaat
kemudian aku kembali merasa tubuhku
ditindih Jamal yang menekan-nekankan
penisnya ke CD-ku. Mulut kami berpagutan
lagi. Tangan Jamal meremas-remas
payudara lagi.
"Aduh aku tak tahan lagi" Kubalas
perlakuannya yang liar dan aku tak
mampu lagi mendesis, "Jangan, mas"
ketika dengan cepat tangan Jamal
menyabet CD hitamku dan melorotkannya
ke bawah terus melepasnya dari kakiku.
Lalu sejurus kemudian kurasakan sesuatu
yang panjang besar memasuki gua
garbaku. Mula-mula perlahan dan agak
sulit, menyakitkan. Namun lama-lama
semakin dalam, lalu semakin cepat dan
cepat keluar masuk, naik turun. Disertai
lonjakan-lonjakan tubuh kekar di atasku
yang memaksa pahaku terkangkang
selebar-lebarnya. Rasa sakit pun berubah
jadi nikmat.
Aku lupa segalanya, tak ingat siapa pria
yang sedang menyetubuhiku. Jamal,
salesman keliling, yang katanya berasal
dari Bandung kubiarkan menyebadani,
menggauli, menyenggamai, menembus,
mengocok dan menggumuli tubuhku. Aku
terlena dan yang ada hanya rasa nikmat
yang harus kunikmati sepuasnya.
Mumpung ada kesempatan, mumpung ada
yang memberi, mumpung aku butuh,
mumpung aku haus, mumpung ada yang
memuasiku. Tubuhku masih butuh seks,
libidoku masih tinggi, bibirku masih butuh
diciumi, payudaraku butuh disedot-sedot,
vulvaku butuh penis yang tegar panjang
perkasa. Aku masih punya nafsu seks
yang harus dipenuhi. Aku tak mau hidup
gersang.
Dan, aku pun masih bisa orgasme ketika
hunjaman zakar Jamal yang bertubi-tubi
mencapai klimaks. Genjotan pantatnya
begitu kuat membuat penis itu terbenam
dalam-dalam di vulvaku yang sempit.
Nikmat bertemu nikmat dan jreet jreet
jreet kurasakan sperma Jamal
menyemprot, sementara hampir
bersamaan aku cepat-cepat menggamit
paha Jamal sambil mengejan
menumpahkan mani. Tubuh kami
terkejang-kejang kelojotan sambil
mengejan menggelegakkan sperma dan
mani bertubi-tubi. Kedua kelamin kami yang
bertemu saling berdenyut-denyut,
meninggalkan kesan mendalam sehingga
kami lama tidak melepaskannya. Kubiarkan
burung Jamal itu tetap mendekam di
sarangku meski lendir membasahi di
mana-mana.
"Maaf ya, mbak, aku lupa diri," bisik Jamal.
Aku diam memejam, nafasku tersengal-
sengal menahan beban tubuh polos di
atasku. Sementara penis Jamal masih
terbenam, aku hanya bisa kangkangkan
paha dan merasakan denyut-denyutnya
yang masih tersisa.
"Mengapa ini terjadi?"
Aku membatin tak habis mengerti
bagaimana persetubuhan ini berlangsung
begitu saja, padahal selama jadi pemijat
aku selalu menghindarinya. Ya, selama ini
ada cap bahwa setiap wanita pemijat
pasti bisa diajak main seks. Aku berusaha
keras menepis sebutan itu, namun
akhirnya bobol juga hari ini. Justru dengan
Jamal, pria yang sudah jadi langganan.
"Kalau sudah begini, apa bedanya aku
dengan pelacur?"
Aku masih terbengong-bengong dengan
pemikiranku, ketika kembali terasa tubuh
Jamal menekan-nekanku. Zakar pria itu
pun kembali membesar panjang
mengaduk-aduk vulvaku. Ya, ternyata
Jamal dengan cepat bangkit birahiya lagi
dan bangunlah "adik"nya yang perkasa itu,
kembali menikam-nikamku yang perlahan-
lahan kembali terbawa arus kenikmatan.
Malah ikut mengerang ketika nikmat
bersebadan itu menyeruak di vaginaku.
Tak ingat lagi, apakah aku pelacur atau
bukan. Yang penting saat ini aku butuh
nikmat! Persenggamaan pun terulang lagi,
kali ini malah lebih lama. Hampir satu jam
Jamal menusuk-nusukku, menghunjamiku
dengan super torpedonya. Kadang
pantatku diangkatnya atau aku yang
mengangkatnya secara refleks karena
terbawa nikmat tiada tara setelah
beberapa tahun aku tak merasakannya.
Sepertinya aku ingin memuntahkan seluruh
kerinduan persetubuhan.
Aku kembali menggapit paha Jamal, ini kali
yang ketiga aku orgasme. Tubuhku
mengejang terlonjak-lonjak. Jamal sendiri
memang tahan lama dan baru beberapa
menit kemudian melenguh mengeluarkan
energi terakhirnya menyemprotkan
sperma. Sampai kurasakan hangat cairan
itu memasuki perut. Kami benar-benar
habis-habisan. Untuk berdiri pun harus
menunggu beberapa menit setelah deru
nafas mereda.
Jam enam kurang sedikit kutinggalkan
hotel Melati. Jalanku seperti melayang, tak
peduli dua lembar ratusan ribu yang baru
saja masuk ke dompet, pemberian Jamal.
Aku tak bisa menolak, tapi "Semoga Jamal
tidak menganggapku pelacur murahan"
pikirku.
"Kami melakukannya suka sama suka"
Kupanggil becak untuk mengantar ke
rumah.
Itulah yang menjadi awal kisahku
selanjutnya yang lebih mengejutkan
karena aku kemudian terperosok ke
jurang perzinahan yang lebih dalam
dengan orang-orang yang semestinya
kupeluk dengan kasih sayang. Namun,
sebaliknya, justru merekalah yang
akhirnya memelukku dengan nafsu.
*****
"Sampai malam begini, Laris bu?" sambut
Bari, bungsuku yang kelas 3 SMU, ketika
aku tiba di rumah.
"Lumayan" jawabku.
"Ini Ibu bawakan gorengan" kuberikan
sebungkus makanan lalu terus berjalan ke
kamar.
Banu, kakak Bari, mengangkat bungkusan
batikku dan menaruhnya di atas lemari. Ia
sudah empat bulan ini dipehaka dari pabrik
sepatu di Tangerang bersama Basuki
kakaknya. Jadilah tiga pemuda tanggung
anakku sekarang jadi pengangguran dan
kembali bergantung padaku di rumah. Ya,
semuanya terjadi gara-gara krisis di
negeri ini. Banyak perusahaan gulung tikar,
pehaka terjadi dimana-mana. Cari
pekerjaan pengganti juga sulit bukan main.
Mau usaha sendiri, tak ada modal. Hanya
kadang mereka jadi makelar jual-beli
motor tapi inipun hasilnya cuma cukup
buat jajan.
Seusai mandi dan makan, aku ingin cepat-
cepat tidur. Tubuh cape sekali setelah tadi
bertempur habis-habisan dengan Jamal di
Hotel Melati.
"Ibu tidur dulu ya" kataku pada ketiga
anakku yang sedang asyik main kartu.
Aku masuk ke kamar belakang. Rumah itu
memang hanya memiliki dua kamar. Sejak
dua anakku dipehaka maka satu kamar
depan untuk Banu dan Basuki dan
satunya di belakang untukku dan Bari.
Kumatikan lampu lalu kubaringkan diri
melepas penat.
Bayangan pergumulanku dengan Jamal
ternyata tak kunjung hilang dari benak.
Setengahnya ada rasa penyesalan,
namun sebagian lain justru rasa nikmat itu
terus bergelenyar di dadaku, di peruku, di
kulitku, di vulvaku. Tak lama kemudian aku
pun terlelap, ada seulas senyum di bibirku.
Akankah di mimpi aku berjumpa Jamal
lagi?
Ya, ternyata harapanku jadi kenyataan.
Jamal muncul lagi di mimpiku. Kami
bercumbu bagai sepasang kekasih yang
lama tak bertemu. Tubuh telanjangku
dibaringkannya di ranjang, kemudian dia
merangkak di atasku. Menjilati sekujur
tubuh dari perut naik terus hingga bibirku
dan akhirnya agh, terasa sesuatu
menusuk bawah perutku dengan keras
dan tubuhku ditekannya dengan keras.
Tubuhnya terasa semakin berat, berat,
berat dan argghh!
Aku terbangun, dan.. mendapati sesosok
tubuh sedang menindihku. Kurasakan
selangkanganku telah ngangkang dan
sesuatu memasukinya. Kubuka mata
memperhatikan dan dalam sinar lampu
yang masuk dari ventilasi terlihat Bari
sedang menyetubuhiku! Gila!!
"Bar! Bari! Ini aku, ibumu, Bar!" protesku
pada bungsuku yang masih 18 tahun
sambil mendorong tubuhnya sampai
terjengkang ke luar ranjang. Sekilas
terasa penisnya yang tegang keluar dari
vaginaku. Aku segera duduk di ranjang
dan kututup tubuh telanjangku dengan
selimut sambil memperhatikan Bari yang
nampak ketakutan.
"Kenapa kau lakukan ini, Bar?" tanyaku
emosi.
"Ttt ta tadi Ibu sendiri yang mulai"
"Apa? Ibu yang mulai?!" aku tambah sewot
tapi tidak berani teriak keras-keras takut
dua anakku yang lain terbangun.
"Bukankah Ibu tadi sudah tidur?"
"I..iya Bu tapi Ibu seperti mengigau lalu
memelukku" bisik Bari.
Aku yang mendengar penjelasannya jadi
mendelong. Sekilas aku ingat mimpiku
bersama Jamal.
"Ibu terus memelukku dan ak aku jadi
terangsang, bu.." Bari terus terang sambil
menunduk. Sementara aku masih
bertanya-tanya benarkah itu?
"Ceritakan apa yang sudah kulakukan
padamu, Bar?" Sambil kutarik tangannya
ke atas ranjang. Bari menurut sambil
menutupi penisnya dengan sarungnya.
Kududukkan ia di sebelahku.
"Waktu aku tidur, kudengar Ibu mengigau
seperti orang gelisah dan tubuh Ibu
bergerak-gerak. Lalu mendadak Ibu
memelukku dan" Bari diam, aku pingin tahu
kelanjutannya.
"Lalu?"
"Ibu menciumi aku"
"Apa benar?"
"Sumpah, bu." Jawabnya, membuatku jadi
salah tingkah.
"Sebenarnya aku sudah berusaha
membangunkan Ibu tapi gagal. Malah aku
jadi terangsang Apalagi daster Ibu juga
tak karuan lagi letaknya sampai paha Ibu
terbuka"
"Aku tambah terangsang waktu
tersenggol payudara Ibu berkali-kali dan
terangsang untuk meremasnya Aku
tambah berani ketika Ibu hanya mendesis
waktu kuremas, sampai akhirnya pelan-
pelan, maaf, Ibu kutelanjangi. Maaf Bu,
nafsuku, sudah sampai ke kepala sampai
aku menyetubuhi Ibu" cerita Bari sambil
menunduk.
Aku terdiam, tak percaya apa yang
kulakukan di dalam mimpi ternyata jadi
kenyataan. Sialnya, aku telah bersetubuh
dengan darah dagingku sendiri. Akhirnya
akupun menerima penjelasan Bari.
"Baiklah, Bari. Ini jadi rahasia kita berdua
saja. Sekarang tidurlah kembali," pesanku.
Bari segera melingkar di bawah
sarungnya.
Akupun kembali berbaring sambil
berselimut. Kami berdiam diri saling
memunggungi. Begitu mengejutkan
peristiwa tadi sampai aku tak ingat untuk
memakai dasterku lagi yang entah
dilempar kemana. Begitu pula Bari hanya
bertelanjang di dalam sarungnya. Namun
rasa capai mempercepat tidurku. Dan,
mungkin, inilah salahku karena
menganggap sepele peristiwa ini. Aku
menganggap ini peristiwa kecil dan sudah
berakhir, namun tidak demikian dengan
Bari. Pemuda tanggung ini ternyata tetap
memendam hasrat. Kuceritakan yang
berikut ini berdasarkan pengakuannya
setelah segala sesuatunya terjadi.
Malam masih panjang. Aku telah tidur
kembali. Sementara itu, Bari justru tetap
nyalang matanya. Tak ada lagi kantuk di
benaknya. Yang ada justru ingatan
bagaimana tadi dia baru saja menyetubuhi
ibunya. Sayang, belum tuntas. Namun,
kesempatan itu kayaknya masih terbuka,
karena tubuh yang barusan digelutinya itu
masih tergolek di sisinya. Telanjang dan
hanya berselimut lurik. Andai saja selimut
itu bisa dilepas, pasti bisa tuntas
hasratku, pikir Bari.
Setelah terdengar dengkur halus ibunya,
Bari mulai berani membalikkan tubuhnya
sampai telentang. Diliriknya tubuh di
samping kirinya dan tubuh Bari bergetar
ketika melihat sebagian punggung atas
ibunya tidak tertutup selimut. Sementara
kain sarungnya sendiri yang hanya
menutupi sekitar perut dan paha tak
mampu menyembunyikan gejolak syahwat
yang membuat zakarnya tegang berdiri.
Dengan tak sabar dilemparnya sarung ke
bawah ranjang hingga dirinya bugil, lalu
perlahan berguling lagi sampai ia kini
menghadap punggung ibunya. Didekatinya
tubuh bungkuk udang ibunya dari belakang
sampai bau wanita itu tercium kian
merangsangnya.

Ingatannya saat bagaimana dia meremas
tetek ibunya tadi membuatnya berani
menarik ke bawah selimut yang menutupi
punggung mulus itu. Perlahan punggung itu
sekarang terbuka sampai ke pinggang dan
otomatis pasti bagian depannya pun
terbuka polos pula. Teringat bagaimana
tadi ia memeluk ibunya, perlahan Bari
melingkarkan tangan memeluk ibunya dan
merapatkan zakar ke pantatnya. Kulit
dadanya bertemu kulit punggung ibunya,
tangan kanannya memeluk perut ibunya
dan perlahan jemarinya merambat ke
atas. Menggapai dua gunung kembar yang
membusung itu.
Sementara itu kaki Bari tak tinggal diam
membantu menarik selimut ibunya ke
bawah. Terus ke bawah sampai paha-
paha mulus gempal itu tak tertutup lagi.
Maka bugillah kedua ibu dan anak itu. Tidur
berdekapan. Satu terlelap, satunya
bernafsu.
Tak sabar, Bari mulai mengelus dan
meremas pelan payudara montok mulus
itu. Tangannya agak gemetar ketika
menyentuh puting dengan ibu jari dan
telunjuknya. Ditempelkan zakar ke pantat
ibunya yang cukup besar. Dibiarkannya
posisi itu bertahan hampir 30 menit. Dan
ketika ibunya tetap lelap tertidur, Bari
semakin berani. Sambil pura-pura
menggeliat, perlahan ditariknya bahu dan
paha ibunya sampai tubuh wanita itu
telentang. Kemudian dengan penuh nafsu
buah dada yang menggunduk itu dijilatinya.
Dikuaknya selangkangan si ibu lalu
perlahan mengarahkan zakar ke gua
nikmat itu. Tak mau gegabah dan terlalu
kasar seperti tadi, kini Bari melakukannya
dengan halus.
"Bleess" ditancapkan zakar dalam-dalam
ke vagina ibunya lalu pantatnya diam.
Tidak menekan terlalu keras. Malah
lidahnya mulai menyusuri tetek dan dada
ibunya sampai mencapai bibir dan
menciuminya sambil tangannya meremasi
susu montok itu. Aneh benar, Surti, ibunya,
tetap tertidur, seolah tak merasakan
apa-apa. Mungkin ia terlalu penat karena
cape bergelut dengan Jamal tadi siang
dan tidur yang terpotong barusan.
"Eeehhghh.." Surti mendesis lirih ketika lidah
Bari memasuki mulutnya, namun matanya
tetap terpejam. Hanya tubuhnya saja
bergeser kecil dan Bari memberinya ruang
dengan sedikit mengangkat badannya
sehingga tidak terlalu memberati Surti.
Setelah ibunya tenang, kembali Bari
menumpangkan badan di atas tubuh bugil
Surti. Perlahan ia mulai memompakan
zakarnya.
"Shleeb.. shlebb.. jleeb.. jleebb.." berhenti lalu
sambil menekankan zakarnya di kemutnya
puting Surti.
"Egghh eggh..," desis Surti sambil
menggerakkan tubuhnya sedikit namun
tetap tidur.
Anehnya lagi, Bari merasa zakarnya
seperti ada yang menghisap-hisap.
Nikmaat dan membuatnya cepat
mencapai puncak. Buru-buru Bari
memompa lagi cepat-cepat, dan kini ia tak
peduli kalau ibunya bakal bangun karena
gerakan kasarnya.
"Heeh.. heeh.. heeh.." nafas Bari memburu
ketika ia menggerakkan pantatnya
dengan gencar naik turun keluar masuk
menusuk-nusuk lahan Surti sambil
memeluki ketat tubuh ibunya itu dan
mencium ketat bibirnya yang
menggairahkan. Otomatis diperlakukan
demikian Surti terbangun, namun
terlambat Dalam keadaan belum sadar
benar, mendadak Surti merasakan tubuh
di atasnya mengejang-ngejang belasan
kali dan terasa semprotan-semprotan
sperma di rahimnya. Barulah tubuh itu
terjelepak layu menindihnya.
Surti segera mendorong tubuh itu dan ia
segera sadar bahwa Bari telah berhasil
menuntaskan nafsu di atas tubuhnya.
"Ooh Bari.. Bari kenapa kamu tega menodai
ibu?" ratap Surti sambil menangis dan
memukuli tubuh Bari yang hanya diam
membisu memunggunginya. Beruntung
suasana kamar gelap sehingga mereka
tidak dapat melihat kondisi masing-masing.
Bayangkan betapa malu bila mereka saling
bertatapan mata.
"Ma.. maafkan saya, bu. Sss..saya benar-
benar khilaf tidak bisa menahan nafsu"
jawab Bari lirih. Pelan ia berbalik dan
menyelimuti tubuh telanjang Surti.
Kemudian turun dari ranjang, memakai
sarungnya dan melangkah keluar kamar.
Dicarinya air dingin di dapur.
Surti sendiri dalam isak tangisnya kembali
merebahkan diri. Tak tahu harus berbuat
apa pada anak bungsunya itu. Mau
dimarahi? Toh ini sudah terlanjur terjadi.
Mau diusir dari rumah? Ia tak tega. Ia
menyesali dirinya telah tertidur begitu
pulas sampai tak merasa sedang
disetubuhi anak kandungnya sendiri.
Kenapa ia tadi begitu ceroboh dan
menganggap sepele kejadian perkosaan
yang pertama? Sampai tak
memperhitungkan bahwa Bari ternyata
nafsunya tetap berkobar-kobar. Pemuda
seumur Bari memang sedang panas-
panasnya. Nafsunya cepat naik. Apakah
sebaiknya mereka tidak tidur seranjang?
Bari biar tidur dengan kakaknya saja. Tapi
ranjang kamar depan terlalu sempit untuk
bertiga. Apakah ia perlu tukar tempat
dengan Banu?
Namun setelah memikirkan bahwa Banu
pun mungkin juga akan terangsang
nafsunya bila tidur bersamanya (ini
nampak dari bahasa tubuh Banu dan
Basuki, si sulung, yang selama dirantau
menurut dugaan Surti pasti pernah
berhubungan dengan wanita) maka Surti
memutuskan tetap tidur sekamar dengan
Bari. Biarlah kejadian ini hanya kami berdua
yang tahu, pikirnya. Setengahnya ia juga
menyalahkan diri karena telah
merangsang Bari secara tak sengaja
ketika tadi mimpi bersetubuh dengan
Jamal.
Sambil merenung-renung kejadian yang
menimpa dirinya dan Bari, Surti mulai bisa
memaklumi tindakan Bari. Ternyata anak
bungsuku sudah dewasa dan mampu
melakukan kewajibannya sebagai lelaki,
bathinnya. Perlahan mata Surti kembali
terkantuk-kantuk. Masih sekitar jam 2 dini
hari. Sementara itu Bari yang usai minum
air dingin duduk melamun di dapur,
mengenang apa yang baru saja dilakukan
atas tubuh ibunya. Barusan ia juga telah
mencuci zakarnya dengan air dingin
sampai benda lunak itu mengkerut lagi.
Rasa kantuk yang menyerang
membuatnya beranjak kembali ke kamar
tidur.
"Biarlah kalau ibu mau marah lagi," pikirnya
pasrah.
Perlahan Bari membuka pintu, masuk lalu
menutupnya lagi. Ternyata Surti telah
tidur kembali. Kali ini ia malah telentang dan
lagi-lagi hanya berselimut lurik. Bari
mengambil sedikit tempat di pinggir untuk
merebahkan tubuhnya. Sekilas diliriknya
wajah ibunya dalam gelap, hanya nampak
siluet wajah seorang wanita yang belum
tua benar. Namun tetap menarik.
Bari coba memejamkan mata dan tidur.
Tanpa sadar ternyata ia juga tidur hanya
berbalut sarung yang melingkari bagian
perut ke bawah.Cukup lama pemuda
tanggung ini berusaha tidur sewaktu
tanpa diduga Surti mengerang dan
menggeliat ke arah dirinya. Bari gelagapan
ketika tangan Surti justru memeluknya.
Dan tubuh Bari kembali berdesir karena
dada montok ibunya menekan dadanya
meski masih terhalang selimut. Ini
merupakan rangsangan hebat buat Bari,
namun ia tak mau gegabah seperti tadi. Ia
tak mau kejadian tadi terulang. Maka ia
harus mampu menahan nafsunya. Kami
boleh pelukan tapi zakarku tak boleh
tegang, bathinnya. Dengan prinsip itu
akhirnya Bari memberanikan diri balas
memeluk ibunya. Malah lebih dari itu, lagi-lagi
Bari melempar sarungnya yang
mengganggu gerakan paha dan kakinya
sampai bugil. Perlahan ia masuk ke dalam
selimut ibunya dan balas memeluk tubuh
bugil montok semok itu. Ibu dan anak itu
pun tidur berpelukan. Kali ini Bari hanya
menempelkan zakarnya di paha Surti dan
bertahan sekuat tenaga supaya tidak
ereksi. Beruntung matanya terasa sangat
berat sehingga tak lama kemudian ia pun
tertidur berpelukan dengan ibunya.
Udara panas dini hari itu membuat tubuh
mereka berkeringat. Sekitar pukul empat
pagi, seperti kebiasaannya, Surti
terbangun. Lagi-lagi ia hampir terkejut
mendapati dirinya telanjang berpelukan
dengan Bari yang bugil. Selimutnya tak
cukup lebar menutupi tubuh mereka
berdua hingga yang tertutup praktis
hanya sekitar pinggul saja, sedangkan
bagian lain benar-benar terbuka. Surti ingin
mendorong tubuh Bari, namun ia segera
menyadari bahwa Bari saat itu sedang
tidur nyenyak. Ia jadi tak tega sehingga
dibiarkannya posisi tubuhnya yang
telentang sementara Bari menindih sambil
memelukkan tangan dan satu kakinya
berada di sela-sela paha Surti. Surti agak
tenang karena tidak merasakan zakar
Bari ereksi.
Yang menggelisahkan justru tangan Bari
yang menelangkupi buah dada kirinya
serta ketelanjangan mereka.
Bagaimanapun ia masih normal dan
gesekan kulit dengan kulit demikian malah
menimbulkan rangsangan yang perlahan
menggelitikinya syahwatnya. Surti semakin
tak tahan dan berusaha menggeser
tangan serta menjauhkan tubuh Bari
perlahan agar ia tak bangun.
"Eee," terdengar suara erangan Bari yang
merasa tidurnya terganggu.
Ia malah tak mau melepaskan pelukannya,
justru sedikit meremas buah dada Surti,
membuat Surti mendesis.
"Bari, lepaskan Ibu mau bangun" bisik Surti
ke telinga Bari sambil mendorong lebih
kuat.
"Eee.. sebentar, Bu" desis Bari sambil
mempererat pelukannya, menaikkan
tubuhnya dan mengulum puting Surti.
"Sudahlah, Bari jangan diulang kejadian
semalam" Surti menjangkau kepala Bari
sambil menggigit bibir menahan gejolak
syahwat yang berputar di pusarnya.
"Ibu tidak marah?" desis Bari lagi dengan
mata masih setengah terpejam.
"Tidak, Bar sekarang sudahlah, nanti kamu
terangsang lagi" Perlahan Bari menggeser
tubuhnya menjauhi ibunya. Ia melanjutkan
tidurnya, sementara Surti segera bangun,
mencari dasternya yang tercecer di lantai
dan mengenakannya sebelum beranjak
keluar kamar. Sekilas diliriknya tubuh bugil
Bari.
"Ia ternyata sudah dewasa" bathinnya.
Dan, sejak itulah saat-saat tidur bersama
seranjang dengan Bari mulai memasuki
babak baru. Surti tak mampu menolak
manakala Bari dengan manja memeluknya,
menindihnya, bahkan dengan nakal
meremasi teteknya atau malah memaksa
Surti membuka dasternya dan menetek
seperti anak kecil. Bagi Surti sendiri
pelukan, tindihan, kuluman dan hisapan-
hisapan Bari di sekujur tubuh dan buah
dadanya sungguh merupakan rangsangan
yang sulit dihindari. Ia tak mampu menolak
itu semua, bahkan seolah memberi izin Bari
melakukannya setiap malam. Ya, setiap
malam kini ia harus menerima perlakukan
seksual Bari yang tak kenal lelah. Pemuda
tanggung yang tengah panas-panasnya ini
seperti mendapat mainan baru yang
menggairahkan.
Kini Bari tak segan lagi bertelanjang di
depan ibunya, bahkan seringkali ia ikut
menelanjangi Surti hingga hanya tersisa
CD. Bari tak segan lagi menyuruh Surti
memegang zakarnya dan mengocoknya.
Sementara tangannya sibuk memerah
tetek Surti bahkan tak jarang coba
mengelus-elus lubang nikmat Surti meski
dari luar CD. Merasa sudah kepalang
basah, Surti pun menikmati permainan
seksual itu meski ia masih menjaga agar
gua garbanya tak lagi ditembus zakar
Bari. Ia menjepit zakar Bari dengan
pahanya dan membiarkan sperma perjaka
itu muncrat di luar atau di perutnya.
Bahkan akhirnya Bari memaksa Surti
mengulum zakar tegang itu dan menerima
muntahan lahar panas. Mula-mula
dimuntahkannya tapi lama-lama justru
dinikmati dan ditelannya. Ibu dan anak ini
akhirnya saling belajar memuasi dan
dipuasi.
Tak tahan, Surti mulai mengajari Bari
memuasi dirinya pakai tangan dan
akhirnya pakai lidah. Bari yang semula jijik,
lama-lama terbiasa juga menjilati lubang
sempit bergelambir milik Surti. Biji kelentit
dan daerah G-spot merupakan
kenikmatan tersendiri bagi Surti. Sampai ia
kadang orgasme. Mereka berdua
kemudian malah setiap malam tidur
telanjang berpelukan, dan akhirnya Surti
juga mengizinkan Bari menancapkan
zakar ke vaginanya. Bari sudah cukup bisa
menahan diri untuk tidak mengeluarkan
sperma di dalam vagina Surti setelah
diberitahu kemungkinan kehamilan bila
spermanya masuk ke rahim. Ya, selama
beberapa minggu, tanpa sepengetahuan
siapapun, mereka bagai dua pengantin
baru yang asyik dilanda nafsu. Berpacu
mengumbar birahi, tak peduli merupakan
hubungan incest. Bari yang masih muda
begitu semangat dengan kegiatan seksual
mereka sementara Surti yang sudah lama
tidak merasakan belaian laki-laki ingin
kerinduannya dipuasi. Nafsunya belum
padam. Berbagai gaya mereka lakukan,
dari yang konvensional sampai gaya anjing
kawin, 69, sambil duduk berhadapan atau
Surti di pangkuan Bari dan seterusnya.
Pokoknya nikmat dan uenaak tenaan..

Sampai di suatu pagi sekitar jam 6 pagi
Surti merasa tubuhnya sedang
digerayangi Bari, padahal ia merasa masih
sangat mengantuk setelah semalaman
bertempur seru sampai dini hari.
Dibiarkannya Bari merenggangkan
pahanya dan untuk kesekian kalinya
menelusupkan zakar tegangnya lalu mulai
mengocoknya. Keras, cepat dan semakin
cepat seperti terburu-buru Bari mengayun
pantatnya. Ia ingin menyalurkan nafsunya
yang muncul di pagi hari, sementara jam
tujuh ia juga harus masuk sekolah.
Genjotan Bari yang sedemikian keras
lambat laun juga merangsang Surti
menggapai nikmat di pagi itu. Sayangnya
selagi Surti baru mencapai tahap
pemanasan, mendadak tubuh Bari sudah
terkejang-kejang lalu buru-buru ia
mencabut penisnya dari lubang nikmat
ibunya serta merta menyemprotkan
sperma dengan deras ke perut ibunya.
Disusul mengoser-oserkan zakar tegang
itu ke seluruh dada hingga berakhir di
jepitan tetek Surti.
Vagina Surti masih berdenyut-denyut ingin
dipuasi ketika Bari sudah meloncat keluar
kamar untuk bersiap ke sekolah. Tinggallah
Surti sendiri kecewa sambil mengelus-elus
vagina dan meremasi teteknya sendiri.
Nafsunya belum tuntas! Bari egois, hanya
mau memuasi dirinya saja, tak peduli
ibunya kelojotan menahan nafsu. Baru
sekitar jam tujuh pagi Surti bangkit
mengelap noda-noda di badan dengan CD-
nya lalu mengenakan dasternya dan
merapikan ranjang yang hampir tiap hari
harus ganti sprei karena penuh bercak
sperma dan mani mereka. Dibawanya
sprei dan pakaian kotor ke tempat cucian,
direndamnya dan ditaburi deterjen bubuk.
Terdengar ada yang sedang mandi, pasti
Banu pikir Surti. Banu, kakak Bari,
termasuk rajin cari tambahan penghasilan.
Meski kadang pulang dengan tangan
hampa tapi ia selalu rajin bangun pagi,
mandi lalu pergi entah kemana. Cari
obyekan, katanya setiap ditanya.
Pintu kamar mandi terbuka, Banu muncul.
"Mau kemana Nu?" tanya Surti.
"Cari motor, Bu. Kemarin ada teman cari
motor bekas yang murah-murahan. Moga-
moga motor Pak Panut belum dijual."
"Rumah Pak Panut agak masuk ke desa
kan?"
"Iya, Bu, saya tahu. Paling nanti sampai
sore baru pulang"
Sementara Surti menjemur pakaian,
terdengar Banu pamit mau pergi.
"Saya pergi ya, Bu!" serunya.
"Ati-ati ya Eh, Basuki dimana?"
"Biasa, belum bangun, Bu" jawab Banu
sambil keluar rumah. Pintu rumah
ditutupnya. Selesai menjemur pakaian,
Surti lalu mandi, dicucinya sekalian daster
yang dipakainya. Seusai mandi ia hanya
berbalut handuk menutupi payudara
hingga pahanya, menjemur pakaiannya.
Melangkah masuk ke rumah, dilihatnya
Basuki duduk bersarung dan telanjang
dada di kursi makan, melamun.
Pandangannya kosong. Surti kasihan juga
melihat sulungnya yang 25 tahun itu tak
juga kunjung bekerja lagi.
"Sudahlah Bas, jangan melamun terus"
bujuk Surti sambil mengambilkan segelas
teh.
Diangsurkannya teh itu kepada Basuki,
kemudian dijangkaunya kepala Basuki dan
dielus-elusnya seperti kebiasaannya waktu
kecil dulu. Basuki memejamkan mata dan
mendadak tubuhnya seperti menggigil.
"Kamu kenapa Bas?" tanya Surti heran
melihat putranya.
Dan lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba
Basuki bangkit dan berbalik memeluki
dirinya seperti orang kesetanan.
"Bu.. tolong aku.. Bu" desisnya membuat
Surti tambah panik.
"Bas, Bas! Kamu kenapa?" Surti bingung
dan berusaha melepaskan diri.
Tapi tenaga dan tubuhnya yang hanya
setinggi pundak Basuki tak mampu
menahan ketika perlahan namun pasti
Basuki mendorongnya ke kamar. Bahkan
pergulatan mereka serta gesekan dengan
kulit dada Basuki membuat handuknya
terlepas dan sarung Basuki melorot. Surti
geragapan ketika tubuh bugilnya diangkat
Basuki ke atas ranjang dan digeluti.
"Bas! Bas! Gila kamu.. ini aku ibumu!" Surti
terus berontak sambil mendorong dan
memukuli. Namun Basuki terus
menggelutinya.
"Bu tolong Bu, aku pingin sekali aku butuh."
dan sadarlah Surti bahwa saat itu Basuki
sedang dilanda birahi. Ia pasti pernah
merasakan tubuh wanita dan sekarang,
setelah lama puasa, butuh penyaluran.
"Apakah aku harus memenuhi
hasratnya?" pikir Surti cepat.
"Bas Bas jangan Ibu kau jadikan
pelampiasan Ugh" Surti tak menyelesaikan
kata-katanya karena putingnya dihisap
keras sementara tangan Basuki
menggosok-gosok dan memasukkan
jemari ke vaginanya dengan ganas.
Mengaduk-aduknya. Surti tergerinjal,
nafsunya yang tadi belum dituntaskan
Bari kembali bangkit.
"Ah, kenapa lagi-lagi aku dinodai anakku?"
jerit hati Surti.
Tenaganya melemah.
"Bas egh jangan Bas," lemah suara Surti
ketika melihat zakar Basuki tegang
panjang memerah dengan urat-urat
kehitaman di sekelilingnya.
"Aku tidak tahan lagi, Bu" Basuki
menempatkan pantatnya di antara paha
Surti, mengarahkan pedang tumpulnya ke
lubang nikmat ibunya lalu.
"Sleepp sleep bless bless" Surti sampai
terangkat pantatnya ketika zakar
panjang nan tegar milik Basuki mencapai
rahimnya dan menyentuh-nyentuh pusat
kenikmatannya. Kemudian dengan cepat
menusuk-nusuk dan memompanya
bertubi-tubi.
"Shh shh sudah Bas.. cukup stop Ibu nggak
tahan" bibir Surti bergumam menolak tapi
entah kenapa tangannya justru
merangkul erat leher Basuki dan membuka
pahanya semakin lebar. Basuki tak peduli,
terus bergoyang dan bergerak naik turun.
"Hshh hshh cukup Bas jangan kamu
keluarkan spermamu di dalam Ibu bisa
hamil" Surti semakin terhanyut oleh
gerakan Basuki yang jauh lebih lihai
dibanding Bari.
Tanpa sadar ia mulai mengimbangi dengan
putaran pantatnya Basuki sendiri seperti
tak mendengar suara Surti dan benar
saja beberapa menit kemudian, dengan
zakar tetap menancap, tubuhnya mulai
terkejang-kejang berkejat-kejat lalu
"croott croott.." bersamaan dengan
tekanan pantat ke vagina ibunya sekeras-
kerasnya muncratlah sperma membanjiri
rahim Surti. Gilanya Surti justru
menggapitkan pahanya erat-erat ke
pantat Basuki serta memeluk
punggungnya erat-erat dan maninya pun
mengalir deras. Basuki ejakulasi. Surti
orgasme. Bareng.
Sejurus kemudian dua tubuh layu yang
berpelukan erat itu saling melepaskan diri.
Terjelepak kelelahan, terbaring telentang.
Dada mereka naik turun ngos-ngosan.
Masing-masing dengan pikiran melayang-
layang. Basuki dengan kesadaran sudah
menyetubuhi Ibu kandungnya dengan
nafsu sebagaimana ia dulu sering salurkan
ke wanita bayaran. Sementara Surti
sadar bahwa lagi-lagi ia telah bersetubuh
dengan anak kandungnya. Lagi-lagi ia jadi
pelampiasan nafsu anaknya. Tapi
bukankah ia juga ikut menikmati lampiasan
nafsu itu? Malah seperti membuka pintu
kesempatan untuk terjadinya seks incest
itu?
"Kamu sudah puas, Bas?" tanya Surti
berusaha tegar, "kalau belum cepat
lampiaskan lagi hasratmu ke tubuh Ibumu
ini biar tuntas sekalian biar kamu tidak
melamun yang tidak-tidak lagi" entah
keberanian dari mana Surti mengucapkan
tantangan ini.
Tentu saja Basuki terkejut. Perlahan ia
memiringkan tubuhnya dan dipandanginya
wajah wanita setengah baya yang adalah
Ibu kandungnya itu. Wanita yang tubuhnya
bugil telentang itu matanya terpejam.
Mengingatkan Basuki pada seorang
wanita sebaya yang dulu pertama kali
merenggut perjakanya di rantau. Ya,
Basuki ingat benar bagaimana ia melepas
perjakanya di atas tubuh istri majikannya
yang kesepian karena sering ditinggal
suaminya pergi bisnis. Beberapa bulan
mereka berhubungan. Dan entah kenapa
sejak itu Basuki selalu menyukai
berhubungan badan dengan wanita yang
lebih tua, baik wanita bayaran atau yang
sekedar cari teman bersebadan.
Kini, setelah berbulan-bulan puasa, Basuki
tak tahan untuk meletupkan hasrat
syahwatnya. Untuk mencari wanita
bayaran ia tak lagi punya modal, untuk
mencari istri-istri kesepian tak lagi
semudah di kota besar dulu. Akhirnya
diam-diam ia memendam hasrat nafsu
pada Surti, yang semula ditahan-tahannya
karena bagaimanapun dia adalah Ibu
kandungnya. Namun bendungan itu jebol
pagi ini ketika nafsu telah merasuk sampai
di ubun-ubun Basuki dan kesempatan
terbuka manakala rumah sepi dan Surti
seperti menantangnya dengan hanya
berbalut handuk. Sama seperti wanita
yang dulu memperjakainya juga hanya
berbalut handuk ketika menyeretnya ke
ranjang nikmat.
Demi mendengar tantangan ibunya,
percaya nggak percaya Basuki
mendekatkan wajah ke muka Surti.
Namun mata Surti terus terpejam, seolah
menanti aksi Basuki selanjutnya.
Pandangan Basuki menyapu seluruh
wajah lalu menurun ke payudara montok
meski agak kendor, perut yang masih
langsing lalu bukit rimbun di bawahnya
yang masih tersisa lengket cairan mereka
tadi. Antara sadar dan tidak Basuki
menggerayangkan tangan ke sekujur
tubuh ibunya. Tubuh Surti jadi merinding.
Digigitnya bibir bawah, coba bertahan dari
rangsangan itu. Namun sulit sekali, terlebih
manakala Basuki dengan piawainya mulai
menggunakan lidahnya menggantikan
tangan. Seperti lintah, lidah itu bergerak
menelusuri wajah, leher, payudara, perut,
pusar hingga akhirnya bermuara di
kerimbunan semak-semak lebat Surti.
Dikangkangkannya paha Surti lalu. dengan
ganas lidah Basuki menyapu, menelusup
dan menjilat-jilat liar lubang nikmat Surti.
Menimbulkan rangsangan hebat yang
membuat Surti refleks memegang kepala
Basuki dan menekannya seolah ingin
memasukkan seluruhnya ke lubang
vaginanya.
Sekejap saja Surti telah orgasme dan
sekejap itu pula Basuki membersihkan
seluruh mani yang keluar dengan lidahnya,
diminumnya. Lalu lidah itu terus mengerjai
vagina Surti, kadang kasar kadang halus.
Sampai beberapa menit kemudian Surti
kembali harus mengejan berkejat-kejat
mengeluarkan maninya lagi. Orgasme lagi.
Lagi dan lagi Entah sudah berapa kali Surti
kelojotan orgasme tapi Basuki tetap
segar menggarap lubang nikmat itu
dengan lidahnya.
"Agh.. am.. ampun Bas cukup Ibu tak tahan
lagi Ibu lemes banget" desis Surti sambil
terus meremasi rambut kepala Basuki
setelah orgasmenya yang ketujuh atau
delapan.
Tulangnya seperti dilolosi. Sementara lidah
Basuki masih mempermainkan klitnya,
menggigit-gigit kecil, menarik-nariknya. Ibu
dan anak sudah tak ingat lagi hubungan
darah di antara mereka. Yang penting
gejolak nafsu terpenuhi.
Surti tak mampu menggerakkan tubuh lagi
ketika Basuki merayapi tubuhnya lalu sekali
lagi menancapkan zakar tegarnya ke
lubang vagina Surti menggantikan lidahnya.
"Jangan keras-keras, Bas" pinta Surti
yang merasa ngilu di vaginanya. Rupanya
Basuki tahu itu dan ia menggerakkan
pantatnya dengan santai, tidak tergesa-
gesa. Justru kini ia lebih mementingkan
pagutan bibir dan lidahnya memasuki mulut
Surti. Saling belit, saling sedot, sambil
tangannya meremas-remas gundukan
gunung kembar Surti hingga puting itu jadi
keras.
Sampai berjam-jam lamanya Basuki
memperlakukan ibunya seperti itu tanpa
sekalipun ia ejakulasi. Sementara Surti
entah sudah berapa belas kali orgasme,
rasanya habis seluruh maninya. Setelah
hampir tiga jam, Basuki berbisik, "Ak aku
mau keluar, Bu"
"Jangan di dalam, Bas Ibu bisa hamil"
"Keluar di luar tidak enak, Bu" Basuki
meneruskan genjotannya.
Cepat, cepat dan semakin cepat. Surti ikut
terlonjak-lonjak mengikuti irama tarikan
zakar Basuki. Tak mampu menolak
kemauannya sampai akhirnya Basuki
kejang-kejang sambil menyemprotkan
sperma berliter-liter. "Creett.. Cruutt.."
belasan kali bagai air bah. Lalu tubuh kekar
itu diam menelungkupi Surti tanpa
mengeluarkan zakarnya dari vagina.
Denyut-denyutnya masih dirasakan Surti.
Gila benar ini anak bisa tahan sedemikian
lama.
Kelelahan membuat mereka tidur
berpelukan. Surti tak ingat lagi untuk pergi
ke pasar. Sudah terlalu siang setelah
empat jam pergumulan tadi. Justru yang
terbayang kini adalah kejadian yang bakal
dilaluinya di hari-hari berikut, yakni harus
melayani kebutuhan seks si sulung dan
bungsu bergantian. Si bungsu di malam
hari, dan si sulung di siang hari. Mereka
tidak boleh saling tahu.
Namun, bagaimana dengan Banu, anak
kedua. Apakah ia juga akan minta jatah
untuk menyetubuhinya? Kuatkah Surti
menghadapi tiga "pejantan" ini setiap hari?
Bagaimana kalau suatu ketika ia digarap
mereka bertiga ramai-ramai? Atau
sepanjang hari digilir mereka? Surti tak
mampu membayangkan itu semua.
Surti mengharap tanggapan pembaca,
apakah skandal nikmat dengan anak-anak
kandung ini akan terus dilanjutkan dengan
anak kedua, atau cukup dengan si bungsu
dan si sulung saja? Adakah pembaca
yang mau memberi saran buat Surti?
Kirim email ke penulis, akan disampaikan
kepada Surti sehingga ia memiliki kepastian
dalam bertindak. Yang jelas ia sekarang
rajin minum pil KB supaya tidak hamil dan
melahirkan anak sekaligus cucu sendiri.
Terima kasih. Salam dari Surti untuk
semua pembaca.

Beberapa minggu setelah kejadian
pertama dengan Basuki, aku telah berpikir.
Aku rasa anakku yang kedua, Banu, juga
harus mendapatkan jatah seperti kedua
saudaranya. Tidak adil rasanya jika dia
tidak mendapatkannya. Lagipula, semua
yang aku lakukan sudah telanjur jauh.
Mengapa tidak aku teruskan saja. Hanya
saja aku belum mendapatkan cara yang
tepat untuk meminta anakku Banu.
Mungkin aku sudah terkena penyakit
kelainan sex karena aku sangat menikmati
hubunganku dengan anak-anakku sendiri.
Tapi biarlah, daripada harus menjajakan
diri, aku pikir lebih baik begitu. Kesempatan
untuk bersetubuh dengan Banu akhirnya
datang ketika kedua Saudaranya sedang
tidak ada di rumah.
Bari sedang ke rumah temannya,
sedangkan Basuki pergi ke kota lain
selama beberapa hari. Jadi otomatis aku
tidak mendapatkan kepuasan selama
beberapa hari itu, karena aku tidak
disentuh oleh kedua anakku yang telah
menjadi pemuas nafsuku. Aku tidak
mampu lagi menahan nafsuku untuk
bersetubuh, dan aku tidak mau
bersetubuh dengan orang lain yang tidak
aku kenal. Aku bingung. Sampai ketika aku
sedang duduk di ruang tengah aku melihat
Banu yang baru saja selesai mandi dan
keluar dari kamar mandi dengan hanya
mengenakan celana pendek. Aku
terkesiap. Ternyata tubuh Banu tidak jauh
berbeda dengan kedua saudaranya.
Atletis dan juga mengagumkan. Hasratku
yang sudah sampai ke ubun-ubun
menggelapkan nuraniku. Aku berpikir,
biarlah sekalian aku nikmati tubuh semua
anak-anakku. Tanpa pikir panjang, aku
panggil Banu.
"Banu, kemari sebentar Nak," panggilku.
Banu menoleh ke arahku dan berjalan
menghampiriku.
"Ada apa Bu? Banu baru mandi nih. Mau
pake baju dulu," kata Banu sambil
menghampiriku.
"Tidak usah pakai baju Nak. Kemari
sebentar. Ibu mau bicara dengan kamu."
Kataku meyakinkan Banu.
"Tapi Bu, Banu kedinginan. Banu mau pakai
baju dulu," jawab Banu ngotot.
"Udah, nggak usah membantah Ibu,"
kataku sambil berdiri dan menarik tangan
Banu untuk mendekat.
"Duduk di samping Ibu," kataku lagi.
Banu pun akhirnya menurut dan duduk di
sampingku. Aku pandangi tubuh setengah
telanjang yang duduk di sampingku.
Sempurna. Itulah yang ada di benakku
saat ini.
"Boleh Ibu tanya Nak?" tanyaku kepada
Banu.
"Ya tentu saja boleh Bu, emang ada apa
sih?" Banu balik bertanya kepadaku sambil
matanya memandangku penuh selidik.
"Kamu udah punya pacar Nak?" tanyaku
basa basi.
"Ya belum donk Bu, emang kenapa sih Ibu
tanya itu?" jawab Banu.
"Jadi kamu belum pernah ciuman donk?"
tanyaku memancing.
Banu kelihatan keheranan dengan
pertanyaanku tadi. Dia hanya diam
beberapa saat.
"Ya belum pernah donk. Kok Ibu tanya
begitu sih? Ada apa?" tanya Banu
keheranan.
"Nggak kok. Kalau memang belum pernah,
Ibu cuman ingin mengajari kamu ciuman. Itu
pun kalau kamu mau?" jawabku ngawur.
"Ibu serius? Ibu nggak sedang bercanda
kan?" tanya Banu lagi dengan nada tidak
percaya.
Aku hanya menganggukkan kepala, lalu
mendekatkan tubuhku kepadanya. Kepala
kami begitu dekat sehingga aku bisa
merasakan hembusan nafasnya. Aku
dekatkan bibirku ke bibirnya. Lalu aku
tempelkan bibirku. Banu hanya diam saja
dan tidak bereaksi. Aku mencoba lebih
aktif lagi. Aku dekap tubuhnya, sehingga
tubuh kami bersatu.
"Kalau ciuman, bibirnya dibuka sedikit donk
Nak," pintaku karena bibir Banu hanya
tertutup rapat.
Aku cium lagi bibirnya, dia membuka
bibirnya sedikit sehingga aku mencoba
memasukkan lidahku ke mulutnya. Lidahku
dan lidahnya beradu di dalam mulutnya.
Terkadang aku sedot mulutnya untuk
mendapatkan sedikit air ludahnya. Lalu aku
telan air ludahnya yang terasa nikmat.
Setelah sekitar 15 menit kami berciuman
dengan mesranya, aku lepaskan
dekapanku pada tubuhnya. Banu seperti
tidak rela untuk melepaskan diriku.
"Bagaimana Nak? Kamu suka?" tanyaku.
"Enak sekali Bu. Boleh lagi? Banu masih
pengen nih." Kata Banu sambil terengah-
engah.
"Boleh saja Nak. Bahkan lebih juga boleh
kok." kataku lagi.
Aku berdiri di hadapannya. Lalu aku
perlahan-lahan menurunkan resleting
dasterku. Aku turunkan dasterku dan aku
buang ke samping sofa. Sekarang aku
hanya menggunakan BH dan celana dalam
saja. Aku lihat Banu terkesiap dan
menelan ludah melihat pemandangan yang
indah di depannya. Aku melangkah
mendekat ke arahnya. Aku dekatkan
wajahku. Kami pun berciuman kembali. Kali
ini Banu sudah lebih mahir. Dia
memasukkan lidahnya ke dalam mulutku.
Lidah kami bertautan seperti dua ekor ular
yang sedang bertarung.
Hanya suara desahan kami berdua yang
memenuhi ruangan itu. Aku pegang
tangan kanannya dan aku arahkan ke
buah dadaku yang masih terbalut oleh bra.
Secara alami tangan Banu mulai
meremas-remas payudaraku dari luar bra.
Aku semakin terangsang saat tangannya
meremas payudaraku. Tangan kiriku
mengusap-usap bagian luar celananya.
"Buka BH Ibu, sayang.. Ohh," pintaku sambil
mendesah.
Tanpa diminta dua kali, tangan Banu
dengan cekatan membuka kaitan BH-ku.
Kini di depan wajahnya terpampang dua
buah bukit kembar yang sangat ranum
dan menggairahkan.
"Bu, susu Ibu gede sekali, ukuran berapa
sih Bu?" tanya Banu takjub melihat
besarnya payudaraku.
"38B sayang, gede kan? Kamu suka
sayang?" jawabku penuh nada
kebanggaan pada propertiku yang satu ini.
"Pegang susu Ibu sayang," pintaku sambil
mendekapkan tangannya ke payudaraku.
Mungkin ini yang disebut dengan nafsu
alami. Secara otomatis tangannya mulai
meremas-remas payudaraku. Aku hanya
bisa mendesah-desah tak karuan
mendapatkan perlakuan seperti itu. Tak
hanya meremas-remas, sepuluh menit
kemudian Banu secara naluriah mulai
mengecup dan menjilati kedua gunung
kembar yang ada di depannya.
"Ahh.. Enaak.. Sayang.. Teruuss.. Emmpphh.."
aku meracau tak karuan mendapat
perlakuan seperti itu.
Kini hanya sehelai celana dalam yang
melekat di tubuh kami. Tak sabar, aku
menjauhkan kepala Banu dari kedua
gunung kembarku. Aku suruh Banu untuk
duduk di sofa. Peluh membasahi tubuh
kami berdua meskipun permainan baru
saja di mulai. Aku berjongkok di antara
kedua belah pahanya yang terbuka. Aku
pandangi tonjolan besar yang berada
dalam penjara yang disebut celana dalam.
Aku usap-usap bagian luar celana Banu.
Banu menggelinjang mendapat perlakuan
seperti itu. Perlahan aku pegang pinggiran
celana dalam Banu dan aku berusaha
untuk melepaskan celana dalam itu dari
tubuhnya.
Sebuah pemandangan yang sangat indah
bagiku terpampang begitu saja ketika
celana dalam itu sudah lepas dari
tubuhnya. Kini Banu sudah telanjang bulat.
Kontol yang sangat besar, dengan
panjang sekitar 18 cm dan diameter yang
cukup besar membuat diriku menelan
ludah. Aku pegang kontol Banu dengan
tangan kananku. Aku elus-elus kontol itu
pelan-pelan. Banu hanya mendesah saja
mendapatkan perlakuan itu. Aku dekatkan
wajahku ke kontol Banu. Aku ciumi ujung
kontol yang merekah itu, lalu aku jilati
kontol itu. Banu semakin tidak karuan
mendapat perlakuan yang semakin
merangsang itu. Lima menit kemudian, aku
masukkan kontol Banu ke dalam mulutku
dan aku oral kontol Banu.
"Ohh.. Enaakk Buu.. Teruus.." Banu
mendesah.
Aku memasukkan kontol Banu ke dalam
mulutku dan juga secara bergantian
mengocok kontolnya dengan tangan
kananku sambil menjilati buah pelirnya.
Setelah itu aku masukkan lagi kontol Banu
ke dalam mulutku lalu aku memaju
mundurkan mulutku sedangkan tanganku
bekerja meremas-remas kedua pelirnya
dengan lembut.
"Enaakk.. Bu.. Kontooll.. enaakk.. Teruss.."
Kata-kata semacam itu terus-menerus
keluar dari mulut Banu. Sekitar sepuluh
menit kemudian Banu memegang bagian
belakang kepalaku seakan-akan tidak mau
melepaskan hisapan mulutku dari
kontolnya.
"Buu.. Mauu.. Ke.. Lu. Aar.. Ceepaat.." teriak
Banu.
Aku semakin mempercepat kocokan
mulutku di kontolnya. Tidak lama kemudian
aku merasakan adanya denyutan-
denyutan yang menandakan kalau Banu
akan mencapai puncak.
"Keluarkaan sayang, keluarkan di mulut
Ibu," kataku di antara desahan nafasku
dan nafasnya dan di antara kesibukanku
mengoral kontolnya.
Creet.. Croot.. Creet.., mungkin sebanyak
sembilan atau sepuluh semprotan sperma
Banu memenuhi rongga mulutku. Hampir
saja mulutku tidak dapat menampung
banyaknya semprotan sperma Banu yang
sangat banyak itu. Wangi dan gurih, itulah
yang aku rasakan. Mungkin dikarenakan
Banu masihlah perjaka (atau tidak??).
Banu duduk telentang dan bersandar di
sandaran sofa dengan nafas yang
terengah-engah seperti baru berlarian.
Tapi, dia memang baru saja 'berlarian'
mengejar nafsunya bukan? Aku lalu duduk
di sampingnya. Aku biarkan dia istirahat
dulu, aku tidak ingin terburu-buru meskipun
nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun. Ini
adalah yang pertama baginya. Aku ingin
kepuasan untuk kami bedua.
"Kamu capek Nak? Pejumu tadi benar-
benar lezat Nak. Ibu sangat menikmatinya",
sanjungku tentang spermanya yang aku
telan tadi. Banu hanya tersenyum saja
mendengar sanjunganku.
Setelah aku melihat Banu sudah mulai
tenang, aku dekatkan wajahku ke
wajahnya. Seperti sudah mengerti yang
aku maksud, Banu juga mendekatkan
wajahnya ke wajahku. Mulut kami bersatu
dan kami berciuman. Aku buka sedikit
mulutku, bagitu juga Banu. Lidahnya mulai
masuk ke dalam mulutku dan menyapu
seluruh rongga mulutku. Kedua lidah kami
beradu, saling membelit dan saling menjilat.
Aku dekap tubuhnya erat sedangkan
Banu memegang bagian belakang
kepalaku. Aku rasakan kedua gunung
kembarku bersentuhan dengan dada
bidang milik Banu. Banu berusaha
menidurkan aku di sofa sambil kedua
tangannya bergerilya di seluruh tubuhku.
Sekarang aku telentang di sofa dan Banu
berada di atas menindihku.
"Ludahi Ibu, Nak. Ibu haus. Ludahi Ibu,"
pintaku kepada Banu untuk memberikan
air ludahnya kepadaku.
Banu menjauhkan sedikit mulutnya dari
mulutku. Mulut Banu mengecap-kecap,
berusaha mengumpulkan air ludah
sebanyak-banyaknya. Setelah dirasa
cukup banyak, Banu mendekatkan
mulutnya kembali ke mulutku. Aku
membuka mulutku seperti ikan yang
megap-megap kekurangan air. Perlahan
Banu membuka mulutnya. Aku dapat
melihat air ludah yang mengucur keluar
dari mulut Banu. Aku dekatkan mulutku
dan aku satukan mulutku dengan mulut
Banu. Aku tampung semua air ludah yang
dikeluarkan oleh Banu. Aku katupkan
mulutku lalu aku kecap-kecap sebentar
kumpulan air ludah Banu yang berada di
mulutku lalu aku menelannya. Aku dekap
kepalanya lalu kami berciuman kembali. Aku
rasakan di bawah, kontolnya kembali
menegang. Sesaat kemudian, aku
lepaskan dekapanku lalu aku dorong tubuh
Banu ke bawah.
"Buka celana dalam Ibu Nak. Ayo lakukan,"
aku meminta Banu untuk membuka celana
dalamku.

Banu mendekatkan kedua tangannya ke
pahaku lalu menarik celana dalamku ke
bawah. Aku mengangkat pantatku sedikit
untuk memudahkan dirinya menelanjangiku.
Tak sampai hitungan menit, celana
dalamku sudah lepas dari tubuhku. Kini
kami berdua sudah dalam keadaan
telanjang bulat. Sekarang Banu benar-
benar terpana melihat pemandangan
paling indah yang tidak pernah dilihat atau
bahkan diimpikan sepanjang hidupnya. Di
hadapannya, sebuah vagina yang bersih
karena tidak ada bulu-bulunya
terpampang jelas di depan matanya. Aku
melihat keragu-raguan di matanya. Seperti
seorang guru yang sedang mengajari
muridnya, aku dekatkan kepala Banu ke
vaginaku.
"Jangan bengong aja Nak. Cium memek ibu,
jilat memek Ibu. Lakukan apa saja Nak,"
aku menyuruh Banu untuk melakukan
aksinya.
Tak lama, Banu mendekatkan kepalanya
ke vaginaku dan mulai menciumi
permukaan vaginaku. Aku mendesah
pelan. Lima menit setelah puas menciumi
seluruh permukaan vaginaku, Banu
mengeluarkan lidahnya dan mulai menjilati
vaginaku. Aku merasakan permukaan
yang kenyal dan basah yang menyentuh
vaginaku. Perasaanku semakin tidak
karuan saja. Tangan kananku berusaha
membantu. Dengan dua jari aku berusaha
membuka vaginaku sehingga sekarang
tidak hanya permukaanya saja yang
tersapu oleh lidah Banu, tetapi lidah Banu
juga mulai masuk ke dalam vaginaku. Banu
bahkan bisa menggigit-gigit kecil.
Nafasku semakin tidak beraturan. Tanpa
diperintah, Banu memasukkan dua jari
tangan kanannya ke vaginaku. Aku
semakin tidak karuan saja. Dia mengocok-
ngocok vaginaku sambil tetap menjilatinya.
Pantatku bergoyang-goyang tidak karuan.
Tidak puas hanya menjilati vaginaku saja,
saat pantatku terangkat Banu juga
menjilati lubang pantatku. Aku sebenarnya
ingin melarangnya karena itu menjijikkan
tetapi aku tidak sanggup karena nafsu
sudah menguasaiku. Tidak sampai lima
belas menit kemudian aku merasakan ada
dorongan kuat dalam diriku.
"Ahh.. Ibuu mauu keluuaar.. Naakk.." teriakku
mendekati orgasmeku yang pertama.
Serr.., ser.., air maniku muncrat keluar.
Seakan tidak ingin mengecewakan Ibunya,
Banu membuka mulutnya lebar-lebar
untuk menampung muncratan air maniku.
Beberapa semprotan sempat mengenai
wajahnya. Mulutnya menggembung
seakan tidak muat menampung
banyaknya air maniku yang memang
sudah tidak keluar selama beberapa hari.
Aku mengira Banu akan menelan air
maniku, tetapi ternyata pikiranku salah.
Setelah yakin bahwa vaginaku sudah tidak
mengeluarkan mani lagi, Banu
mendekatkan kepalanya ke kepalaku. Aku
masih belum tahu apa maksudnya.
Tangan kanan Banu memegang pipiku
memintaku untuk membuka mulutku. Aku
dapat menebak apa maunya, dan entah
mengapa aku mau saja membuka mulutku
lebar-lebar. Banu membuka mulutnya
sedikit demi sedikit. Dan sedikit demi
sedikut pula, setetes demi setetes air
maniku yang sudah ditampung Banu di
mulutnya menetes ke mulutku. Aku
menerima tetesan demi tetesan.
Tak lama, Banu mendekatkan mulutnya
dan menciumku dengan mulut yang sedikit
terbuka. Air mani yang sudah berpindah
tempat ke mulutku dipermainkannya. Lalu
Banu membalik tubuhku sehingga kini aku
berada di atas tubuhnya sambil kedua
mulut kami masih tetap menyatu. Dalam
posisi di atas Banu, mau tidak mau air
maniku yang sudah berada di mulutku
kembali mengucur ke mulutnya karena
mulut kami berdua membuka. Tak menyia-
nyiakannya, kali ini Banu langsung menelan
semua air maniku yang tadi kami buat
mainan di mulut kami berdua. Ditelannya
semua air mani itu tanpa sedikitpun yang
tersisa untukku.
"Aahh.. Segar sekali air mani Ibu.. Enak Bu..,"
kata Banu sambil tersenyum di sela
daesah nafasnya yang masih tidak
teratur.
"Kamu suka Nak? Ibu senang kalau kamu
menyukainya. Peju kamu juga enak kok,"
kataku menimpali, sambil tersenyum
kepadanya.
Tak berlama-lama, aku turun ke bagian
selangkangannya. Aku pegang kontolnya
yang masih tegang seperti tiang bendera.
Aku pegang kontol Banu dengan tangan
kananku. Tidak menunggu lama, aku oral
lagi kontol Banu. Banu kembali mendesah-
desah mendapat perlakuan itu lagi. Aku
memajumundurkan mulutku yang sedang
menghisap kontol anakku. Sepuluh menit
kemudian, aku minta Banu untuk berdiri
dari sofa. Aku tidur telentang di sofa
menggantikan dirinya.
"Masukkan kontolmu sayang. Memek Ibu
sudah pengen ngerasain kontol gedemu,"
pintaku kepada Banu sambl menyibakkan
lubang vaginaku untuk memudahkan
penetrasi yang akan dilakukan Banu.
Banu memegang kontolnya dan bersiap-
siap untuk mencobloskan ke vaginaku.
Diusap-usapkannya ujung kontolnya di
pintu masuk vaginaku dan.. Breess..
"Aahh..," teriakku ketika kontol gede itu
menembus vaginaku.
Sleep.. Sleep.. Plok.., suara kocokan kontol
banu di vaginaku.
"Enaakk.. Yaangg.. Teruss.. Kontolmu gede..
Naak.." aku meracau tidak karuan.
Banu tidak berkata apa-apa. Hanya
desahan-desahan yang semakin keras
yang keluar dari mulutnya. Keringat deras
membasahi tubuhnya. Aku pandangi
wajahnya. Betapa tampannya anakku ini,
dalam hati aku berpikir. Aku
menggoyangkan pantatku untuk
mengimbangi permainan Banu. Aku
mengusap keringat yang membasahi
wajahnya dengan kedua tanganku.
Mungkin ini adalah kasih sayang seorang
ibu.
Lima belas menit kemudian, aku meminta
Banu untuk mencabut kontolnya dari
vaginaku. Banu melakukannya walaupun
dengan keraguan. Lalu aku memintanya
untuk tidur telentang di sofa. Setelah Banu
tiduran, aku mengangkangi
selangkangannya. Aku pegang kontol
Banu, lalu aku mencoba untuk
mengepaskan ke lobang vaginaku. Setelah
aku rasa tepat, aku turunkan pantatku
dan.., Bleess..
Kontol Banu kembali memasuki sarangnya.
Aku menaikturunkan tubuhku untuk
mengocok kontol Banu. Kedua gunung
kembarku bergoyang naik turun seperti
mau lepas. Aku pegang tangan Banu dan
aku arahkan ke payudaraku. Banu sudah
mengerti apa yang aku mau. Sambil
menggerakkan pantatnya naik turun
menyambut vaginaku, kedua tangan Banu
bergerak aktif meremas-remas
payudaraku. Hal ini semakin menambah
rangsangan buatku dan..
Seerr.. Seer.. Seerr.., aku mengalami
orgasme yang kedua. Tetapi Banu
tampaknya tidak peduli dengan itu. Dia
tetap saja menaikturunkan pantatnya.
Aku biarkan saja dia meski sebenarnya
aku ingin istirahat.
"Bu, ganti posisi donk, Ibu turun dulu," kali ini
Banu yang meminta untuk berganti posisi.
Aku lepaskan jepitan vaginaku yang basah
karena sudah orgasme. Banu berdiri dari
sofa.
"Sekarang Ibu berdiri menghadap sofa, lalu
berpegangan ke sofa," pinta Banu.
Aku yang masih tidak mengerti apa
maksudnya mengikuti saja apa maunya.
Setelah aku berposisi menungging sambil
berpegangan ke sofa, Banu memasukkan
kontolnya ke vaginaku dari belakang.
"Aahhggh.. Hebatt.. Kamu naakk..", aku
menjerit lagi.
Kali ini dengan posisi yang belakangan aku
ketahui bernama "Doggy Style" kami
berdua melanjutkan 'olahraga' seks kami.
Dari belakang Banu meremas-remas dan
mengusap-usap pantatku. Ruangan ini
dipenuhi dengan suara-suara erotis yang
menandakan dua insan sedang beradu
kenikmatan. Tak hanya meremas
pantatku, dari belakang Banu juga
meremas-remas kedua payudaraku. Aku
pun tidak mau kalah. Vaginaku meremas-
remas kontolnya yang sedang berada di
dalamnya. Pantatku pun tidak mau tinggal
diam. Aku memutar-mutar pantatku untuk
menambah sensasi yang dirasakan oleh
Banu. Rupanya apa yang aku lakukan itu
membuat pertahanannya runtuh juga.
Aku pun tidak bisa lagi menahan
orgasmeku yang ketiga.
"Sayaangghh Ibu mau keluaarr laggii..," aku
menjerit keras ketika aku merasakan
akan orgasme untuk yang ketiga kalinya.
Seerr.. Seerr.. Aku merasakan vaginaku
basah oleh air maniku sendiri.
"Buu.. Aku juugaa mauu keluaarr..," teriak
Banu. Mendengar itu aku segera saja
meminta Banu untuk mencabut kontolnya.
"Cabut kontolmu sayang.. Ibu mau minum
air pejumu lagi..," aku memintanya.
Banu segera mencabut kontolnya. Aku
segera saja berbalik dan memasukkan
kontolnya ke mulutku. Aku tidak peduli
dengan air maniku yang masih menempel
di kontolnya. Toh, rasanya juga enak.
Sepuluh menit aku mengocok kontolnya
dalam mulutku dan..
Croot.. Croot.. Croot.., sperma Banu
menyemprot ke dalam rongga mulutku.
Tidak sebanyak yang pertama memang,
tapi aku tidak peduli. Semua sperma yang
disemprotkan kontol Banu aku telan. Gurih
dan wangi. Aku semakin menyukai rasa
sperma dari anak-anakku. Setelah
kontolnya tidak lagi mengeluarkan sperma,
aku jilati kontolnya untuk
membersihkannya.
Banu lalu duduk di sofa dengan nafas
yang tidak karuan. Aku memandangnya,
dan dia pun memandangku. Aku
tersenyum kepadanya, begitu juga dia. Aku
suruh dia mendekat. Aku peluk dia seperti
seorang kekasih yang lama tidak bertemu.
"Terima kasih Nak. Ma'af, Ibu melakukan ini
kepadamu. Kamu suka?" aku bertanya
kepadanya.
"Banu bahagia sekali meskipun Banu tidak
tahu mengapa Ibu melakukan ini. Tapi Banu
tidak peduli. Banu sayang sama Ibu," jawab
Banu sambil tersenyum.
"Tapi, bolehkah Banu melakukan ini lagi
sama Ibu?" tanya anakku itu. Aku
tersenyum mendengar pertanyaannya.
Toh, ini semua aku yang memulai.
"Tentu saja sayang. Kapanpun kamu mau,
selama tidak ada orang," jawabku sambil
mengelus kepalanya.
Selama kedua saudaranya tidak ada di
rumah, aku dan Banu terus melakukan
hubungan sedarah itu. Kami melakukannya
di tempat tidur, di dapur, di kamar mandi di
mana saja asal memungkinkan. Aku pasti
akan menceritakan kelanjutan hubungan
yang kami lakukan selama kedua
saudaranya tidak ada di rumah dalam
tulisan selanjutnya.
Dan setelah kedua saudaranya pulang,
ada satu kejutan besar yang aku lakukan.
Aku menceritakan kepada mereka bertiga
bahwa aku sudah bersebadan dengan
ketiganya. Walau sangat terkejut mereka
dapat menerimanya. Cerita tentang ini
juga akan aku ceritakan dalam tulisanku
selanjutnya. Aku mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada
teman penulisku yang bersedia mendengar
kisahku dan bersusah payah menuliskan
cerita ini di situs RumahSeks.

No comments:

Post a Comment