Wednesday 12 October 2016

Sluttylicious 3



SLUTTY-LICIOUS

3rd Scandal
  
“Auhh... ngghh... pelan-pelan Om, meki Olin... hhnghh... ngi...ngilu...”

Ini adalah kesekian kalinya Om Bondan menggauliku. Uh, agak formal sepertinya kata ‘menggauli’, jadi harus pakai apa? Mengentoti? Sounds rough, yaiks! Aku kan gadis terpelajar yang menjaga sikap dan juga kata-kata, mana mungkin menggunakan kata seperti itu. Jadi, let’s spell this in English: I’m being fucked, continously and no mercy.

Nah, gaya kali ini mengambil posisi berdiri, namun Om Bondan menyodokku dari belakang. Aku dihadapkan pada kaca besar, jadi aku bisa melihat diriku sendiri mendesah-desah keenakan dan juga menyaksikan kedua payudara montokku berguncang-guncang. Mmhh, aku baru tahu kalau tubuhku begitu... yummy, tak heran jika banyak laki-laki ingin mencicipi tubuh ini. Tapi sampai sekarang, baru dua lelaki yang beruntung menikmatinya; mantanku, dan Om Bondan. Ups, juga satu wanita: Tante Indy.


“Badan... aku... seksi yah? Seksi kan Om? Ayo Om... mmhh... haahh... aahh... pake terus sampe puas...”

Yeeess... aku suka tubuhku dipakai seenaknya begini sebagai alat pemuas nafsu Om Bondan. Entah sudah berapa kali Om Bondan orgasme, dan mengeluarkan spermanya di seluruh tubuhku. Perut, paha, pantat, punggung, muka, mulut, dan hanya satu tempat yang belum kesampaian olehnya: kemaluanku. Tapi kupikir, aku tidak akan memberikannya. Tidak hari ini, besok, atau seterusnya. Atau setidaknya, tidak selama aku masih dalam keadaan sadar.


“Olin... Om, haahh... haahh... mau keluar nih! Om keluarin di dalem aja ya...? Boleh... kan?”

Aku menggeleng tegas, disertai gerakan berusaha melepaskan diri. Tapi Om Bondan menahan pantatku dengan kedua tangannya, serta memepetkan tubuhku ke kaca. Jadilah buah dadaku menempel di kaca, dengan putingnya terus-menerus menggesek permukaan kaca tiap kali Om Bondan menggenjot kemaluanku. Astaga, dengan posisi begini aku tidak bisa bergerak menghindar. Aku meronta-ronta, berusaha meyakinkan Om Bondan agar tidak keluar di dalam kemaluanku, tapi...

“Om sedikit lagi... mau sampe... Olin... ahh.. ahh.. Lin...”

“Om, Om! Jangan di dalem! Nanti... nanti... Olin hamil! Om!”

Terlambat. Om Bondan menekan penisnya dalam-dalam, dan bisa kurasakan batang penisnya berdenyut-denyut tanda sedang menggapai klimaksnya. Disusul liang kemaluanku yang kurasakan seperti disiram oleh beberapa kali semprotan cairan. Om Bondan mengeluarkan semua spermanya di kemaluanku, tanpa dicabut sekalipun, dan parahnya, ini bukan safe day ku! Apalagi aku belum sampai klimaks, membuatku semakin frustasi. Om, at least, make me cum!

“Haaahh... enak Lin! Om baru kali ini keluar di dalem. Kapan-kapan lagi ya,” kata Om Bondan, seenaknya.

“Kapan-kapan apanya! Ga ada lain kali! Tau ga, ini bukan safe day Olin, Om! Ahelah, Om Bondan mah seenaknya aja!”

Om Bondan berusaha menenangkanku dengan membelai rambutku, sambil menciumi tengkuk. Sial, aku merinding dibuatnya. “Jangan bete gitu dong Olin sayang, masa bete sama Om-nya sendiri? Lagian Om mau tanggung jawab kok kalo Olin sampe....” Om Bondan tak melanjutkan kalimatnya, malah meremas kedua payudaraku. Aku melenguh ketika dia memainkan kedua putingku, karena disanalah salah satu titik sensitif yang membuatku cepat terangsang. “Om penasaran, kalo kamu ‘isi’ nanti, toket ini tambah gede ga ya?” tanyanya, menggodaku.

“Gatau ah... Om, kentang... ‘main’ lagi Om, entotin Olin. Ya...?”

Om Bondan langsung saja membopongku, lalu melemparkanku ke ranjang. Dia lalu menggesek-gesekkan penis gemuknya yang masih setengah berdiri ke bibir kemaluanku. Aku yang sedang terangsang hebat, membuka lebar kaki serta menguak bibir kemaluanku dengan kedua tangan.

“Punya Om belum tegak banget nih, Lin. Gimana dong?”

“Udah, masukin aja! Nanti juga tegak sendiri di dalem,” jawabku, galak. Aku memang cepat sensi kalau sedang ‘kentang’ begini.

“Oke, oke. Tapi dengan satu syarat, Om keluarinnya di dalem lagi ya?” tanyanya, sambil memasukkan penisnya ke dalam kemaluanku.

Huh, sudah kepalang tanggung. Biarkan saja, nanti kalau aku hamil baru tahu rasa Om gendut ini. “Iyaaa, keluarin aja sepuas Om, yang penting Olin jangan ditinggal kentang terus ya. Om, diem dulu deh, mau ngerasain pijetan meki Olin ga?”

Aku melingkarkan kaki di pinggang Om Bondan, lalu berkonsentrasi pada otot-otot kemaluanku. Hasilnya, otot-otot di seputaran dinding kemaluanku berdenyut-denyut kencang, terasa seperti meremas benda tumpul yang memasuki lubangnya. Aku bisa merasakan penis Om Bondan kembali tegak dan membengkak di dalam kemaluanku.

Lalu, aku menggunakan jari-jariku untuk membuka klitorisku, dan menempelkannya ke Om Bondan. Jadi, tiap kali Om Bondan menggoyang kemaluanku, maka klitorisku akan ikut tergesek. Hal ini menimbulkan rangsangan lebih yang dapat membantuku cepat sampai klimaks.

“Enak Om dipijet meki? Hihi.”

Om Bondan mengangguk, lalu mendesah kecil kala aku menggoyangkan pinggulku secara memutar.

“Goyang Om... uuhh... entot Olin... nih Olin juga goyang deh... sshh...”

Dan, aahh... tiap kali Om Bondan menusuk kemaluanku, saat itu juga klitorisku tergesek kulitnya.

“Genjot Olin Om... yang cepet... uunghh... mmhh... katanya mau keluarin... di dalem? Hamilin Olin, Om... pake Olin sepuas Om...”

Provokasiku, membuat Om Bondan menggenjot tubuhku jauh lebih cepat dari biasanya. Aku mendesah-desah, mengerang, mendesis nikmat, mencakar-cakar punggung dan lengan Om Bondan, apapun untuk mengekspresikan kenikmatan yang sedang kudapat. Aku tak lagi harus menahan desah, karena kini kami melakukannya di apartemen. Ya, aku bisa lebih bebas mengekspresikan diriku. Ups, kebinalanku, maksudnya.

Kami terus berpacu untuk mencapai puncak birahi. Tak peduli keringat yang membanjiri tubuh kami, atau orgasmeku yang sudah tak terhitung berapa kali, atau semprotan sperma Om Bondan yang entah keberapa kali di kemaluanku; kami tak akan berhenti sebelum merasa puas. Aku tak peduli lagi akan apapun. Kepalaku terasa ringan, rasanya nyaman... dan aku menginginkan rasa ini seterusnya.

Ah, sepertinya aku benar-benar ketagihan.

=============================================

Aku terbangun dengan kondisi berantakan. Kulihat ke arah selangkangan, dan mendapati bercak-bercak sperma yang telah mengering. Aku melihat sekeliling, tak kudapati Om Bondan di sekitarku. Kemana dia?

“Ah, ada bbm. Loh, dari Om Bondan, dia ada meeting? Huuu... kayak biasa, ditinggal terus.”

Aku merutuk kesal. Tak bisakah dia menemaniku sampai aku terbangun baru pergi? Apa semua bussinessman di dunia kelakuannya seperti itu, menempatkan pekerjaan di puncak prioritasnya? Tapi semua kekesalanku sirna ketika ada bbm masuk. Dari Om Bondan lagi.

“Credit card nya di atas meja, pake aja. Masih jauh dari limit. Untuk jaga-jaga, ada atm juga. Pin-nya masih sama, pake seperlunya ya, Olin sayang,” kataku, membaca bbm dari Om Bondan. Aaakk, Om Bondan emang pengertian!

Aku melemparkan iPhone 6s-ku ke ranjang, lalu mengambil credit card di atas meja. Lumayan, aku akan bersenang-senang sore ini. Waktunya mandi, karena sekarang saatnya shopping!

Selesai mandi, aku memilih secara asal pakaian yang akan kukenakan. Ga usah rapi-rapi banget, nanti juga aku beli baju dan ganti disana. Hmm, beli apa ya nanti? Ah iya, aku mau ke Wakai nanti. New arrival-nya lucu-lucu, aku lihat kemarin. Lalu ke Wacoal, aku harus membeli lingerie dan bra baru untuk koleksi. Terus ke Body Shop, lalu beli kosmetik, lalu kesini... kesitu... lalu, lalu...

Sepertinya aku akan pulang larut nanti.

=============================================

Taksi mengantarkanku sampai ke depan rumah, dan setelah membayar berikut uang tipsnya, aku membuka pintu. Aku agak kesulitan, karena kedua tanganku penuh oleh barang-barang hasil belanjaku di berbagai toko. Kembali kulihat barang-barang yang kubawa, ah... aku merasa puas. Jadi begini rasanya jadi orang kaya. Masih muda, cantik, seksi, dan punya barang-barang bermerk. Cerdas, binal, dan punya Om kaya raya, hidupku sempurna.

Aku berjalan menuju ruang tamu, dan mendapati Dinda sedang duduk di sofa dengan buku-buku tercecer di sekitarnya. Dari raut wajahnya yang kusut, aku bisa menduga bahwa dia sedang kesulitan mengerjakan tugas rumahnya.

“Belajar apa Din? Serius banget kayaknya,” tegurku pada Dinda.

“Ah, Teh Olin. Aku lagi belajar matriks, tapi masih bingung—susah abisnya,” jawab Dinda, lalu dia kembali tenggelam pada buku-buku.

Ah iya, Dinda. Dia adalah anak kedua dari pasangan Om Bondan–Tante Indy. Wajahnya manis, seperti ibunya, dengan tahi lalat di dagu. Biasanya cewek dengan tahi lalat itu cerewet, tapi tidak dengan Dinda. Dia tenang dan kalem, selalu asyik dalam kesendiriannya. Jika didekati, sikapnya akan berubah kikuk. Sepertinya dia kurang bergaul.

Dinda selalu menguncir rambut panjangnya menjadi dua bagian. Berkacamata, tak pernah memakai make up, tipikal gadis kutu buku. Tubuhnya juga kurus-mungil, dan dia tak pernah berpakaian yang terbuka. Yah, hampir tak ada kesan seksi dari dirinya. Berbeda dengan Tante Indy yang selalu tampil all out, membuat tiap pasang mata teralihkan padanya.

“Matriks, matriks. Hmph, Teteh kurang minat sih sama Math pas SMU, jadi ga begitu ngerti. Maaf ya Dinda, Teteh mau bantu tapi ga bisa,” balasku padanya. Tentu saja aku bohong, aku menguasai segala macam pelajaran. Aku bilang begitu hanya agar Dinda tak memintaku membantunya belajar matriks. Aku sebenarnya ingin cepat-cepat mencoba semua barang-barang ini di kamarku, tapi jika tak ada basa-basi ke Dinda, aku takut dia akan mencapku jelek.

“Iya, ga apa-apa Teh.”

Hmm, balasan yang singkat. Mungkin, gadis ini memang tak ingin ditemani atau apalah. Atau mungkin, dia ga tahu bagaimana caranya bersosialisasi dengan orang lain. Gaya berpakaiannya juga buruk, standar abis. Mungkin, aku bisa merubahnya sedikit.

“Din, ikut Teteh ke kamar yuk. Ada yang mau Teteh kasih ke kamu,” ajakku pada Dinda sambil tersenyum. Dinda langsung menuruti ajakanku tanpa bertanya ini-itu. Uh, gadis baik.

Sesampainya di kamar, aku menyuruhnya duduk di depan kaca rias. Aku lalu mengeluarkan barang-barang hasil belanjaku, dan mencoba beberapa merk pada Dinda. Mulanya Dinda menolak, tapi setelah kuberikan pemahaman bahwa ini hanya mencoba, Dinda mengerti. Aku tak hanya mencoba pakaian pada Dinda, tapi juga make up. Dengan sedikit sentuhan dan polesan make up natural, voila! Dinda jadi berubah sekali!

“Nah, buka mata. Enjoy, beauty!”

Dinda seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat di cermin. Dirinya, dengan rambut tergerai dan poni ke samping, pipi yang sedikit merona, bibir yang berkilau dan merekah, serta eye trick tipis pada seputaran mata membuatnya benar-benar berbeda. Apalagi ditambah tahi lalat yang menempel di dagunya, semakin menambah kesan manis dirinya. Aku juga memasangkan riasan wajahnya dengan gaun berwarna peach yang simpel namun elegan. Ah, mataku memang tak pernah salah memilih barang. Sekarang, untuk finishing-nya.

“Lepas kacamatanya Din, and for the last touch... I’ll give you,” Aku membuka kait ikatan liontin yang tersemat di leherku, lalu memasangkannya di leher Dinda, “this. Here, take it.”

Mata Dinda membelalak lebar kala melihat sebuah liontin perak dengan mata kalung sebuah bandul batu amethyst tersemat indah di lehernya. Dia memandangiku lekat-lekat, seakan kehilangan kata-kata untuk mengekspresikan kegembiraannya. Oh Dinda, jangan begitu. Aku tahu, ini adalah sesuatu yang baru buat kamu.

“Maafin keisengan Teteh kamu ya Din. Abisnya Teteh kasian sih liat kamu masih belajar tengah malem gini, jadi Teteh mau coba-coba make over kamu. Ga ada hubungannya sih, tapi anggap aja refresh otak, hehe. Eh, ternyata jadi cantik banget!”

“Berarti... selama ini Dinda ga cantik ya Teh....” balasnya, lirih.

“Bukan, ga gitu maksudnya. Dinda cantik, paling cantik malah. Tapi, Dinda cuma kurang pede selama ini, kurang membuka diri. Liat ke kaca deh, ini Dinda loh. Teteh cuma kasih sedikit polesan, karena Dinda memang udah cantik dari sananya. Jadi....”

“Jadi?”

Aku menepuk kepalanya sambil tersenyum. “Kurang-kurangin sifat suramnya deh. Nanti cowok-cowok ga ada yang mau deketin Dinda kalo sikap kamu masih begitu. Oh iya, liontinnya buat Dinda. Anggap aja buat modal biar lebih pede,” kataku, menambahkan.

Dinda melompat dari kursi, lalu memelukku erat. Aku bisa merasakan pelukannya begitu erat sampai dadaku merasa sesak. Hei, hei, jangan gencet toketku¸Dinda!

“Teh, makasih banyak ya! Teteh baik banget sama Dinda! Sumpah, Dinda pengen banget punya kakak cewek kayak Teteh! Teh Olin jadi kakak Dinda aja ya? Please?”

“Loh bukannya udah? Secara teknis, Teteh kakak sepupu kamu loh.”

“Huff,” Dinda menggembungkan pipinya, “Diresmiin atuh Teh, ya? Mulai sekarang, Teteh jadi kakak angkat Dinda, ‘kay?”

Aku hanya tersenyum, lalu ganti memeluknya. Dalam hati, aku berandai-andai, kalau nanti suatu saat aku jadi Mama Tiri kamu, Dinda bisa terima?

“Dinda tidur dulu ya Teh, udah malem banget. Oh iya, makasih kalungnya, hehe.”

Dinda keluar dari kamarku, dan tinggalah aku sendiri. Aku duduk di tepi ranjang, memikirkan apa yang tadi kulakukan. Ah, itu cuma barang—ikhlaskan saja. Lagipula, rumah ini butuh sedikit suasana ceria, dan apa yang kulakukan hanya untuk membuat gadis itu lebih bisa membuka diri.

Aku tidak salah kan?


=============================================

Hari-hari selanjutnya, Dinda semakin dekat denganku. Tiap kali dirumah, Dinda selalu menempel padaku. Saat makan siang, saat memasak kentang dan nuget untuk cemilan, saat menonton televisi diruang tamu, saat kami berenang di kolam renang, saat aku sedang mengerjakan paper, bahkan saat mau tidur. Dinda bagai murid kecilku yang ingin tahu semua yang kulakukan.

Perubahan ini sampai juga menarik perhatian para pembantu, Cecil, Tante Indy, bahkan Om Bondan. Sesekali saat kami semua berkumpul (minus Nathan yang sudah kembali ngampus di Inggris sana) Dinda seperti memamerkan kedekatan kami, dan hal ini disambut positif oleh yang lain.

“Dinda kamu apain Lin? Sekarang jadi lebih ceria ya,” tanya Tante Indy saat kami semua berkumpul.

“Ga Olin apa-apain kok, cuma Olin kasih mantera spesial biar dia jadi lebih ceria,” candaku menjawab pertanyaan Tante Indy.

“Spesialnya telor bebeknya dua ya Lin?” kali ini Om Bondan ikut nimbrung.

Iya, bukan telor bebek tapi telornya Om. “Emang martabak, pake telor bebek! Isshh, Om mah ga nyambung!”

Om Bondan tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kataku. Dia lalu mengacak-acak rambut Dinda, dan hal ini membuat Dinda marah padanya. “Tapi serius loh, anak Om ini jadi lebih cantik, lebih ceria gitu. Liat nih, sekarang dia kalo dibecandain marah, biasanya cuma diem dan mukanya datar. Hahaha, ini harus kita rayakan ini!”

Giliran Tante Indy yang merespon, “I’m definitely agree with you, Hunny. Olin memang membawa nuansa berbeda kerumah ini, dan mungkin sesekali saya harus diskusi berdua dengan Olin, ya kan Lin?”

Oh, crap. Mungkin untuk orang lain, maksud dari pembicaraan Tante Indy jelas—diskusi. Tapi untukku, aku tahu betul maksudnya apa. Diskusi khusus, dengan sex toys miliknya, tentu saja. Aku sampai merinding membayangkan apa saja yang akan dia lakukan padaku.

“Nah, gimana kalo kita sekeluarga liburan?” celetuk Om Bondan, tiba-tiba. Kami semua serentak memandang Om Bondan, tanpa berkata apa-apa. “Loh, memangnya salah? Ini harus dirayakan, jadi liburan itu pilihan tepat.”

“Liburan kemana, Pah?” tanya Dinda.

“Rekanan Papa lagi mengembangkan pulau resort di barat Singapura. Pengembangannya sudah 90 persen, dan pada tahap 80 persen sudah dibuka untuk umum bulan Juli kemarin. The view quite pleasureable, semua fasilitas lengkap. Kalo bosan, kita tinggal ke Singapura. Gimana, setuju?”

Kami semua mengangguk dengan mata berbinar, kecuali Tante Indy. Dia menanyakan satu hal kepada Om Bondan, “Dan kita kesana dengan?”

“Kapal pesiar! Berangkat dari pelabuhan Marina, bhahahahaha!”

Kulihat Tante Indy menyipitkan mata pada Om Bondan. Lalu wanita itu mencubit sisi perut Om Bondan, dan memuntirnya sampai Om Bondan meringis kesakitan.

“This is your idea from the start, right Hunny? It has nothing to do with Dinda, after all. Am-I-right?”

“Aw, aw, Indy! Sayang! Sakit, itu sakit! Iya, iya... ampun!”

“Dan saya tebak, kamu sudah beli tiketnya untuk lima orang. Ya kan?”

Om Bondan mengangguk, lalu berkelit agar terlepas dari cubitan Tante. “Saya mau honeymoon season dua sama kamu, isteriku yang galak. Anggap saja ini hadiah ulangtahun perkawinan kita,” kata Om Bondan.

Kulihat ada bulir-bulir air mata mengumpul di pelupuk mata Tante Indy. Dia memukul-mukul lengan Om Bondan sambil menunduk. Kini wajahnya terhalang oleh untaian rambut panjangnya.

“Curse you, My Chubby Husband! I thought you don’t care anymore to our family, to... to me... I-I thought that... that... Whaaaah!”

Tante Indy langsung menghambur ke pelukan Om Bondan, dan menangis sejadi-jadinya. Lalu mereka berpelukan. Erat sekali. Seperti Teletubbies.

Aku sadar diri. Kuputuskan untuk naik saja ke kamarku, dan mendengarkan beberapa lagu pengantar tidur. Tiba-tiba, perasaanku rasanya campur-aduk begini. Ada cemburu, ketika Om Bondan bermesraan dengan Tante Indy. Iri, melihat keharmonisan keluarga mereka. Marah, karena aku tidak bisa menerimanya. Dan sedih, karena satu-satunya keluarga yang kupunya sekarang hanya Ayah.

Oh iya, Ayah. Gimana kabarnya dia disana, ya?

Satu ketukan di pintu menyadarkan lamunanku. Kubuka pintu, ternyata Dinda sedang berdiri sambil membawa nampan berisi camilan dan susu.

“Teh Olin ga apa-apa?” tanyanya. Bisa kutangkap ada kecemasan di wajahnya.

Aku menggeleng sambil tersenyum, lalu mempersilahkannya masuk ke kamarku. Dinda menaruh nampan di meja belajarku, lalu menyusulku naik ke ranjang. Kami saling terdiam, dan entah kenapa aku mengarahkan suasana ini menjadi muram.

“Dinda denger dari Papa, kalo Teh Olin cuma tinggal berdua sama ayahnya ya. Dinda kira tadinya Teteh kenapa, tiba-tiba naik ke atas gitu aja. Tapi setelah denger dari Papa, rasanya Dinda ngerti.” Dinda kemudian memelukku, erat sekali. Dia mengusap-usap kepalaku, menyenderkannya di bahunya. “Teteh bisa cerita apa aja sama Dinda. Dinda siap dengerin kok, apapun itu.”

Andai masalahnya tak sekompleks itu, Dinda. Mungkin, kamu akan menusukku dengan pisau selai di nampan itu kalau tahu yang sebenarnya.

“Teteh, cuma kepikiran Ayah. Udah, ga lebih...”

Dinda terus mengusap rambutku, berusaha menenangkanku dan membuatku nyaman. Merasakan kelembutannya, tanpa sadar air mataku jatuh. Bagai rintik hujan yang pelan namun berangsur deras, aku menangis sampai membasahi bahunya. Tapi Dinda tetap berusaha menenangkanku, tak pernah sekalipun dia melepaskan pelukannya. Aneh, gadis ini sanggup membuatku merasa amat nyaman. Setelah tangisan mereda, kepalaku terasa ringan. Aku bagai melayang, dan diam saja ketika Dinda melepas pelukannya.

Kini, kami saling berpandangan. Lama, aku memandangnya lewat kedua mata sayu dan sembabku. Dinda lalu menempelkan keningnya, membuat kening kami beradu. Kedua mata kami bertemu, dan wajahnya semakin dekat denganku. Makin dekat, sampai bibirnya menempel di bibirku. Cukup lama, sampai kemudian Dinda perlahan menarik bibirnya dari bibirku, dan aku seperti merasa kehilangan ketika wajahnya menjauh. Maka, tanpa sadar wajahku mendekat, bibirku berusaha meraih bibirnya lagi. Dan Dinda merespon sikapku, dengan kembali mencium bibirku yang membuka. Aku seperti terhipnotis, ketika bibirnya mengapit bibir atasku, lalu melumatnya pelan. Begitu pelan...

Dinda menarik lagi bibirnya menjauh, dan aku spontan mengejarnya. Kali ini giliran bibirku yang melumat bibir bawahnya, dan dibalas dengan perlakuan yang sama oleh Dinda. Bibir kami saling melumat, lalu kujulurkan lidah menyapu bibirnya. Dinda membalas dengan sapuan lidah, lalu lidah kami saling bertemu. Saling membelit, lidah kami menari-nari indah disela ciuman dan aksi saling melumat bibir. Dua gadis yang awalnya saling berpelukan berubah menjadi saling berciuman.

“Hmmffh!” Aku menarik diri ketika merasa nafasku hampir habis. Dengan nafas tersengal, aku menatap lurus ke Dinda, seakan tak percaya. Kami... berciuman? Ya, ya, ini bukan pertama kali aku dicium dan mencium perempuan. Tapi ini berbeda dengan waktu sama Tante Indy. Kali ini perasaanku berbunga-bunga, seperti orang yang jatuh cinta.

Tunggu, masa aku suka perempuan?!

“Teh, maafin Dinda Teh. Dinda kebawa suasana, soalnya—”

Aku memotong, “Dinda kenapa cium Teteh? Kita kan sama-sama perempuan, Din.”

“Dinda ga tau Teh! Dinda ga ngerti kenapa bisa ngerasain hal kayak gini. Abisnya, Teteh baik banget sama Dinda... ja-jadinya, Dinda... Dinda...” Dinda menunduk, dengan kedua tangan mengepal diantara kedua pahanya, “...Dinda, sayang sama Teteh.”

Oh, great. Wonderful. Absolutely outstanding. What a confession! Pertama, ayahnya. Lalu ibunya, dan sekarang anaknya? Memangnya mereka pikir aku ini apa sih? Semacam NPC di game dating simulation yang bisa mereka rayu seenaknya, begitu?

Meski aku merasa amat kesal sekarang, aku masih berusaha menahannya dan memberikan Dinda pengertian bahwa kita sama-sama perempuan. Dinda, maaf kalau bicaraku kasar, tapi ga ada ceritanya perempuan dientot perempuan di malam pertamanya.

“Dinda ga peduli! Dinda sayang sama Teteh, dan itu cukup buat Dinda!”

“Iya, Teteh ngerti. Tapi kan kita—”

“Apa? Sama-sama perempuan? Teh, kalo Teteh ga punya perasaan yang sama ke Dinda, ngapain tadi Teteh ngebales ciumannya Dinda?”

Tadi gue kebawa suasana, bego.

“Teteh, kalo emang di Indonesia ga ada Undang-Undang yang mengatur tentang pernikahan sejenis, kita bisa ke Belanda kok. Kita nikah disana, orangtua Dinda juga pasti ngerti. Mereka cuma tinggal dikasih pengertian aja, dan pasti mereka setuju kok kalo itu demi kebahagiaan anaknya.”

Damn, anak ini mikirnya kepanjangan. Lagipula, menikah? Sesama jenis? Dengan Ayah-Ibu mertua yang kelakuannya brengsek? Jadi misal gini, aku dan Dinda menikah; nah sehabis kita adu gunting terus aku sepik ke kamar mandi, dan disana aku dipake sama Om Bondan, terus paginya aku digarap dan jadi bahan eksperimen boneka seks-nya Tante Indy. Isn’t it wonderful, Dinda? No, it is NOT.

“Dinda, keluar dulu mending ya. Teteh tiba-tiba pusing nih.”

Aku baru tahu kalau Dinda punya sifat keras kepala. Jadi selama ini sifatnya itu tertutup oleh sikap suramnya. “Engga, Dinda ga akan keluar sebelum Teteh—”

“Dinda, keluar. Tolong.”

Aku tak punya pilihan lain. Maaf Dinda, kamu harus ditegaskan. Kita dalam situasi dan kondisi yang salah, dan aku tak mau lebih salah dari ini.

Dinda menuruti perintahku. Dia beranjak dari ranjang, lalu berjalan gontai menuju pintu. Aku melihatnya sampai dia berhenti ketika memegang tuas pintu, lalu menengok ke belakang. Kepadaku. Tatapan matanya berubah buas, setajam singa betina yang sudah menemukan mangsanya. Ya, tatapan mata itu seketika membuat perasaanku tak enak.

Dinda tiba-tiba menerjang lalu melompat ke ranjang. Dia menerkamku! Aku yang kaget, tak bisa mengantisipasi. Maka aku dibuatnya telentang di atas ranjang dengan kedua tangan dipegangi olehnya, sementara Dinda sendiri duduk di pahaku sehingga aku tak bisa leluasa menggerakkan kakiku.

“Teteh cuma milik Dinda! Teteh ga boleh jadi milik orang lain!”

Dinda menciumi seluruh wajahku dengan ganas. Keningku, bibirku, pipi, mata, hidung, dagu, semua tak ada yang luput dari bibirnya. Bahkan Dinda menggigit pelan daun telingaku dan menjilati lubang telinga, membuatku menggelinjang geli. Dia terus melakukannya sampai aku lemas dan perlawananku melemah. Wait, dia melumpuhkanku? Darimana dia belajar semua ini?!

“Mmhh... Teteh wangi... Dinda suka leher Teteh, bersih... eemm...”

Hyaaaaah, leherku dijilati oleh gadis kelas satu SMU! Aku semakin menggelinjang geli, apalagi ketika Dinda menyedot kulit leherku, dan membuat tanda merah disana. Hey, at least jangan di cupang!

Yang membuatku tak menyangka, Dinda merobek kancing-kancing daster yang kupakai! Tidak, daster baruku! Kemudian dia kembali memegangi kedua lenganku, namun kali ini matanya tak bisa lepas dari sepasang buah dadaku yang besar dan kenyal. Dinda bersiul riang, lalu berdecak kagum. Dia tak henti-hentinya memuji payudaraku yang menurutnya sekal dan putih bersih, dan sesekali membandingkannya dengan miliknya yang kecil, malah hampir rata.

“Teh, Teh... Dinda mau toket Teteh... Ini punya Dinda, ya kan? Ya kan?”

Dinda beringsut mundur, lalu satu tangannya menyingkap bra ku ke atas. Maka terpampanglah payudara besar dengan putingnya yang merah kecokelatan, mengacung seakan menantang untuk dijilati. Dinda langsung melahap putingku, menghisapnya kuat-kuat sambil dijilat-jilat dan digigit pelan. Ah, aku kembali menggelinjang dibuatnya.

“Di-Dinda... jangan putingnya... aahh... i-itu... Teteh sensitif banget... disitu... hyaaaa!”

Dinda malah semakin ganas mengerjai putingku. Beralih dari satu puting ke sebelahnya, Dinda meremas kuat-kuat buah dadaku sembari menghisap putingku. Ah, aku benar-benar lemas dibuatnya. Mataku berkunang-kunang, aku kini pasrah diperlakukan seperti apapun olehnya. Dan mungkin melihatku yang kini pasrah, Dinda berhenti memegangi lenganku dan fokus mengerjai payudaraku dengan mulut dan kedua tangannya. Tak lupa dia membuat tanda merah di sekitar area puting, lalu menghisap kuat-kuat layaknya bayi yang haus akan air susu.

“Biar adil, Dinda juga buka baju. Tapi toket Dinda kecil Teh, maaf ya,” katanya, riang. Dia membuka bajunya, kemudian bra nya, dan astaga... payudaranya mungil, lucu banget! Apalagi putingnya yang masih berwarna pink, tanda belum dijamah mulut siapapun. Mmhh, apa aku orang pertama yang akan menjamah putingnya?

Dinda lalu merapatkan tubuhnya, menempelkan buah dadaku dengan miliknya. Puting kami saling bergesekan, dan kami mendesah berbarengan tiap kali bagian itu saling menggesek. Dinda kemudian menciumku dengan ganas, dan kali ini kubiarkan lidahnya bermain dengan lidahku. Malah, aku menambah panas suasana dengan membalas ciumannya. Mau bagaimana lagi, aku dirangsang! Hajar saja sekalian.

Kami bergumul dengan panas, dan tanpa sadar pakaian yang kami kenakan sudah berserakan di ranjang. Kini kami telanjang bulat, saling berciuman dan meraba bagian tubuh satu sama lain. Aku yang masih bersikap pasif, membiarkan Dinda menyalurkan hasrat dan rasa penasaran yang mungkin selama ini dia pendam.

Masih dalam posisi berbaring, aku kini dihadapkan pada kemaluan Dinda yang ditumbuhi sedikit bulu-bulu halus. Kemaluannya masih rapat, warnanya juga merah muda. Benar-benar menggairahkan! Ah, Dinda... Dinda... kalau saja aku cowok, kamu pasti akan kehilangan keperawanan sekarang juga.

“Teh... jilat Teh... kayak di film bokep itu,” pinta Dinda padaku.

Oh, jadi selama ini dia belajar dari film porno? Tetap saja, mau sebanyak apapun kamu menonton film itu, ga akan menang pengalaman dari yang udah pernah ngelakuin. Sini, aku tunjukkan bedanya amatir dan pro, hihi.

Aku mulai menjulurkan lidah, menyapu sekitar selangkangan Dinda. Hal ini membuat Dinda menggelinjang geli, tapi aku tak peduli. Kuteruskan sapuan lidahku ke sisi kemaluannya, kukecup kecil beberapa kali, lalu kumulai santapan utama! Kujilati bibir kemaluannya, kadang kugigit kecil dan kuhisap. Kugunakan semua naluriku untuk memuaskan gadis kecil ini agar kapok, kedua tanganku meremas pantat Dinda, lalu menekan pantatnya agar turun dan selangkangannya menempel di mukaku. Lalu kembali kujilati kemaluannya dengan buas, tak lupa kuhisap klitoris mungil Dinda sambil dijilat-jilat. Dinda menggelinjang geli sambil mendesah-desah, tapi dia berusaha membekap mulutnya agar desahannya tak terdengar keluar. Oh coba saja, akan kukerjai gadis ini sebisa mungkin.

“Mmmhh... aeemm... mmhh... yuumm... sllrrpp... hhmmffhh.... enak Din?”

Dinda hanya mengangguk, tapi pantatnya bergoyang maju-mundur menggesek wajahku sambil terus kujilati kemaluannya. Lama kelamaan, goyangan pantatnya semakin cepat seiring jilatan lidahku pada kemaluannya yang semakin liar dan ganas. Dinda sampai menarik selimut, lalu menggigitnya kuat-kuat karena tak kuasa lagi menahan desahannya.

“Hmmphh... hhh... hhh... nngghh... Heeehh... Teteh... stop, Teh... aahhh... ahh... Din... Dinda... nyaaahh... aahh... ngghhh.... hhnn.... hhmmpp.... pipis.... Teh... Dinda... stop... Dinda mau pipis... jangan... ditteerruuussiinnn.... Teteeeeehhhmmppffhhh!”

Tiba-tiba cairan bening mengucur deras dari sela lubang kemaluannya. Dinda ternyata klimaks, dan bagai sedang kehausan, kuhisap kuat-kuat cairannya sampai tak ada yang tersisa lagi. Dinda terus menggelinjang-gelinjang sampai akhirnya roboh di atas tubuhku. Kemaluannya membuka dan menutup seiring nafasnya yang tersengal. Haha, itu baru namanya orgasme!

Aku buru-buru ingin cepat menyelesaikan ini. Aku pun bangun, duduk di ranjang. Kusingkirkan tubuh Dinda ke samping, lalu kubuka pahanya lebar-lebar. Aku menyelipkan sebelah kakiku diantara kedua kakinya, lalu kumajukan badanku. Selangkangan kami saling bertemu, lalu menempel erat dan kutarik kaki Dinda agar kemaluan kami beradu. Aku lalu membuat tubuh Dinda menyamping, begitupun dengan tubuhku. Sekarang posisi kami bagai dua gunting yang saling beradu.

“Nikmatin aja ya Dinda...”


Aku memeluk sebelah kaki Dinda, sambil menggesekkan kemaluanku pada kemaluannya. Ada sensasi geli dan nikmat saat kemaluan kami saling bergesekan, membuatku mendesah serta tubuhku bergetar. Dinda juga tampaknya kembali terangsang, kini dia memeluk kakiku dan menjilati kakiku sambil menggoyangkan pantatnya.

“Ahh... enak Din? Gimana... enak kan... ahahh... aahh... uuuhh...”

“Enak Teh... Dindaa... aaahh... ngerasa enak banget... aahh... kegesek... kyaaah... Dinda... sayang... Teteh...”

“Cepetin goyangnya Din... ayo... cepetin... aahh... oohh... ssshh... pinter...”

“Teteh sayang... Dinda... ga? Ahh... aahh aahh... bilang dulu... Teh... Dinda mau denger...”

“Iya... Teteh sayang Dinda... sekarang... se-aahh... gila ini meki... enak banget! Cepetin Din... lebih cepet..!”

Dinda pun mempercepat goyangan pantatnya, mengimbangi goyanganku. Kami saling menggesekkan kemaluan, saling mendesah, dan memainkan puting satu sama lain dengan jari kaki. Dinda tampaknya akan mencapai klimaksnya, terlihat dari goyangannya yang makin tak terkendali menggesek kemaluanku. Aku pun tak mau kalah, buru-buru kupercepat goyanganku agar bisa meraih klimaks.

“Din... Din... Teteh mau... sa-sampe... dikit lagi Din... aahh... aahh ahh ahh ohh iyaahh iyaah... terus Din... terus!”

Dinda kembali menggigit selimut agar teriakannya tertahan. “Haahh... hhaahh.. hmmphh... mmffhh... hihiiss... Hinhhaaa... hahu... hihiiiss.... aahh... hhngghhh... HHMMFFHHHH.... NNGGAAAHHH...!”

Dinda mengejang hebat! Tubuhnya kaku, meliuk bagai busur sambil terus memeluk kakiku. Aku yang sedikit lagi menyusulnya, terus menggesek kemaluan Dinda meski dirinya tengah dilanda badai orgasme.

“Keluar... keluar... aahh aahh... nyampe... oh, ffuuuccckk! Dinda.... Dindaaa.... Teteh... nyampppeeeeeee.....!”

Kini giliran tubuhku yang mengejang. Kurasakan badai orgasme itu melandaku, aku berkali-kali squirt dan tiap kali cairannya menyembur, tubuhku tersentak-sentak hebat. Aku bahkan tak sanggup lagi berteriak, meski mulutku membuka lebar dan air liur menetes dari sela bibirku. Lalu setelah semprotan terakhir, segalanya terasa ringan... membuat pikiranku melayang jauh, terbang entah kemana. Aku ambruk ke ranjang dengan nafas tersengal, menyusul Dinda yang lebih dulu terbaring lemas. Tapi karena teringat suasana di lantai bawah sedang ramai, maka aku segera bangun lalu membantu Dinda membetulkan posisi tidurnya. Dinda bahkan tak sanggup bergerak karena benar-benar lemas, wajar sih, ini pengalaman baru baginya. Aku menyelimutinya, lalu menuju kamar mandi untuk bersih-bersih. Tapi Dinda menggenggam lenganku. Tatapannya sayu, memintaku mendekati wajahnya.

“Teh... kita pacaran ya... please?” tanya Dinda.

Aku sejenak diam. Dalam diam, pikiranku melayang jauh, memikirkan segalanya. Jika kuiyakan, pasti akan repot di kemudian hari. Tapi aku terlalu takut akan efek jangka pendeknya. Bisa saja Dinda malah memusuhiku jika kutolak. Sikapnya tadi membuktikan bahwa gadis ini berbakat menjadi saiko dan akan melakukan apapun untuk mendapatkan yang dia mau. Maka...

“Iya, kita pacaran ya,” jawabku, sambil tersenyum kecil.

“Kiss me Teh.”

Aku mencium bibirnya, lembut dan halus. Lalu kutinggalkan dia untuk beralih ke kamar mandi. Selesai mandi, kudapati Dinda telah tertidur. Hihi, mungkin dia capek. Bersiap saja, Dinda. Kamu ga tahu dengan siapa kamu berurusan. Kamu akan menjadi pelampiasan nafsuku yang terus menggebu-gebu tak pernah puas. Kamu akan kewalahan menghadapiku, dan akan menyerah.

Ya, akan kupastikan kamu akan merasakannya.
Nah, sekarang saatnya dress up lalu pergi ke bawah. Bersikap seakan-akan aku baik-baik saja

No comments:

Post a Comment