Friday 17 July 2015

Anak Nakal 1

 

BAB 1 - BUNDA

Namaku Doni. Aku anak nomor 2 dari tiga bersaudara. Kami adalah keluarga yang alim. Ayahku sendiri seorang yang taat beragama. Kakakku seorang aktivis di kampus. Kami benar-benar keluarga yang religius. Aku? Aku sebenarnya kalau dilihat dari luar religius, tapi dibalik itu aku cuma anak biasa saja. Ndak sebegitunya seperti kakak perempuanku.

Kakakku bernama Kak Vidia. Adikku bernama Nuraini. Ibuku? Oh ibuku ini seorang ustadzah. Aku sendiri dikatakan anak nakal oleh ibuku, aku menyebutnya bunda. Ayahku sering menasehatiku untuk tidak bergaul dengan anak-anak geng. Tapi apa boleh dikata, dari sinilah aku banyak mengenal dunia. Memang sih, aku bergaul dengan mereka, tapi tidak deh untuk berbuat yang aneh-aneh. Walaupun aku bergaul dengan mereka tapi aku sadar koq norma-norma yang harus dijaga. Aku bahkan sangat protektif terhadap saudari-saudariku. Ada temenku yang naksir saja langsung aku hajar. Makanya sampai sekarang banyak orang yang takut untuk mendekati kakakku maupun adikku.

Menginjak kelas 2 SMA, keluarga kami berduka. Ayahku kecelakaan. Ketika pulang kantor beliau dihantam oleh truk. Ia berpesan kepadaku agar jadi anak yang baik di saat-saat terakhirnya. Kami semua bersedih. Terutama bunda. Ia selalu menyunggingkan senyumnya tapi tak bisa menyebunyikan raut wajahnya yang sembab. Otomatis setelah meninggalnya ayah, keluarga kami pun banyak berubah.

Rasanya sangat berdosa sekali aku kepada ayahku. Aku sampai sekarang belum bisa jadi anak yang baik. Namun aku berusaha untuk berubah, mulai kujauhi teman-teman gengku. Aku pun mulai membantu bunda untuk bekerja, karena warisan ayah tak bisa untuk membiayai kami semuanya ke depan. Setelah aku pulang sekolah, aku selalu menjaga toko kami. Lumayanlah bisa mencukupi kebutuhan kami. Dari pagi sebelum sekolah aku sudah harus pergi ke grosir, membeli sembako, kemudian menyetok ke toko, setelah itu aku baru pergi sekolah. Pulangnya aku harus menjaga toko sampai sore. Begitulah, hampir tiap hari. Jadi tak ada kegiatan ekstrakurikuler yang aku ikuti.

Membiayai Kak Vidia kuliah, membiayai Nuraini sekolah, bukanlah hal yang mudah. Kak Vidia bahkan untuk uang sakunya sampai rela kerja sambilan. Namun perlahan-lahan kami pun bisa bernafas lega setelah toko kami mulai besar, walaupun begitu kami makin sibuk. Akhirnya kami pun memperkerjakan orang. Anak-anak lulusan SMK. Aku juga sudah kelas 3 SMA. Sebentar lagi lulus. Bingung mau kuliah ke mana. Apa ndak usah kuliah ya? Melihat bunda kelimpungan jaga toko mengakibatkan aku pun mengurungkan niatku kuliah.

Aku lulus dan adikku Nuraini masuk SMA. Dua tahun yang berat. Namun akhirnya toko kami sudah besar, berkat ide-ide yang kami pakai tiap hari akhirnya toko ini pun besar. Jarang ada toko sembako delivery order. Bahkan tidak sampai tiga tahun kami sudah ada waralaba. Bisa beli mobil, bisa renovasi rumah dan sebagainya. Kak Vidia pun sekarang jadi tidak bingung lagi kuliahnya. Ia sempat cuti 2 semester untuk membantu usaha kami.

Itulah profil keluarga kami. Tapi tahukah kalau di balik itu semua ada sesuatu hal yang sebenarnya menarik untuk diceritakan? Sebenarnya ini tak boleh diceritakan karena aib tersembunyi keluarga kami. Dan karena inilah hubunganku dengan kakakku, adikku dan ibuku jadi lebih akrab, bahkan aku dianggap sebagai kepala rumah tangga.

Ceritanya ini dimulai setelah 6 bulan ayah wafat. Aku saat itu benar-benar masih nakal. Menonton bokep sudah biasa bagiku. Bahkan sebenarnya, terkadang aku membayangkan begituan dengan bunda, maupun kak Vidia, atau bahkan terkadang juga dengan Nuraini. Iya, mereka semua pake jilbab, tapi hanya aku yang tahu bagaimana lekuk tubuh mereka, karena di rumah mereka membuka jilbabnya dan pakai pakaian biasa.

Awalnya aku benar-benar iseng sekali. Saat itu aku baru saja beli kamera pengintip. Bentuknya seperti sebuah gantungan kunci, berbentuk kotak kecil. Ketika ditekan tombol rahasianya, ia akan merekam selama kurang lebih 2 jam. Harganya cukup murah kalau dicari di internet, sekitar 500ribu. Aku menggantungkannya di anak kunci, sehingga ketika ke kamar mandi aku selalu mandi duluan, dan kemudian aku taruh di tempat yang bisa mengawasi semuanya. Jadi seluruh penghuni rumah, sama sekali tak curiga. Awalnya tak ada yang tahu, tapi nanti yang pertama kali tahu adalah Kak Vidia, tapi nanti aku ceritakan.

Aku meletakkan kunci itu di gantungan baju. Aku posisikan agar kameranya mengawasi seluruh ruangan kamar mandi. Yang pertama kali masuk setelah aku adalah bunda, kemudian Kak Vidia, lalu Nuraini. Setelah semuanya mandi, aku masuk ke kamar mandi untuk mengambil kamera pengintai. Aku kemudian ke kamar untuk menikmati hasilnya. Aku bisa mengetahui tubuh mulus mereka semua tanpa sehelai benang pun.

Misalnya bunda, rambutnya lurus, tubuhnya sangat terawat, langsing, dadanya besar, mungkin 34C, bahkan yang menarik beberapa minggu sekali bunda mencukur bulu kemaluannya. Kak Vidia juga begitu, kulitnya putih, rambutnya panjang, dadanya ndak begitu besar, 32B tapi putingnya yang bikin aku kaget, berwarna pink. Ini orang bule atau gimana? Tapi begitulah Kak
Vidia. Ia juga sama seperti bunda, mencukur bulu kemaluannya, bahkan halus seperti bayi. Terakhir Nuraini, jangan kira Nuraini cuma anak SMP, ia ini sangat dewasa. Dadanya besar banget, sama kayak bunda 34C. Masih SMP saja dadanya gedhe, gimana klo sudah SMA nanti? Ia pun sama, punya kebiasaan mencukur bulu kemaluan. Sepertinya cuma aku saja yang tidak. Tapi bolehlah ntar coba dicukur. Kayaknya lebih bersih.

Selama sebulan itu aku sering ngocok penisku di depan komputer sambil melihat adegan demi adegan di kamar mandi. Hal itu membuat aku terobsesi kepada mereka. Saking terobsesinya, aku kadang punya alasan untuk bisa menyentuh mereka, seperti mencium pipi adikku, mencium pipi bunda, terkadang juga memeluk Kak Vidia. Tapi mereka semua tak curiga. Dan satu-satunya yang membuatku kelewatan adalah memesan kloroform kepada salah seorang teman gengku. Aku pesan beberapa botol. Untuk stok pastinya. Pertama aku coba ke kucing tetangga. Ketika aku bekep pake sarung tangan yang ada kloroformnya, pingsan tuh kucing. Aku pun menghitung berapa kira-kira waktu yang dibutuhkan oleh kucing ini bisa sadar. Satu jam, dua jam, tiga jam. Lama sekali.

Siapa yang ingin aku coba pertama kali? Kak Vidia ndak mungkin, ia bakal kaget nanti kalau sudah tidak perawan ketika malam pertama dengan suaminya. Begitu juga Nuraini, bisa berabe aku nanti kalau dia melapor ke bunda memeknya perih. Jadi targetku adalah bunda.

***
Seperti biasa bunda menjaga toko waktu itu. Dan aku menyiapkan teh hangat untuk beliau. Aku berikan setetes kloroform di minumannya. Tujuanku sih agar ia pusing saja dan bisa aku suruh istirahat, baru kemudian aku bekap.

"Kamu ndak sekolah, Don?" tanya bunda.

"Tidak dulu bunda, mau bantu toko dulu," jawabku.

"Lho, jangan. Ada bunda sama mbak Juni koq. Sekolah saja!" kata bunda. Mbak Juni adalah pegawai kami. Ia ada cerita untuk nanti. Ia janda, beranak satu, tapi masih muda. Usianya baru 21 tahun. Menikah muda. Bodynya masih singset.

"Tidak mengapa bunda, Doni udah ijin koq," kataku.

"Baiklah, tapi cuma hari ini saja ya, jangan ulangi lagi," katanya.

Bunda lalu meminum teh hangatnya. Aku pura-pura mencatat barang-barang di toko. Mbak Juni juga melakukan hal yang sama. Dan memindah-mindahkan karung beras. Kemudian datang seorang pembeli yang langsung dilayani oleh Mbak Juni.

Efek obat mulai terlihat. Bunda memegang kepalanya. Aku pura-pura peduli, "Kenapa, bunda?"

"Entahlah, bunda tiba-tiba pusing," katanya.

"Capek mungkin, istirahat saja bunda," kataku.

"Iya deh, aku istirahat sebentar. Mungkin nanti bisa baikan. Mbak Juni, tolong ya!" kata bunda.

"Iya, bunda," kata Mbak Juni.

Bunda agak terhuyung-huyung, lalu beliau masuk kamar. Aku pun menyudahi pura-puraku, kemudian pura-pura ke kamarku, tapi sebenarnya menyusul beliau ke kamarnya. Aku beri waktu sekitar sepuluh menit, hingga kemudian terdengar nafas dengkurang halus bunda. Oh sudah tidur. Aku lalu beranikan diri masuk ke kamarnya. Bunda masih pakai jilbabnya, aku siapkan kloroform ke sarung tanganku, dosisnya seperti yang aku berikan ke kucing percobaan kemarin. Dan BLEP!!!

Bunda tak berontak, mungkin berontakannya tak berarti. Tangannya ingin menghalau tanganku tapi lemas. Matanya belum sempat terbuka dan ia pun sudah pingsan. Aku pun sangat senang, ini kemenangan.

Aku lalu kunci pintu kamar bunda. Biar ndak ada siapapun yang masuk. Jantungku berdebar-debar, antara senang, takut dan macem-macem rasanya. Aku duduk di sebelah bunda. Di pinggir ranjang itu aku lihat ujung rambut sampai ujung kakinya. Tanganku mulai bergerilya. Kuraba pipinya, bibirnya, aku buka sedikit, rahangnya aku turunkan hingga ia membuka mulutnya. Sesaat aku ingat ayah, tapi karena aku sudah bernafsu, rasa bersalahku pun aku tepis.

Aku pagut bibir bunda. Aku hisap lidahnya. Penisku mulai tegang, bunda benar-benar tak bereaksi sama sekali, bahkan sekarang bibirnya mulai basah. Wajah bunda sangat cantik, mungkin seperti Ira Wibowo. Bibirnya sangat lembut, tak puas aku menciumi bibir itu. Aku pun mulai meremas-remas dadanya walaupun masih tertutup gamis. Lalu tanganku mengarah ke selakangannya mengelus-elus tempat pribadinya.

Karena semakin bergairah, aku pun melepas celanaku sehingga bagian bawah tubuhku tak terbungkus sehelai benang pun. Penisku sudah mengacung tegang. Urat-uratnya mengindikasikan butuh dipuaskan. Aku arahkan jemari bunda untuk menyentuh penisku, Ohh... lemas aku. Lembut sekali jemari beliau. Aku tuntun tangannya untuk meremas telurnya, aku makin keenakan. Seandainya beliau bangun dan mau melakukannya kepadaku tentunya lebih nikmat lagi.

Aku kemudian naik ke ranjang. Aku berjongkok di depan wajahnya. Penisku aku gesek-gesekkan di pipi, hidung dan bibirnya yang agak terbuka itu. Aku sangat bergairah sekali. Selain itu juga takut ketahuan. Aku buka mulutnya, lalu kucoba masukkan kepala penisku, uhhhh....nikmat banget. Walaupun tak muat, aku buka mulutnya lagi, tangan kiriku mengangkat kepalanya dan tangan kananku membuka mulutnya lebih lebar, lalu kudorong penisku masuk.

Di dalam mulutnya penisku berkedut-kedut. Nikmat sekali. Aku makin bergairah melihatnya yang masih pakai kerudung. Kuambil ponsel dan aku abadikan ketika penisku masuk ke mulutnya. Kumaju-mundurkan penisku sampai mentok, walaupun giginya mengenai penisku rasanya nikmat sekali. Lucunya lidahnya bergoyang-goyang, entah ia mimpi apa, itu semakin membuatku terangsang. Pelan-pelan penisku menggesek rongga mulutnya, kemudian aku tarik keluar. Sekarang aku posisikan telurku di mulutnya. Karena punyaku sudah tercukur bersih aku bisa melihat semuanya. Seolah-olah bunda sedang menjilati telurku.

"Bunda, ohhh... nikmat banget," racauku.

Kalau terus seperti ini, rasanya aku ingin muntahkan pejuku di wajahnya. Tapi aku tahan. "Tidak, bunda, Doni ingin merasakan ini, bolehkan?" aku meraba vaginanya.

Aku kemudian melepaskan gamis bunda, kancingnya aku buka semua, hingga ia hanya memakai bra dan CD. Aku turun ke bawah. Kuciumi seluruh tubuhnya, perutnya, pahanya, aku jilati semuanya sampai basah. Bahkan mungkin tak ada satupun yang terlewat. Aku lepas BH-nya. Ohh... dada yang dulu ketika kecil aku mengempeng, sekarang aku mengempeng lagi. Aku hisap teteknya, putingnya aku pilin-pilin, kupijiti gemas. Tapi aku tak ingin memberikan cupang di dadanya, nanti ia curiga. Belum saatnya. Ketiaknya yang bersih tanpa bulu pun aku hisap, kujilati. Semuanya aku jilati. Aku pun mencium bau yang aneh, ketika aku menghisapi jempol kakinya. Dan aku lihat CD-nya basah. Bunda terangsang?

"Bunda terangsang? Mau dimasukin bunda?" tanyaku.

Aku pun segera melepaskan CDnya, Dan kuikuti aku telanjang juga sekarang. Punyaku makin berkedut-kedut dan di lubang kencingnya muncul cairan bening. Aku melihat memek bundaku tersayang. Warnanya pink kecoklatan. Inikah tempatku keluar dulu? Betapa bersihnya, ada cairan keluar. Aku segera membuka pahanya, kepalaku mengarah ke sana, kujilati, kuhisap dan klitorisnya aku tekan-tekan dengan lidahku. Intinya lidahku menari-nari di sana seperti lidah ular, menjelajahi seluruh rongga vaginya. Setiap cairan yang keluar aku hisap, rasanya asin-asin bagaimana gitu.

Aku makin bergairah dan sepertinya bunda juga bergairah, ia sangat banjir, bahkan ketika aku colok-colok dengan lidahku, lebih dalam lagi kakinya bergetar. Ia mengeluh....dan mendesis, walaupun masih tidur dan tidak sadarkan diri tapi dia merasakannya. Mungkin ia bermimpi sedang begituan. Kepalanya yang masih memakai jilbab mendongak ke atas, Dan kemudian pantatnya diangkat, tubuhnya bergetar hebat, memeknya mengeluarkan cairan yang sangat banyak, menyemprot bibirku. Aku lalu duduk.

"Bunda orgasme?" tanyaku.

Tentu saja beliau tak menjawab. Sepertinya bunda sudah siap, aku posisikan penisku di ujung vaginanya. Kepala penisku sudah ingin masuk saja. Aku tak sabar, dan... BLESSS....!! Lancar banget, ohhhh... HANGATT.... !! ini ya rasanya memek wanita itu. Aku lalu ambruk di atas tubuh bunda, ia kutindih. Toketnya dan dadaku berpadu, Penisku berkedut-kedut dan anehnya memeknya juga seperti meremas-remas penisku. Ngilu rasanya, tapi nikmat.

"Bunda, seperti inikah bunda rasanya ngentot?" tanyaku. Aku mengabadikan peristiwa ini ke ponselku, kuclose up wajah bunda yang tidur, vaginanya yang sekarang penisku masuk ke sana juga kuabadikan, bahkan posisiku menindih bundaku pun aku abadikan.

"Doni... ohh... puasin, bunda..." terdengar suara bisikan bunda. Apa maksudnya, apakah bunda sadar?

Sejenak aku bingung, ternyata bunda memimpikan aku, bermimpi bersetubuh denganku. Itu membuatku makin bergairah. Aku kemudian menaik-turunkan pantatku perlahan-lahan, menikmati saat-saat ini. Tapi aku hanya punya waktu 3 jam kurang lebih, tak ingin aku sia-siakan kesempatan ini. Kugoyang pantatku naik turun, makin lama makin cepat.

"Bunda... oh... Doni kembali masuk ke tempat bunda," racauku, makin lama makin cepat. Bunda aku tindih, pahanya terbuka lemas. Dan aku sepertinya akan keluar, oh sperma perjakaku... kemana ya harus keluar?

"Bunda, ke wajah bunda aja ya keluarnya... oohhh... keluar, bunda!!!" seruku. Aku segera mencabut dan berlutut di depan wajah bunda. Penisku kuarahkan ke situ.

CROOT.... CROTT... CROOTTT.... Banyak sekali tembakannya, aku sudah tidak perjaka lagi. Bunda sendiri yang menghilangkannya, spermaku belepotan di wajah bunda, sebagian masuk ke mulutnya, aku terus mengocoknya hingga tetes terakhir, lalu aku bersihkan sisa di ujung penisku ke mulutnya.

Momen ini tak bisa aku lewatkan segera aku abadikan ke ponselku. Aku lalu berbaring lemas di sampingnya. "Bunda... nikmat, bunda," kataku. Aku peluk dia dari samping sambil memeluk toketnya.

Butuh waktu 15 menit bagiku untuk istirahat sebentar, kemudian aku bersihkan wajahnya dengan tisu yang ada di meja riasnya. Agar tidak bau sperma aku seka wajah ibuku pakai pelembab, biar tak ketahuan. Disaat membersihkan itulah aku terangsang lagi melihat payudaranya. Aku kenyot lagi dua buah toket besar itu. Kubenamkan wajahku ke tengah payudara, kuhisap aromanya yang harum. Aku kemudian menghadapkan tubuh ibuku miring ke tepi ranjang. Ternyata tepat di depan bundaku ada kaca lemari. Sehingga aku bisa melihat tubuhnya di sana.

Penisku yang tegang lagi ingin mencari mangsa. Kuposisikan kepala penisku dari belakang pantatnya. Karena masih basah, mudah sekali penisku masuk. SLEB...!! Oh, kembali kedut-kedut vaginanya. Aku angkat sebelah kakinya, sehingga aku bisa melihat dari kaca penisku masuk di sana. Aku lalu bergoyang maju mundur, kuturunkan kaki bunda, tanganku beralih ke toketnya. Pantatnya benar-benar membuatku terangsang hebat. Enak sekali.

Aku tak sadar siapa yang kusetubuhi sekarang. Yang aku inginkan adalah puncak kenikmatan. Tapi aku tetap pada pendirianku jangan keluarkan di dalam. Belum waktunya. Aku terus menggoyang pantatku maju mundur. Pantat bunda beradu dengan selakanganku. PLOK... PLOK... PLOK... bunyinya sangat menggairahkan. Dan sepertinya. Setiap kali aku ingin orgasme. Aku istirahat sebentar. Menciumi bibirnya, ketiaknya, dan menghisap putingnya. Dan akhirnya aku tak tahan lagi.

"Duh, bunda, maaf ya. Aku keluar lagi," aku langsung cabut penisku dan kukeluarkan di pantatnya. Spermaku masih banyak aja. Enak rasanya penisku sampai berkedut-kedut berkali-kali setiap spermaku muncrat keluar. Aku istirahat sebentar sambil mengumpulkan tenaga. Ngilu sekali penisku. Aku lalu bangkit membersihkan pantat bunda yang belepotan dengan spermaku.

Aku melihat jam dinding, oh tidak, setengah jam lagi bunda akan sadar, tak sadar aku sudah lama ngentotin bunda. Aku bergegas memakaikan lagi pakaiannya. Jilbabnya yang terkena sedikit sperma aku bersihkan juga. Aku memakaikan lagi branya, tapi entah kenapa aku terangsang lagi. Maklum masih perjaka dan ada mainan baru. Aku lalu melakukan titfuck. Dada bunda mengocok penisku, aku melakukannya sambil sesekali menengok jam dinding, masih ada waktu, aku harus cepat. Aku bantu payudara bunda untuk mengocok penisku, dan aku keluar lagi, spermaku muncrat di belahan toket bunda. Tapi jumlahnya ndak sebanyak tadi,
karena mungkin sudah mulai kosong kantong produksinya. Aku segera bersihkan cepat-cepat, kuposisikan tubuh bunda seperti tadi tidur, aku berpakaian lalu keluar dari kamar bunda. Aku lalu mandi dan membersihkan diri.

***

Bunda terbangun setengah jam kemudian. Ia keluar kamar ketika aku masih menghitung stok toko. Ia menggeliat.

"Kenapa, bunda?" tanyaku.

"Entahlah, bunda koq tidurnya nyenyak ya? Tapi badan bunda pegel-pegel semua. Seperti habis olahraga aja," jawab bunda. Tapi dalam hati aku senang sekali karena tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Hari itu aku membantu menjaga toko sampai sore. Dan setelah itu aku habiskan waktuku di kamar sambil melihat foto-foto hasil ngentotku dengan bunda tadi. Aku melakukan coli berkali-kali sampai penisku ngilu dan lemas. Malam itu aku tidur nyenyak sekali, entah berapa banyak tissu yang kuhabiskan, yang jelas aku baru sadar tissue di meja kamarku tinggal sedikit sekali.

Hari-hari setelah itu aku jadi berbeda. Siang hari setelah aku pulang sekolah, aku menyiapkan teh hangat untuk bunda, kemudian pasti ia mengantuk dan tidur. Setelah itu aku pasti ngentotin beliau seperti sebelum-sebelumnya, dan kini aku tidak takut lagi seperti dulu. Tapi aku tak melakukannya setiap hari, hanya kalau ada kesempatan saja. Dan itu tidak pasti atau jarang. Kalau aku sedang kepingin saja. Kalau tiap hari bisa bikin bunda curiga. Aku ingin bercinta dengan bundaku dalam keadaan sadar, karena aku setiap ngentot dengan bundaku selalu aku dengar rintihannya memanggil-manggil aku dalam mimpinya. Ia seperti membayangkan ngentot dengan aku. Ini tanda tanya besar. Dan itu terjawab ketika aku melihat rekaman di kamar mandi pada suatu siang setelah aku pulang dari ujian di sekolah.

Aku melihat rekaman video bunda mastrubasi dengan jarinya di kamar mandi. Ia mengocok-ngocok memeknya, sambil berkali-kali memanggil namaku. Kenapa? Apakah ia mengalami ‘mother complex’?

Setelah ia mengeluh panjang, ia lalu menutupi wajahnya sambil menggumam, "Kenapa dengan aku? kenapa? Apa yang aku lakukan? Kenapa aku menginginkan anakku sendiri?"

DEG...!! betapa kagetnya aku mendengar pengakuan bundaku sendiri dari rekaman itu. Ternyata benar, bunda menginginkan aku. Aku jadi ingin saja ngentotin dia setelah ini. Obsesiku kepada ibuku sendiri makin besar. Terlebih ketika tahu bahwa bunda masih haidh, masih produktif berarti.

Malamnya bunda sedang menghitung-hitung penghasilan. Kami di rumah sendirian. Nuraini ikut mabid atau apalah namanya. Kak Vidia juga sedang nginap di kampus ada kegiatan apa gitu. Aku sedang menonton tv sambil sesekali mengamati bunda, mengamatinya saja bikin aku terangsang. Aku berusaha menyembunyikan tegangnya penisku.

"Bunda, bunda capek kayaknya, ndak istirahat?" tanyaku.

"Nanti dulu, Don, masih kurang dikit lagi," katanya.

"Kalau bunda capek, aku menawarkan diri untuk mijitin bunda kalau tidak keberatan," kataku.

Bunda tersenyum renyah kepadaku. Ia kemudian masih melanjutkan pekerjaannya. Hingga kemudian acara tv selesai dan aku mematikan tv. Bunda kemudian duduk di sampingku. Aku hampir aja beranjak.

"Lho, katanya mau mijitin bunda?" tanyanya.

"Oh, jadi toh?" kataku.

"Iya dong," katanya.

Bunda kemudian membelakangiku. Aku lalu mulai memijitinya. Ia masih memakai kerudungnya yang lebar. Aku mulai memijiti pundaknya.

"Oh... enak sekali, Don, pinter juga kamu memijat," katanya.

"Siapa dulu dong," kataku.

Aku berinisiatif kalau malam ini aku harus bisa ngentot ama bunda. Aku pun mulai pembicaraan. "Bunda, boleh tanya?" tanyaku.

"Tanya apa?" tanyanya.

"Doni waktu itu lupa sesuatu, trus pulang lagi ke rumah. Nah, Doni mendengar bunda manggil-manggil nama Doni di kamar mandi sambil merintih, emangnya kenapa itu, bunda?" tanyaku.

Bunda terkejut. Jantungnya berdebar-debar, ia bingung mau jawab apa. Ia pun bertanya balik, "Kapan itu?"

"Beberapa waktu lalu, emangnya bunda ngapain sih di kamar mandi?" tanyaku.

"I-itu... nggak ada apa-apa koq," jawabnya.

"Tapi koq, manggil-manggil nama Doni?" tanyaku.

Bunda terdiam. Aku lalu memeluk bunda dari belakang. Dari situlah aku tahu bahwa jantung beliau berdebar-debar. Bunda lalu bersandar di dadaku. Matanya berkaca-kaca. Ia lalu menutup wajahnya.

"Bunda, kalau bunda misalnya rindu sama ayah, Doni bisa mengerti koq. Mungkin wajah Doni mirip ama ayah," kataku.

Bunda lalu terisak, kami berpelukan. Bunda bersandar di pundakku. Ia tak berani melihat wajahku. Ia terus memelukku dan aku membelai kerudungnya yang panjang. Cukup lama ia bersandar di pundakku. Sampai aku kemudian mulai memberanikan diri untuk melihat wajahnya.

"Maafkan, bunda, engkau mirip sekali dengan ayahmu, dan bunda rindu dengan sentuhan ayahmu," katanya.

"Boleh Doni minta sesuatu, bunda?" tanyaku.

"Apa itu?" tanyanya.

"Doni ingin mencium bunda," kataku.

Ia tersenyum, "Boleh saja, kenapa memangnya?"

"Tapi bukan di pipi, di sini," kataku sambil menyentuhkan telunjukku di bibirnya.

"Ah, Doni ini koq kolokan banget? Aku ini bundamu, bukan kekasihmu," kata bunda.

"Sekali saja bunda, Doni ingin tahu rasanya ciuman, please... sekali saja," kataku.

Bunda terdiam. Ia menatap wajahku. Ia mengangguk walau agak ragu. Aku senang sekali, tersenyum. YES! dalam hatiku.

Aku perlahan mendekatkan wajahku, wajah bunda kutarik ke arahku dan bibirku menempel di bibirnya. Pertama cuma menempel, selanjutnya aku mulai menghisap bibir bunda. Lagi dan lagi. Dan akhirnya kami berpagutan. Nafas bunda mulai memburu. Tiba-tiba bunda mendorongku.

"Tidak, Don, tidak. Kita terlalu jauh. Kita ini ibu dan anak. Ndak boleh beginian," katanya.

"Lalu kenapa bunda mastrubasi sambil manggil-manggil Doni?" tanyaku.

"Kamu tahu?" tanyanya.

"Iya, Doni tahu. Itu artinya bunda kepingin kan?" tanyaku. "Sampai berfantasi ama Doni."

Ia tak menjawab. Tampaknya aku menang. Bunda sepertinya pasrah. Aku ingin coba lagi. Kupegang kedua tangannya, aku memajukan wajahku lagi, kini ciumanku disambut. Wajah kami makin panas karena gairah. Lama sekali kami berpagutan, nafas ibuku makin memburu.

Aku lalu menarik wajahku lagi, "Kalau misalnya bunda kepingin dan tidak ada yang bisa memuaskan bunda, Doni bisa koq. Tapi jangan sampai semuanya tahu."

"Tidak, Don... hhmm..." bibir bunda aku cium lagi sebelum selesai berkata-kata. Ia berusaha mendorongku. "Sudah, Don, sudah... bunda ndak mau, ingat kita ibu dan anak."

"Lalu kenapa bunda membayangkan dientotin Doni?" tanyaku lagi. Kucium lagi bibirnya.

"Itu.. .hmmmm... itu... itu karena bunda khilaf, maafin bund... hhmfff," bunda tak kuberi kesempatan melakukan penjelasan. Kuremas-remas dadanya dari luar gamisnya. Bunda pun mendorongku lebih kuat lagi.

"Baiklah, baiklah... bunda memang ingin kamu, bunda ingin ngentot dengan kamu, ayo ngentotin bunda! Sekarang!" katanya. "Buka bajumu!"

Aku lalu menghentikan aktivitasku. Melihat air matanya berlinang, aku mengurungkan niatku. Aku berdiri. "Maafin Doni, bunda. Maaf!"

Aku mencium tangannya lalu berbalik dan masuk ke kamarku. Perasaanku campur aduk setelah itu. Beberapa kali bunda mengetuk pintu kamarku, tapi tak kutanggapi, aku pun tertidur.

***

Paginya aku bangun, kemudian ingin ke kamar mandi. Saat itulah aku dikejutkan karena ternyata bunda ada di dalam kamar mandi telanjang, bener-bener polos. Aku terkejut dan mematung.

"Doni!?" bunda terkejut.

"Oh, maaf, bund," aku segera menutup pintu kembali. Untuk beberapa saat aku diam di depan pintu kamar mandi. "Biasanya Doni mandi duluan, ndak tau kalau bunda mandi duluan. Habis bunda ndak ngunci sih."

"Kamu mau mandi?" tanyanya. "Masuk aja!"

"Lho, bunda ‘kan di dalam," kataku.

"Gak papa, sama bunda sendiri koq malu?" katanya.

Aku agak ragu, tapi kemudian aku pun masuk. Bunda melirikku sambil tersenyum, "Ndak usah malu, copot sana bajunya."

Aku pun mencopot seluruh pakaianku. Bunda menyiram badannya di bawah shower. Terus terang hal itu membuatku terangsang banget. Penisku langsung menegang. Dan setan pun masuk ke otakku, aku melihat bundaku seperti seorang bidadari, segera aku memeluknya dari belakang, penisku yang sedang tegang maksimal menempel di pantatnya.

"Bunda, maafin, Doni. Tapi Doni ndak tahan lagi!" kataku. Bunda terkejut dengan seranganku. Aku meremas-remas toketnya, kupeluk erat bunda.

"Doni... sabar, Don, sabar!" kata bunda.

"Tapi, aku tak mau melepaskan bunda," kataku.

Bunda mematikan shower, kemudian membelai tanganku. Aku menciumi lehernya dan menghisapnya dalam-dalam. "Oh, Doni... anak bunda sekarang sudah besar..." katanya. Tangan satunya tiba-tiba menyentuh kepala penisku. Penisku yang sudah tegang itu dipegangnya, makin tegang lagi, lebih keras dari sebelumnya. Kemudian bunda mengocoknya lembut. "Kamu ingin ini kan?"

Aku mengangguk.

"Bunda tahu koq, kamu kan anak bunda," katanya. "Lepasin bunda sebentar."

Aku lalu melepaskan pelukanku. Bunda berbalik, tinggi kami hampir sama, tapi aku lebih tinggi sedikit. Matanya menatapku lekat-lekat.

"Bunda, mengakui punya hasrat kepada anak bunda sendiri. Bunda tidak bohong. Itu semata-mata bunda rindu dengan belaian ayahmu. Dan bunda selama ini juga takut untuk bisa menjalin hubungan dengan lelaki lain. Tapi... bunda berpikir keras, apa jadinya kalau bunda berhubungan dengan anak sendiri, itu kan tabu... tapi bunda merasa nyaman bersamamu, hanya denganmu bunda sepertinya ingin, bukan lelaki lain. Dan bunda juga butuh itu," kata bunda sambil terus mengocok lembut otongku yang udah tegang max.

Aku makin keenakan tak konsen apa yang diucapkan olehnya, tapi ketika ia berlutut di hadapanku dan menciumi kepala penisku, aku baru yakin dan ini bukan mimpi. Bunda mengoral penisku.

"Oh, bunda," rintihku.

"Bunda akan berikan sesuatu yang engkau tak pernah sangka sebelumnya," kata bunda. Ia lalu menjilati kepala penisku. Lubang kencingku dijilati seperti kucing. Kedua tangannya aktif sekali, yang satu meremas-remas telurku yang satunya mengocok-ngocok penisku. Penisku yang sudah tegang makin tegang saja.

"Bunda... enak sekali," kataku.

Lidah bunda menjelajah seluruh permukaan penisku yang tanpa rambut itu. Bunda menjilati pinggiran kepala penisku, membuatku lemas saja. Lalu seluruh batangku dijilatinya. Kemudian dimasukkanlah kepala penisku ke mulutnya. Ia kemudian perlahan-lahan memaju mundurkan kepalanya. Penisku yang besar itu makin masuk ke rongga mulutnya. Ia kemudian menghisapnya dengan kuat. Aku makin lemas. Lemas keenakan.

Bunda lalu mengusap-usap perutku, sesekali meremas-remas pantatku, tanganku pun secara otomatis meremas rambutnya. Kalau misalnya ini film bokep aku pasti sudah coli. Tapi ini tak perlu coli karena ada yang bertugas mengocok penisku di bawah sana. Dengan mulutnya dan oh... lidahnya menari-nari mengitari kepala penisku, aku benar-benar keenakan.

"Bunda... oh... enak banget! Udah, bunda... bunda... Doni... kelu...aaaaarrrr... AAAAHHHH!" aku keluar. Spermaku tak bisa ditahan lagi. Bunda makin cepat memaju mundurkan kepalanya, penisku seperti ingin meledak dan SRETTT... CROOOTTT... CROOOOTTT... entah berapa kali aku menekan penisku ke kerongkongannya sampai ia agak tersedak. Spermaku banyak sekali muncrat di dalam mulutnya.

Bunda mendiamkan sebentar penisku hingga tenang dan tidak keluar lagi. Ia lalu menyedotnya hingga spermanya tidak keluar lagi, dan baru mengeluarkan penisku. Ia menengadahkan tangannya, kemudian ia keluarkan spermaku. Mungkin ada kalau 5 sendok makan. Karena pipi bunda sampai seperti menyimpan banyak air di mulutnya.

"Banyak banget spermamu," Bunda lalu menciumi baunya. "Baunya bunda suka." Bunda lalu berdiri menyalakan shower. Membersikan mulut dan tangannya. "Mandi bareng yuk," katanya.

"I-iya, Bun," sahutku.

Kami pun mandi bersama. Pertama bunda menyabuni tubuhku. Dari dadaku, perutku, punggungku, kakiku dan penisku pun disabuni. Penisku tegang lagi.

"Ih... masih ingin lagi?" kata bunda sambil menyentil penisku.

"Habis, bunda seksi sih," kataku.

Bunda tersenyum. "Nanti ya, habis ini."

Aku pun bergantian menyabuni bunda. Saat itu mungkin aku bukan menyabuni, tapi membelainya. Aku jadi tidak malu lagi untuk mencumbunya. Aku menggosok tubuhnya. Punggungnya aku sabuni, ketiaknya, dadanya aku pijat-pijat, putingnya aku pelintir-pelintir, ia mencubitku.

"Anak Nakal! Ibu nanti jadi terangsang. Sebentar, sabar dulu," katanya.

Aku tak peduli, shower aku nyalakan untuk membersihkan sabun-sabun di tubuh kami. Aku memanggut bibir bunda. Kemudian aku menetek kepada bunda, kuhisapi putingnya.

"Don, di kamar bunda aja yuk," katanya. "Mumpung Vidia sama Nur belum pulang."

Aku mengangguk.

Bunda mengambil handuk dan membersihkan air di tubuhnya, aku pun melakukannya. Dan agak mengejutkannya, aku segera membopongnya.

"Eh... apa ini?" ia terkejut.

"Doni ndak sabar lagi, Bun." kataku.

"Oh... anak bunda, jiwa muda," katanya.

Kami keluar dari kamar mandi, aku masih telanjang, demikian juga bunda. Kami lalu masuk ke kamar bunda. Segera bunda aku letakkan di ranjang, kamar aku kunci. Bunda segera mulutnya kupanggut, kuciumi lehernya, payudaranya pun aku hisap-hisap. Kuremas, putingnya aku pelintir-pelintir, kuputar-putar, bunda menggelinjang. Ia remas-remas rambutku. Kuhisap buah dadanya yang putih dan ranum itu hingga membentuk cupangan. Cupangan demi cupangan membekas di buah dadanya yang besar.

"Nak... ohh... bunda terangsang banget," katanya.

"Bunda, ohh..." aku menciumnya lagi.

Sekarang aku turun ke perutnya, lalu ke tempat pribadinya. Aku tak tinggal diam, segera aku ciumi, aku jilati, aku sapu memeknya yang basah sekali itu.

"Ohhhh... Donn... i-itu... aahhh..." bunda menggelinjang. Kakinya terbuka aku memegangi pahanya. Kulahap habis itu memeknya, klitorisnya pun aku jilati, hal itu membuatnya menggelinjang hebat.

Nafas Bunda mulai memburu. Ia meremas-remas rambutku, ketika aku menuju titik sensitifnya, ia semakin menekan kepalaku. Aku pun makin semakin menekan lidahku, hal itu membuatnya bergetar hebat.

"Don... bunda... bunda keluar... aaahhhh... ahhhh... ahhhhhhhh!!" pinggul bunda bergetar. Sama seperti orgasme-orgasme sebelumnya. Aku pun segera bangkit, melihat reaksi bunda. Pahanya menekan pinggangku. Saat itulah penisku sudah menegang, siap untuk masuk ke sarangnya.

"Bunda... bunda siap?" tanyaku.

"Masukkan... masukkan! Bunda sedang orgasme," katanya.

Aku pun memposisikan penisku tepat di depan lubangnya, kugesek-gesek, bunda lalu mengangkat kepalanya. Matanya memutih, saat itulah pinggulnya naik dan penisku masuk begitu saja. BLESS!!!

"Ohhhh...!!" mulut bunda membentuk huruf O, menganga merasakan sesuatu yang selama ini ia inginkan. Ia memelukku, dada kami beradu dan aku memagutnya.

Bunda merebahkan dirinya lagi. Aku menindihnya. Aku peluk bundaku. "Bunda, Doni masuk lagi. Masuk lagi ke tempat Doni lahir," kataku.

"Doni... ohh... iya, iya... sudah masuk, rasanya penuh... ohhh," kata bunda.

Aku lalu menaik turunkan pantatku. Penisku otomatis menggesek-gesek rongga vaginanya yang becek. Kami berpandangan, mata kami beradu. Pinggul bunda bergerak kiri-kanan membuat penisku makin enak.

"Bunda, bunda... ohh... perjaka Doni buat bunda... ohh... enak bunda... bunda apain penis Doni?" tanyaku sambil melihat matanya.

"Anakku, ohh... bunda enak banget, kepingin keluar lagi, ohh... bunda ndak pernah keluar berkali-kali seperti ini... ohh... aahhh... sshhh," bunda menatapku lekat-lekat. Kening kami menempel. Bibir kami saling mengecup berkali-kali.

Tak hanya di situ saja, aku sesekali menghisap puting susunya. Keringat kami setelah mandi keluar lagi. Tubuh bundaku yang seksi ini membuatku makin bersemangat untuk menyetubuhinya. Bunda... aku ingin menghamilimu.

"Bunda... ohhh... aku keluar... ahh... ahh... di mana?" tanyaku.

"Ohh... ahh... ahh, terserah Doni," kata bunda. "Tapi... ohh... jangan di dalam... di luar aja... bunda takut hamil....."

"Maaf, bunda, tak bisa. Doni ingin menghamili bunda. Ohh, Doni sampai... Sperma perjaka Doni buat bunda... ini... ini...!!"

"Jangan... jangan... Doni... ahhh... aduh... bunda juga keluar... sama-sama... tapi... ahkhh... jangan di dalam.... ahhhhhhhhhhh!!!" bunda mengeluh panjang.

Aku mencium bunda bibir kami bertemu dan pantatku makin cepat bergoyang dan di akhirnya menghujam sedalam-dalamnya ke rahim bunda. Spermaku memancar seperti semprotan selang pemadam kebakaran. Kutumpahkan semua kepuasan ke dalam tempatku dulu dilahirkan. Mata bunda memutih. Pantatnya bergetar hebat karena orgasme. Ia mengunci pinggulku, aku menindihnya dan memeluk erat dirinya sambil menciumnya. Entah berapa kali tembakan, yang jelas lebih dari sebelas. Karena saking banyaknya orgasme itu berasa lama. Memek bunda berkedut-kedut meremas-remas penisku, aku masih membiarkan penisku ada di dalam sana.

Butuh waktu sepuluh menit hingga penisku mengecil sendiri, dan kakinya melemas. Aku pun kemudian bangkit. Bunda tampak lemas, ia seakan tak berdaya. Penisku serasa ngilu. Aku melihat ke vaginanya. Tampak cairan putih menggenang di dalam lubang vaginanya. Aku tersenyum melihatnya. Aku kemudian merebahkan diri di sebelah bunda. Kemudian bunda memelukku, kami pun tidur terlelap.

Siang hari kami terbangun. Aku dulu yang terbangun. Melihat tubuh bundaku telanjang memelukku membuatku terangsang lagi. Aku menciumi bibirnya. Bunda masih tertidur. Aku lalu menggeser badanku, kemudian bangkit. Penisku sudah on lagi, mungkin karena melihat tubuh bundaku. Aku kemudian membuka pantatnya mencari lubang vaginanya. Kemudian segera saja aku masukkan. SLEB... bisa masuk! Masih basah. Mungkin karena sebagian spermaku masih ada di dalam sana.

Aku pun menggoyang-goyang. Maju mundur. Posisiku berlutut sambil bertumpu kepada kedua tanganku. Pinggulku mengebor pantatnya. Bunda membuka matanya, ia tersenyum melihat ulahku.

"Dasar anak muda, ndak ada puasnya," katanya.

"Bunda... Doni enak, bunda..." kataku.

Bunda cuma diam melihatku. Aku sesekali meremas toketnya. Aku goyang terus sambil kulihat wajahnya. Bunda memejamkan mata, mulutnya sedikit terbuka, mengeluh pelan.

"Bunda, enak banget... hhhmmmmhh... keluar... Doni keluar lagi, bunda..." kataku. "Pantat bunda enak banget."

"Doni... ahhh... aaaaahhh... bunda juga... koq bisa ya??" kata bundaku.

Tangannya menarik tanganku, aku berlutut sambil menghujamkan sekeras-kerasnya ke memeknya. Aku pun keluar lagi. Tapi tak seperti tadi. Kali ini cuma lima kali tembakan, tapi begitu terasa. Setelah itu aku mencabut penisku dan ambruk.

"Bunda, Doni cinta ama bunda," kataku.

"Cinta karena nafsu, kamu bernafsu dengan bunda, makanya seperti ini," katanya.

"Tapi bunda juga ‘kan?" kataku menyanggah.

Bunda diam.

"Bunda tidak bangun? Tidak buka toko?" tanyaku.

"Toko tutup dulu, kemarin ibu bilang ke Mbak Juni untuk tutup dulu," kata bunda. "Bunda ingin istirahat dulu. Badan bunda serasa sakit semua, sebab sudah lama tidak bercinta lagi."

Aku mengangguk.

"Kalau begitu, Doni pergi dulu," kataku.

"Ke mana?" tanyanya.

Aku terdiam.

"Ke mana?" tanyanya lagi.

"Bunda merasa kehilanganku? Berarti bunda juga mencintaiku," kataku.

Ia mencubit perutku. "Maunya," katanya. Kami berpanggutan sebentar untuk beberapa lama sebelum kemudian aku meninggalkan kamar bunda tanpa baju.

***

Setelah itu, hubunganku dengan bunda berjalan sembunyi-sembunyi. Bunda sering dan selalu melarangku untuk mengeluarkan spermaku di dalam rahimnya, tapi aku tak peduli. Kalau ada kesempatan, saat itulah kami bercinta. Di dapur apalagi. Dan itu pengalaman yang sangat mendebarkan. Bunda bertumpu kepada wastafel. Dan aku menyodoknya dari belakang. Kami melakukan fast-sex karena saat itu Kak Vidia dan Nuraini ada di rumah. Bahkan terkadang kami mencicil hubungan sex kami ketika Kak Vidia dan Nuraini bolak-balik ke dapur.

Belum, bunda belum hamil. Ia masih menstruasi. Tapi nanti ada saatnya beliau hamil. Karena aku yang memaksanya. Tapi itu nanti. Sekarang beralih ke Kak Vidia dan Nuraini.
 
 
 
BAB 2 - KAK VIDIA DAN NURAINI

Sebagai seorang aktivis di kampus, kak Vidia selalu memakai jilbab lebar. Bahkan terkadang ia curhat juga kepadaku. Karena saking baiknya terkadang aku masih diperlakukan seperti anak kecil. Namun melihatku yang sangat berbakti kepada bunda, hal itu membuatnya menjadi iri. Ia ingin bisa juga berbakti tapi karena ia masih kuliah, ia pun menyadari bahwa ia tak bisa sepertiku. Makanya ia sangat menghormatiku. Apapun yang aku inginkan pasti diturutinya. Seandainya saja ia mau melepas keperawanannya untukku.

Well, jatah kloroformku masih banyak koq. Tapi kayaknya aku tak kan menggunakannya lagi. Bukan untuk kak Vidia.

Bunda sekarang mulai rajin senam, padahal tubuhnya masih bagus lho. Buah dadanya juga masih padat, kulitnya masih mulus. Tapi hal itu semata-mata ingin mengimbangiku di ranjang aja katanya. Aku bebas menginginkan bundaku kapan saja. Lalu bagaimana awal mula aku dengan Kak Vidia?

Awalnya adalah aku harus menemaninya naik gunung. Nah lho? Yup, karena ia adalah seorang aktivis maka aku harus menemaninya. Muhrimnya bo'. Awalnya aku menolak, tapi ia bilang, "Aku belum punya suami, dan kamu adikku!"

Yah, jadinya aku ikut deh. Acara naik gunung itu merupakan acara ekstra kampus. Kami terpisah jadi beberapa group. Aku pun berkenalan dengan teman-teman kakakku, terutama yang cewek dong. Mengetahui hal itu malah aku dijewer ama kak Vidia. Tingkah polah kami memang kekanakan kalau bersama-sama. Hal itu membuat hiburan tersendiri bagi teman-temannya. Karena tak biasanya kakak adik seakrab itu.

Nah, ketika malam harinya setelah acara api unggun. Kak Vidia memanggilku. Aku yang sedang ngobrol dengan teman-temannya segera menghampirinya.

"Ada apa, kak?" tanyaku.

"Aduh, kebelet pipis nih!" katanya. "Anterin dong."

"Waduh...." kataku.

"Koq waduh, kayak kita bukan saudara aja," katanya. "Tolong anterin! Masak aku minta anak cowok lain?"

"Iya deh, iya deh," kataku.

Kami berdua pun menjauh dari kemah. Agak jauhan dikit sih, tapi itulah sialnya. Aku lupa jalan. Kak Vidia membawa tissu. Kemudian ia bersembunyi di balik pohon. Aku cuma bawa senter saja. Setelah beberapa saat kemudian, kak Vidia selesai.

"Udah, balik yuk!" katanya.

"Yuk!" kataku.

Nah, saat itulah aku lupa arah. "Sebentar, tadi kita ke kanan atau ke kiri?" tanyaku.

"Waduh, aku ya mana tau? Kamu gimana sih?" tanyanya panik.

"Ya udah, kita ke kanan aja," kataku.

Kami pun ke kanan. Karena ini bukan jalan setapak, tapi rerumputan dan semak belukar, kami pun bingung. Setelah lama berjalan, kami makin jauh masuk ke dalam hutan. Perfect. Mana malam hari lagi.

"Lho, koq makin jauh ke hutan?" gumamku.

"GImana sih? Tersesat kaaaan??" katanya.

"Sebentar... balik lagi yuk," kataku. Aku pun berbalik lagi. Kami berputar-putar hingga tak tahu arah. Saat itulah aku pun makin sadar bahwa kami makin tersesat.

"Bagus, sekarang kita makin tersesat," kataku.

"Aduh... gimana dong?" tanyanya.

"Aku ndak bawa Handphone nih," kataku.

"Aku juga, tapi di sini mana ada sinyal, dodol!" katanya.

"Eh, situkan yang suruh dianterin, mana aku tahu kalau kita nanti bakal tersesat?" kataku.

"Wooooiii!!" teriak kakakku memanggil teman-temannya.

"SSSTTTT!!" kataku.

"Apa sih? Biar ada orang yang denger tauk!" katanya.

"Bego ya, kakak? Kalau kakak teriak-teriak, siapa yang akan datang? Kita ini di hutan! Ingat itu, Kak!" kataku.

Kak Vidia menangis. Ia memelukku. "Koq jadi begini?" tanyanya. Ia menangis tersedu-sedu, "Bunda, Vidia mau pulang."

"Udah ah, koq nangis sih? Kita cari sungai saja. Biasanya kalau ada sungai maka kita tinggal ikuti aja muaranya pasti akan ketemu peradaban," kataku.

Aku mencoba menghibur kak Vidia. Akhirnya ia berhenti menangis. Kami pun berjalan lagi, membelah hutan, tanpa arah. Akhirnya kami menemukan suara yang deras. AIR TERJUN!

Tapi karena malam hari, kami tak tahu apapun dan bagaimana pemandangannya. Hanya nyala senter saja yang bisa menerangi sekarang ini. Kemudian saat itulah aku melihat sebuah gua. Lho? Ada gua?

"Lihat, ada gua!" seruku. "Kita istirahat di situ saja dulu. Besok kita lanjutkan. Ini sudah malam dan dingin banget."

Kabut pun makin tebal. Kak Vidia dan aku masuk ke gua itu. Cukup bersih. Aku itu ada di sebelah air terjun. Kak Vidia duduk di dalam gua, aku mencari kayu bakar dan mencoba menyalakan api. Cukup susah payah aku melakukannya sampai kemudian aku pun bisa menyalakannya. Untung saja aku membawa korek api. Paling tidak malam ini jadi tak begitu dingin.

Aku duduk bersandar di dinding gua sambil menjaga api agar tetap hangat. Saat itulah kak Vidia tampak menggigil. Sebenarnya aku juga menggigil. Aku pun mendekat ke kakakku dan memeluknya. Kami pun berpelukan erat untuk mengusir hawa dingin.

Malam makin larut. Api mulai menghangati ruangan gua.

"Aku takut, Don, ndak bisa ketemu bunda lagi," katanya.

"Jangan gitulah, besok kita pasti akan tahu jalan pulang. Karena percuma kalau sekarang kita paksa juga, ndak tau jalan. Kalau saja kita tahu arah utara, mungkin kita bisa pulang, karena kalau terus ke utara kita akan ketemu posko pintu masuk tadi," kataku.

Kak Vidia mengangguk. Api mulai mengecil, kayunya pun mulai habis. Aku makin erat memeluk kak Vidia. Kak Vidia juga makin erat memelukku. Dan... apinya padam. Hawa dingin mulai menusuk lagi.

"Kak, sebaiknya kak Vidia aku pangku saja," kataku.

"Ih, ogah ah, Kenapa memangnya?" tanyanya.

"Biar hangat, coba deh sini," kataku.

Kak Vidia pun mengikutiku. Ia duduk di pangkuanku. Trus memelukku, "Begini?"

"Bukan, buka baju kakak bagian atas!" kataku.

"Kamu gila ya? Aku ini kakakmu, jangan macam-macam!" katanya.

"Kita ini darurat, aku janji deh ndak macam-macam. Ikuti saja!" kataku.

Kak Vidia ragu. Ia berpikir. Sambil giginya gemertuk. "Ya udah deh, tapi ingat jangan macem-macem ya!?" katanya kemudian.

Ia membuka kancing bajunya. Aku tak bisa melihatnya karena gelap. Aku pun membuka bajuku yang atas.

"Sudah," katanya.

"Peluk aku," kataku.

Ia pun memelukku.

"Eh, tunggu!" kataku. "Branya dicopot juga dong!"

"Kamu udah gila ya?"

"Kak, kita perlu menghangatkan diri pakai tubuh kita, kakak mau mati kedinginan di sini?" tanyaku.

Ia pun akhirnya luluh juga. Dicopot pengait branya. Kemudian ia naikkan branya, sehingga buah dadanya terekspos. Sayangnya gelap. Aku tak bisa jelas melihatnya. Sementara yang di bawah sana tak bisa diajak kompromi. Langsung tegang.

"Sekarang peluk aku, Kak!" kataku.

Dan kami pun berpelukan, tanganku masuk ke dalam bajunya. Tangan kakakku juga masuk ke dalam bajuku. Kami saling mendekap erat untuk memberikan kehangatan. Dadaku beradu dengan buah dadanya. Aku bisa merasakan putingnya yang mengeras karena dingin menekan di dadaku. Dan, yang agak mengejutkan adalah selakangan kami saling menempel. Tentu saja kakakku merasakan sesuatu di bawah sana.

"Dik, jangan macem-macem ya, ingat aku kakakmu," katanya memperingatkan.

"Iya, aku mengerti, kak. Tapi aku ‘kan juga lelaki normal," kataku.

Lama kami berpelukan seperti itu. Dada kami mulai menghangat.

"Mulai hangat, dek," kata Kak Vidia.

"Iya, Kak." kataku. "Kak Vidia, maaf ya. Aku melakukan ini," 

"Tidak mengapa. Kakak ngerti koq," katanya.

Saat itulah, entah kenapa aku menggosok-gosok punggung kakakku. Dia juga demikian. Aku masih ingat warna pink puting kakakku. Setan pun datang. Aku berdebar-debar. Kak Vidia bisa merasakan debaran jantungku. Dia juga demikian.

"Baru kali ini kakak beginian dengan lelaki, rasanya nyaman," katanya.

"Kak, boleh Doni memegang dada kakak?" tanyaku.

"Dek, ingat, aku kakakmu," katanya.

"Iya, aku tahu, sebentar saja kak. Doni ndak pernah megang punya wanita, kepengen aja. Gak papa kan? Kita juga kan pernah mandi bersama dulu," kataku membujuk.

"Tapi kan itu kita masih kecil," katanya.

"Boleh ya, kak, sebentar saja," kataku.

Kak Vidia ragu. Ia takut membuatku marah akhirnya tak bisa menghangatkan diri lagi dan bisa mati kedinginan. Ia pun bilang, "Iya, sebentar saja ya."

Yes! pikirku.

Tanganku pun bergerak memegang buah dada yang sejak dulu ingin aku pegang itu. Pertama aku cuma menangkup saja, tapi selanjutnya, aku meraba, mengusap, dan memijatnya lembut. Penisku makin tegang aja di bawah sana. Putingnya yang berwarna pink itu aku pencet-pencet.

"Dek... udah... jangan....!" katanya.

Aku terus melakukannya, merempon istilahnya. Sambil sesekali memelintir-melintir. Kak Vidia mulai gelisah. Kalau ia lepas pelukannya, maka ia takut, kalau ia biarkan, maka aku akan bebas melakukan apapun kepada tubuhnya. Dan dugaannya tak meleset. Kak Vidia lalu mengeluarkan tangannya dari balik bajuku dan memeluk leherku.

"Jangan, dek... aku kakakmu!" rintihnya.

Tanganku bergantian meremas buah dadanya. Kiri-kanan. Sedangkan tangan kiriku mengusap-usap pantatnya dengan memasukkannya ke dalam roknya dan CDnya. Ruangan gua makin panas. Kak Vidia dilema. Ia cuma membiarkanku melakukan hal itu kepadanya. Aku lalu berhadapan dengannya, aku tak tahu raut wajahnya seperti apa sekarang, tapi aku tahu tempat bibirnya di mana. Bibirku kemudian menempel di bibirnya. Kak Vidia makin pasrah. Ia membiarkan lidahku menari-nari di dalam mulutnya menghisap lidahnya, menyapu langit-langitnya. French Kiss itu membuat Kak Vidia klepek-klepek.

"Kak, aku cinta ama kakak," kataku.

"Dek Doni... jangan... hhhmmm,"

Aku menciumnya lagi. Aku lalu turun ke dadanya, kuhisap putingnya. Kujilati. Manis sekali.

"Deeekk... oohhh... hhhmmm..."

Aku terus meremas, menciumi dan menyusu ke dadanya. Kak Vidia makin gelisah. Kalau ia melepaskanku ia takut kedinginan. Akhirnya ia pun nekat, ia mendorongku. Ia menjauh dariku.

"Adek, kenapa adek melakukan hal ini?" tanyanya.

Aku diam.

Cukup lama aku diam menunggu reaksinya. Kemudian aku merasakan ia meraba-raba dalam gelap mencari kakiku. Ketika ia merasakan kakiku, ia pun memelukku.

"Maafkan kakak, karena salah kakak adek jadi begini," katanya.

Aku tak tinggal diam. Aku tak ingin melepaskannya lagi. Segera aku peluk dia, kupaguti bibirnya. Ia gelapan. Aku baringkan dia di atas batu gua. Aku kemudian menurunkan celana trainingnya, juga CDnya. Roknya aku naikkan. Celananya sudah lepas dan aku melepaskan celanaku, aku segera turun ke sana dan menghisap memek perawannya.

"Dek... jangaaan... aahhkk!" keluhnya.

Ia meronta-ronta, tapi tak ingin melepaskanku. Aku menjilati memeknya yang bersih itu, tak ada bau kencing, bukti bahwa ia sangat bersih menjaga tempat privasinya. Aku sapu lidahku di bibir vaginanya. Lalu aku jilat-jilat seperti kucing, kucolok-colok di lubangnya. Dan yang terakhir aku hisap klitorisnya. Klitoris kakakku ini lebih besar dari punya bunda. Aku hisap hingga pinggulnya terangkat.

"Deekk... kok jadi enak sih... kakak enak..." katanya mengerang.

Aku mengulangi lagi memakan daging kenyal itu. Kuhisap-hisap, dan kutekan-tekan lubang itu dengan lidahku. Klitorisnya aku mainkan, kuhisap, kujilat dan kupijat-pijat dengan bibirku. Kak Vidia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dek... kakak mau pipis... kakak mau pipis... maaf, dek... kakak pipiiiiiiiissss!!" kata kak Vidia.

Benar saja, kak Vidia banjir. Ia orgasme. Aku mengisapnya. Beberapa lendir itu kuminum. Agak hangat dan asin. Aku membersihkan bibirku. Kak Vidia lemas di atas batu gua. Aku tersenyum. Kuposisikan penisku. Kuangkat pantatnya. Penisku pun mulai masuk perlahan... perlahan... kepalanya masuk, tapi susah.

"Ahhkkk... deekk... sakit... jangan!" katanya. Tangannya meraba memeknya dan mendorong perutku. Tapi tak begitu kuat. Aku dorong lagi. Jemarinya menyentuh penisku. Memeknya berkedut-kedut, seolah-olah menyedot-nyedot punyaku.

Aku tarik lagi kemudian dorong, pelan-pelan. Tarik dorong-tarik dorong. Setiap aku dorong tubuhnya bergetar, kudorong, bergetar lagi dan... SREETTT...!! Aku seperti merobek sesuatu dan tiba-tiba seluruh penisku masuk semua.

"Adeeeekk... oooohhh..." ia meraba penisku yang sudah masuk semua. "Kenapa adek melakukan ini? Kenapa adek rela memerawaniku?"

"Kak, aku cinta ama kakak," kataku. Kemudian aku menggoyang. Aku menindih tubuhnya. Ruangan itu menjadi panas. PLOK PLOK PLOK, suara selakangan kami beradu. Rasa dingin sudah tak ada artinya lagi. Yang ada adalah usaha untuk meraih kenikmatan bersama.

Awalnya kak Vidia mengeluh sakit dan perih. Tapi lama kelamaan ia cuma mengeluh nikmat. Ah dan uh keluar dari mulutnya. Pikiran kami cuma ada nafsu. Gua itu menjadi saksi bisu bagaimana kedua kelamin kami bersatu. Aku menghisap putingnya lagi. Putingnya sangat mengeras. Aku yakin ia sangat menggairahkan kalau aku bisa melihatnya. Aku masih membayangkan mulusnya dan putihnya kulit kakakku dari video-video yang aku simpan.

Pantatku terus bergoyang hingga aku tak tahu lagi kapan aku bertahan dengan posisi seperti ini, tapi aku makin cepat menggoyangnya.

"Dek, kakak mau keluar lagi. Kakak mau pipis," katanya.

"Kak, aku juga udah di ujung. Keluar bareng yuk," kataku.

"Jangan di dalam, dek, plisss... jangan..." katanya.

"Ndak bisa, kak, enak banget soalnya. OOOHHH... AAAHH," kataku.

"Dek... kamu brengseeekk... kakakmu sendiri dientot... pejumu... pejumu... muncrat!!" katanya.

"Banyak, kak, banyak banget!" kataku. "OH... memek kakak enak, seret, penisku nagih, kak... keluar... ooooohhhh!"

"Deek... adekku yang ganteng... jadi bapak anakku... ini masa suburku, dek, aku hamil... ohhh... hamil deh... aaaahhkkk!" racaunya.

Satu, dua, tiga, empat, lima... sepuluh kali semprotan. Spermaku banyak banget memancar di rahimnya. Kami berpelukan erat sekali. Dan akhirnya, karena kedinginan dan kelelahan, kami pun tertidur.

***
Sinar matahari membangunkan kami. Gua menjadi hangat. Kak Vidia terbangun pertama kali, disusul aku. Ia melihat vaginanya yang mengeluarkan lendir putih dan merah darah. Darah perawannya. Kak Vidia menoleh ke arahku, lalu ia menamparku dengan keras.

"Kenapa? Kenapa adek melakukan ini?" tanyanya. "Adek sudah janji bukan?"

"Maafin adek, kak," kataku. "Doni khilaf,"

"Enak saja, khilaf. Kalau kakak hamil mau tanggung jawab?" tanyanya.

"Iya, aku akan tanggung jawab," kataku.

"Lalu bagaimana kalau sampai bunda tahu? Betapa malunya bunda," kata kakak sambil menangis. Ia memeluk kakinya yang tak tertutup apapun itu. Aku lalu memeluknya. Ia tak menolakku.

"Aku akan bertanggung jawab," kataku. "Mulai sekarang Doni yang jadi suami kakak."

Kakakku diam. Ia cuma menangis. Tangisnya mulai berhenti ketika aku mengusap-usap tubuhnya. Dan aku pun memagutnya, kami berpagutan lagi.

"Dek... sudah, dek," katanya. "Kita pulang yuk!"

"Sekali lagi, kak," kataku.

"Adekku... suamiku," katanya.

Aku menciumi bibirnya, kami lalu telanjang. Sinar matahari sudah masuk, kini aku bisa melihat jelas tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Aku menciumi dan menjilati lehernya yang jenjang. Wangi tubuhnya aku hirup. Dadanya aku cupangi, ketiaknya aku hisap, hal itu membuatnya menggelinjang hebat. Kami memberikan usapan dan ciuman, serta hisapan. Bibir merah muda kakakku pun menciumi tubuhku, putingku, leherku, bibirku, semuanya. Bahkan penisku pun
diciuminya.

Aku menuntunnya untuk menungging. Aku posisikan penisku tepat di bibir vaginanya, aku dorong pelan. BLESS... masuklah semuanya. Aku lalu mulai menggoyang. Kakakku merintih-rintih keenakan. Ia sepertinya tak terasa sakit lagi. Aku menyodoknya sambil meremas-remas toketnya yang putingnya berwarna pink itu. Cukup lama aku menyodoknya dari belakang. Pantatnya membentur-bentur selakanganku. Aku pun meremas-remas pantatnya, sambil kubelai dengan kukuku di punggungnya.

"Ampun dek, ampun, jangan! ahh... ahh... ohh..." keluhnya.

"Kak, pantat kakak enak, memek kakak juga enak," kataku.

Aku terus memompa keluar masuk. Sepertinya waktu itu sangat lama. Aku bisa menikmati setiap centi penisku menggesek kulit rongga vagina kakakku. Dan aku terkadang menghujam sedalam-dalamnya, vaginanya benar-benar menyedot-nyedot penisku. Aku kemudian berhenti. Kak Vidia tampak lemas. Saat penisku dicabut ia menjerit kecil, "Aww.."

Ia terkulai, kubalikkan tubuhnya. Kubantu ia untuk bangun. Kusuruh ia duduk di pangkuanku. Sebelumnya aku memposisikan kemaluanku masuk lagi ke dalamnya. SLEB... SRETTT... lagi-lagi rongga vaginanya menghisap dan meremas penisku. Oh... seperti inikah rasanya perawan itu. Kami sekarang berhadap-hadapan. Tak ada rasa malu lagi. Ia masih memakai kerudungnya, tapi bawahnya polos.

"Aku cinta ama kakak," kataku.

"Ini cinta nafsu, dek, ini ndak bener," katanya.

"Tapi kakak suka kan?" tanyaku sambil menekan pantatku ke atas.

"Ohh... adekku yang nakal. Habis ini udah ya, kakak capek," katanya.

Aku lalu merebahkan diri. Ia duduk di atasku. Di posisi ini ia mengangkat pantatnya naik turun, sesekali ia gerakkan maju mundur. Buah dadanya aku remas-remas, ia memegangi tanganku.

"Ohh... dek, kakak hina sekarang... sekarang kakak seperti pelacur... ohh... kakak malu, Dek." katanya.

"Engkau pelacurku, kak," kataku. "Oh... kak Vidia."

"Sebenarnya aku tak mau... tapi penismu, dek, ohhh... bikin ketagihan. Kakak ingin saja diperkosa kamu... hhhmmm... ohh... ahh," katanya.

"Terus, kak, goyang!" kataku.

Kak Vidia menggoyang-goyangkan pantatnya, hingga makin lama makin cepat. "Dek, kakak mau sampai... mau sampai... samp...." ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan kedua pahanya menghimpit pinggangku. Aku merasakan sesuatu cairan membasahi penisku. Ia lalu ambruk di atasku.

Pinggulnya bergetar, merasakan nikmatnya orgasme yang baru saja ia raih. Aku pun kemudian melepaskan kerudungnya, tampaklah sesosok wajah yang cantik. Matanya jeli, bibirnya tipis dan lembut. Rambutnya panjang disanggul. Aku pun melepaskan sanggul itu. Kini rambutnya terurai. Kak Vidia diam menikmati sisa-sisa orgasme. Aku kemudian berguling. Kini bergaya misionaris.

Mata Kak Vidia masih terpejam. Aku kemudian mulai bekerja lagi. Aku sedikit berjongkok, Pahanya aku naikkan hingga lututnya sampai ke samping kepalanya, dengan posisi ini aku lalu memompa penisku naik turun. Kak Vidia pasrah, ia hanya menjerit nikmat ketika penisku menggesek-gesek rongga kemaluannya.

"Aaahhkkk... deekk... nikmatt banget... terusss..." katanya.

Aku pompa terus keluar masuk. Kemaluannya yang gundul tanpa rambut membuatku makin terangsang saja. Pagi-pagi kami sudah mandi keringat. Aku bisa melihat peluh sebesar jagung di keningnya. Bahkan tubuhku pun basah oleh keringat. Setelah itu tak berapa lama kemudian aku merasa ingin keluar. Aku posisikan diriku menindihnya, berbaring. Kupeluk dan kucium dia. Pantatku naik turun dengan cepat.

"Kak, aku keluar... ohh... kakk... kakakk, penisku mau nembak lagi," kataku.

"Deekk... hamili kakak, dek... ahhhkkkk... kakak pasrah... tembak rahim kakak ama pejuh angetmu!!" katanya.

"Kaaaakkk.... aku muncraaat!" kataku.

CROOOOTTT!! CROOOTTT!! CROOOTT!!

Kedua bibir kami menyatu, rasanya kami semua melayang ke awan. Kakakku rela menerima spermaku kali ini. Ia memelukku erat, kakinya mengapit dan mengunci pinggangku. Spermaku terbenam semua di dalam vaginanya. Aku biarkan beberapa saat penisku ada di sana. Meresapi kedutan-kedutan rongga kemaluan Kak Vidia. Hingga kemudian penisku mengecil sendiri. Aku kemudian menariknya.

Tampak spermaku meleleh dari kemaluannya. Kak Vidia lemas. Ia mengatur nafasnya, matanya terpejam pahanya terbuka. Aku lalu merebahkan diri di sebelahnya.

***

Kami setelah itu membersihkan diri di air terjun. Tentu saja mandi keramas, tapi tanpa shampoo. Dingin sekali airnya, setelah itu kami mengikuti arah matahari, sehingga akhirnya sampailah kami di pos yang aku maksudkan. Rombongan kami ternyata juga mencari kami. Kami kemudian bercerita bahwa kami tersesat kemudian bermalam di gua.

Insiden itu mengubah hidup kami berdua. Kami seperti orang pacaran sekarang. Kak Vidia selalu manja kepadaku. Awalnya bunda tidak curiga terhadap hal ini. Bahkan Kak Vidia sekarang berani untuk tidur di kamarku, dan kami terkadang melakukannya lagi di kamarku.

Baiklah ini cerita Kak Vidia. Hubungan kami sangat rahasia sebenarnya. Aku dan bunda masih melakukannya, juga dengan kak Vidia. Dan untunglah, kak Vidia juga masih menstruasi. Tidak jadi hamil.

Satu-satunya yang memergokiku bercinta dengan bunda adalah Nuraini. Saat itu aku tak mengira kalau Nuraini akan pulang lebih awal. Aku dan ibuku sedang bercinta hebat di atas kasur. Dan saat itu akulah yang sadar. Aku lupa menutup pintu, ibuku membelakangi pintu dan posisiku saat itu memangkunya. Terlihat jelas penisku masuk ke kemaluannya dan Nuraini terbelalak menyaksikan kami berdua. Ia mematung sejenak, namun karena aku juga menatap matanya, ia pun segera pergi. Segera setelah itu aku menggenjot bunda lebih cepat untuk orgasme. Setelah selesai. Aku buru-buru mencabut penisku.

"Tumben cepet, ada apa?" tanyaku.

"Nuraini melihat kita, bunda," jawabku.

"Apa?" bunda kaget sekali.

Ia segera berpakaian. Aku juga. Dan saat itu tampak Nuraini diam saja melintasi kamar kami. Aku dan bunda saling berpandangan.

"Nur! Nur!" panggil bunda. Tapi Nuraini tak menoleh.

***

Malamnya Nuraini tampak membisu di depan tv. Aku dan bunda pun ada di sana.

"Kenapa bunda dan kakak melakukan hal itu?" tanyanya.

"Maafkan bunda, Nur, bunda melakukannya karena memang ini salah bunda. Karena bunda sudah lama ditinggal ayahmu. Dan karena bunda takut untuk dekat dengan lelaki lain," kata bunda.

"Tapi kenapa harus kak Doni?" tanyanya.

"Ya karena bunda takut dengan lelaki lain, itulah sebabnya," jawab bunda.

Nuraini menutup wajahnya. "Terus terang Nur malu bunda, malu. Kenapa bunda malah melakukan hal yang memalukan itu bersama anak sendiri?" tanyanya.

"Nur, dengarlah... kakak melakukan ini karena suka sama suka. Bukan karena paksaan dan juga karena kakak kasihan kepada bunda. Tahukah kamu bagaimana bunda sangat merindukan ayah? Kalau misalnya bunda dengan lelaki lain yang tidak jelas melakukannya, apa kamu rela? Mau kamu bersama lelaki lain yang tidak jelas asal-usulnya, rela kamu punya ayah baru yang tidak bisa membahagiakan bunda?" tanyaku.

Nuraini diam. Ia menatapku. Ia berpikir sejenak.  "Tapi... kenapa harus kakak?" tanyanya.

"Karena kakak orang yang mendekati ayah. Kakaklah orang yang dibutuhkan oleh bunda dan karena kakak selalu ada di samping bunda, makanya siapa lagi yang bisa dipercaya oleh bunda? Kakak selalu ada di sisi Bunda, kakak tahu ini salah, tapi apakah kamu tega dengan perasaan bunda?" tanyaku.

Nuraini terdiam. Ia melihat ke arah bundanya.

"Nur, maafkan bunda," bunda memeluk Nuraini.

"Nur bisa memaafkan bunda. Asalkan Nur minta satu hal, bunda," kata Nur.

"Apa itu, sayangku?" tanya bunda.

"Ijinkan Nur bersama bunda menjadi suami kakak," kata Nur dengan lugu. Kami berdua terkejut.

"Nur, itu tidak mungkin," kata bunda. "Kamu adiknya."

"Kalau bunda boleh kenapa Nur tidak? Sebenarnya saya sudah lama mengagumi kakak sendiri, mungkin Nur terkena sister complex, tetapi terus terang Nur kecewa ketika melihat Kak Doni begituan ama bunda, cemburu Nur. Cemburu ama bunda," kata Nur sambil terisak.

Bunda terdiam. Ia pun bingung. Saat itulah Kak Vidia baru pulang dari kampus. Ketika melihat kami semua berkumpul ia pun bingung. "Ada apa?" tanya Kak Vidia.

"Baiklah, memang semuanya harus tahu apa yang terjadi karena kita adalah keluarga," kataku. Kemudian aku menceritakan semuanya. Hubunganku dengan bunda, dan bagaimana aku suka kepada kakakku sendiri. Kemudian juga Nur yang juga suka. Ini benar-benar keluarga incest.

"Kita semua memang salah, ini sudah terlanjur," kata bunda. "Maafkan bunda yang tidak bisa mendidik kalian. Baiklah, ini hanya jadi rahasia kita. Maukah kalian menjaganya? Vidia? Doni? Nur?"

Kak Vidia tampak matanya berkaca-kaca.

"Mulai sekarang, Doni adalah kepala rumah tangga. Terserah kepada dia ingin menggilir siapa. Bunda ijinkan dia menjadi suami kalian. Demi keutuhan keluarga ini. Bagaimana? Kalian setuju?" tanya bunda.

Kak Vidia langsung memeluk bundanya, "Bunda, Vidia sangat bahagia sekali." Nur juga memeluk bunda. Aku terdiam. Bingung dengan keadaan ini sekarang.

"Doni, sekarang kamu adalah suami kami. Perlakukanlah kami dengan baik. Di luar memang kita adalah keluarga, tapi di dalam kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Jadilah kepala keluarga yang baik. Malam ini bunda akan menyiapkan Nur untukmu, karena Nur masih gadis. Vidia, tolong siapkan suamimu," kata bunda.

Kak Vidia mengangguk. Aku kemudian digandeng kak Vidia ke kamarnya. Di dalam kamarnya, kak Vidia mencubit pipiku. "Kalau sainganku bukan bunda dan adikku sendiri, maka aku pasti akan marah habis-habisan kepadamu, dek. Tega-teganya berselingkuh," kata kak Vidia.

"Maafkan aku, kak." kataku.

Kak Vidia menggeleng. "Kau tidak salah. Ibu memang sedang rindu kepada ayah, pantas kalau beliau memilihmu. Karena kamu sangat mirip ayah. Entah kenapa, aku malah senang. Sini copot bajunya, aku mandiin."

Kak Vidia cekikian. Dia kemudian melepaskan bajuku satu per satu. Lalu ia pun begitu. Kami berdua masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Baru bulan kemarin kami membangun kamar mandi ini. Di dalam kamar mandi ini kami membersihkan diri, tapi juga sebenarnya adalah saling membelai. Aku menciumnya sambil memberikan sabun ke tubuhnya. Kak Vidia juga begitu, ia mengusap sabun ke seluruh tubuhku, bahkan menggosok-gosok dadaku, perut, ketiakku, penisku diurut-urut. Aku juga menyabuni buah dadanya, pantatnya. Ketika penisku yang tegang itu menyentuh kemaluannya ia mencubit perutku.

"Simpan tenagamu buat Nur, kita lakukan ini besok saja ya. Ini nih, udah besar nakal juga ternyata," ia meremas otongku. Aku mengangguk.

Air pun mengguyur tubuh kami, terasa wangi tubuhku. Setelah itu aku balik ke kamarku, meninggalkan kak Vidia di kamarnya.Di sana aku memakai baju yang terbaik. Entahlah, aku koq malah seperti pengantin. Di dalam kamarku aku menunggu. Entah apa yang akan terjadi kemudian. Saat itulah pintu kamar diketuk, Kak Vidia sudah ganti baju. Ia lalu duduk di sebelahku.

"Malam ini, engkau akan mengambil keperawanan Nur. Ada rasa tak rela sih, tapi karena Nur adalah adikku juga maka aku nasehatkan kepadamu, tolong jangan sakiti dia seperti engkau menyakitiku dulu," katanya.

"Apakah dulu aku menyakiti kakak?" tanyaku.

"Bukan, maksudku saat pertama kali masuk, aku sangat perih, perih sekali. Aku takut dia nanti kaget dengan ukuranmu itu. Hati-hatilah, nikmatilah malam pertama ini. Aku akan tunggu kamu besok, ok?" kak Vidia mengedipkan mata. Kami lalu berciuman sebentar, setelah itu ia meninggalkanku.

Tak berapa lama kemudian pintu diketuk lagi, Nur masuk diantar oleh bunda. Alamak cantik sekali. Aku tak pernah melihat Nur secantik ini. Ia didandani oleh bunda seperti bidadari. Ia masuk ke kamarku.

"Bunda tinggal ya," kata bunda. Lalu ia pergi. Nur kemudian duduk di sampingku.

"Ini Nur? pangling kakak," kataku.

"Kak, Nur masih tak tahu, bimbing ya," katanya.

Aku mengangkat wajahnya. Kukecup keningnya. Kedua kelopak matanya, hidungnya, pipinya, lalu bibirnya. Saat itu Nur masih kaku. Tapi aku tuntun. Kubuka sedikit mulutnya dan lidahku dan lidahnya sudah saling menghisap. Lipgloss yang ia pakai terasa manis. Aku kemudian mengajak dia berdiri. Nur tak terlalu tinggi. Ia setelingaku. Kulepas bajunya satu per satu. Ia pun melepas bajuku. Kini kami berdua hanya memakai celana dalam. Kerudungnya aku lempar ke lantai. Kusuruh ia berlutut.

"Buka celana dalamku ya," kataku.

Nur melihat tonjolan besar di dalam sana. Ia penasaran dan ragu. Kemudian perlahan ia menurunkannya. Sebatang daging keras, berurat, panjang dan besar tiba-tiba keluar. Ia agak kaget. Entah karena ukurannya atau yang lain.

"Coba pegang, ciumi dan rasakan," kataku.

Nur pun melakukannya. Ia masih amatir. Terasa kaku bila memegang penisku. Ia ciumi kepala penisku. Rasanya tak muat kalau penis ini masuk ke mulutnya yang mungil. Kutuntun dia untuk mengurut penisku. Kemudian aku ajari untuk menjilatinya, Nur tidak jijik, malah ia antusias, selalu bertanya, "Seperti ini? Apakah seperti ini?"

Ia kutuntun untuk menghisap telurku, menjilati pangkal penisku, kemudian memasukkan penisku ke mulutnya. Benar penisku tak cukup. Bahkan cuma kepalanya saja yang bisa masuk ke mulutnya yang mungil. Maka dari itu ia berikan rangsangan dengan memainkan lidah di ujung penisku, sambil mengocoknya. Enak sekali. Aku nikmati sensasi mulutnya, lidahnya memberikan rangsangan yang luar biasa, mungkin karena ia masih lugu ia melakukan apapun yang aku inginkan. Setelah agak lama ia mengoral, aku menyuruhnya menyudahinya.

Nur aku suruh berdiri, kuciumi dia. Ia menyambut ciumanku, kemudian kuciumi dan kuhisap lehernya, kujilati telinganya. Ia menggelinjang. Saat aku hisap lehernya, kutinggalkan bekas di sana. Aku merasakan bulu kuduknya merinding. Kemudian aku turun ke buah dadanya yang mirip bunda besarnya. Aku memang seakan tak percaya ia masih kecil tapi buah dadanya besar. Kubuka pengait branya. Saat itulah seolah-olah bra itu menahan luapan susu. Langsung buah dada itu seperti meloncat. Bra itu pun aku buang. Kemudian aku beri lagi cupangan-cupangan di buah dadanya yang putih, seputih susu. Lalu ia aku ajak untuk merebahkan diri ke ranjang.

Kuremas-remas buah dadanya, kanan dan kiri. Kupenceti putingnya. "Ohh... kaakk..." keluhnya.

Aku menghisapnya, menghisap puting yang berwarna pink kecoklatan itu. Kujilati, kuhisap lembut, kuat sambil kuremas. Nur meremas-remas rambutku, meremas-remas kepalaku. Kurasakan bulu kuduknya merinding lagi. Dan ketika aku jilati di bagian buah dada dan ketiaknya, ia merintih hebat. Sepertinya itu titik hotspotnya. Kumainkan lidahku di sana.

"Kakk... jangan disitu, geli... Nur... Nur mau pipis..." katanya.

Aku tak peduli, ia mendorong tubuhku agar tidak melakukan hal itu di situ. Aku tetap pada pendirianku, kujilati tempat itu pantatnya pun terangkat dan ia meringkuk.

"Nur pipis, kak, Nur pipis," katanya.

Aku menghentikan aktivitasku. Kuraba kemaluannya. Becek, banjir lendir. Ia sudah orgasme hanya dengan begitu saja? Aku lalu turun ke perutnya. Kuciumi perutnya, ketika kuciumi tempat di bawah perutnya antara vagina dan perut, ia merinding lagi. Kuteruskan sampai ke vaginanya, ia menghimpit kepalaku dengan kedua pahanya.

"Kak, Nur pipis lagi," katanya.

SERRR... SERRR... aku melihat cairan bening kental menyemprot dari vaginanya. Ia sudah orgasme untuk kedua kali? Aku menggeleng-geleng. Kuciumi pahanya, kujilati, kuhisap keharuman tubuhnya. Dan sepertinya mau tak mau Nur harus siap sekarang.

"Kaak... itunya Nur gatel banget," katanya.

"Nur, kakak mau masukin, udah siap?" tanyaku.

"Siap, kak, masukin aja," katanya.

Aku dengan perlahan memposisikan penisku untuk masuk. Lendir yang keluar dari kemaluannya mempermudah posisi penisku untuk bisa masuk, sesenti dua senti. Nur meremas sprei tempat tidurku. Tidak bisa masuk. Aku tekan, tarik, tekan, tarik, hingga kepala penisku masuk semua. Dan ketika aku dorong lagi ada sesuatu yang mengganjal. Wajah Nur berubah. Ia memejamkan matanya kuat-kuat dan meringis. Aku menciumi bibirnya untuk memberikan efek agar ia tak merasa sakit. Penisku berkedut-kedut, ditambah rongga kemaluannya yang makin lama makin meremas-remasku. Satu tekanan dan SREEETTT... Nur memelukku erat.

Ia mencakar punggungku dengan kukunya, aku menindihnya memeluknya sambil kucium dia. Kedua pahanya mengapit pinggulku. Penisku diremas-remas oleh rongga yang sempit. Memek Nur serasa vacum cleaner, menyedot-nyedot penisku, meremas-remas seperti penggiling, ngilu rasanya tapi enak. Aku mendiamkannya sejenak merasakan sensasi ini.

"Kak, Nur udah tidak perawan ya sekarang?" tanyanya.

Aku mengangguk.

Ia memelukku, "Nur bahagia banget bisa mempersembahkan keperawanan Nur buat kakak."

Aku lalu mendorong naik turun. Nur meringis lagi. Awalnya ia kesakitan, setelah agak lama aku goyang secara teratur ia pun tak sakit lagi, malah ikut menggoyangkan pantatnya.

"Kak, seperti inikah rasanya bercinta. Nur merasa enak sekali, penis kakak serasa penuh," katanya.

"Nur, kakak merasa enak juga. Memek Nur meremas-remas penis kakak," kataku.

"Kakak suka?" tanyanya.

"Iya, kakak suka," jawabku.

"Aku cinta ama kakak," katanya.

"Aku juga," kataku.

Aku pun berpacu lagi, menuju puncak kenikmatan. Suara selakangan kami memenuhi kamarku. CLEKK... CLEEKK... CLEEEK... becek sekali vagina Nur, membuat pelumas untuk bisa penisku bergerak keluar masuk.

"Nur, kakak mau keluar," kataku. Aku sudah tak kuat lagi, rangsangan memeknya terlalu kuat, aku seperti diremas-remas, apalagi Nur juga pinggulnya ikut gerak. Sensasi ini tak bisa kutahan lagi untuk ditumpahkan.

"Nur ingin hamil, kak, Nur ingin punya anak dari kakak," katanya.

"Nur... ohhh,"

"Kaaakkk.... aahh... ahhh... aaahhhhh,"

Meledaklah spermaku di dalam rahimnya. Nur memelukku erat, penisku banjir oleh lendir. Rahimnya kusemprot berkali-kali, entah belasan kali rasanya. Ngilu sekali, apalagi aku benamkan penisku sedalam-dalamnya hingga mentok. Aku yakin itu spermaku berhamburan mencari ovum. Di dalam sana penisku berkedut-kedut, menyeruak memompa cairan-cairan kenikmatan mencari tempatnya. Membasahi rongga yang dingin, menghangatkan rahim Nur. Nur mengapit pinggulku dengan kedua pahanya. Dada kami bersatu, tubuh kami bersatu, hingga kemudian ia pun lemas.

Aku tak mencabut penisku dulu. Membiarkan semprotannya berhenti, aku tekan biar semua spermaku habis dulu, setelah itu perlahan aku cabut. Nur meringis ketika penis itu aku cabut. Seketika itu sebagian sperma ikut keluar bersama darah perawan, bercampur menjadi satu.

Setelah itu kami tidur dalam satu selimut. Nur memelukku. Kami melewati malam yang indah itu dan tak terasa pagi pun menjelang.

***

Aku terbangun, tak mendapati Nur. Tapi di meja kamarku aku bisa mencium aroma kopi. Apakah itu yang membuat Nur?

Aku kemudian bangun dan melihat spreiku ada bercak darah. Aku pun berpakaian dan keluar kamar. Masih sepi, orang-orang belum melakukan aktivitas. Nur sepertinya mandi, aku pun ke kamar mandi. Aku tak perlu mengetuk pintu, langsung masuk. Ternyata benar. Ia mandi.

"Kakak?" ia tersenyum.

Aku kemudian ikut mandi bersama. Kulepaskan bajuku. Kami kemudian berpelukan di bawah shower. Berciuman, saling membelai. Aku pun terangsang lagi. Ia kudorong ke dinding kamar mandi. Kaki kirinya aku angkat, dan penisku aku masukkan ke memeknya. BLESS, lancar. Aku pun menggoyangnya. Nuraini memejamkan matanya,aku menghisapi teteknya, pantatku menghujam ke memeknya dengan irama yang menggairahkan. Karena masih pagi mungkin, aku cepat sekali keluar. Apalagi memeknya masih seret dan menyedot-nyedot. Spermaku pun keluar. Ia memelukku.

"Kakak ih, belum apa-apa udah langsung nyerang. Nur pipis lagi nih," katanya.

"Kamu koq gampang banget pipis sih?" tanyaku.

"Ndak tau, kak," katanya.

Penisku aku cabut.

"Sini aku bersihin," kata Nur.

Ia pun menyabuni tubuhku. Hari itu adalah hari teraneh dan terbahagia dalam hidupku.

Begitulah ceritaku terhadap keluarga-keluargaku. Menjadi suami dari ketiga anggota keluarga sendiri itu tak mudah. Tapi walaupun begitu, tak ada satu rasa cemburu. Bahkan ketika aku ngentot dengan Kak Vidia di ruang tamu misalnya, bunda tahu tapi membiarkan. Atau ketika aku bercinta dengan bunda di dapur misalnya, aku tak malu lagi atau sembunyi-sembunyi. Ketika Nur melihatnya ia diam saja, memaklumi. Dan ketika Nur menjerit-jerit keenakan ketika kami bercinta di sofa, Kak Vidia malah bilang agar jangan kenceng-kenceng jeritnya.

Pengalaman yang aneh adalah ketika mereka bertiga mengoral penisku. Awalnya sih cuma bercanda saja.

"Ih, kak Doni, kepengen bercinta di mana aja. Di dapur, di sofa, di ruang tamu, di kamar mandi. Dasar," kata Nur.

"Iya nih, mentang-mentang punya tiga istri," kata Kak Vidia.

Saat itu bunda sedang mengoralku. Aku duduk di sofa dan bunda berlutut di hadapanku. "Kalau mau, ya silakan ikutan," kataku sambil tertawa.

Nur dan Vidia berpandangan, mereka berdua mengangguk. Lalu tiba-tiba mereka berada di dekat bunda berlutut juga di hadapanku. Mereka membagi penisku. Menjilati bergantian, mengoral bergantian. Kadang berebut telurku. Aku yang mendapatkan perlakuan ini tentu saja mana tahan. Dan ketika spermaku keluar, mereka saling berebut untuk menghisapnya dan menjilatinya sampai bersih. Ohhh... nikmatnya. 


 
 
BAB 3 - MBAK JUNI

Kembali ke masa sekarang. Ketika usaha kami sudah menjadi waralaba. Mbak Juni yang selama ini membantu kami pun jabatannya menjadi manajer yang mengelola waralaba. Seiring besarnya toko kami, maka kehidupan mbak Juni pun mulai berubah. Ia boleh dibilang sekarang jadi orang berduit dan sangat loyal kepada kami. Ia jugalah yang mengawal kesuksesan keluarga kami hingga sekarang waralaba kami sudah ada seratus toko tersebar di seluruh daerah.

Kabar gembira adalah ketika Nuraini hamil, kami sekeluarga sangat senang. Bahkan bunda sangat mewanti-wanti agar Nur jangan banyak pekerjaan yang melelahkan. Nuraini tahun ini lulus SMA, setelah kami melakukan hubungan ini akhirnya ia hamil juga. Mungkin karena ia banyak kegiatanlah yang membuat Nuraini tidak hamil-hamil walaupun frekuensi hubungan intimku dengan Nur lebih banyak daripada bunda dan Kak Vidia. Sebab Kak Vidia masih sibuk dengan kuliahnya dan sekarang sedang mempersiapkan skripsi. Dan bunda juga sibuk dengan urusan tokonya, sehingga jatah mereka diberikan kepada Nuraini. Dan alhasil Nuraini sekarang hamil tiga bulan.

Aku makin sayang dengan keluargaku. Aku pun sekarang berusaha tidak mengganggu kehamilan Nur, bisa fatal kan kalau misalnya kehamilannya terganggu. Dan karena ketiganya tak bisa aku ganggu, akibatnya aku kentang banget selama dua bulan ini. Bingung melakukan pelampiasan. Kak Vidia menolakku dengan halus ketika aku sedang kepingin. Ia sedang konsen skripsi dan itu sangat melelahkan, bunda juga demikian, bertemu dengan banyak investor, distributor dan berbagai macam orang.

Aku juga mengurus toko sih. Menandatangani surat-surat, memeriksa stok, menghitung faktur dan macem-macem. Dan di kantor pusat yang ada di toko utama kami aku selalu bertemu dengan mbak Juni. Toko utama kami berdempetan dengan rumah. Sudah banyak renovasi di sana-sini. Kami juga sudah punya banyak pegawai. Toko buka tutup sudah ada yang mengurus. Sedangkan aku dan Mbak Juni mengurusi hal-hal yang lain. Setiap malam manajer toko selalu memberikan data penjualan hari itu, lalu paginya aku yang mengecek dan aku beri ACC.

Mbak Juni beda ruangan denganku. Tapi aku setiap hari selalu melihatnya. Masih ingat dong pertama kali ia kerja di toko kami. Ia biasanya pakai T-Shirt dan jeans. Sekarang setelah jabatannya sudah tinggi dan menjadi orang kepercayaan kami, ia pakai blazer dan rok. Seperti pekerja kantoran.

Aku ada di kantor sampai malam. Beberapa kali Nur menelponku.

"Kak, kapan pulang? Udah malem nih, Nur sendirian di rumah," kata Nur di telepon. Padahal rumah sama kantor itu ya tinggal jalan saja sih. Karena letak rumah kami ada di belakang toko. Sedangkan kantornya ada di depan toko.

"Iya, sebentar lagi," kataku. "Masih banyak data yang harus diaudit, bunda soalnya masih keluar kota."

"Biar mbak Juni saja yang beresin," katanya.

"Ndak bisa dong, bagiannya beda, tidur saja dulu. Udah malem ini," kataku.

"Kepengen dipeluk," katanya.

"Iya, nanti aku peluk dan cium deh," kataku.

"Janji ya?" katanya.

"Iya, janji," kataku.

"Muuacchh suamiku, cepetan ya," katanya.

Aku balas, "Muuacchh."

Kemudian aku melanjutkan pekerjaanku, dan semuanya baru selesai pukul 23.00. Aku melihat mbak Juni masih mengetik. Aku pun kemudian bangkit dan menghampirinya di ruangannya yang hanya terpisah dengan kaca.

"Belum pulang, mbak? Pulang aja udah malem lho. Nanti anaknya mencari-cari," kataku.

"Ndak apa-apa, mas, udah dijaga ama neneknya koq. Tadi juga udah bilang mungkin baru balik jam dua belas malem. Tapi kayaknya sampe pagi. Mumpung besok libur sih," katanya.

"Ngurusin apa sih? Masih soal pajak?" tanyaku.

"Iya nih, mas, petugas pajak soalnya agak ruwet. Terlebih sekarang ada masalah waralaba juga. Tambah ruwet lagi deh. Kukelarin agar besok senin tinggal lapor ke dinas pajak," katanya.

Aku berdiri di belakangnya dan melihat layar monitornya. Tampak ia menyusun file-file excel kemudian mencatat angka-angka. Aku memegang pundaknya dan menepuknya.

"Oke deh, aku tinggal dulu kalau begitu," kataku. "Sendirian saja berani kan?"

"Kaya' anak kecil aja, mas, berani dong," katanya.

Aku kemudian beranjak dari tempat itu dan meninggalkan mbak Juni sendirian. Aku keluar kantor dan pergi ke rumah. Aku kemudian masuk rumah, ke kamar mandi, membersihkan diri dan masuk ke kamar adikku. Ia tampak sudah tertidur. Wajahnya makin cantik saja kalau hamil. Aku cium perutnya, lalu keningnya, setelah itu aku masuk ke selimutnya. Kupeluk dia.
Nur terbangun. "Kakak? hmm," Kami berciuman lalu tertidur. Aku memeluknya.

Jam 03:00 aku dikejutkan dengan suara ponsel. Aku kemudian mengangkatnya. "Mas, aku kaya'nya kehilangan kunci deh," kata suara di telepon. Karena masih mengantuk, aku bingung suara siapa ini. Kemudian aku baru ingat setelah melihat nomor teleponnya. Nomor kantor. mbak Juni?

"Kunci apa, mbak?" tanyaku.

"Maaf ya kalau ganggu, mas, kunci kantor. Tadi sepertinya sudah ada di tas, tapi koq ndak ada, maaf mas kalau malam-malam ganggu," katanya.

"Ya udah, aku ke sana deh, tunggu ya!" kataku.

"Iya, mas, maaf ganggu waktu istirahat," katanya.

"Tidak apa-apa koq," kataku.

"Siapa, kak?" tanya Nur.

"Mbak Juni, kuncinya hilang. Kakak ke kantor dulu ya," kataku.

"Belum pulang mbak Juninya?" tanya Nur.

"Belum, masih ngurusin pajak katanya tadi, ini mau pulang sepertinya," kataku. "Biasanya yang ngurusin pajak bunda, tapi karena bunda ndak ada, pekerjaannya jadi dobel."

"Oh begitu, ya udah deh. Kalau ia mengantuk suruh tidur di kamar tamu aja, kak, kasihan kalau jam segini pulang. Jalanan sepi," kata Nur.

"Itu ‘kan terserah orangnya," kataku. Aku kecup kening Nur lalu meninggalkannya sambil membawa kunci kantor.

Dingin banget malam ini. Aku berjalan sambil mendekap tubuhku sendiri, sampai kemudian aku melihat mbak Juni ada di depan kantor.

"Maaf ya, mas, mengganggu," katanya.

"Nggak apa-apa," kataku. Aku kemudian mengunci kantor.

"Nanti aku cari lagi deh kuncinya," kata mbak Juni.

"Nanti biar aku urus, mungkin lupa kamunya. Oh iya, mbak, udah malem nih, nginep sini aja!" kataku.

"Ndak ah, mas, ntar dicari orang rumah," katanya.

"Katanya sudah sama nenek, anaknya?"

"Iya, cuma kan ya ndak enak juga belum ijin."

"Mbak sudah ngantuk kan? Mendingan nginep di rumah aja, kalau keadaan ngantuk begini nyetir mobil bahaya," kataku.

"Aku ndak punya mobil, mas," kata mbak Juni.

"Oh iya, lupa. Kamu pakai sepeda motor," kataku. "Ya udah, nginep ajalah. Nggak apa-apa koq. Aku ijinin. Emang ini resiko kalau pekerjaan dobel."

Mbak Juni agak ragu dan bingung.

"Atau telepon dulu deh rumahnya, biar ndak ada yang khawatir," kataku.

Akhirnya mbak Juni menelpon rumah. Ibunya akhirnya mengijinkan setelah bicara agak lama. "Oke deh, mas," katanya kemudian.

"Nah, begitu. Yuk," ajakku.

Kami kemudian masuk ke rumahku. Aku menunjukkan kamar tamu. Di dalam rumah hangat tidak seperti di luar. "Ini kamar tamu, kalau ingin mandi dan bersih-bersih di dalam sudah ada kamar mandi, langsung aja pakai. Kalau butuh apa-apa, aku ada di kamar atas, tinggal ketuk pintu atau panggil saja," kataku.

"Makasih, mas," katanya.

Aku sebenarnya sudah lama tak melakukan ini yaitu mengerjai orang lain. Pakai kamera pengintai. Untungnya aku membawa gantungan kunci itu. Ketika aku menunjukkan kamar mandi aku menaruhnya di tempat yang sangat strategis. Mbak Juni tak menyadarinya bahwa aku sudah siap merekam. Entah kenapa aku jadi penasaran dengan mbak Juni.

Setelah itu aku tinggalkan dia dan masuk ke kamar adikku. Aku pun tertidur.

***

Pagi hari aku bangun lebih dulu, mandi, olahraga dan membantu Nur dan Kak Vidia memasak di dapur.

"Minggu ini liburan kemana?" tanyaku kepada keduanya.

"Mau di rumah aja ah, kak," kata Nur.

"Tumben, biasanya kamu semangat kalau diajak keluar," kata kak Vidia.

"Entahlah, kali ini rasanya males buat ngapa-ngapain," kata Nur.

"Bawaan oroknya kali," kataku.

Kak Vidia mengelus-elus perut Nur, "Kakak jadi iri deh."

"Selesaikan dulu itu skripsi baru mikir ini," kata Nur sambil menunjukkan perutnya.

"Huu... kamu aja belum lulus sudah isi," kata Kak Vidia. "Don, pokoknya kalau skripsi sudah selesai kakak bakal ambil jatahnya Nur."

"Iya, iya, kakakku yang manis," aku mencubit pantatnya. Ia memukul tanganku. Kami tertawa.

"Oh iya, mbak Juni mana?" tanya Nur.

"Belum bangun kayaknya," jawabku. "Aku cek dulu deh."

Aku akhirnya pergi ke kamarnya. Kuketuk pintunya, tak ada jawaban. Mungkin ia masih tidur. Kupanggil-panggil, "Mbak?!" tak ada jawaban. Aku pun iseng sambil tolah-toleh ke dapur kalau-kalau saudari-saudariku datang. Aku buka pintu kamar yang tidak terkunci itu.

Aku buka sedikit. Saat itulah betapa terkejutnya aku. Pemandangan ini tak pernah aku sangka sebelumnya. Di hadapanku ada mbak Juni dengan vaginanya yang berbulu itu terekspos. Ia membuka pahanya dan ada tangan kirinya menyentuh vaginanya. Apa ia baru saja mastrubasi? Dan penisku pun langsung tegang. Siapa yang tak tegang menyaksikan pemandangan indah ini? Aku pun punya ide. Aku tutup kembali kamar itu lalu ke kamarku, kubongkar tempat simpanan kloroformku. Kuambil sapu tangan dan kutuangkan disitu sedikit, sesuai dosis yang kupakai ke bunda dulu. Setelah itu aku simpan di saku celana. Aku pergi ke dapur untuk membuat alasan.

"Mbak Juni belum bangun-bangun, dikunci pula kamarnya, tapi kayaknya ia sedang tidur, maklum pagi-pagi sekali ia baru tidur," kataku. "Aku mau olahraga dulu."

"Oh, baiklah, habis olahraga sarapan ya kak," kata Nur.

"Iya dong," kataku. Aku mencium pipi Nur, lalu Kak Vidia. Setelah itu aku meninggalkan mereka. Aku kemudian buru-buru ke kamar tamu.

Setelah itu aku kunci kamar itu, kupersiapkan sapu tangan berkloroform. Dan... kubekap mbak Juni. Ia memberontak sedikit, tapi kemudian ia lemas. Yes...!!

Aku tak menduga kalau tubuh mbak Juni seindah ini. Ia cuma pakai bra saja tidurnya. Aku lalu melepaskan kaitan branya. Buseet, toketnya gedhe juga. Mirip ama toket bunda. Karena aku sudah bernafsu, segera aku hisapi toket itu. Saking bernafsunya aku tak peduli lagi siapa mbak Juni. Aku sudah tak tahan lagi, langsunglah aku masukkan penisku ke tempatnya. Pelan-pelan kudorong dan bless, licin sekali. Mungkin karena mastrubasinya tadi. Aku goyang pinggangku.

Aneh, ia sudah punya anak, tapi masih seret juga ini memeknya. Walaupun berbulu dan punyaku gundul, tapi rasanya ada sensasi tersendiri. kupeluk tubuh telanjang mbak Juni kuhisap bibirnya.

"Ohh... mbak, enak banget," bisikku.

Aku mungkin karena sudah lama tidak main, karena sangat bersemangat apalagi ini memek baru, rasanya baru. Tubuh mbak Juni aku gerayangi, kuciumi lehernya, pundaknya, sambil pantatku maju mundur menusuk-nusuk vaginanya sedalam-dalamnya. Kemudian aku cabut punyaku, kubalikkan tubuhnya. Kuangkat pantatnya sedikit kuposisikan penisku ke sarangnya, lalu blesss... aku pompa lagi. Pantatnya membiusku, membuat suara yang aneh di dalam kamar ini.

"Mbak, pantat mbak enak lho, kalau aku sampe ngecret gimana?" kataku.

Sial, aku ndak kuat lagi. Sebelum keluar aku cabut dulu punyaku. Kuatur nafasku, penisku pun tak jadi merasa gatal ingin muncrat. Aku balikkan lagi tubuhnya. Kuangkat kakinya dan kutekuk, kemudian aku sedikit berlutut, kumasukkan lagi burungku. Ohh... enak dan hangat vaginanya. Aku goyang hingga terasa lagi penisku mau meledak.

"Mbaak... kukeluarin yah... keluar... ke...lu...aaaarr!" aku tekan dalam-dalam penisku hingga mentok. Sperma hangat langsung meluncur deras dari testisku. Membasahi dinding rahimnya, luar biasa. Nikmat sekali, aku lalu ciumi bibir mbak juni. Setelah itu aku terkulai di sebelahnya.

***

Aku terbangun ketika mbak Juni menggeliat, dan ia terkejut melihatku ada di sebelahnya tanpa busana. Kami berdua tanpa busana. Aku ternyata tertidur beberapa lama di kamarnya, hingga tak tahu pengaruh obat bius itu sudah habis dan mbak Juni terbangun.

"Mas Doni? Apa yang mas...?" Mbak Juni melihat ke vaginanya ada cairan putih spermaku meleleh di sana. Aku langsung menutup mulutnya.

"Ssshhh... aku bisa jelaskan asal jangan teriak. OK?" kataku.

Matanya tampak berkaca-kaca. Ia mengangguk. Aku lalu melepaskan tanganku yang menutup mulutnya. "Apa yang mas lakuin? Kenapa? Kenapa, mas?" tanyanya.

"Maafkan aku, mbak, aku khilaf. Sebab tadi ketika aku bangunin mbak Juni, ternyata mbak Juni habis mastrubasi. Melihat mbak seperti itu aku jadi tergoda dan melakukannya," kataku.

Kami pun diam. Mbak Juni menghapus air matanya lalu menghempaskan diri ke atas ranjang. Ia mendesah panjang. "Mbak juga salah, mas, harusnya mbak ndak begini. Ini semua karena mbak sudah lama sekali tidak melakukan ini, selama ini yang jadi pelampiasan ya cuma mastrubasi," katanya. "Maafin mbak ya."

Aku menggeleng. "Mbak masih cantik, pasti banyak yang suka."

"Ah, tidak juga, ketika ada pria yang mendekatiku aku selalu bilang aku sudah tidak perawan lagi, karena sudah punya anak. Dan kebanyakan dari mereka mundur teratur," katanya.

"Tidak, mbak, punya mbak masih seret koq, masih enak," kataku.

"Jangan menghiburku yang tidak-tidak, mas," katanya.

"Laah, kalau tidak mana mungkin aku tadi melakukan itu ke mbak?" tanyaku.

Mbak Juni menoleh ke arahku. Aku lalu sambut dengan ciuman di bibir. Mbak Juni terkejut. Kami berpagutan, matanya terpejam, merasakan lidah lelaki lain yang bukan suaminya setelah lama ia tak pernah merasakannya. Lidahku menari-nari di mulutnya, menghisap, mencampurkan ludah, lalu saling menghisap lagi. Tangannya lalu menyentuh penisku. Ia tampak kaget, ciuman kami berhenti.

"Mas, ini punya mas? Besar banget?" pujinya. Ia lalu mengocoknya pelan.

"Emang punya suamimu seberapa?" tanyaku.

"Punya suamiku sih separuh ini," jawabnya jujur. Ia tiba-tiba berada di atas. Kemudian ia posisikan penisku berada di mulut vaginanya. Ia lalu menekannya sehingga penisku meluncur masuk ke dalam vaginanya. Meskipun begitu lancar masuk,terasa vaginanya dengan erat mencengkram penisku.

"Ohhh... mbakk..." kataku.

"Masuk, mas, oohh... penuh rasanya. Hmmmmhh..." keluhnya. Ia pun menggoyangnya maju-mundur sambil sesekali mengangkat pantatnya. "Mass... enak, mass..."

Posisi WOT ini sangat menggairahkan. Mbak Juni menggoyang-goyangkan kepalanya, aku memegangi toketnya yang menggantung indah itu. Pantatku pun ikut aku goyangkan agar menambahkan rasa nikmat. Mbak Juni ini mirip banget seperti bintang film porno yang aku lihat. Ia meliuk-liukkan kepalanya seolah-olah menikmati rasa gesekan kelamin kami. Tapi ia cukup tenang, tak berisik, selalu mendesis seperti ular ketika penisku menggesek rongga vaginanya. Sementara itu kemaluan kami telah benar-benar becek dengan pelumasnya.

"Mbakk... punyaku diapain itu?" bisikku.

"Ini namanya empot-empot mas, enak ya?? ohhh..." katanya. "Punya mas penuh banget, mbak jadi nagih nih...."

Mbak Juni terus melakukan empot-empot itu, aku terus bertahan. Cukup lama kami bercinta dengan posisi WOT. Mbak Juni mulai kehabisan nafas, ia makin mempercepat goyangannya.

"Mas, mas udah mau keluar belum?" bisiknya mesra.

"Belum, mbak, mbak mau keluar?" tanyanya.

"He-eh... mas kuat banget, padahal suami mbak dulu pasti teler kalau kena jurus empot-empot ini," katanya. "Mass... mbak mau keluar... mbaakkk pipiiiissss....!!!"

Mbak Juni ambruk menindih tubuhku, pantatnya menekan penisku. Ia memelukku dan meringkuk seperti bayi di atas tubuhku. Ia mencium bibirku. Kami berpagutan. Kemudian ia berguling dan merebahkan diri.

"Tuntasin, mas, mas kan belum keluar," katanya.

Aku tersenyum. Berada di atas, kuposisikan penisku ke mulut vaginanya. Kemudian kutekan. Ketika urat-urat penisku menggesek rongga vaginanya, mulut mbak Juni membentuk huruf O sambil menatap mataku. Kedua pahanya kini mengapit pinggangku.

"Enak, mbak?" tanyaku.

"Enak, mas, enak banget..." katanya.

Aku goyang pinggulku. Kami sama-sama bergoyang, mbak Juni tetap memakai jurus empot-empotnya, aku pun makin cepat menggoyang, agar spermaku bisa membasahi rahimnya lagi. Aku terus berusaha. Mungkin karena tadi aku udah keluar sebelumnya sehingga untuk memproduksi sperma lagi testisku butuh waktu. Karena itulah mbak Juni benar-benar agak KO. Kepalanya menggeleng-geleng, ia pun mengulurkan kedua tangannya melingkar di leherku.

"Maass... mbak mau keluar lagi... ohh... aahh... mbak ndak pernah bercinta seperti ini. Sampai multi orgasme," katanya.

"Mbak, aku keluarrrrr..." kataku.

Saat itulah mbak Juni agak aneh, ia menatapku. Matanya tampak menunjukkan keraguan, "Lho... aku lupa, mas, ini saat suburku.... nanti bisa hamil."

"Tadi aku sudah keluarin di dalem koq. Nanggung nih," kataku.

Mbak Juni lalu memejamkan matanya, tampaknya ia pasrah, "Terserah deh, mas, hamil hamil deh."

Aku pun keluar. Spermaku masih banyak aja, sampai menyemprot berkali-kali di dalam rahimnya. Aku pun kemudian terkulai di atas tubuh mbak Juni, wajahku kudekatkan ke puting susunya dan kuhisap lemas. Perlahan-lahan penisku keluar sendiri. Entah kenapa, tiba-tiba mbak Juni memelukku. Kami pun berpelukan untuk beberapa saat.

"Mas... maafin mbak Juni ya," katanya. "Gara-gara mbak, ini semua terjadi."

"Trus bagaimana?" tanyaku.

"Kalau misalnya nanti hamil, mbak akan terima koq, baik mas tak mau menikahiku ataupun tidak. Mbak juga sebenarnya punya perasaan ama mas," katanya. "Sejak dulu mbak sudah naksir sama mas. Dan entahlah, kenapa koq ya hari ini datang. Makanya ketika tahu mas melakukannya ama mbak, mbak sedikit kaget. Tapi kemudian sedikit senang, karena impian mbak selama ini jadi nyata. Bahkan mastrubasi tadi juga bayangin mas. Dan ternyata mas sendiri yang masukin. Tapi sungguh ndak menyangka kalau penis mas besar juga ya."

Aku tersenyum. Kami berciuman.

"Ijinkan mbak tetap mencintai mas ya, walaupun mungkin nanti mas punya pacar atau istri," katanya.

"Mas tetap akan mencintai mbak. Kalau perlu nikah sama mbak aja deh sekalian," kataku.

Mbak Juni menggeleng, "Jangan, mas. Aku tak mau mas menikahiku karena kasihan. Lagipula aku yakin mas tidak mencintaiku. Mas melakukan ini karena nafsu, bukan karena cinta. Aku tak mau mas nanti malah menyakitiku ketika sudah jadi suami istri. Seperti apa yang dilakukan oleh suamiku dulu, karena itulah kami dulu bercerai."

"Trus hubungan kita jadi apa dong?" tanyaku.

"Kita jalani saja deh, mas, kalau memang kita ada chemistry, maka kita lanjut, kalau tidak ya berarti memang bukan jodoh," jawabnya.

"Baiklah, kalau itu yang terbaik. Ngomong-ngomong, sebaiknya aku segera keluar deh, daripada dicurigai nanti," kataku.

"Iya, ayuk ah."

Kami pun bangun. Aku segera berpakaian dan melihat keadaan, kuintip sebentar ruangan kalau-kalau ada Nur atau kak Vidia ternyata sepi. Aku pun segera keluar kamar tamu dan pergi ke ruang makan. Di sana ada Kak Vidia dan Nur sedang makan.

"Kakak koq lama sih? Kami sudah nunggu dari tadi lho. Ya udah ditinggal aja," kata Nur.

"Oh... maaf, Nur," kataku.

"Ya udah, maka sana gih!" kata Kak Vidia.

***

Hubunganku dengan mbak Juni makin canggung setelah itu. Ketika di kantor, kami saling melirik penuh arti. Dan setiap mata kami bertemu kami tersenyum. Minggu-minggu berikutnya semua berjalan seperti biasa. Namun sebenarnya ada rasa aneh yang kami rasakan setiap kali kami bersama. Ketika aku mendekat kepadanya memberikan laporan, dan ketika kami bercanda ada rasa-rasa yang bergetar, demikian juga yang dirasakan oleh mbak Juni.

Ia mengirimiku email, isinya seperti ini:

Mas Doni Tersayang,
Sungguh akhir-akhir ini perasaan mbak terasa kurang kalau tidak dekat dengan mas. Dan merasa setiap hari adalah hari-hari terindah dalam kehidupanku adalah ketika bertemu dengan mas. Maka dari itulah aku selalu kangen kalau pulang, walaupun anakku sudah bisa memberikan perasaan yang lega ketika melihatnya, tapi entah kenapa rasa ini masih ada.

Perasaan cintaku kepada mas makin besar dan aku harus mengakuinya. Aku tak bisa berpisah dari mas. Apakah aku harus mencintai mas, ataukah tidak aku tidak tau. Aku bingung sekarang. Aku takut kalau mas nanti malah kecewa ketika menjalin hubungan denganku.

Peristiwa kecelakaan itu, aku berusaha melupakannya, tapi aku tak bisa. Rasa rinduku makin besar. Rasa cintaku makin besar. Tolonglah aku mas. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mencintai mas? Aku bingung.
 
ttd
Juni


Itulah isi emailnya. Aku pun bingung menjawabnya. Aku tak tahu kapan ia mengirim emailnya, kalau dilihat dari waktunya sih ketika bekerja. Jadi selama bekerja ia benar-benar memikirkanku selama ini. Aku kemudian berusaha menjawab emailnya semampuku.

Mbak Juni Tersayang,
Aku tak tahu harus bilang apa. Mungkin memang benar, peristiwa itu mengubah cara kita menyapa selama ini, mengubah juga apa yang kita rasakan selama ini. Kalau mbak memang ingin agar aku menjadi kekasih mbak, aku pun siap. Bukan karena nafsu, tapi benar-benar kekasih.

Kalau mbak memang ingin menjadikanku kekasih, aku akan menerima apapun yang ada pada mbak Juni. Aku akan menerimanya, dan apakah mbak Juni mau menerima apapun yang ada padaku?

ttd
Doni


***

Esoknya aku bekerja seperti biasa. Mbak Juni tampak serius kerjanya. Ketika mau istirahat, aku lalu menghampiri mejanya. Mbak Juni mendongak, aku lalu menariknya ia terkejut. Aku langsung mencium bibirnya yang lembut itu. Keterkejutan mbak Juni membuatnya gemetar. Tapi setelah itu ia mengerti. Ia pun menikmatinya. Beberapa saat kemudian aku melepaskannya.

"Mas... i-ini," katanya terbata-bata.

"Tak perlu bicara, ini jawabannya. Aku suka kamu dan aku tak peduli kamu siapa, kamu seperti apa, aku akan menerimamu," kataku.

"Mass," mbak Juni memelukku.

Kami berpelukan agak lama, sampai kemudian aku berbisik, "Jangan lama-lama, ntar dilihat orang."

Kami pun lalu salah tingkah dan tertawa.

Hubungaku dengan mbak Juni setelah itu seperti orang pacaran. Mesra banget kalau di kantor. Sementara ini hal ini tidak diketahui oleh semuanya.

Perut Nur makin besar, ini sudah menginjak bulan kelima dan bertepatan dengan kak Vidia selesai wisuda. Ia senang banget lulus dengan hasil memuaskan. Bunda bangga sekali dengan anak pertamanya ini. Di rumah Kak Vidia benar-benar manja banget denganku. Ia menagih janjiku untuk selalu bersamanya sampai ia benar-benar hamil. Yah, janji harus ditepati.

Aku benar-benar harus membagi waktu antara mbak Juni dan Kak Vidia. Kalau mbak Juni butuh sesuatu ya aku harus ke tempatnya. Dan kalau kak Vidia butuh aku ya aku harus ke tempatnya. Aku tak ingin mbak Juni curiga, dan aku tak mau yang lain juga cemburu.

***

Aku duduk di tepi ranjang. Menyaksikan Kak Vidia yang tertidur lelap. Kami baru saja main sampai beberapa ronde. Kak Vidia benar-benar cemburu dengan Nur. Ia benar-benar ingin punya anak. Mungkin besok aku akan istirahat sebentar. Saat ini aku terus berpikir tentang keadaanku. Aku sendiri bingung. Memang soal harta aku sama sekali tak kekurangan, apakah sekarang ini aku butuh seorang pendamping? Tapi kalau soal istri aku bisa memiliki siapa saja. Bahkan saudari-saudariku dan bunda saja bisa aku dapatkan.

Aku sekarang galau. Malam itu aku tak bisa tidur. Aku akhirnya bersandar di ranjang. Dan kak Vidia pun memelukku. Ia merasa nyaman. Sebenarnya juga punya rasa tak ingin kehilangan aku.

Hubunganku dengan mbak Juni mulai panas. Di kantor aku tak malu-malu lagi untuk mencium bibirnya. Misalnya hari ini. Mungkin karena bunda tidak ada maka aku cuma berdua saja dengan mbak Juni. Saat itulah, aku agak iseng.

"Mbak, boleh nih kita sedikit panas," usulku.

"Panas seperti apa? kompor?" tanyanya sambil ngikik.

Aku lalu tarik lengannya dan langsung mencium bibirnya. Mbak Juni gelagapan menerima seranganku. Aku meremas-remas toketnya. Ia mendorongku.

"Jangan dulu, mas, ndak aman di sini. Ntar kalau Si Rendy masuk bahaya lho," katanya. Rendy adalah manajer toko.

"Biarin aja," kataku.

"Ndak ah," katanya.

"Trus gimana nih?" tanyaku sambil menunjuk penisku yang sudah tegang.

"Sini deh!" ia pun menarikku.

Ia kemudian menarikku ke mejaku. Sesampainya di sana aku didorongnya hingga duduk ke kursi. Ia pun merangkak ke bawah meja. Di bawah meja ia tersenyum kepadaku. Kemudian dibukanya resleting celanaku. Kemudian ia mengusap-usap penisku yang sudah tegang.

"Ini ya yang ndak sabar?" tanyanya.

Aku mengangguk.

Ia lalu menarik sedikit celanaku hingga rudal berurat itu pun keluar. Ia tersenyum dan menekan kepala penisku dengan jari telunjuknya, lalu menekan-nekan lubang kencingku.

"Apaan sih, mbak? Geli!" kataku.

"Biarin, kamu nakal sih," ia malah bicara dengan penisku. Lalu ia mencium dengan hidungnya, menghirup aroma penisku. "Aku suka baunya."

"Oh... mbak," aku jadi horny.

"Mau dipuasin?" tanyanya.

"I-iya," aku mengangguk.

Lidahnya kini terjulur, lalu menyapu penisku dari buah dzakar sampai ke ujung. Aku menahan nafas. Perlakuannya ini membuatku makin terangsang. Penisku langsung lebih mengeras dari sebelumnya.

"Oww... enak ya? sampai tegang gini," katanya sambil ketawa.

Lalu Ia menciumi kepala penisku, menjilatinya, kemudian ia masukkan ke mulutnya. Ia hisap sekuat tenaga, lalu ia kocok dengan mulutnya. Ohhh... nikmat sekali. Aku terus menyaksikan perlakuannya kepada penisku, dan matanya terus melihatku. Aku suka sekali kebinalan mbak Juni. Saat itulah aku dikejutkan dengan Rendy yang datang ke mejaku.

"Maaf, mas, kemarin aku belum ngasih laporan komputernya ngadat," katanya tiba-tiba. Terus terang aku gelagapan. Untungnya ia tak bisa melihat Mbak Juni yang ada di kolong meja karena mejaku tertutup.

"Oh... i-itu, terus kamu sudah ngirim?" tanyaku.

"Belum, mas, mungkin harus dibenerin dulu itu komputernya," jawab Rendy.

Sialnya, mbak Juni menghisapi buah dzakarku sambil mengurut penisku hingga tegang sekali. Lalu ia menjilati ujung kepalanya dengan lidahnya. Lidahnya menari-nari memberikan stimulus yang membuatku lemas.

"Panggil teknisi saja deh... P-Pak Udin gitu, tahu nomor teleponnya kan?" tanyaku.

"Iya, mas, tahu. Berarti bagaimana kondisi pembukuannya? Didobel saja atau bagaimana?" tanyanya.

"Nggak apa-apa..." keringat dingin mengucur dari dahiku. Mungkin di bawah meja mbak Juni sangat senang bahkan ketawa menyaksikan salah tingkahku. "Dobel saja ndak apa-apa. Atau minta saran Pak Udin, ia lebih faham soal softwarenya."

"Oh... baik, mas, mas ndak apa-apa? Koq kayaknya kurang enak badan?" tanyanya.

"Nggak apa-apa koq," jawabku sambil tersenyum. Padahal yang di bawah ada apa-apa.

"Baik, mas, mari," kata Rendy. Ia meninggalkan mejaku dan keluar dari kantor.

Aku lalu melihat ke arah mbak Juni, "Gila. mbak, kalau ketahuan gimana?"

"Biarin, biar orang-orang tahu kalau mas suka ama aku," katanya sambil ngikik. "Mungkin bisa masuk koran, mas, bos berbuat mesum dengan anak buahnya. hihihi..."

Ia melanjutkan oralnya. Aku hanya geleng-geleng. Saking gemesnya aku pun meremas-remas dadanya. Tanganku masuk ke dalam kemejanya, lalu ke dalam branya mencari-cari putingnya, lalu aku gesek-gesek dan pelintir-pelintir. Mbak Juni makin semangat saja mengoralku. Penisku ia masukkan jauh ke mulutnya, aku keenakan, kemudian ia mainkan kepalanya dengan lidahnya. Itu membuatku makin ndak bisa menahan diri, rasanya ingin muncrat. Tapi dengan perilakuku merangsang puting susunya, ia pun terkadang berhenti mengoral.

"Mas, mas bikin mbak horny nih," katanya.

Aku lalu mendorongnya, kemudian berdiri. Aku lalu menariknya agar berdiri, kemudian aku angkat tubuhnya dan kududukkan di meja. Kemudian aku naikkan roknya, kuturunkan celana dalamnya. Celanaku juga kuturunkan, penisku lalu kuposisikan di depan mulut vaginanya yang merekah indah.

"Mas, nanti ada yang lihat," katanya.

"Aku tak peduli, biar aja," balasku. Aku membuka kemejanya, kunaikkan branya, hingga buah dadanya terekspos. Aku pun menyusu kepadanya sebentar, lalu pinggulku menekan selakangannya. SLEEBBB....!!!

"Ohh... masss... masuk," katanya.

Aku goyang pinggulku menyodok kemaluannya. Mbak Juni memelukku dan kedua kakinya mengunci pinggangku.

"Mbak, enak banget," kataku.

"Ohh... kontol mas gedhe banget, penuh... hhmm...." racaunya.

Kami lalu berciuman, berpagutan, aku tetap menggoyang. Ada rasa takut ketahuan, tapi juga ada rasa ingin memuaskan diri. Benar-benar kami ingin merasakan luapan birahi kami yang sudah ditahan sejak kemarin. Aku juga tak tahu kalau vaginanya sudah becek, karena rangsanganku kepada putingnya.

"Mas... agak cepet, mas, aku mau sampe," katanya.

Aku turuti dia, kupercepat goyanganku. Kakinya makin erat mengunci pinggangku, dan ia pun kemudian menaikkan pantatnya sehingga serasa aku menggendongnya. Penisku ditekan kuat dan ia memelukku dengan erat, ia menghirup nafasku dalam ciuman panasnya. Ia sudah orgasme, selama sepuluh detik kami berpelukan ia kugendong dan penisku masih menancap di sana. Lalu ia turun. Penisku tercabut begitu saja. Tampak penisku penuh dengan lendir. Mbak Juni aku peluk lalu aku balikkan tubuhnya. Ia mengerti keinginanku. Mbak Juni menunggingkan pantatnya. Aku lalu memasukkan penisku ke vaginanya tanpa susah. Dan aku lalu mendorongnya.

"Ohhh... mbak, pantat mbak enak," kataku.

"Ohh... sodok aku, mas, sodok... terus!" katanya.

Aku sodok pantatnya meja kerjaku bergoyang-goyang karena mbak Juni bertumpu kepadanya. Dadanya bergoyang-goyang menggantung. Ekspresi wajahnya bisa aku lihat di kaca yang terpantul. Matanya terpejam nikmat, dan ia menggigit bibir bawahnya sambil mendesis. Aku lalu memegang toketnya dan kuremas-remas.

"Masss... ohh... enak... terus, mas.... terusss," katanya.

Aku dorong lagi lebih kuat, mbak Juni pun kemudian tengkurap di atas mejaku. Buah dadanya melekat di mejaku yang kebetulan di atasnya ada kaca. Aku terus menyodoknya kuat-kuat hingga sepertinya testisku mau berproduksi lagi.

"Mbak... mbak... aku keluar, mbak," kataku.

"Ayo, mas, keluar... keluar bareng!! AAHHH... AHHHH... kontol mas keras banget... kerass... aduhhh... enakkkk!" katanya.

"Mbak... ini, mbak, terima pejuhku," kataku.

CREETTT CREETTT CRREEETT CREEETT!!

Spermaku memancar dengan beberapa kali tembakan. Dan aku menekan kuat hingga mungkin sampai ke rahimnya. Mbak Juni memejamkan mata dan tampak lemas. Kudiamkan sejenak hingga seluruh spermaku keluar dan habis. Baru setelah itu perlahan-lahan aku cabut.

Perlahan-lahan mbak Juni bangkit dari mejaku. Ia tersenyum dengan nafas terengah-engah. Kami tutup aktivitas kami dengan berciuman panas. Mbak Juni membetulkan bajunya dan mengambil tissue yang ada di mejaku untuk membersihkan spermaku yang meleleh ke pahanya.

"Udah ah, kerja lagi," ia mengedipkan matanya kepadaku.

"Kalau mau tidur dulu karena capek silakan lho," candaku.

"Ndak ah, kalau tidur nanti malah dikerjai lagi," katanya.

Aku menciumnya lagi, setelah itu kami beraktivitas seperti biasa.

***

Kak Vidia sore itu sedikit beda. Aku juga heran. Ia tak banyak bicara. Bahkan setiap kali aku tanya kenapa ia tak menjawab. Malam itu aku sendirian tidur di kamar, karena Kak Vidia mengunci dirinya di kamar. Aku tak mengerti, namun kemudian saat tengah malam aku dikejutkan dengan Kak Vidia yang tanpa busana masuk ke selimutku.

"Kak?" sapaku. "Ada apa sebenarnya?"

"Berjanjilah kepadaku satu hal, dek!" katanya.

"Ada apa?" tanyaku.

"Kakak sudah melihat semuanya, semua video yang ada di dalam komputermu sudah kakak lihat," jawab Kak Vidia. "Aku tak tahu kalau adekku ini sangat terobsesi kepada keluarganya sendiri sejak dulu."

"Trus, apa pendapat kakak?" tanyaku.

"Aku ingin kamu berjanji kepadaku satu hal," katanya. "Jangan pernah tinggalin kakak, bunda dan Nur. Kalau misalnya kamu nanti menikah, maka pasanganmu itu harus tahu keadaan kita seperti apa. Aku tak mau ia nanti tersakiti karena melihat keadaan kita yang sesungguhnya. Kak Vidia juga tahu kamu suka ama mbak Juni, bahkan kakak tahu kalau kamu sudah begituan juga dengan mbak Juni, tapi apa mbak Juni tahu keadaan kita? Memang mungkin ia bisa mencintaimu dek, tapi itu karena ia tidak tahu apa yang terjadi dengan kita sebenarnya. Aku takut, hal itu malah akan membuatnya kecewa dan membencimu, membenci kita. Ia memang sudah baik dengan kita selama ini, tapi pikirkanlah lagi hal ini."

Aku terdiam. Kak Vidia lalu memelukku. Benar apa yang dikatakan kak Vidia. Mungkin sudah saatnya aku hapus saja semua gambar dan video itu. Kak Vidia masih memelukku dan kepalanya disandarkan ke dadaku.

"Malam ini, adalah masa suburku dek," kata Kak Vidia. "Sudah tiga tahun kita beginian, tapi belum juga berhasil. Kali ini Kakak sangat berharap."

Tangan kak Vidia menelusup ke dalam celana kolorku. Ia lalu memainkan isinya. Diurut-urutnya penisku, penisku pun otomatis menegang. Aku mendongakkan wajahnya, lalu menatap wajahnya dalam-dalam. Kemudian aku cium bibirnya, kami berpanggutan, tangan kiriku memainkan putingnya yang berwarna pink itu. Walaupun kami sering bercinta tapi buah dadanya sama sekali tak kendor, malah makin menantang saja tiap hari.

"Hamili aku, dek," bisik kak Vidia. "Berikanlah benih-benihmu ke rahimku. Aku rela."

Aku kemudian membaringkan tubuhnya telentang. Kemudian kuciumi lehernya, kuhisap, kujilat. Permainanku kali ini lebih panas dari malam-malam sebelumnya. Aku menciumi dadanya, kupijat, kuremas, dan bergantian aku cupangi kiri dan kanan, kemudian kuhisap puting pinknya bergantian. Aku juga gigit-gigit kecil dengan gemas. Hal itu memberikan rangsangan yang membuat Kak Vidia mengangkat punggungnya.

"Ohh... dekkk... enak, dek," katanya.

Tangan kiriku beralih ke vaginanya, Kugesek-gesekkan jari telunjukku, kucari clitorisnya dan kugesek-gesek. Kak Vidia makin bergairah, ia memelukku, tangan kanannya masih meremas-remas penisku, aku kemudian menciumi ketiaknya, kujilati dan itu membuatnya menggelinjang lagi. Aku ciumi tubuhnya bagian samping, lalu aku hisap. Ia menggelinjang lagi. Kutelusuri seluruh tubuhnya dengan bibirku, kemudian ke pahanya, hingga bibirku dan bibir kemaluannya bertemu.

"Ohhh... dek... terusin... yaa... enaaakk..." kata kak Vidia.

Aku jilati bibir kemaluannya, kuciumi, lalu tepat di klitorisnya aku sapu lidahku di sana. Ia mengangkat pantatnya sambil memekik tertahan. Ia remas-remas rambutku, seiring aku menjilati rongga-rongga vaginanya. Saat lidahku menari-nari di dinding vaginanya, ia mengapit kepalaku, terkadang menjambak rambutku.

"Deek... udah dong,..masukin aja dek, kakak udah ndak tahan," katanya.

Aku mematuhinya. Kini aku siapkan diriku di atasnya. Pakaianku kulepaskan semua, aku lalu mengangkat sedikit pahanya, lalu lututnya aku pegang dan kutekan hingga berada di samping kepalanya, pantatnya sedikit terangkat dan aku berlutut, penisku sudah siap di depan mulut kemaluannya. Satu hentakan dan penisku masuk.

"Ooohh... iya, dek... papah... hamilin mamah ya..." katanya.

Aku goyang pinggangku. Kak Vidia memejamkan matanya, merasakan kenikmatan ini. Ia mengusap-usap dadaku, untuk memberikan kepadaku kenikmatan juga. Aku resapi setiap rangsangan pada urat-urat penisku yang diremas-remas oleh vaginanya. Rongga kemaluan kakakku benar-benar membuatku seperti terbuai oleh obat bius. Aku kemudian melebaran pahanya dan ambruk di atasnya, kupeluk dirinya. Pinggangku tetap bergoyang, bahkan kali ini lebih cepat. Kedua bibir kami pun bertemu, saling menghisap. Cukup lama aku bertahan dengan posisi itu, hingga entah berapa menit kemudian kak Vidia orgasme, ia menjerit keras ketika orgasme. Mungkin kalau saja ada orang di luar kamar akan kedengaran.

Tapi aku belum orgasme, mungkin karena tadi siang bercinta dengan mbak Juni. Sehingga produksi spermaku sedikit terhambat. Aku lalu membalikkan tubuhnya. Kak Vidia mengerti, ia menungging. Aku pun menyodoknya dengan doggy style. Puas dengan doggy style, aku lanjutkan dengan WOT. Kak VIdia tahu kalau aku suka dengan buah dadanya. Maka dari itulah ia membiarkan tanganku meremas buah dadanya dan mempermainkan putingnya. Kak Vidia orgasme lagi. Karena pada dasarnya wanita lebih banyak menyerah kalau melakukan WOT.

Kalau ingin cepat punya anak ada dua macam gaya, yaitu doggy style bagi yang rahimnya sulit dibuahi, dan gaya misionari bagi yang mudah dibuahi. Itu hanya mitos sih. Aku tak peduli, aku kemudian pakai gaya misionari. Aku peluk kakakku dengan erat dan kugoyang pantatku. Karena sepertinya sudah mentok ingin keluar.

"Kak... aku mau keluu....aaarrr... oohh... ini... ini, kak..." kataku.

"Iya, pah, mamah udah mau keluar lagi," kata kak Vidia.

"Papah ngecreeeettt... ohh... bunting dah kamu, bunting kamu kak Vidia, oh... kakakku yang punya puting pink, tubuh semok, tubuh mulus, rasain pejuh panasku!" kataku.

"Ohh... papah, kak Vidia dientot adek sendiri... enakkk... kuterima, pah... penismu enakkk... aawwww!!" kak Vidia tampak matanya memutih, serasa ia merasakan sperma hangatku membasahi ruang rahimnya. Penisku serasa ngilu sekali. Baru kali ini aku bercinta seperti ini. Aku diamkan posisi ini beberapa saat. Kemudian penisku mengecil sendiri, seluruh energiku rasanya habis, tulang-tulangku rasanya mau copot.

Kak Vidia kemudian mengambil bantal dan mengganjal pinggangnya.

"Kenapa, kak?" tanyaku.

"Ini katanya biar cepat hamil," jawabnya.

Kami kemudian tidur dalam satu selimut. Kupeluk dia hingga pagi menyapa.

***

Memang mungkin semestinya aku jujur kepada mbak Juni. Aku perlu waktu memikirkan itu. File-file video dan gambar hasil keisenganku sudah aku hapus semuanya semenjak hari itu. Mungkin sudah saatnya aku full mencintai semua keluargaku dan mulai mencari pendamping hidup. Tapi tidak mudah seorang wanita mau menerima keadaanku yang seperti ini.

Tiap kali bertemu dengan mbak Juni aku kini agak lain. Selalu terdiam. Atau kadang pikiranku menerawang. Mbak Juni pun mencium ketidak beresan ini. Ia selalu bertanya kepadaku ada apa, tapi aku menjawab aku belum bisa mengatakannya sekarang.

Kuubah konsentrasiku kepada pekerjaan. Tapi tak bisa. Tiap hari aku bertemu mbak Juni dan setiap ada kesempatan kami pasti bercinta. Baik ketika keluar kota, di kantor atau bahkan kami menyewa kamar hotel untuk bermalam.

Kak Vidia pun hamil, ia mual-mual pada hari itu. Dan ia memberikan hasil testpack-nya kepadaku. Betapa senangnya aku. Kak Vidia lebih senang lagi. Sebentar lagi aku bakal jadi ayah dari dua orang anak. Tinggal bunda yang belum. Padahal beliaulah orang yang pertama kali aku setubuhi. Tapi karena ia sering keluar kota dan beberapa waktu ini sibuk untuk mengurus bisnis waralabanya, akhirnya hubunganku dengan bunda libur sejenak.

Ketika aku ke kantor bertemu mbak Juni ia pun mengabariku sesuatu yang lebih mengejutkan lagi. "Aku hamil, mas."

Aku sangat senang sekali bahkan hampir tak percaya. "Tok cer ya?"

"Habis kita sering begituan, ndak kenal tempat. Aku yakin ini jadinya waktu di hotel kemarin itu," katanya. "Kalau hitunganku tak salah lho ya."

Mungkin sekarang saat yang tepat aku mengatakannya. "Trus, bagaimana hubungan kita selanjutnya? Mau serius?" tanyaku.

"Hmmm... gimana ya, masa atasan mengawini bawahan?" ia bertanya kepadaku dengan nada serius campur bercanda.

"Terserah kamunya, tapi kalau pun engkau tak mau aku tetap akan bertanggung jawab atas anak itu," kataku.

"Tentu aku mau serius," katanya.

"Baiklah, cuma aku ingin cerita sedikit tentang diriku. Kalau kamu bisa menerimaku, maka kita lanjut. Kalau tidak maka itu semua kembali kepada dirimu," kataku.

Mbak Juni serius mendengarkan ceritaku. Tentu saja ia sangat kaget mendengar penjelasanku tentang masalah mother complex dan sister complex. Ia bahkan hampir saja tak percaya terhadap apa yang terjadi. Saat itulah ia pun menangis. Ia tak percaya aku adalah orang seperti itu.

"Inilah aku, mbak, aku jujur kepadamu sekarang. Aku tak ingin menyimpannya lagi. Kalau mbak menerimaku, maka kita lanjut dengan segala kekuranganku. Kalau mbak tidak bisa menerimaku, maka aku bisa mengerti," kataku.

"Aku tak percaya aku bertemu dengan lelaki sepertimu, lalu kenapa kamu melakukannya sama mbak? Aku tak bisa menerimanya, tapi... aku bingung, anak ini bagaimana?" katanya.

"Aku tetap akan bertanggung jawab, mbak tidak perlu khawatir," kataku.

"Bukan masalah itu, aku takut ketika ia bertanya kepadaku tentang seperti apa ayahnya, apa yang bisa aku jawab?" tanyanya.

"Kita akan lewati bersama, mbak, aku sudah berjanji kepada diriku sendiri apapun yang akan terjadi aku tetap akan menerima mbak, baik mbak menolakku atau apapun aku akan selalu ada buat mbak," kataku.

Mbak Juni menarik nafas panjang. "Aku perlu berfikir, sebab ini tak mudah bagiku. Maaf, mas, mungkin aku harus menyendiri dulu untuk sementara waktu."

Itulah kata-kata terakhir yang aku dengar dari mbak Juni. Sebab setelah itu ia tak masuk kantor lagi. Dan setelah beberapa minggu ia pun mengajukan surat pengunduran diri. Sungguh aku terpukul sekali. Apalagi mbak Juni adalah orang kepercayaan bunda sejak dulu. Ponselnya tidak aktif lagi, bahkan kontak BBMnya pun tidak aktif. Ia bagai menghilang begitu saja.

Peristiwa itu pun aku ceritakan ke seluruh keluargaku. Bunda lalu menghiburku. Kak Vidia juga, dan Nur. Mereka membesarkan hatiku bahwa sulit untuk mencari wanita yang bisa menerima apa yang kita punyai sekarang.
 
 
 
BAB 4 - TETANGGAKU DIAN DAN ISTI

Aku mulai membangun rumah sendiri, terlebih ketika Nur melahirkan anak pertama kami yang imut dan lucu. Berjenis kelamin perempuan. Anaknya sangat montok. Kami semua bahagia dan usia kehamilan Kak Vidia pun udah masuk ke empat bulan, mulai kelihatan perutnya membuncit.

Aku bangun rumah sendiri untuk Kak Vidia, juga Nur. Walaupun tak begitu mewah seperti rumah kami sekarang, tapi cukup untuk membangun rumah tangga di sini. Posisinya juga tidak terlalu jauh, masih satu kota walaupun beda perumahan. Identitasku sekarang kuubah, agar hubungan incest kami tak ketahuan. Kami membayar beberapa orang pengurus catatan sipil untuk bisa memalsukan identitasku. Dan sekarang aku pun punya tiga istri. Yang mana aku harus adil dalam membagi jatah.

Aku benar-benar ingin membahagiakan mereka semua. Terutama bunda. Jatah bunda sekarang lebih banyak. Ini adalah inisiatif dari Nuraini dan kak Vidia. Mereka sepakat untuk melakukannya. Mereka malah yang menyemangati bunda agar bisa menyusul mereka.

"Rumah jadi sepi ya, Don, semenjak kedua saudarimu ke rumah mereka masing-masing," kata bunda.

"Ini kan juga untuk membahagiakan bunda juga, kalau semuanya di sini bingung ngurus cucu-cucunya, bunda," kataku.

Bunda memakai kerudung lebarnya dan ia sedang duduk di sofa ruang tamu sambil melihat halaman dari jendela. Walaupun sekarang usianya sudah kepala 4, tapi tubuhnya masih sintal. Masih bagus, beliau sering melakukan perawatan tubuh, aku bisa melihatnya sendiri. Ini adalah hari pertamaku membagi jatah ke bunda. Karena aku dapat jatah 4 hari di rumah bunda.

"Masih belum ada kabar mengenai mbak Juni, Don?" tanya bunda.

"Belum ada, Doni sudah cari kemana-mana tapi tidak ketemu. Rumahnya yang dulu pun sudah sepi tak ada barang-barang apapun. Dia seperti hilang ditelan bumi," jawabku. "Aku menyesal sekali."

"Kalau dihitung berarti usia kehamilannya hampir sama seperti Vidia," kata bunda. "Lebih muda dikit."

"Iya," kataku singkat.

"Tapi jangan khawatir. Kalau ia mencintaimu, ia pasti akan mencarimu, atau bahkan ia tak akan bisa melupakanmu. Ia cuma belum siap menerima keadaan ini. Kau sendiri tahu kan? Ia masih mencintaimu, bunda yakin karena bunda ini juga wanita," kata bunda menghiburku. "Bunda yakin ketika nanti anaknya lahir engkau pasti akan diberi tahu, bahkan mungkin bunda yakin ia pasti akan menerimamu apa adanya."

"Bagaimana bunda bisa yakin?" tanyaku.

"Sebab, Juni itu sudah suka kepadamu sejak lama. Bunda tahu itu, saat melihatmu ia sering melamun dan senyum-senyum sendiri. Bahkan ketika kalian berhubungan wajahnya lebih sumringah daripada sebelumnya. Ia memang janda muda, tapi ia masih memiliki cinta. Dan ia baru saja menemukan cinta sejatinya," kata bunda. "Sebagaimana bunda juga masih mencintai ayahmu sampai sekarang walaupun sudah ditinggalkan. Dan sekarang bunda melihat sosok ayahmu pada dirimu. Bunda makin cinta kepadamu."

Aku menghampiri bunda dan duduk di sebelahnya. Tanpa dikomando aku mencium bibirnya. "Bunda tahu, apapun yang bunda lakukan, tubuh bunda tetap menarik bagi Doni," kataku.

"Kamu sudah kepingin?" tanyanya.

"Kalau melihat bunda rasanya kepingin terus," jawabku.

Kami berpagutan lagi dengan hot. Lidah kami menari-nari saling menghisap. Aku membuka kancing gamisnya, kulepas gamis itu, branya juga kulepas. Bunda menarik T-Shirt-ku dan menurunkan celana trainingku.

"Isep dong, bunda," kataku.

Aku berdiri di hadapannya. Bunda duduk di sofa ia majukan wajahnya dan melahap penisku. Ia mengulumnya dengan ganas. Ia jilati ujungnya, lalu ia kulum lagi, tangan kirinya aktif meremas-remas testisku. Tangan kanannya mengusap-usap perutku, lalu terkadang memijat-mijat batang penisku, mengurutnya dan mengocoknya lembut.

"Ohhh... bunda... hhmmhhh..."

Bunda masih memakai kerudungnya. Beliau agak aneh dengan fantasiku yang bercinta dengannya tapi memakai kerudung. Tapi ia sama sekali tak masalah dengan itu. Berkali-kali spermaku harus aku keluarkan di wajahnya di saat oral mengenai kerudung hitamnya. Ia menganggap fantasi sex tiap lelaki berbeda. Ia pernah bercerita kalau fantasi sex ayah dulu adalah ngentotin bunda di kebun atau di alam terbuka. Bahkan katanya hamilnya anak pertama dulu, karena mereka berhubungan intim di pegunungan. Pantas saja Kak Vidia suka banget hiking.

Sedangkan aku? Bunda menceritakan sesuatu yang tidak pernah diceritakan kepada Kak Vidia maupun Nuraini. Yaitu ayah pernah menyukai keponakannya sendiri. Dan ia jujur kepada bunda. Karena itulah bunda bersedih. Setiap bercinta selalu yang ada pada bayangan ayah adalah keponakannya itu yang bernama Laura. Aku pernah bertemu sepupuku itu tapi sudah lama, sekarang ia punya anak bernama Anisa. Dan boleh dibilang ayah pernah sekali bercinta dengan keponakannya itu, tapi tidak sampai hamil.

Bunda terpukul dengan itu, namun ketika melihat bunda hamil diriku, akhirnya ayah pun mengakui dirinya salah dan akhirnya mulai menyayangiku seperti anaknya. Mungkin karena itulah sifatku seperti ini. Dan secara tak disangka aku sangat mirip ayahku.

Hari ini aku tak mau menyia-nyiakan spermaku, aku ingin semua spermaku tumpah di rahim bunda. Kita punya banyak waktu hari ini. Aku ingin mengentot bunda sampe penisku ngilu. Maka dari itulah, sebentar saja bunda mengoralku. Aku sekarang sudah menciumi seluruh tubuhnya. Kujilati dadanya, kuhisap kuat-kuat putingnya hingga mengeras. Bunda mengeluh. Kuhisap pula klitorisnya, kumainkan dan kugigit gemas. Bunda makin tergelepar-gelepar seperti ular. Berkali-kali ia berusaha mendorongku karena rangsanganku telalu membuatnya geli. Dan bunda pun orgasme hingga menjambak rambutku kuat-kuat. Nyaris itu rambutku dicabut dari tempatnya.

"Don... kamu bener-bener lain hari ini, rasanya nafsuin banget," katanya.

Aku tersenyum. Aku kemudian melumat bibirnya. Punyaku pun langsung kumasukkan sambil kutekan. Bunda kaget dan tersentak. Pinggulnya terangkat. Saat itulah aku menggoyang tubuhnya, kubenamkan sedalam-dalamnya otongku hingga mentok. Bunda mengeluh lagi. Kami berpelukan erat, kerudungnya masih menempel dan aku menghisap lidahnya. Ia mencakari punggungku ketika kenikmatan demi kenikmatan menjalar di selakangan kami.

"Don, enak... bunda keenakan... terusss... ssshhh... aahhh... hhmmmhh," katanya.

Aku konsentrasi di bawah sana. Aku terus mengobok-obok vaginanya hingga dia kayaknya hampir orgasme lagi, dahinya mengerut, alisnya menyatu dan ia menatap mataku. Mulutnya membentuk huruf O.

"Bunda... ohhh... mau keluar..." katanya.

"Bunda keluar? keluar aja, bunda," kataku. "Papah masih belum."

Bunda pun mengapit pinggangku erat-erat. Pantatnya bergetar, kuku-kukunya menggaruk punggungku, ia memelukku erat seakan tak ingin melepaskanku. Kutunggu hingga bunda merasakan rileks sejenak dan pegangannya melemah.

Kubalikkan tubuhnya, kini ia menungging di sofa. Aku kemudian menghujamkan penisku ke vaginanya dari belakang. Bunda bertumpu pada pinggiran sofa. Ia masih mengeluh ah dan uh... saat kusodok ia mengimbangiku dengan memaju mundurkan pantatnya. Rongga kemaluannya menggesek setiap syaraf kemaluanku, membuatku terbuai oleh ekstasi persetubuhan yang panas. Pantatnya yang montok memberikan sensasi tersendiri kepada area pribadiku. Testisku berkali-kali menghantam bibir vaginanya karena aku menyodoknya sampai dalam. Yang aku suka dari ketiga keluargaku adalah vagina mereka benar-benar bisa meremas penisku. Bunda juga demikian. Aku meremas-remas toketnya ketika menusuknya. Sesekali kuremas juga bongkahan pantatnya yang bahenol itu.
Puas dengan doggy style, aku lalu berbaring. Kami berhadapan. Pahanya kuangkat, penisku masuk lagi. Vagina bunda udah sangat becek. Dada kami berhimpitan, terasa debaran jantung kami. Bunda sudah lelah, ia hanya bisa menerima panggutanku saja dan mendesis pelan. Aku pelan-pelan menggesek kemaluanku keluar masuk. Sambil aku mantapkan tusukanku, rasanya kepala penisku geli sekali.

"Don, bunda rasanya ngilu banget, belum keluar juga?" tanya bunda.

"Ini mau keluar, bunda. Peluklah Doni. Peluk yang erat, bunda," kataku.

"Ohh... papah, keluarkan pejuh papa yang banyak yah... buahin, bunda," katanya.

Pantatku kugoyangkan agak cepat, kepala penisku sudah gatal ingin menyemburkan sperma. Makin cepat-makin cepat, bunda pun memelukku erat sekali, dan kami pun orgasme bersamaan lagi. Bunda melingkarkan kakinya ke pinggulku, aku menghujam penisku dalam-dalam sampai mentok, dan semburan demi semburan cairan kental membasahi rahimnya.

"Ohh... bunda udah lama tidak merasakan ini. Enak... enak banget," katanya.

Orgasme itu serasa sangat lama, penisku benar-benar ngilu. Kubiarkan penisku di dalam kemaluannya, hingga mengecil sendiri. Kami pun tertidur di sofa. Kelelahan. Sungguh senggama yang hebat.
Hari itu kami tak pernah habiskan waktu dengan sia-sia. Bercinta, bercinta dan bercinta. Berbagai gaya kami coba. Kami istirahat hanya untuk makan, tidur dan mandi. Kemudian bercinta lagi. Empat hari yang tidak sia-sia. Hampir tiap hari kami tidak pakai baju. Dan hampir tiap waktu kami hanya bicara dengan sentuhan, rayuan dan cumbuan.

***

Keesokan harinya aku ke tempat Nur. Ia sangat kangen denganku. Ia juga senang dengan buah hati kami dan setiap hari bermain dengannya. Aku menyewa seorang pembantu yang membantunya di rumah. Kebetulan ia juga adalah tetanggaku sendiri namanya Dian.

Dian ini orangnya imut. Rambutnya seleher. Bibirnya tipis. Suaminya bekerja sebagai buruh pabrik dan dia ini pengantin baru. Entah bagaimana cepat sekali ia akrab dengan Nur. Bahkan sering aku dengar mereka ketawa-ketiwi sendiri kalau sedang ngerumpi. Pekerjaan Dian juga telaten. Semua pekerjaannya rapi dan bersih. Semuanya OK, tapi ada satu yang tidak. Apa itu? Pakaiannya itu lho. Kalau bekerja di rumah, ia selalu pakai baju lengan pendek dengan ketiaknya yang bisa dilihat. Bagian atasnya sangat longgar sehingga kalau ia membungkuk aku bisa melihat toketnya yang menggantung dan kulitnya yang putih. Ditambah ia pakai hotpants. Dan ia tidak risih.

Bisa jadi pakaiannya itu agar ia mudah untuk bekerja. Mungkin Dian tidak tahu kalau aku selalu melihatnya ketika bekerja, dan pelampiasanku, tentu saja ke Nur. Nur hanya mengira aku memang lagi kepengen karena lama tidak menyentuhnya, tapi sebenarnya bukan itu sih.

Satu atau dua kali kuanggap wajar, tapi karena sudah berkali-kali akhirnya aku kepingin juga ngentotin Dian. Tapi bagaimana caranya? Aku sudah membuang kloroformku dulu. Dan tak mungkin pakai cara itu. Dan sebenarnya peristiwa ini kebetulan saja sih. Kebetulan inilah yang membuat Dian akhirnya takluk juga.

Suami Dian yang buruh pabrik itu sering pergi jam 5 sore pulang jam 5 pagi. Jadi malam hari ia sering tidak di rumah. Pagi hari sampai sore selalu di rumah, sedangkan pagi sampai sore Dian bekerja di rumah kami. Karena frekuensi jarang ketemu inilah yang membuat kebutuhan Dian akan urusan ranjang kurang. Mereka jarang main, kecuali di hari minggu. Ini kuketahui nanti.

Di RT kami kebetulan pak RT-nya mengadakan inisiatif untuk mengadakan ronda. Ronda ini selalu digilir oleh bapak-bapak kampung. Namun sekali pun tidak ada jadwal, boleh koq siapa saja ikutan. Pos rondanya agak jauh sih dari rumah kami, ada di ujung jalan.

"Mah, papah mau ikutan ronda," kataku.

"Lho, emang jadwalnya?" tanya Nur.

"Hehehe, nggak sih. Kebetulan kepengen nonton bola bareng di pos ronda. Jadi ya sekalian saja ikutan ama bapak-bapak di sini biar akrab," alasanku.

Aku lalu melihat anakku yang sedang lucu-lucunya tampak bicara sendiri. Aku lalu mengajaknya bicara sampai ketawa. Nur tampak senang sekali melihat polah tingkahku yang bercanda dengan anakku.

"Udah ah, pah, ntar malah ndak tidur-tidur dibecandain melulu," kata Nur.

"Papah gemes banget ama pipinya ini lho," aku lalu mencium anakku. "Apa sih, sayang? Ikut papah yuk, nonton bola di pos kamling. Hehehe, ketawa lagi."

Nur lalu memelukku dan mencium pipiku. "Udah, berangkat sana!" Ia mengusap-usap pipiku.

"Agak nanti aja, masih jam 9 koq," kataku.

"Kalau ndak berangkat sekarang ntar malah ndak tidur-tidur Si Laila," kata Nur sedikit ngambek. "Dari tadi siang dibecandain melulu soalnya."

Aku lalu bangkit dan mencium kening Nur. "Ya udah, berangkat dulu." Aku mengusap kepalanya.

"Pah, mamah cinta kamu," kata Nur.

"Papah juga koq," kami berpisah dengan berciuman bibir untuk sepuluh detik. Aku selalu melakukannya kalau ingin pergi keluar rumah. Hal itu menambah kemesraan kami. Dan pernah sih hal ini ketahuan ama Dian. Dan ia buru-buru menyingkir.

Aku pun pergi keluar rumah. Di pos kamling aku bertemu dengan beberapa orang bapak-bapak yang juga tidak ada jadwal ronda tapi ikutan ronda. Di perumahan ini memang belum ada satpamnya, makanya kami mengambil inisiatif seperti ini. Pertandingan bolanya sih jam 2 malam. Dan kami sudah mengobrol ngalor-ngidul sampai jam 12. Entah kenapa waktu itu udara dingin banget, padahal aku lupa bawa sarung. Mau pulang dulu ambil sarung.

"Awas, pak Doni, nanti kalau udah pulang takutnya ndak bisa balik lagi. Hawanya dingin banget," kata salah satu bapak-bapak.

"Kayaknya sih begitu," candaku. Kemudian disambung ketawa bapak-bapak yang lain.

"Maklum, pak, penganten baru ya seperti itu," sahut yang lain.

Aku pun segera menuju rumahku. Perumahan ini benar-benar sepi kalau malam. Ndak ada satu pun penjual makanan yang lewat. Aku kemudian sudah sampai di rumah. Namun tampak tetanggaku Dian sedang ada di luar rumah membawa senter dan menerangi sekering listriknya di luar rumah. Lampu rumahnya mati.

"Kenapa, mbak?" tanyaku.

"Ini, mas, listriknya mati, bingung nyalainnya gimana," jawabnya.
Ini mungkin kesempatannya, pikirku. Agak tak jelas sih ia pakai baju apa, karena gelap. "Boleh saya bantu?" tanyaku.

Ia diam sejenak. Mungkin berpikir panjang karena aku bukan suaminya. Tapi kemudian ia mempersilakan. Aku lalu meminta gunting dan obeng. Kulihat kabel sekringnya putus. Kusuruh untuk mencabut seluruh peralatan listrik kemudian aku mengambil kabel dan membetulkan listriknya. Setelah sekeringnya aku betulkan di bawah sorot lampu senternya dan terus terang bau parfumnya sangat menggoda, akhirnya listriknya bisa nyala lagi. Aku memperbaiki sekering di dalam rumahnya, dan tentu saja karena hawanya dingin pintu tertutup.

"Makasih ya, mas, malah merepotkan," katanya.

"Oh tidak masalah," jawabku. Dan saat itulah aku terkejut karena tiba-tiba tvnya nyala dan kulihat tampak ada adegan bokep. Rupanya ia lupa mencabut saklar tv dan DVD-nya. Walaupun tidak bersuara otomatis kami berdua tahulah film apa itu yang sedang diputar. Wajah Dian memerah, ditambah lagi di meja aku menemukan sesuatu yang mirip penis. Dildo!?

Dian yang memakai sarung itu buru-buru mematikan dan mengambil dildonya lalu masuk ke kamar. Aku tersenyum aja. Barangkali ia sedang mastrubasi sambil nonton film itu kemudian lampunya mati.

Tak berapa lama kemudian ia keluar kamarnya. Wajahnya memerah, ia sepertinya malu sekali. "Yang tadi maaf ya, mas."

"Tidak mengapa, aku tahu koq kebutuhan wanita itu seperti apa," kataku.

"Maklum, Mas Joko sering keluar malam, jadinya ya ini satu-satunya pelampiasan kalau sedang sendiri," katanya sambil sedikit tertawa kecil.

"Tadi sudah tuntas belum?" candaku.

Dian bingung menjawab, lalu ia menggeleng.

"Trus kalau belum apa yang dilakukan habis ini? Melanjutkan?" tanyaku.

Ia mengangguk, sebentar kemudian menggeleng, sebentar mengangguk lagi. Ini kesempatan bagiku, setan sudah menguasai otakku. Aku lalu mendekat dan memeluknya, ia kaget dan menatap wajahku.

"Mas, jangan, mas. Bagaimana dengan mbak Nur?" tanyanya.

"Kamu mau dituntaskan tidak?" tanyaku. "Ndak enak kalau main sendiri."

"Tapi mas, a-a-aku..." ia kaget ketika aku mencium keningnya. Kemudian pipi, hidung dan bibirnya. Kami berciuman hot. Awalnya ia diam, tapi lama kelamaan ia memanggut juga. Ia menghisap mulutku dan ia sangat panas mainnya. Ia sangat ahli dalam frenchkiss. Aku pun meraba dadanya yang ternyata tak memakai bra, aku bisa merasakan putingnya mengeras.

Sarungnya aku lepaskan hingga jatuh ke lantai. Ia pun menarik kaosku ke atas dan menciumi dadaku yang bidang. Ia mengusap-usap dadaku dan menciumi dadaku hingga ke perut, lalu ia buka celanaku. Burungku langsung melompat keluar saat ia menurunkan celana dan CD-ku. Ia berhenti sejenak.

"Pantas mbak Nur suka sama mas, ininya gedhe banget. Aku sudah horni banget, mas, maaf ya mbak Nur," kata Dian. Ia pun melahap penisku, dikulum dan disedot. Dimainkan kepala penisku. Mendapat perlakuan ini aku pun memegangi kepalanya dan memaju mundurkan penisku. Dian sangat ahli sekali.

Tidak butuh waktu lama untukku bisa menarik bajunya ke atas, ia sekarang sudah tak memakai baju lagi. kepalanya maju mundur sambil melirik ke arahku yang mengamatinya. Ia bahkan terkadang melakukan deep throat. Yang membuatku makin melayang. Setelah aku beri kode ia untuk berbaring di sofa ia pun menghentikan oralnya. Ia menarikku kemudian terjadilah pergumulan di sofa. Aku memastikan kalau dadanya ukurannya hampir sama seperti Nur, tapi lebih kecil sedikit dengan puting yang sudah mengeras seperti kacang berwarna coklat.

"Ohh... mas... puasin aku, mas," katanya.

Tanpa dikomando aku sudah menyusu kepadanya. Menghisap dan memainkan puting susunya sambil meremasnya bergantian. Dian menggelinjang dan memeluk leherku. Tanganku yang lain sudah mengobok-obok vaginanya. Kuusap-usap bibir memeknya, lalu jari tanganku leluasa masuk ke dalam lubangnya yang udah basah, sisa-sisa mastrubasinya tadi. 

"Ohhh... mass... baru kali ini ada jemari lelaki lain masuk di sana," katanya.

Aku gesek-gesek sambil kumainkan buah dadanya yang berwarna putih itu. Kemudian aku naik ke lehernya, lalu menyusuri pipi dan kugigiti telinganya. Hal itu membuatnya makin terangsang ia pun mengigiti telingaku. Aku lalu ke bawah, dan kuciumi perutnya, selakangannya, pahanya, kemudian kulahap juga itu bibir memeknya yang berwarna pink kecoklatan.

"Ahhkk... enak, mas, enak... ahhkk... terus..!!" katanya.
Kuhisap dan kuemuti bibir memeknya, lalu lidahku menyapu sampai ke ujungnya dan kutemukan daging menonjol. Klitorisnya itu bisa kurasakan dengan lidahku, ujung lidahku merasakan asinnya lendir kewanitaannya yang terus memancar setiap kali aku mengusap-usap klitorisnya. Pantat Dian terangkat dan ia terus-menerus mendesis.

"Udah, mas, udah... Dian mau keluar... mau keluar... jangan digituin... geli... geli, mas... udahh... aduuuuhh.... pipis deh... mas nakaaal... memek dian basah deh... aaaahkk!" Dian menggelinjang hebat dan mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Aku biarkan ia sejenak.

Dian meringkuk seperti bayi. Sesekali pantatnya maju mundur sendiri. Ia seperti ulat kesetrum. Matanya memejam erat, bibir bawahnya digigit dan tangannya memeluk lututnya. Aku siapkan senjataku sekarang.

Ia tak kuijinkan berlama-lama menikmati orgasmenya. Aku lalu mengatur posisi. Lututnya aku angkat sampai ke pundaknya, buah dadanya aku atur hingga ia seperti menjepit dadanya sendiri. Dengan begitu memeknya terlihat jelas. Aku bertumpu pada lututku, kemudian penisku cukup aku tekan sedikit dan masuk begitu saja. Tapi...ada sesuatu yang aneh. Di dalam sana penisku seperti merobek sesuatu. BRETT...!!

Mata Dian terbelalak. Ia menatapku agak berkaca-kaca, mulutnya ternganga. Ia melingkarkan tangannya ke leherku. "Mass... perih..." katanya.

"Lho, kamu masih gadis?" tanyaku.

"Tidaklah, mas, sudah dipake koq," jawabnya.

"Lha trus ini?" tanyaku.

"Aku tidak tahu, mas Joko penisnya kecil, ndak sampe penuh masuknya. Aku juga kaget lihat penis mas segitu, ndak tau tapi aku kerasa perih," jawabnya.

Mungkinkah penis suaminya ndak sampai merobek selaput daranya? Kalau iya, ini rejeki yang langka. Aku lalu menggoyangnya pelan-pelan. Tarik, tekan, tarik, tekan. Biar ia tak terlalu sakit dulu.

"Yang cepat aja, mas, ndak apa-apa!" kata Dian.

Aku pun mengikutinya. Kupompa agak cepat. Dian pun bereaksi. Ia mengeluh, menggelinjang. Matanya terpejam, bibirnya menggairahkan sekali, berkali-kali aku menghisapnya. Wajahnya meringis seperti kesakitan padahal ia terasa nikmat. Memeknya benar-benar meremas-remasku dan menyedot-nyedot seperti vakum. Sepertinya Dian ini benar-benar masih gadis, aku tak peduli. Hal ini membuatku makin kepingin cepat keluar saja.

"Dian... keluar nih," kataku.

"He-eh, mas, keluarin aja... barengan yuk," katanya.

"Ohh... Dian... kamu sexy sekali, mas kepengen ngentotin kamu terus... keluar... kkellluuuaaarr!!" aku menjerit.

Dian pun menjerit, "Maasss... aaahhkk!"

Spermaku pun tumpah di rahimnya. Ia memelukku erat untuk beberapa saat hingga kemudian ia lemas. Aku lalu menarik penisku. Saat itulah aku melihat sesuatu yang aneh. Cairan sperma yang meleleh dari lubang memeknya bercampur bercak darah. Ia beneran masih gadis ternyata. Lha trus? Sebesar apa sih penis suaminya sampai ndak bisa menjebol milik istrinya sendiri??

Untuk beberapa saat kami terdiam. Dian sedang menikmati multiple orgasmenya. Tampak wajah kepuasan terpancar dari wajahnya.

"Mas, makasih ya, udah nemenin aku malam ini," katanya. Ia pun kemudian bangkit dan melihat bercak darah bercampur sperma di sofanya. Diambilnya tissue lalu dibersihkannya noda itu.

"Koq bisa kamu masih perawan?" tanyaku.

Ia kemudian memelukku sambil bercerita. Ceritanya sih ia dan suaminya sudah pacaran lama. Dan setelah menikah ia baru tahu kalau penis suaminya kecil. Meskipun kecil, mereka pun bisa koq terpuasi di ranjang. Malam pengantin mereka lewati seperti layaknya suami istri. Memang awalnya sakit banget ketika penis suaminya masuk. Tapi tidak seperti teman-teman wanitanya yang bercerita kalau malam pengantin itu sakit ketika selaput daranya robek. Namun robeknya seperti apa Dian tidak tahu. Yang jelas awal dimasuki memang perih, setelah
itu ia terbiasa. Namun entah kenapa ketika baru saja melakukan denganku rasanya perih banget sampai merasa ada yang robek. Aku menduga suaminya memang tidak pernah merobek selaput daranya. Ketika ia memberitahu ukuran penis suaminya aku pun terkejut. Sangat kecil, seperti penisnya anak kecil.

Dian memang heran karena ketika ia lihat bokep sendiri bule-bule punya penis besar. Awalnya ia tak protes, karena mungkin rata-rata orang Indonesia sama bule berbeda. Tapi ia baru sadar ketika melihat penisku, ternyata punya suaminya jauh lebih kecil. Ia pun bercerita karena suaminya jarang di rumah ia seperti jablay.

"Oh begitu ceritanya, kenapa ndak dibawa ke dokter aja tuh, biar penis suamimu gedhe?" tanyaku.

"Orangnya kolot, mas, ia biasa-biasa saja punya penis sebesar itu. Seperti ndak ada beban," katanya. Dian kemudian memain-mainkan penisku. "Aku jadi ketagihan ama punyamu, mas, gimana nih?" Ia mengusap-usap kepala penisku dengan telunjuknya. Penisku otomatis berdiri lagi.

"Kalau mau, tiap ada kesempatan boleh koq," jawabku.

"Maaf ya, mbak Nur, tapi penis suamimu emang menggoda, mmuuuacchh..." ia mencium penisku.

Aku remas dadanya lagi. Kami berpagutan. Libido kami naik lagi. Kali ini Dian jongkok di atas tubuhku. Ia duduk di atas penisku. Sengaja tak dimasukkan, hanya digesek-gesek. Sepertinya ia sedang mengujiku. 

"Enak, mas, kalau diginikan?" tanyanya.

Aku yang bersandar di sofa ini segera menyusu kepadanya. Kuremas-remas pantatnya dan tanganku satunya mengarahkan penisku ke lubang memeknya. Dan SLEEB....!!

"Aww... aww... mass... ohh..." keluhnya.

Pantat Dian naik turun memompa penisku. Aku tahu pada posisi ini wanita lebih cepat keluarnya. Aku tetap sabar untuk bisa memberikan kepuasan kepadanya. Buah dadanya naik turun, kadang-kadang menampar-nampar bibirku. Aku jadi gemas sehingga memencet dan menghisap puting susunya dengan mulutku. Ia kelonjotan dan makin beringas. Tak hanya naik turun, ia juga memutar-mutar pantatnya.

"Mas, koq cepet keluar ya? Aduh... udah mau keluar lagi... aahhhhkk," Dian menghentikan aktivitasnya. Ia benamkan penisku dalam-dalam ke rahimnya. Ia memelukku erat seperti orgasmenya tadi.
Perlahan-lahan aku mencabut senjataku. Kubimbing Dian untuk menungging di sofa. Ia mengerti apa yang aku inginkan. Aku berdiri dan pantatnya diangkat. Kubuka kakiku untuk menyesuaikan tingginya. Lalu kuarahkan pionku menuju sarangnya. Dengan satu sentakan ia mengeluh dan menengadahkan kepalanya.

Pantatnya kusodok berkali-kali. Sensasinya nikmat sekali. Sesekali aku meremas toketnya yang bergerak naik turun seiring goyanganku itu. Rambut Dian sudah awut-awutan. Tangannya bertumpu kepada sofa, sesekali sofa di ruang tamu itu terdorong karena hentakanku.

"Mas, mentok, mas... penis mas kerasa penuh," katanya.

"Memekmu juga, rasanya enak," kataku.

"Aduhhh... enak, mas... ahhh... ohh..."

Aku percepat goyanganku. PLOK PLOK PLOK PLOK, suara pantat Dian beradu dengan selakanganku. Kepalanya menggeleng-geleng, ia tampak merasakan nikmat yang luar biasa.

"Mas... Dian mau keluar lagi," katanya. "Aduuh... enak, mas... masss... udah, mas... Dian ndak kuat... Dian... keluar lagi."

Aku pun begitu, kurasa penisku udah siap menyemburkan laharnya lagi. Dan benarlah. Kupercepat goyanganku, "Aku juga nih... mau keluar lagi."

Aku lalu menarik kedua lengannya ke belakang dan pantatnya aku goyang. Makin lama makin cepat dan keluarlah laharku. Dian pun menangkat wajahnya ke atas. Ia mendongak dan matanya memutih. Penisku seperti disiram cairan hangat. Ia sudah orgasme. Kami berbarengan, ia kemudian ambruk, penisku langsung keluar begitu saja ketika ia ambruk ke atas sofa. Tampak leleran lendir panjang terbentuk ketika kedua kelamin kami berpisah. Beberapa cairan spermaku sisa-sisanya masih menetes dan jatuh di atas pantatnya. Aku juga lemes banget.

"Mas hebat, pantas mbak Nur sayang banget ama mas," katanya.

Aku melihat jam dinding, sudah jam 2 pagi. Berarti kami cukup lama bercinta. "Boleh nih, pinjam kamar mandinya dulu," kataku.

Ia mengiyakan. Aku lalu membersihkan diriku. Biar ndak disangka macam-macam kalau balik ke pos ronda. Setelah itu aku keluar kamar mandi tampak Dian sudah berpakaian dan membersikan sisa-sisa sperma yang tumpah ke sofa. Ia juga menyemprotkan wewangian biar ndak ketahuan suaminya kalau ada sperma tumpah di situ.

"Udah ya, mau balik," kataku. "Ntar bapak-bapak curiga malahan."

"Iya, mas. Makasih ya," katanya. "Kalau boleh, mas main lagi ya? Tapi jangan sampai mas Joko tahu."

"Iya deh, bisa diatur," kataku. Aku pun mencium bibirnya sebelum keluar rumahnya.

Setelah itu aku pulang sebentar mengambil jaket dan sarung. Nur tampak tertidur sambil menjaga anakku. Aku mencium keningnya sebentar.

"Koq udah pulang mas?" tanya Nur tak curiga.

"Ngambil jaket dan sarung. Dingin banget soalnya," kataku.

"Ohh... ya udah," katanya.

Sekembalinya ke pos ronda, bapak-bapak meledekku lagi. "Nah iya kan, lama banget baliknya."

Kami pun akhirnya nonton bareng sampe subuh. Lalu kembali ke rumah masing-masing. Pagi itu aku tidur sampe siang. Untungnya istriku pengertian banget karena mengira aku memang beneran nonton bareng ama bapak-bapak. Di kamar aku terkapar karena kelelahan habis main sama Dian. Aku tahu paginya Dian sudah ke rumahku untuk membantu-bantu istriku. Hanya saja, siangnya ada sesuatu yang aneh.

Penisku geli banget. Seperti ada sesuatu yang menggelitikinya. Aku kira itu Nur. Mataku masih terpejam. Mungkin Nur sudah kangen karena beberapa waktu ini kita memang tidak main. Semenjak setelah nifasnya selesai lebih tepatnya. Aku biarkan saja. Penisku dikocok-kocok, lalu setelah itu diemut. Diputar-putarnya kepala penisku dengan lidah. Setelah itu testisku disedot-sedot. Kemudian dijilatlah dari pangkal hingga ujung. Kemudian batangnya disedot dan diciumi. Setelah itu dimasukkan ke mulutnya hingga mentok. Aku bisa merasakan itu dari
nafas hidungnya yang hampir menyentuh perutku. Aku jadi bingung, Nur ndak mungkin melakukan ini, sebab mulutnya terlalu kecil dan ia tak pernah melakukan deep throat kecuali.....

Mataku lalu terbuka, aku melihat Dian tampak mengoral penisku. "Dian?" aku terkejut.

"Udah bangun mas? Enak ndak?" tanyanya.

"I-iya, Nur dimana?" tanyaku.

"Dia sedang ke puskesmas, imunisasi katanya. Takut bangunin mas jadi dia pergi sendiri," katanya.

"Lha trus kamu? Nanti ketahuan lho," kataku.

"Nggaklah, mas. Aku tahu koq sudah kuatur. Aku kangen ini soalnya," katanya sambil mengocok penisku.

"Tapi..."

"Udah, deh. Pake toket aja ya?" katanya.

Ia lalu membuka bajunya, kemudian branya, tampaknya buah dadanya menggantung bebas. Ia lalu berbaring di atas kakiku dan memposisikan penisku dijepit oleh bukit kembarnya. Ouuhh...nikmat. Penisku dipijat-pijat, ia sesekali menghisap dan menciumnya. Penisku makin tegang dan mau muncrat.

"Dian, udah aku mau keluar... ooouuuhhhh....!!" aku menjerit tertahan. Dian malahan mempercepat kocokan toketnya. Maka menyemburlah air maniku. Tumpah semuanya di dada dan sebagian ke lehernya. Ia tertawa menyaksikan ini.

Setelah penisku lemas ia meratakan spermaku di dadanya. Kemudian ia menghisap penisku dan menjilati sisa-sisa spermanya. Penisku ngilu banget.

"Udah ya, hihihi," ia cekikikan lalu meninggalkanku yang ngerasain penis ngilu.

***

Sebenarnya hubunganku dengan Nur masih baik-baik saja. Dia adikku sendiri, dan aku tak bisa meninggalkannya. Dian dan aku melakukannya sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan Nur. Nur sangat mencintaiku, aku tahu itu. Kami pun masih berhubungan seperti layaknya suami istri dan masih hot di atas ranjang. Tapi aku mengakui kalau permainanku dengan Dian hanyalah atas dasar kebutuhan saja. Dian juga tahu kalau aku sangat mencintai istriku dan sangat menghormati istriku.

"Mas, aku hamil," kata Dian pada suatu hari.

"Hah? Yang bener?" tanyaku. "Trus, suamimu bagaimana?"

"Dia seneng banget, tapi aku jamin koq ini anak mas," katanya.

"Koq kamu bisa yakin?" tanyaku.

"Jelas dong, yang sudah menjebol keperawananku cuma mas, dan mas sering nyemprot di rahimku. Jadi deh," katanya. "Tahu kalau aku hamil mas, dia seneng banget. Dia sombong banget, sampe bilang, 'Aku perkasa juga'. Padahal dalam hati aku ketawa."

Kami berdua tertawa. "Trus gimana dong?" tanyaku.

"Jangan khawatir, ini rahasia kita. Aku akan pelihara anak kita. Ya walaupun nanti manggilnya bukan papa ke mas. Rahasia ini akan tetap kita jaga hingga entah kapan. Aku suka sama mas, aku cinta, tapi aku masih harus menghormati suamiku," jawab Dian.

"Nanti kalau anakku mirip denganku gimana?" tanyaku.

"Ndak bakal deh, semoga aja ndak. Kalau mirip ya biarin," jelasnya sambil ketawa. "Tapi biasanya anak mirip ibunya koq, kalau mirip ayahnya ya... ndak tau juga."

"Kalau misalnya nanti suamimu tahu bagaimana?" tanyaku.

"Yah, itu sudah nasib berarti. Masnya sendiri gimana, mau nerima aku?" tanyanya.

Aku terdiam sebentar, "Harus ijin istri dulu, dan kamu mau menerima aku apapun kekuranganku."

Dian tersenyum. "Susah juga ya, pastinya mbak Nur ndak bakal mau. Soalnya ia sangat cinta banget sama mas. Kalau misalnya ndak bisa pun tak mengapa. Aku bahagia banget bisa punya anak dari mas. Aku jadi simpanan mas pun aku rela koq. Sementara ini dijalanin dulu aja. Yah, semoga aku bisa dapat anak juga dari suamiku. Masa' mas terus yang ngasih benih."

Aku tersenyum dan kami pun berpelukan.

"Untuk terakhir kalinya, boleh dong mas bercinta denganku malam ini, please," rayunya.

"Aku tak bisa mbak, aku harus ke rumah istriku yang satunya," kataku.

"Oh iya, aku lupa kalau mas poligami," katanya. "Istrinya berjilbab semua ya, aku nggak. Pastinya susah kalau mereka semua menerima aku."

"Siapa tahu, semuanya tergantung dari mbak Dian koq," kataku.

"Mumpung Nur masih ke pasar. Kita bercinta cepat yuk, mas, terus terang aku sudah horni banget, gatel banget," katanya. Ternyata nafsu Dian ini besar banget.
Saat itu kami berada di dapur. Aku buru-buru membuka resleting celanaku, menurunkan celanaku dan Dian berpegangan di wastafel. Ia melihat ke jendela sambil mengamati kalau-kalau ada yang masuk ke rumah. Jendela dapur kami ditutup oleh korden tipis, kalau dari luar tak kelihatan tapi kalau dari dalam bisa melihat keluar. Aku langsung menurunkan hot pants Dian, lalu kumasukkan penisku yang sudah tegang juga. Disiram oleh pelumas Dian, penisku langsung on 100%. Aku pun menyodoknya.

"Ohh... mass... enak banget. Ini yang Dian suka, berjanjilah mas jangan lupakan aku!" katanya.

"Tidak bakal Dian, ohh... enak banget memekmu," kataku.

"Kontol mas, enak banget, gurih... aahh... memekku penuh rasanya," racaunya.

Aku menggoyangkan pantatku maju mundur. Dian merem melek, sambil sesekali melihat pagar rumah. Aku pun percepat goyanganku takut kalau Nur pulang. Dan Dian melihat Nur sampai di pagar.

"Mas, ada mbak Nur!" bisiknya.

Aku percepat goyanganku.

"Udah, mas, udah...! Ntar ketahuan!" bisik Dian.

Tanggung penisku udah mau keluar, aku pun tuntaskan sekalian. "Dikit lagi aku keluar. Ohhh... Diann... hhhmmmhhh,"
Kuremas toketnya kuat-kuat saat spermaku menyembur keluar membasahi rahimnya. Pantatku menghujam beberapa kali. Nur tampak disapa oleh tetangga kami, ia kemudian meletakkan kresek belanjaannya di teras kemudian kembali ke luar rumah untuk berbicara ama salah seorang ibu-ibu komplek.

Dian lega banget, aku mencabut penisku. Lahar putih spermaku mengalir ke pahanya. Ia mencari-cari tissue dan membersihkannya kemudian kami berpakaian lagi. Sex tercepat yang pernah aku lakukan.

Ini adalah terakhir kalinya aku bersenggama dengan Dian, karena setelah itu ia lebih menjaga kehamilannya dan melayani suaminya. Hubungan kami setelah itu adalah seperti tetangga biasa. Bahkan setelah anaknya lahir yang memang sedikit mirip aku, tapi lebih banyak mirip ibunya, kami tak pernah melakukan hubungan itu lagi. Suaminya makin sayang kepadanya dan sekarang berkat nasehatnya suaminya mau terapi biar penisnya lebih besar lagi. Dan sampai saat itu ia tak pernah curiga. Tak tahu nanti seperti apa.

Setelah hubungan panas kami di dapur itu. Aku pun kemudian pergi ke rumah Kak Vidia. Sekarang ini sudah hampir lahiran. Aku menjadi suami siaga. Kak Vidia makin merindukanku. Orang hamil besar biasanya lebih horni. Dan benar, setiap kali aku berkunjung ke rumahnya, Kak Vidia pasti bercinta denganku. Apalagi aku suka sekali sekarang susunya sudah keluar. Aku bisa menyusu kepadanya seperti bayi sekarang. Dan ia sangat terangsang karena perlakuanku kepada putingnya itu. Ia sampai bilang, "Kalau nanti dedeknya lahir, kayaknya papah bakal ada saingan nih. Ini aja nyusunya kayak orok."

Sama seperti Nur, kak Vidia punya tetangga juga. Sudah punya anak satu. Namanya Isti. Umurnya hampir sama seperti bunda. Anaknya udah kelas 4 SD. Suaminya sendiri bekerja di sebuah perusahaan besi baja di luar kota. Pergi hari Senin, pulang pasti hari sabtu. Dan mereka berkumpul hanya pada hari sabtu dan minggu. Ada juga tetanggaku yang sering mengunjungi kami selain Isti, namanya Erna. Pekerjannya adalah SPG di salah satu mall, walaupun berjilbab, tapi jilbab yang dipakai masih terbilang sexy. Tapi itu ceritanya nanti.

Aku saat itu masih di toko ketika Kak Vidia sudah kontraksi, untunglah tetangga kami bernama Bu Isti ini bisa membantu. Dipanggil taksi kemudian pergi ke rumah sakit. Mendengar kabar itu aku segera pergi ke rumah sakit bersama bunda. Tentu saja bunda sangat senang karena ia akan punya cucu. Ia pergi dengan perut buncit, cikal bakal anakku, dan juga cucunya tentunya. 

Di rumah sakit aku pun langsung masuk kamar bersalin dan mendampingi kak Vidia. Kami bahagia sekali ketika sebuah kepala nongol, lalu disusul tubuhnya yang lain. Kami bersyukur lahir normal tanpa cacat. Anaknya laki-laki. Aku kemudian menamainya Zahir. Bunda bahagia sekali punya cucu baru. Nur juga bahagia, ia kuberitahu ketika Kak Vidia lahiran. Ia langsung pergi ke rumah sakit. Wajah anakku ini mirip denganku, bahkan Kak Vidia mengatakan, "Papah kecil."

"Setelah ini kita pake pembantu aja ya?" usulku ke Kak Vidia.

"Iya deh, mas. Kalau bunda membantu juga ndak bakal bisa kayaknya ya, bund?" kak Vidia menoleh ke arah bunda. Tampak anakku sedang menggeliat-geliat mencari puting susu istriku. Lalu ia pun menyusu.

"Bunda masih kuat koq, masa' sudah ngelahirin 3 orang anak cuma bantu gini saja ndak kuat. Bunda udah biasa," katanya sambil mengedip ke arahku.

"Ya sudah, kalau begitu kak Vidia tinggal di rumah bunda aja ya?" kataku.

"Trus, rumahnya bagaimana?" tanya Kak Vidia.

"Ya nggak apa-apa kan? Ditinggal sementara waktu, Kan ndak lama sampai nifasmu selesai baru balik lagi ke rumah. Sementara ini kan kamu masih lemes," kataku.

"Iya deh, pah," kata kak Vidia. "Tetapi minta tolong dong, itu kayaknya ada atap yang bocor. Papah bisa benerin nggak?"

"Di sebelah mana?" tanyaku.

"Di kamarnya dedek, yang udah kita siapkan itu. Coba deh dibenerin dulu, ntar dedek kalau bocor kamarnya pas hujan kan kasihan," katanya.

"Iya, iya, nanti aku cek," kataku.

"Haii Zahir, lucunya. Tuh Laila, itu sepupu Laila, namanya Zahir," anakku tampak matanya yang bulat mengamati Zahir sambil mengoceh entah bahasa apa. Kami semua tersenyum melihat tingkah polah anak bayi ini. Bunda lalu mencium Laila karena gemes.

Dua hari kemudian aku ke rumah Kak Vidia untuk benerin atap yang bocor. Aku menyewa tukang untuk benerin. Saat itulah Bu Isti menyapaku.

"Gimana mas, lahirannya?" tanyanya.

"Cowok, bu," jawabku.

"Waahh... selamat ya, namanya siapa?" tanyanya.

"Zahir Putra Pratama," jawabku.

"Alhamdulillah kalau begitu," katanya. "Mau renovasi, mas? Koq ada tukang segala?"

"Iya, atap bocor," tukasku.

"Mbak Vidianya ke mana? Ke rumah orang tua?" tanyanya.

"Iya, sementara tinggal di sana dulu," jawabku.

Aku pun kemudian ngobrol-ngalor ngidul ama tetanggaku ini. Mulai dari pendidikan, keluarga hingga tempat tinggal. Bu Isti memang tak punya teman untuk diajak bicara di rumah, makanya itu ia sering cerita sana-sini dengan ibu-ibu tetangga yang lainnya.

Ternyata atap bocor karena ada genteng yang retak serta talangnya bocor. Kurogoh kocek untuk membeli apapun yang dibutuhkan oleh tukang. Udah siang hari dan aku belum makan siang.

Bu Isti menyapaku lagi, "Udah makan siang belum, mas? Nih buat tukangnya." Ia membawa nampan berisi gorengan dan kopi.

"Waduh, bu, merepotkan saja," kataku.

"Nggak apa-apa, lagian kasihan tuh mas-mas tukangnya masa' ndak dikasih minum?" tanyanya.

"Itu udah ada di dalem," aku menunjuk satu dus minuman ringan dan beberapa potong kue.

"Ini tambahan, mas Doni kalau laper makan di rumahku gih," ajaknya.

"Gimana ya?" aku agak ndak enak.

"Nggak apa-apa," katanya.

Aku pun mengangguk. Aku menerima nampannya lalu kuletakkan di meja di dalam rumah. Sementara para tukang bekerja istirahat dulu sambil menikmati suguhan kami. Aku pergi ke tetangga sebelah. Bu Isti langsung mempersilakan masuk. Anaknya tampak sudah pulang dan sedang menonton tv. Anaknya seorang cewek namanya Luna. Melihatku masuk ia tampak senang sekali.

"Om? Boleh ya main ke rumah Om seperti kemaren?" tanyanya.

"Ya... boleh-boleh aja," jawabku. Ia suka menonton home theater yang aku punya di rumah. Bahkan terkadang ia main ke rumahku cuma untuk menyetel film kesukaannya dengan DVD. Karena tv-ku besar, makanya ia sangat suka sekali kalau nonton tv di rumahku.

"Hush, ndak boleh seperti itu," kata Bu Isti.

"Ibu, kan om bolehin," katanya.

"Iya koq boleh, ndak apa-apa, tapi harus juga belajar ya? Ndak nonton terus," kataku. "Agak nanti ya, soalnya rumah Om masih dibenerin."

Ia setuju.

Aku pun akhirnya makan siang di rumah Bu Isti. Orangnya ramah dan masakannya juga enak. Setelah kenyang aku pun akhirnya pulang. Pekerjaan tukang sudah selesai.

Malamnya Luna main ke rumahku. Ia pun akhirnya menyetel kaset DVD yang ia bawa. Banyak banget. Bu Isti mengijinkan asal jangan lupa untuk pulang.

Aku masih di rumah itu sambil sesekali beres-beres dan bersih-bersih rumah sampai malam. Dan itu si Luna betah saja nonton. Sampe akhirnya ia tertidur di sofaku yang nyaman. Waduh aku bingung juga mau bangunin. Akhirnya kubiarkan saja. Saat itu Bu Isti datang ke rumahku. Untuk mengajak Luna pulang.

"Udah tidur, bu," kataku.

"Waduh, trus bagaimana, mas?" tanyanya.

"Biarin aja tidur di sini, sudah saya selimuti koq," kataku.

"Maaf kalau merepotkan," katanya. "Ya sudah, aku tinggal dulu deh kalau begitu, kalau nanti ia bangun suruh pulang ya, mas?"

Aku mengangguk.

Tapi tampaknya Luna tak bangun-bangun juga, mungkin karena capek atau sofaku terlalu nyaman. Dan sudah pukul 10 malam. Perumahan ini memang sepi kalau jam segini. Bu Isti pun datang lagi. Aku saat itu masih membuka pintu dan duduk di teras.

"Belum bangun juga, mas?" tanya Bu Isti.

"Belum, bu, kalau ndak keberatan Bu Isti tidur di sini saja," kataku menawarkan.

Ia agak ragu. "Tapi nanti dilihat tetangga ndak enak, mas."

"Tetangga yang mana bu, wong perumahan sepi seperti ini koq," kataku. "Kalau mbak Erna sih sekarang malah belum pulang dari mall. Saya juga ndak enak kalau bangunin Luna."

"Ya udah deh, makasih tawarannya," katanya. Akhirnya ia pun masuk rumahku. Karena sudah malam aku menutup pintu.

Awalnya aku tak ada niat untuk punya pikiran ngentotin dia. "Bu Isti tidur di kamarku saja, saya mau tidur di bawah, maaf kalau cuma punya satu tempat tidur. Soalnya yang satunya lagi tempat tidur bayi" kataku.

"Ndak, mas, saya tidur di bawah aja dekat Luna," katanya.

"Jangan, ntar kalau Bu Isti sakit saya yang bingung," kataku.

Bu Isti kemudian terdiam sejenak. "Ya udah deh, mas, gini aja kita tidur seranjang tapi jangan berdempetan ya?"

"Wah, nanti bisa berabe bu, takut saya," kataku.

"Saya juga bingung, soalnya kebiasaan saya biasa ngelonin Luna dan takut tidur sendirian di rumah, gimana ya?" Bu Isti tampak khawatir.

Aku pun berpikir keras. Hingga akhirnya. "Ya udah deh, kita tidur seranjang. Tapi ndak berdempetan. Misalnya nanti kalau sampai kelewat batas, saya tak tanggung jawab lho ya?"

"Emangnya kelewat batas seperti apa, mas?" katanya sambil tersenyum.

"Ya, ibu tahu sendiri lah," jawabku.

Bu Isti tertawa kecil. "Iya, iya, ibu tahu koq. Mas Doni ini paling setia sama istrinya."

Akhirnya kami pun beneran tidur seranjang. Ada sesuatu yang unik. Sebelum tidur Bu Isti melepaskan bra-nya ia bilang biar ndak sakit kalau tidur. Dan kami pun tertidur saling membelakangi. Aku memang bisa tidur bahkan terlelap selama beberapa jam, hingga kemudian hawa dingin mulai masuk melalui angin-angin yang ada di kamar.

Secara tak sengaja aku dan Bu Isti berpelukan. Aku tak sadar dan dia tak sadar. Wajah kami bertemu kedua tangan kami saling merangkul. Bibir kami pun bertemu secara tak sengaja. Dan kami terbangun. Kami kaget dan saling membelakangi lagi.

"Maaf, mas," katanya.

"Maafkan saya juga, Bu, ndak sengaja," kataku.

"Saya juga," katanya.

Setelah itu kami terdiam. Aku tahu kami sama-sama tidak bisa tidur setelah itu. Sementara itu hawa dingin makin menusuk. Sialnya juga aku cuma punya satu selimut dan itu sudah aku berikan ke Luna. Ia pasti hangat dengan selimutnya. Aku menggigil.

"Mas, maaf apakah mas ngidupin AC kamar? Tolong matiin dong!" katanya.

"Saya ndak punya AC, bu, ini memang hawanya dingin," kataku.

Kami terdiam lagi.

"Mas ndak punya selimut lagi?" tanyanya.

"Tidak, bu, udah dipakai oleh Luna," jawabku.

Kami terdiam lama sekali, aku makin menggigil.

"Maaf, ibu kedinginan. Mas Doni kedinginan juga kan? Kalau boleh kita berpelukan biar hangat, sekali lagi maaf," katanya.

Akhirnya tanpa berpikir panjang lagi aku memeluknya dari belakang. CESSSS... rasanya. Jantungku berdebar-debar. Dan aku bisa rasakan jantung Bu Isti juga berdebar-debar.

"Saya punya sarung, bu, buat ibu kalau mau," kataku.

Kemudian aku mengambil sarung dari lemari, Bu Isti bangun lalu menerimanya. "Tapi buat mas apa?" tanyanya.

"Saya ndak apa-apa," jawabku.

"Kita satu sarung saja mas, dingin banget hari ini," katanya. "Maklum kita kan ada di kota M, makanya dingin, apalagi ini pegunungan."

Aku pun tak bisa berpikir panjang lagi, kami pun satu sarung. Saling berpelukan. Tubuh Bu Isti masih bagus. Dadanya masih kencang, kulitnya juga masih halus. Walaupun mungkin perutnya sedikit buncit. Aku memeluknya dari belakang, Kami sudah pakai dua sarung. Sebagian menutupi kaki kami, sebagian lagi badan kami. Sudah mulai hangat. Namun ternyata penisku tak bisa diajak kompromi. Karena terus menekan pantat Bu Isti akhirnya tegang juga.

"Mas, ada yang keras," kata Bu Isti.

"Maaf, bu, saya juga lelaki. Wajar kalau begini," kataku.

"Iya, saya tahu. Keras banget tapi," katanya. "Mas Doni sering main sama istrinya?"

"I-iya, kenapa, bu?"

"Pantes saja, istrinya takluk begitu," jelasnya.

Entah siapa yang memulai, kini mulutku yang ada di tengkuknya sekarang menciuminya. "Bu Isti, maaf, tapi saya ndak tahan lagi bu. Saya kepengen bisa menjinakkan senjata saya ini. Udah kepingin," kataku.

"Saya ngerti koq mas, ibu juga kepengen," katanya. Ia lalu berbalik di dalam sarung yang sempit ini. Kami lalu berciuman. Tangannya yang dingin kemudian menuju ke penisku. Ia mengelus-elusnya dari luar kolor. "Besar ya, mas?"

Kami berpagutan, panas sekali, aku tak sabar meremas-remas dadanya. Akhirnya Kami duduk, kemudian saling melepas baju kami semuanya. Kemudian saling berpelukan di dalam sarung lagi. Dada kami bersatu. Mulut kami berpagutan dan kemaluan kami pun bertemu. Tak kusangka Bu Isti ini sudah becek di bawah sana.

"Saya sudah becek dari tadi, mas, mikirin kita seperti ini," kata Bu Isti. "ohh... masss... puasin ibu... ibu sudah lama ndak begituan sama suami."

Penisku langsung masuk begitu saja memeknya. Memeknya memang jarang dipakai, akibatnya agak seret waktu digesek. Hawa dingin yang menusuk ini, kini sudah mulai menghangat, karena pergumulan kami makin hot di atas ranjang. Kami saling menciumi, ia menghisap leherku, aku juga. Kuhisap puting susunya menonjol itu kuat-kuat. Dadanya masih kencang walaupun usianya sudah kepala 4. Aku menekan-nekan pantatku, hingga Bu Isti terdorong ke tembok. Posisi ini ternyata lebih cepat membuatku untuk ejakulasi. Demikian juga Bu Isti.

"Mas, Ibu mau keluar, soalnya geli banget," katanya. Mungkin juga karena hawa dingin yang membuat tubuh kami menggigil, karena itu membuat getaran-getaran tertentu yang merangsang testisku untuk cepat berproduksi.

"Sama, bu, enak banget," kataku.

Kami pun sama-sama keluar. Spermaku tumpah di rahimnya. Kami kemudian berguling-guling di atas ranjang, dan aku menindihnya. Bu Isti dan aku berpandangan sesaat. Kemudian kami berpagutan lagi. Setelah itu kami saling berpelukan erat untuk mengusir hawa dingin yang menusuk.

Boro-boro untuk tidur. Kami malah saling bicara. Bu Isti terus terang kalau ketika pertama kali berkenalan sudah naksir aku, tapi cuma dipendam saja. Ndak nyangka kalau berakhir di atas ranjang. Dan ia pun cerita kalau karena frekuensi bertemu dengan suaminya jarang, makanya ia susah mendapatkan kepuasan. Walaupun sudah lama hidup berumah tangga.
Sesaat kemudian kami punya energi lagi dan melanjutkan gairah ini. Aku sodok sekarang ia dari belakang sambil tetap berbaring di dalam sarung. Setelah orgasme lagi, aku mengulanginya lagi dari atas. Rasanya aku seperti menghianati Kak Vidia, karena bersenggama dengan orang lain di atas kasur kami.

Kami pun akhirnya tertidur kelelahan dan penisku serasa ngilu karena bercinta sampai 5 ronde malam itu.

Paginya Bu Isti bangun duluan. Karena aku mendapati tidur sendirian dengan sarung. Aku bangun dan melihatnya berpakaian.

"Sudah pagi, mas, makasih ya semalam," katanya. "Besok atau kapan-kapan diulang lagi. Ibu suka dengan ketahanan mas di atas ranjang."

Kemudian kami berpisah dengan pagutan yang hot. Setelah itu ia membangunkan anaknya untuk pulang, karena Luna harus sekolah hari ini
 
 
 

 

No comments:

Post a Comment