Hiburan Sebelum Ramadhan
Makan
malam baru saja usai dan empat wanita cantik itu duduk di ruang tengah,
mereka mengobrol santai sementara suami mereka berbincang serius di
ruang depan. Para suami, yang semuanya adalah tokoh masyarakat serta
orang-orang yang aktif di kegiatan masjid, sedang membicarakan bulan
Ramadhan yang sebentar lagi datang. Seperti biasa, mereka harus
memutuskan kegiatan apa saja yang akan dilakukan serta siapa yang
bertanggung jawab.
“Bagaimana, Ustad, apakah semuanya sudah siap?” tanya Haji Karim, orang yang memimpin rapat itu.
Lelaki
yang dipanggil menoleh. Usianya masih cukup muda, tak lebih dari tiga
puluh tahun. Wajahnya teduh, namun sorot matanya menyiratkan kepintaran.
“Sepertinya lebih baik kita memakai jadwal tahun kemarin,” dia
menjawab.
Orang
di sebelahnya lekas menukas. “Bukankah Haji Mahfud sudah meninggal, Pak
Ustad. Siapa yang nanti menggantikan?” tanyanya. Dia bernama Slamet, si
takmir masjid.
“Saya tadi sudah tanya sama Jarot,” jawab Ustad Rofid. “dia mau jadi imam tarawih menggantikan Haji Mahfud.”
Haji
Karim manggut-manggut, “Ya, dia lulusan pondok. Tajwidnya bagus,” Kalau
dia setuju, maka maka yang lain tidak berani membantah.
“Jadi nanti kita giliran tiap tiga hari,” Ustad Rofid memastikan.
Burhan
yang sejak tadi diam, segera mengetik di laptop. Jadwal imam ia susun
sedemikian rupa hingga Haji Karim, Ustad Rofid, serta Jarot mendapat
giliran secara adil. Sudah jadi tradisi di desa itu kalau imam sholat
tarawih selalu berganti-ganti.
“Untuk bilalnya gimana?” tanya Haji Karim.
“Itu malah lebih gampang, Pak Haji.” jawab Slamet. “Banyak yang siap, semua pada bisa.”
“Tapi tetap kudu dibagi, siapa tahu ada yang berhalangan,” tegur Ustad Rofid.
“Eh, i-iya, Pak Ustad.” Slamet tersenyum malu-malu.
Burhan segera memasukkan nama-nama bilal di samping kolom imam, orang-orangnya ia dapatkan dari rekomendasi Haji Karim.
“Wak Jupri sebaiknya jangan dipakai lagi, Pak Haji,” usul Ustad Rofid. “Orangnya sudah sepuh, sering lupa dan kebolak-balik.”
Haji Karim mengangguk setuju, “Iya, sekalian regenerasi juga.”
Burhan lekas menghapus nama Wak Jupri dan menggantinya dengan si Nasikhul, pemuda anak Pak RT yang bulan lalu baru menikah.
“Jangan
cuma ngobrol aja, ayo diminum tehnya,” kata Haji Karim mempersilakan
sebagai tuan rumah yang baik. Semua orang segera menyesap gelas
masing-masing.
Juleha |
Mereka
sudah akan melanjutkan pembicaraan saat Juleha, istri muda Haji Karim
yang baru berusia 24 tahun, muncul di ruang tamu dan berbicara lirih
namun cukup keras untuk didengar semua orang, "Kamar sudah siap, Bah!"
Haji Karim menoleh kepada tamu-tamunya. “Siapa yang mau duluan?”
Burhan mendongak dari laptopnya, “Saya nanti saja, masih banyak yang harus diketik.”
Haji Karim menoleh kepada Ustad Rofid, “Pak Ustad?” tawarnya.
Ustad
muda itu menggeleng sambil tersenyum. “Sepertinya ada yang lebih tak
sabar daripada saya, Pak Haji.” Matanya melirik kepada Slamet yang duduk
sambil senyum-senyum.
“Kamu, Met?” tanya Haji Karim pada pemuda kurus di depannya.
Yang ditanya hanya berdehem malu-malu. “Kalau Pak Haji nggak keberatan,” jawab Slamet sambil melirik keberadaan Juleha.
Seperti
biasa, gadis itu mengenakan pakaian panjang dan jilbab lebar untuk
digunakan menutupi tubuhnya yang mulus sempurna. Sungguh sangat santun
dan sama sekali tidak provokatif. Tapi siapapun di ruangan itu tahu,
Juleha tidak mengenakan beha atau celana dalam di baliknya. Tubuhnya
polos begitu saja, yang tentu sangat disukai oleh Slamet.
“Kamu nyosor melulu, Met,” komentar Haji Karim. “Kalau saja istrimu tidak cantik, pasti kamu tidak aku undang di rapat ini.”
Slamet hanya memberikan seringaian pendek sebagai jawaban. “Gimana, Pak Haji. Boleh saya duluan?” tanyanya tak sabar.
Haji Karim mengangkat bahu. “Memang aku bisa menolak?”
Slamet
tersenyum dan lekas mengucapkan terima kasih. Bergegas ia bangkit untuk
mengikuti Juleha ke kamar tidur. Di dalam, tiga perempuan lain sudah
duduk di ranjang menunggu. Salah satunya adalah Nuning, istrinya. Dua
yang lain adalah Atik, istri Ustad Rofid, serta Hasnah, istri si Burhan.
Mereka semua masih berpakaian lengkap; mengenakan baju panjang dan
jilbab lebar. Keempatnya sama-sama cantik dan menarik dalam gaya
masing-masing, terutama Atik. Kepada dialah pandangan Slamet paling lama
terarah.
“Ayo, Bang.” Dengan mesra Nuning menggandeng tangan sang suami, sementara Juleha menutup pintu kamar tanpa menguncinya.
Duduk
di kursi sambil tersenyum, Slamet memandangi keempat perempuan yang ada
di depannya berganti-gantian. Nuning yang datang duluan perlahan
membantunya melepas kemeja. Berikutnya Hasnah, yang langsung memberinya
ciuman penuh di bibir. Slamet terkejut, bahkan terlalu terkejut untuk
mencium kembali. Dia hanya sempat melumat sedikit sebelum Hasnah menarik
diri.
Lalu
Juleha, yang perlahan-lahan membuka kancing celana dan melepas
resletingnya. Perempuan cantik berbibir merah itu meletakkan tangan di
atas gundukan kemaluan Slamet dan memijatnya perlahan-lahan selama
kurang lebih satu menit. Meski masih terhalang celana dalam, namun sudah
cukup membikin Slamet mendesah lega.
Setelah
Juleha kembali ke kursinya, kini giliran Atik, perempuan yang paling
didambakan oleh Slamet. Atik mendekat dan menatap matanya, tetapi tidak
menciumnya. Sebaliknya, ia memelorotkan celana dalam Slamet dan membelai
batang kontolnya secara langsung. Elusannya terasa benar-benar nikmat,
lembut sekaligus juga hangat, erat namun juga sangat nyaman.
Perbuatannya itu membawa Slamet ke titik dimana ia harus mengerang kuat.
“Enak ya, Bang?” tanya Nuning yang menonton dari samping. Slamet hanya bisa menjawab dengan anggukan.
Tak
lama, Atik kembali ke tempat duduknya. Juleha kembali berdiri dan
menghampiri, dia berjalan mengeliling Slamet dua kali, membelai kemaluan
lelaki itu setiap kali ia bisa, lalu menutupnya dengan memeganginya
erat selama setengah menit. Pada saat ia selesai, napas Slamet sudah
semakin terengah-engah. Kontolnya terlihat semakin kaku dan menonjol ke
depan meski tidak besar-besar amat.
Perbuatan
Juleha diikuti oleh Hasnah. Dia datang dan memberi Slamet ciuman
panjang yang berapi-api sambil tangannya dengan lembut membelai batang
penis laki-laki itu. Slamet membalasnya penuh nafsu, rakus ia lumat
bibir tipis istri Burhan itu sambil tangannya mencoba meraba bulatan
payudara Hasnah yang terasa mengganjal di depan perut, namun tangannya
lekas ditepiskan.
“Eh, belum waktunya,” Hasnah tersenyum mengingatkan. Slamet hanya bisa menatapnya dengan wajah memerah penuh nafsu.
Nuning |
Nuning
yang datang berikutnya segera membawa sang suami ke tempat tidur dan
menyuruhnya untuk berbaring telentang. “Sabar sedikit, Bang. Pasti dapat
kok,”
Slamet
memandangi keempat perempuan cantik yang berdiri di sekitar tempat
tidur. Meski sudah sering melakukannya, jujur ia gugup juga dengan apa
yang akan terjadi selanjutnya.
"Baiklah," kata Nuning santai. "Mari kita mulai."
"Ah,
iya. Cepatlah!" sahut Slamet dengan suara sedikit bergetar. "Aku sudah
tak tahan." tambahnya dengan kontol sudah mengeras seperti batu dan
menunjuk langsung ke langit-langit,
"Santai
saja, Bang.” Nuning menyentil benda hitam nakal itu. “Semangat sekali
sih minta diperkosa sama empat wanita cantik." tambahnya, yang diikuti
tawa oleh ketiga perempuan yang lain.
"Sudah, jangan main-main. Langsung saja," Slamet meminta.
Nuning
segera menempatkan diri di antara kaki laki-laki itu dan memberikan
rangsangan di kantung telur. “Begini?” tanyanya sambil meremas-remas
gemas.
“Iya,
terus!” Slamet merintih, apalagi setelah Hasnah dan Juleha ikut
bergabung dengan bergiliran mengocok batang penisnya. Uh, rasanya
seperti terbang ke angkasa. Sudah jelas bahwa dia akan ejakulasi dalam
hitungan detik jika mereka tidak melambat, padahal saat ini Atik masih
belum ngapa-ngapain.
Mengetahui
sang suami kepayahan, Nuning segera menyuruh kedua sahabatnya berhenti.
“Jangan terlalu cepat,” katanya sambil terus merangsang kantung telur
tanpa jeda.
Kedua
perempuan berjilbab itu mengangguk mengerti. Mereka melakukan kocokan
lagi begitu melihat Slamet sudah siap, lalu kemudian berhenti lagi untuk
mencegah ejakulasi. Begitu terus berkali-kali hingga membuat takmir
masjid itu menjadi semakin bersemangat.
“Ahh...
yah, terus! Terus begitu! Enak! Yah, disitu!” desisnya saat Hasnah
serta Juleha memijit-mijit lembut. Batang kontolnya sudah semakin kaku
dan menegang, namun dia masih belum diizinkan untuk ‘keluar’.
“Kenapa?” tanyanya pada sang istri.
“Belum waktunya,” Nuning tenang mengatakan.
Slamet
tidak terlalu senang, namun dia memang harus bersabar karena sesuai
dengan aturan ‘permainan’, pihak lelaki dilarang meminta tanpa
persetujuan dari para perempuan. Maka Slamet hanya bisa menunggu apa
yang akan dilakukan oleh para istri kepada dirinya tanpa dia bisa
berbuat apa-apa.
Kocokan
terus dilakukan oleh Hasnah serta Juleha sambil diikuti jeda beberapa
kali, dan setiap kali itu pula Slamet harus merelakan kehilangan nikmat
ejakulasi. Ia semakin gelisah, terutama dengan keberadaan Atik yang
hanya melihat tanpa pernah berbuat apa-apa. Apa yang sebenarnya
diinginkan oleh perempuan cantik itu?
Slamet
terus bertanya-tanya dalam hati sambil dia menikmati apa yang dilakukan
oleh ketiga perempuan yang lain. Untungnya, di saat dia sudah hampir
kehilangan akal karena tak tahan lagi menahan nikmat, akhirnya Nuning
berkata, "Nah, Abang boleh mengeluarkan pejuh sekarang!"
Dan
dengan seruan itu, Hasnah serta Juleha meningkatkan intensitas kocokan
mereka. Tak sampai 10 detik, Slamet pun mengalami ejakulasi yang paling
nikmat sepanjang hidupnya. Dia menyemprotkan spermanya tinggi ke udara
dan turun tepat di muka Nuning yang masih mempermainkan biji pelirnya.
“Auwh,”
Nuning memekik kaget, namun tidak berusaha menghindar. Dibiarkannya air
mani sang suami terus berhamburan membasahi tangan serta wajahnya,
beberapa menetes ke jilbab ungu yang ia kenakan, lalu mengalir ke bawah
dagu.
Tubuh
kurus Slamet masih terus mengejang-ngejang. Meski tembakan-tembakan
berikutnya tidak lebih keras daripada yang tadi, namun jumlahnya tetap
banyak. Dengan tergopoh-gopoh Juleha serta Husnah menadahi, mereka
membaginya rata di antara keduanya. Hanya Atik yang terdiam melihat
tanpa berniat untuk ikut. Total ada tujuh kali semburan yang dimuntahkan
oleh Slamet, dan laki-laki itu berteriak puas menikmati semuanya.
Setelah
ejakulasi itu selesai, para istri menunggu satu menit penuh sampai
Slamet tenang dan napasnya kembali normal. Kemudian mereka melepaskan
dan membantu Nuning membersihkan sisa-sisa cairan yang tercecer
dimana-mana.
“Kok bu Ustad tidak ikut bergabung?” tanya Slamet memprotes.
Nuning berdiri dan berkata, "Masih kurang sama kita bertiga?”
“Bukan begitu, Dik, aku...”
Tapi
Nuning sudah berbalik dan turun dari ranjang, tanda kalau waktu Slamet
sudah selesai. Hasnah segera melangkah maju dan menggigit salah satu
biji pelir Slamet. Laki-laki itu meringis tapi tidak bergerak, ingin dia
menyambar bulatan payudara Hasnah yang membulat indah dan meremasnya
perlahan, namun tentu saja itu tidak boleh.
Berikutnya
Juleha yang memberikan gigitan di biji yang lain, dan tak cuma
menggigit, dia juga menjilat-jilatnya lembut hingga Slamet jadi
menggelinjang sedikit.
Akhirnya,
Atik maju mendekat. Dengan muka menunduk, bu Ustad yang cantik itu
mencium ringan batang kontol Slamet yang masih berlumuran sperma. Lalu
dia mencucup lebih ke atas, menjilati sebentar helmnya, dan tiba-tiba
membuka mulut untuk mencaploknya. Dia memberikan tiga hisapan
berturut-turut pada batang kontol Slamet yang meski cuma sebentar namun
sudah cukup membuat laki-laki bergetar kegelian.
“Anggap saja itu sebagai permintaan maafku,” kata Atik sambil menyingkir, mulutnya kini ternoda oleh air pejuh Slamet.
Slamet
hanya bisa memandangi tanpa sanggup berkata apa-apa. Sesi baginya sudah
usai, waktunya bagi dia untuk kembali ke depan, ke ruang rapat. Keempat
wanita berdiri di tembok seberang saat dia bangkit perlahan-lahan dan
mengenakan pakaian. Setelah itu dia berbalik untuk kembali ke ruang
tamu.
Tapi sebelum pergi, Slamet sempat berkata, "Terima kasih semua, rasanya nikmat sekali."
Dia
memberi ciuman ke pipi masing-masing perempuan. Saat giliran Nuning,
istrinya, dia membelainya sedikit dengan meremas-remas bongkahan
payudaranya yang lumayan besar. Baru setelah itu dia meninggalkan
ruangan.
Setelah
Slamet pergi, keempat istri itu membersihkan tempat tidur dan merapikan
semuanya, bersiap untuk menyambut lelaki berikutnya. Mereka
melakukannya dengan santai dan gembira seakan apa yang terjadi sekarang
memang lumrah adanya.
Slamet
pergi keluar dan duduk bersama yang lain. Haji Karim, Burhan, serta
Ustad Rofid bersikap biasa menyambut kedatangannya, seakan tidak pernah
terjadi apa-apa. Hanya napas serta dengan muka Slamet yang masih
memerah menunjukkan kalau sesuatu yang tidak beres kini tengah
berlangsung.
“Cepat amat, Met?” tanya Haji Karim penuh tanda tanya.
“Cepet apaan! Ini sudah lima belas menit, Pak Haji,” sergah Burhan.
Ustad Rofid mengangguk membenarkan, “Lumayan untuk ukuran Slamet,”
Slamet hanya bisa tersenyum malu, “Saya hampir gila dikerjai di dalam sana, mereka sukanya menggoda saja.”
“Siapa yang paling menggoda?” tanya Burhan tak nyambung.
Slamet langsung menyenggol sikunya, dan yang lain cuma tertawa.
“O
iya, Pak Haji,” Ustad Rofid berkata, “untuk Kuliah Subuh, apa tetap
kita mengisinya bergantian atau perlu memanggil penceramah dari luar?”
tanyanya kembali ke materi rapat.
Haji
Karim nampak berpikir sejenak. Namun sebelum dia sempat menjawab,
Juleha sudah keburu muncul dari dalam. Gadis cantik berhidung mancung
itu tersenyum pada semua orang saat berkata, “Silakan, siapa yang
berikutnya?”
“Ah,
lagi-lagi kita disela,” Haji Karim berkata sambil tangannya
mengelus-elus bokong indah sang istri muda dari balik baju. Terasa
sekali kalau Juleha sama sekali tidak memakai kancut saat itu. Kulit
bokongnya terasa mulus sekali.
“Tidak apa-apa, daripada bosan ngomong serius terus,” jawab Ustad Rofid, matanya melirik malu-malu.
Setelah tertawa sejenak, Haji Karim bertanya, "Ayo, giliran siapa sekarang?”
Ustad Rofid memandang Burhan, sementara yang diperhatikan langsung mempersilakan. “Monggo, Pak Ustad. Saya nanti saja.”
Ustad Rofid tersenyum dan ganti melirik Haji Karim.
“Iya, Ustad. Biar saya yang mengatur jadwal Kuliah Subuh, Ustad santai-santai saja di kamar.” sergah lelaki gendut itu.
Ustad
Rofid segera mengangguk dan bangkit berdiri. “Terima kasih, kalau
begitu saya duluan,” entah ucapan itu ditujukan untuk siapa.
Dia
melangkah santai mengikuti Juleha yang menuntun lengannya. Dalam
perjalanan ke kamar tidur, mereka berbincang-bincang pelan agar tidak
ada orang lain yang bisa mendengar. Ustad Rofid mendesah lega saat
mengetahui Slamet tidak sempat menjamah Atik, istrinya. Dia tahu kalau
Slamet paling terobsesi pada istrinya itu.
Masuk
ke kamar tidur, Ustad Rofid melihat tiga perempuan yang lain duduk di
atas ranjang dengan masih berpakaian lengkap; yaitu jilbab lebar dan
baju panjang, yang tentu saja tidak menampakkan sama sekali kalau mereka
benar-benar bugil dibaliknya.
“Apa
kabar, Pak Ustad,” Mereka menyambut kemunculan Ustad Rofid dengan
hangat, terutama Nuning dan Hasnah. Atik hanya memberi suaminya itu
ciuman ringan, sedangkan Juleha mempersiapkan ranjang dan menutup pintu
kamar.
Dan kemudian acara pun dimulai.
"Ayo,
Pak Ustad, lepas bajunya!” Hasnah berkata sambil membantu Ustad Rofid
melepas kemeja, selanjutnya dia memberi laki-laki itu ciuman panas
berkepanjangan yang penuh gairah sebelum diputus oleh Atik.
“Gantian ya, sekarang giliranku.” Sambil tersenyum, perempuan yang baru memiliki satu anak itu mengajak suaminya melangkah ke samping mendekati ranjang.
Setelah
Ustad Rofid berbaring telentang , Atik perlahan-lahan membuka kancing
baju gamisnya dan menguaknya ke samping. Tanpa ada penutup apa-apa lagi,
payudaranya yang bulat besar langsung terburai keluar. Warnanya cerah
sekali karena dia memang berkulit puting. Kedua putingnya tampak
menonjol indah, mungil mengarah ke depan dengan warna merah yang
terlihat lezat. Ustad Rofid langsung menggapaikan tangannya ke sana di
saat sang istri memberinya ciuman hangat yang penuh gairah.
Sejenak
mereka saling melumat dan kemudian, persis seperti sebelumnya, Atik
menepi. Payudaranya tetap ia biarkan terbuka saat Juleha bergeser
mendekat. Istri Haji Karim itu memeluk suaminya dan memberinya ciuman
hangat. Dengan santai Ustad Rofid menerimanya, dan diam saja saat Juleha
mulai menelanjanginya.
Di
saat dia selesai dan menyingkir, yang beruntung tentu adalah Nuning
yang datang berikutnya. Tak berkedip dia menatap tonjolan kontol sang
Ustad yang terlihat begitu kaku dan keras. Benda itu nampak sangat
menggoda, pesonanya yang luar biasa sanggup menarik perhatian setiap
wanita. Nuning dengan senang hati memeganginya.
“Hmm, besar sekali, Pak Ustad.” gumamnya tanpa sadar, “Tidak seperti milik suami saya.”
Ustad
Rofid hanya tersenyum saja. Diperhatikannya saat istri Slamet itu
duduk di sebelahnya dan mulai menciumi kontolnya dengan hangat. Nuning
bergeser mundur sedikit saat dia perlahan-lahan melepas bajunya. Sama
seperti Atik tadi, karena tidak mengenakan, maka payudaranya langsung
meloncat keluar. Nuning mengambil tangan sang Ustad dan menempatkannya
di sana, dimintanya laki-laki itu untuk meremas-remas bulatan
payudaranya tanpa perlu ia berkata apa-apa.
Ustad
Rofid membelai kedua gundukan daging itu dengan senang hati. Rasanya
empuk dan kenyal saat dia menjalarkan jari-jari di sana. Meski tidak
sebesar milik sang istri, namun rasanya lumayan juga. Terutama kedua
putingnya, kesanalah jari-jari Ustad Rofid sering terarah. Sementara
Nuning terus menciumi batang penisnya, dia memijit serta memilin-milin
benda mungil yang terasa kaku dan sedikit liat itu.
Hasnah |
“Hhh,”
Nuning mengakhiri kulumannya sambil menghela napas panjang. Dia turun
dari ranjang dan tempatnya digantikan oleh Hasnah yang sudah menunggu
dari tadi.
Istri
Burhan itu juga sudah menyingkap bajunya, menampakkan bulatan payudara
yang nampak mungil namun sangat padat. Hasnah memang belum pernah
melahirkan, dia baru saja menikah dengan Burhan. Usianya juga termasuk
yang paling muda diantara semuanya.
Setelah
tersenyum sejenak dan membiarkan Ustad Rofid meraba-raba payudaranya
hingga puas, mereka kemudian saling berciuman. Penuh gairah Ustad Rofid
memeluk tubuh kurus Hasnah yang terasa hangat. Dibantunya wanita itu
melepas sisa baju hingga kini yang tersisa hanya jilbabnya saja. Tubuh
Hasnah sudah benar-benar bugil.
“Yakin mau jadi yang pertama?” tanya Ustad Rofid dengan mata melirik sang istri.
Saat
Atik memberinya anggukan persetujuan, segera ia belai kemaluan Hasnah
yang muncul tepat di depan hidungnya. Benda itu terasa kecil dan sempit,
namun sudah begitu basah dan lengket, tanda kalau Hasnah sudah
benar-benar siap. Tanpa banyak kata, Ustad Rofid lekas memasukkan
kemaluannya ke sana.
“Auwh!”
Hasnah menjerit kaget sekaligus juga keenakan. Memeknya yang ditembus
oleh kontol Ustad Rofid terasa geli luar biasa, dan begitu laki-laki
tampan itu mulai menggoyang dengan cara yang paling menyenangkan, dia
makin merasa geli lagi.
Ketiga
perempuan yang lain menonton sambil berdiri di tepi ranjang. Ekspresi
mereka macam-macam; mulai dari yang bernapas berat seperti Atik, juga
berwajah merah padam seperti Juleha, atau yang tanpa sungkan membelai
diri sendiri seperti Nuning. Sementara Hasnah dan Ustad Rofid terus
bergoyang nikmat di atas ranjang, mereka menontonnya dengan fantasi liar
di kepala masing-masing. Balutan jilbab sama sekali tidak menghalangi
ketiganya.
“Agak miring sedikit,” Ustad Rofid membalik tubuh kurus Hasnah, mereka kini berbaring bersisian.
Posisi
itu dengan jelas memperlihatkan memek sempit Hasnah yang sedang
ditembus oleh kontol Ustad Rofid. Celah sempit yang lembut itu nampak
menghisap dan menggembung setiap kali Ustad Rofid menghentakkan pinggul.
Meski berukuran besar, namun kontolnya ternyata meluncur dengan begitu
lancar.
“Hah... hhh... auwgh... hhh!” Hasnah sedikit mengernyit kesakitan, tetapi selebihnya dia merintih serta menggelinjang keenakan.
Ustad
Rofid kini menempatkan diri di atas tubuh mulusnya. Dia terus saja
menghentak cepat, yang dengan cepat membikin Hasnah harus berjuang keras
mengendalikan orgasmenya. Sebuah situasi yang sangat didambakan oleh
setiap wanita.
“Hmm...
sluruph! sluruph” Ustad Rofid menempatkan salah satu puting Hasnah ke
dalam mulutnya dan menghisapnya rakus berkali-kali. Bercak kemerahan
langsung tercetak di benda mungil itu karena Ustad Rofid menggigit
dengan begitu kuat, mungkin karena saking gemasnya.
“Auwgh!”
Hasnah sedikit berteriak ketika buah dadanya dilepaskan. Beberapa tanda
gigitan menempel di payudaranya yang mungil. Dia tersenyum dan
menggeliat ketika Ustad Rofid kembali melanjutkan genjotannya.
“Yah... terus, Pak Ustad! Enak!” rintihnya dengan jilbab berkibar-kibar karena hujaman laki-laki itu.
Dari
tempatnya berdiri, Atik bisa melihat bagaimana tubuh bugil sang suami
menempel erat di badan Hasnah yang mengangkang dengan kaki menyebar
luar. Alat kelamin mereka bertautan erat dan saling menggesek nikmat
satu sama lain. Kontol yang selama ini setia menembus memek miliknya,
kini mencicipi rasa kelamin perempuan lain. Namun itu sama sekali tidak
membuatnya cemburu. Atik malah bergairah dibuatnya, dan tak terasa
mendesah menyesal karena tadi tidak sempat merasakan kehangatan kontol
si Slamet. Tadi dia terlalu malu untuk meminta, padahal sudah
jelas-jelas Slamet menginginkannya – seperti biasanya.
Tapi tak mengapa, masih ada dua laki-laki lagi, dia pasti akan mendapatkan giliran.
“Arghhhh...”
sebuah erangan membawa Atik kembali dari lamunan. Ternyata Hasnah yang
berteriak, jelas bahwa dia tidak bisa bertahan lebih lama lagi.
Goyangan
Ustad Rofid berlangsung kurang dari satu menit ketika Hasnah tiba-tiba
menjerit sambil menggunakan kedua kakinya untuk menarik pinggul
laki-laki itu dan menahan kontol sang Ustad jauh di dalam dirinya saat
dia orgasme. Serangkaian ledakan menyentakkan tubuh kurus Hasnah
berkali-kali, membuatnya jadi pucat dan lemah lunglai, namun terlihat
kalau dia sangat menikmatinya. Sebuah orgasme yang sungguh sangat
sempurna!
Saat
napas mereka melambat, Ustad Rofid melihat sekeliling dengan senyum
lebar tersungging di wajahnya yang tampan. Dia mengedipkan mata pada
tiga wanita berjilbab setengah telanjang yang berdiri di hadapannya.
“Ada
lagi yang mau?” tanyanya tanpa sungkan sambil menarik penis dari
jepitan liang memek Hasnah yang membanjir parah. Sementara istri Burhan
itu sudah tergeletak kelelahan, Ustad Rofid memamerkan kontolnya yang
masih menegang pada ketiga wanita yang tersisa.
Yang maju ternyata Juleha, istri Haji Karim itu melihat keadaan Hasnah dengan pandangan kuatir. "Apakah dia baik-baik saja?"
Ustad
Rofid tersenyum santai. “Oh, tak usah bingung. Dia hanya kelelahan.”
Ditatapnya Juleha yang masih berpakaian lengkap. Mereka mengedipkan mata
satu sama lain tanpa berkata apa-apa, namun Juleha tahu kalau dia
diminta untuk menyingkapkan payudara juga.
Tepat sebelum dia membuka kancing baju, Atik berbisik untuk menggantikan tempatnya. “Aku duluan, ya?” tanyanya sambil tersenyum.
Juleha dengan enggan mempersilakan, sungkan dia kalau mau menolak.
Tapi
di saat Atik sudah ingin naik keranjang, Ustad Rofid mengingatkannya,
“Aku sudah terlalu lama di sini, yang lain pasti pada nunggu.”
Atik
melirik jam di dinding dan kemudian mengangguk setuju meski dengan
berat hati. Dibiarkannya sang suami memakai pakaian kembali dan setelah
memberinya ciuman mesar di bibir, lekas ia kembali ke ruang tamu.
"Tidak apa-apa, bu Ustad. Masih ada ronde kedua." kata Nuning menyemangati.
Juleha ikut mendekat. "Siapa pun yang masuk sehabis ini, itu jadi jatahnya bu Ustad. Kita mengalah deh.”
Atik
tersenyum samar atas kebaikan hati teman-temannya. Lekas dia merapikan
baju kembali dan menunggu laki-laki berikutnya. Nuning membantu Hasnah
yang masih lemas untuk dibawa ke kamar mandi agar jadi sedikit segar,
sementara Juleha pergi ke ruang tamu untuk memanggil pria yang
beruntung.
“Silakan duluan, Bur,” kata Haji Karim begitu Juleha muncul.
Ustad
Rofid sudah duduk di kursinya yang tadi dan sekarang sedang mereka-reka
acara yang bisa diadakan selama sepuluh terakhir malam Ramadhan – malam
Lailatul Qadar. Burhan yang ada di sebelahnya menggeleng pelan, “Pak
Haji saja duluan, saya harus memindah draf ini ke laptop." katanya.
"Ah,
serahkan saja pada Slamet.” jawab Haji Karim. “sebagai tuan rumah, aku
harus memuliakan tamu. Jadi, kau yang harus masuk sekarang. Aku nanti
saja setelah kalian semua selesai.”
Burhan tersenyum kikuk. “Ah, saya jadi tak enak, Pak Haji.”
“Sudah, Bur. Tidak usah sungkan, masuk saja sana,” dukung Ustad Rofid.
“Iya, Bur. Sini biar aku yang ngetik,” tambah Slamet.
Burhan
jadi tak bisa menolak lagi. Maka setelah menyerahkan laptop pada
Slamet, dia pun beranjak menuju kamar bersama Juleha. Burhan langsung
duduk di ranjang begitu mereka sudah di dalam.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya pada sang istri saat melihat Hasnah agak sedikit pucat.
Hasnah
hanya mengangguk perlahan, yang menjawab malah Nuning. “Dia sudah dapat
enak duluan, tinggal kita yang belum.” katanya sambil melangkah
mendekat.
Burhan
terhenyak saat istri Slamet itu mencium bibirnya bertubi-tubi.
Tangannya juga memeluk erat sambil perlahan membelai kemaluannya
berkali-kali sampai jadi ngaceng maksimal. Setelah yakin sudah tegak
sepenuhnya, dia meremasnya kuat untuk yang terakhir kali dan kemudian
melangkah mundur, memberikan kesempatan berikutnya kepada Atik yang
sudah bergeser tak sabar.
Atik |
“Eh, Bu Ustad,” gumam Burhan saat Atik membantunya melepas celana.
Perempuan
yang kalau sore mengajar ngaji di musholla itu langsung berlutut di
depannya begitu kontolnya muncul ke permukaan. Dengan gemas Atik
mengelus-elus kemaluan panjang itu berulang kali sambil sesekali ia
ciumi ujungnya yang tumpul sampai jadi sedikit basah.
“Hhh,”
Burhan mengerang kegelian. Kontolnya berubah jadi sangat keras seperti
batu, dengan urat yang mencuat ganas di sana-sini. Atik memandanginya
dengan terkagum-kagum.
“Gede!”
gumamnya singkat sambil memberikan jilatan lembut yang pasti didambakan
oleh Burhan meski laki-laki itu tidak pernah meminta. Dia mengulumnya,
memasukkannya ke dalam mulut, lalu menghisap-hisapnya pelan seperti yang
biasa ia lakukan pada kontol Ustad Rofid.
“Ughh!”
Dengan cepat Burhan merasakan kenikmatan, kakinya mengangkang dengan
lengan gemetar ingin memegang tubuh mulus Atik, tapi masih sungkan
karena perempuan itu tidak pernah meminta. Akibatnya, tubuhnya mulai
gemetar dan mulutnya terasa kering. Semakin kuat Atik dalam menghisap,
semakin parah juga getaran tubuhnya.
Tanpa
mengatakan apa-apa, Atik terus mengemut-emut dengan lambat namun tegas;
satu biji pelir Burhan ia remas-remas ringan, sedangkan yang satunya ia
beri ciuman sayang. Tangannya juga terus mengocok-ngocok, hingga
setelah beberapa belaian, kontol panjang Burhan sudah berubah warna
menjadi agak kemerahan.
“Auwghh,”
Burhan melenguh keenakan. Apalagi saat Atik mengulumnya lagi, lalu
lagi, dan lagi, hingga Hasnah harus bergegas menghampiri kalau tidak
ingin sang suami menyembur duluan.
“Sudah,
bu Ustad. Nanti keburu bocor. Cepat pakai saja,” katanya mempersilakan,
mukanya mulai berwarna setelah beristirahat sejenak.
Atik
berdiri dan mengajak Burhan untuk naik ke atas ranjang. Pelan,
terdengar Burhan mengatakan, "Hisapan terbaik yang pernah kurasakan."
Hasnah hanya tertawa saja. “Nanti aku akan minta diajari sama bu Ustad. Tapi sekarang, puaskan dia dulu.”
Permintaan
itu mengundang kecurigaan Burhan, “Hei, jangan-jangan tadi kamu dibuat
lemas sama Ustad Rofid, ya?” Karena tidak biasanya Husnah santai berbagi
suami tanpa ada imbal balik.
“Mau
tahu saja,” Husnah mundur saat melihat Atik mulai berbaring telentang
dengan kaki mengangkang lebar. Kemaluannya tampak sudah basah, sempit
dan merah sekali, benar-benar indah. Burhan pasti akan menyukainya.
Tanpa
banyak berpikir, lelaki itu melakukannya. Dia tusukkan penisnya yang
besar enam kali sebelum kemudian berhenti. Atik sudah akan mendesah,
tapi merasakan kontol Burhan tiba-tiba terdiam, dia pun bertanya.
“Kenapa, ada yang salah?” tanyanya sambil menggeliat, berusaha menarik batang itu agar lebih tenggelam lagi.
“Ah, e-enggak.” Burhan menyahut gugup.”Memek bu Ustad sungguh nikmat, saya jadi nggak tahan.”
“Jangan bilang kalau mas sudah mau muncrat,” sergah Hasnah mencibir.
“Hehe,” Burhan hanya bisa tertawa saja.
“Pelan-pelan saja kalau gitu, bu Ustad lebih suka yang lama,” kata Husnah, yang disambut anggukan oleh Atik.
Pelan,
Burhan kembali menggerakkan pinggulnya. Alat kelaminnya pun kembali
bergesekan dengan lorong memek Atik yang serasa megap-megap meminta
kepuasaan. Cengkeramannya jadi naik dua kali lipat, membikin ujung
kontol Burhan berdenyut geli-geli nikmat.
“Huhh,”
Lelaki itu melenguh, dan ayunan pinggulnya yang tadi agak ringan kini
ditingkatkan sedikit lebih keras. Bukan berarti dia ingin lekas keluar,
tapi memang rasanya lain kalau digenjotkan kuat seperti itu.
“Aihh,”
Atik memekik lirih saat tiga dari enam tusukan Burhan membentur pangkal
memeknya. Daerah yang jarang terjamah itu serasa menggeliat hidup,
meminta untuk terus disapa dan diperhatikan. Maka ia lekas memajukan
pinggulnya, berharap kontol panjang Burhan dapat terus mampir ke sana.
Ini
jelas terlalu berlebihan bagi suami Hasnah itu. Burhan yang tak
menyangka akan dicengkeram secara berlebihan, kontan megap-megah. Ujung
kontolnya dengan cepat memerah, lalu menggembung besar, dan akhirnya
mulai berdenyut-denyut tidak karuan. Tanpa pernah menyentuh tubuh mulus
Atik, hanya dengan mencicipi lubang kewanitaannya, sudah cukup bagi dia
untuk terbakar.
Burhan
memang tidak mengatakan apa-apa, tapi raut wajahnya yang penuh nikmat
nampak jelas terlihat. Sementara dia terus menyetubuhi Atik, dua
perempuan yang lain menggoda dengan mengusap-usap pantatnya yang
telanjang, bahkan kadang juga menggelitik biji pelir Burhan yang
terbuka.
“Jangan!”
lelaki itu berusaha mencegah, tetapi kesibukan mencicipi jepitan lorong
memek Atik membuatnya jadi susah untuk bergerak.
“Jangan apa?” tanya Juleha sambil tertawa, tangannya dengan nakal meremas-remas biji pelir itu satu per satu.
“Ughh,”
Burhan menggeleng, dan melirik ketika merasakan Nuning menempatkan satu
jari di pangkal penisnya dan meremas pelan. “Auwhg!!” dia menjerit,
tapi nyata-nyata suka dengan kelakuan istri Slamet itu.
Hasnah
yang melihat hanya tertawa saja. Dia terus menyemangati sang suami, dan
setelah tiga menit Burhan mulai terlihat kepayahan, baru dia bergerak
mendekat. "Balik, Sayang. Sekarang kamu yang di bawah," ujarnya.
Dengan
hati-hati Burhan memutar tubuh, bahkan sangat hati-hati agar tautan
alat kelaminnya tidak sampai terlepas. Dia benar-benar tak ingin
kehilangan sensasi cengkeraman memek Atik yang begitu kuat dan luar
biasa. Kini mereka sudah berganti posisi; Burhan tertidur telentang
dengan kemaluan hanya terlihat setengah (setengahnya lagi terbenam di
memek Atik) sedangkan istri Ustad Rofid itu duduk di atas perutnya, siap
untuk memulai ronde yang berikutnya.
“Hahh,”
Atik mendesah berat, sepertinya kegelian sekaligus juga keenakan. Tak
mengherankan mengingat bagaimana keadaan mereka sekarang.
“Bu Ustad, nanti keluarnya di luar apa di dalam?” tanya Hasnah.
Nampak
berpikir sejenak, Atik kemudian memberi satu-satunya jawaban yang
paling diinginkan oleh mereka semua. “Terserah, di dalam juga tidak
apa-apa.”
Dengan
pilihan itu, Burhan langsung mengayunkan pinggulnya kuat-kuat. "Terima
kasih, bu Ustad,” bisiknya terengah-engah penuh kesenangan.
Jarang-jarang Atik mengijinkan memeknya diisi sama pejuh seperti
sekarang kalau dia tidak lagi sange berat. Burhan benar-benar merasa
beruntung.
“Tapi jangan terburu-buru,” sela Atik begitu merasakan kemaluan Burhan jadi semakin tegak di dalam memeknya yang berminyak.
"I-iya,
bu Ustad. Saya usahakan,” sahut Burhan. Kemudian dia melakukan
serangkaian manuver di kemaluannya agar pejuhnya tidak cepat muncrat.
Hasnah membantu dengan menyuruhnya terpejam, tidak memandangi wajah
cantik Atik yang meski masih tertutup jilbab namun terlihat sangat
menggoda karena istri Ustad Rofid terus mendesah dan mengerang pelan di
sepanjang permainan.
Mereka
terus sama-sama menggoyang beberapa menit lagi, sampai akhirnya Burhan
sudah benar-benar tak tahan. Atik yang merasa memeknya beranjak panas,
mengangguk memberikan persetujuan. Dia memperketat genggaman memeknya
agar Burhan semakin nikmat dalam menjemput ejakulasinya. Dengan kepala
penis kian membengkak dan memerah basah, mata Burhan langsung terbuka
saat stimulasi di kemaluannya meningkat secara dramatis.
“Arghhhhh...!!”
Dalam waktu kurang dari 30 detik, pejuhnya yang kental menyembur deras
tak terelakkan terjadi, membanjir memenuhi lorong memek Atik yang
menggigit kuat.
“Hhh...
hhh!!” Atik memperketat cengkeraman memeknya, dia juga memekik lirih
karena nikmat orgasme juga menyambangi dirinya di saat yang hampir
bersamaan. Cairan mereka berbenturan dan bercampur menjadi satu,
menjadikan lubang sempit yang sudah penuh itu serasa meluap karena tak
menampung lagi.
Bunyi
cekikan terdengar ketika Burhan mencabut penisnya pelan. Benda yang
tadinya kokoh dan kaku itu perlahan merunduk dan melemas, kembali ke
bentuk aslinya. Atik menghempaskan tubuh berbaring di sebelahnya,
matanya terpejam, napasnya berat dan terputus-putus. Ingin Burhan
memeluk serta mencium perempuan itu, tapi sama sekali tak berani.
Bagaimana pun kharisma seorang istri Ustad yang disegani di kampung
masih melekat pada diri Atik meski dia tengah berbaring mengangkang
seperti itu, dengan memek mengatup-ngatup mengalirkan sisa-sisa sperma
Burhan yang menetes keluar.
“Ayo,”
Hasnah mendekat dan membantu sang suami untuk berdiri, lalu menyuruhnya
lekas berpakaian. “Bagaimana rasanya?” tanya Hasnah penasaran.
"Luar biasa!" Burhan berkata jujur. Sang istri hanya memberinya cubitan di pinggang sebagai balasan.
“Lihat
tuh, bu Ustad sampai tidak bisa bangun.” kata Juleha, kemudian bersama
dengan Nuning dia mencoba menyadarkan Atik yang nampak sudah akan
tertidur karena saking lelahnya.
Setelah
berpakaian dan mencium bibir istrinya mesra, Burhan lekas pergi keluar
dan dengan sangat lambat kembali ke ruang tamu. Haji Karim sudah menutup
rapat ketika dia duduk lagi di kursi.
“Lho, sudah selesai?” tanyanya heran.
“Tidak terasa ya kalau kamu di dalam lebih dari satu jam?” sindir Slamet.
Haji Karim menyenggol tangannya, “Jangan bilang kalau keempat wanita itu sudah kamu habisi semua,”
Burhan tersenyum, “Saya sisakan dua buat Pak Haji,” Lalu dia berpaling kepada Slamet, “Sini, Met, biar kulanjutkan mengetik.”
Slamet
sudah akan menjawab saat ustad Rofid menyahut, “Tidak usah, nanti salin
saja di rumah. Semua sudah kusiapkan, tinggal memindah.”
“Baik, Pak Ustad.” Burhan tak berani membantah.
“Eh, Bur,” panggil si Slamet. “Ini cerita terbaru kamu ya?” tanyanya sambil membaca file word yang ada di laptop Burhan.
“Iya,” Burhan mengakui dengan malu. “Rencana mau aku serahkan sama Pak Ustad biar bisa dimuat di blog-nya.”
“Tapi blog Pak Ustad kan lagi vakuum?” kata Slamet.
“Iya, Bur. Saya sibuk sekali sampai tidak sempat ngurusi blog itu lagi.” jelas Ustad Rofid.
“Emang sibuk apa sih, Ustad?” tanya Haji Karim. “Sayang lho, blog-nya sudah terkenal. Pembacanya sudah ribuan.”
“Ah,
itu kan hanya proyek iseng, Pak Haji, saat dulu saya masih single.”
kata Ustad Rofid. “Lha sekarang, begitu saya punya anak dan istri,
perhatian saya jadi terbagi.”
“Apa
tidak bisa menyempatkan waktu barang semenit dua menit buat upload yang
baru? Para pembaca pasti menunggu-nunggu.” Haji Karim bertanya lagi.
“Maunya saya ya begitu, Pak Haji.” Ustad Rofid menghela napas gundah. “tapi keadaan ternyata tidak memungkinkan.”
“Tidak
memungkinkan bagaimana, Pak Ustad?” kali ini Burhan yang bertanya. Dulu
semasa blog sang Ustad masih aktif, memang dia yang paling sering
menyumbang cerita serta tulisan-tulisan.
“Kamu
tahu sendiri kan, blog itu hanya sarana dalam menyalurkan hobi menulis
saya, sama sekali tidak mendatangkan keuntungan apalagi pendapatan.
Tentu saya tidak bisa melulu konsentrasi ke sana setelah kini
berkeluarga. Mau dikasih makan apa anak-istri saya nanti? Karena itulah,
blog itu jadi terbengkalai, saya harus bekerja kalau mau asap dapur
tetap mengepul. Nah, pekerjaan itulah yang bikin sibuk hingga saya jadi
tak bisa nulis lagi.”
“Iya,
saya mengerti, Pak Ustad.” desah Burhan. “Tapi usahakan tetap upload
sekali-kali. Kasihan para pembaca yang sudah menunggu-nunggu.
“Iya, Pak Ustad.” dukung Slamet. “saya kangen dengan cerita-cerita karangan Pak Ustad.”
“Akan
saya usahakan, tetapi saya tidak bisa janji.” kata Ustad Rofid.
“Hari-hari ini saya masih sibuk ngejar setoran buat beli rumahnya si
Imam yang dijual murah. Dia mintanya dilunasi sebelum Hari Raya. Mungkin
setelah lebaran, atau kalau rumah itu sudah terbeli, baru saya bisa
nulis lancar lagi. Kalian tahu sendiri kan, akhir-akhir ini saya sering
pergi ke luar kota untuk bisnis. Mana mungkin bisa nulis kalau sebagian
besar waktu saya habiskan di jalan?”
“Oh, jadi karena itu ya... blog yang niatnya cuma vakum satu - dua bulan, jadi mangkrak berbulan-bulan.” tebak Haji Karim.
Ustad
Rofid tertawa malu, ”Iya, Pak Haji. Padahal ide sudah numpuk di kepala,
tangan rasanya juga gatal pengen cepet nulis lagi.”
“Saya doakan mudah-mudahan cepat bisa beli rumah, Pak Ustad.” kata Burhan. “Biar bisa nulis lagi.”
“Iya,
terima kasih, Bur. Saya masih menyempatkan diri corat-coret kok, sudah
ada beberapa cerita yang selesai. Mungkin akan saya rilis sehabis
lebaran.”
“Kenapa tidak sekarang saja, Pak ustad?” tanya Slamet tak sabar.
“Untuk
Ramadhan ini biar para pembaca konsentrasi dengan ibadah mereka. Saya
tidak ingin mengotori niat mereka dengan cerita-cerita saya. Lagipula,
saya juga ingin menikmati momen beribadah bersama keluarga setelah di
sebelas bulan yang lain saya banyak melakukan dosa.”
Slamet
mengangguk mengerti, sementara Haji Karim menepuk-nepuk bahu Ustad
Rofid. “Baiknya memang begitu, Pak Ustad. Mudah-mudahan para pembaca mau
mengerti dan bersedia sabar menunggu.”
“Iya, Pak Haji. Mudah-mudahan saja.” Ustad Rofid berkata takzim.
Mereka
terdiam sejenak, tetapi kesunyian itu terpecahkan ketika Atik, Nuning,
Hasnah, serta Juleha melenggang memasuki ruangan. Mereka menghambur
untuk duduk di pangkuan suami masing-masing.
“Wah-wah... kalau begini, rapat yang sudah kita tutup, terpaksa kita buka lagi.” kata Haji Karim tergelak.
“Iya, Bah, saya belum diapa-apain lho dari tadi,” kata Juleha curhat, yang lain tertawa mendengarnya.
Setelah
menutup pintu dan mematikan lampu, dengan ditemani Atik serta Hasnah,
Haji Karim segera mencopoti bajunya. Sementara Nuning sudah nangkring di
tubuh tegap Ustad Rofid untuk langsung mengulum kontol laki-laki itu.
Burhan serta Slamet yang kehabisan pilihan, dengan senang hati
mengerubungi Juleha yang tersenyum-senyum malu ingin lekas disetubuhi.
Dan pesta sebelum Ramadhan pun, dimulai...
entot aku jugay dong.tapi aku cowok mau gay.pak wawan gay cikupa 085691291433/pakwawansetiawan79@gmail.com
ReplyDelete