Saturday 12 November 2016

Sex Addict



Sex Adict

Kepala sekolah, wakasek dan para guru segera berkumpul di suatu ruangan untuk rapat singkat menjelang Ebtanas. Siswi/a berlarian keluar gerbang yang telah dibuka satpam. Para Guru juga tampaknya ingin pulang cepat, bertemu keluarga untuk merencanakan jalan-jalan esok harinya. Semua berlalu-lalang melewati pos jaga satpam, dimana sang penghuni kini sedang duduk di bangku sambil melempar senyum, Pak Marjuki namanya. Pak Kepala sekolah dan Wakasek yang terbiasa pulang paling akhir juga langsung pulang setelah selesai rapat. Sekolah terlihat sepi, walaupun masih ada beberapa siswa/i dengan berbagai keperluan masing-masing, untuk hari ini ibadah Jum’at ditiadakan. Sejak bubaran sekolah, Joana meminta tolong dibelikan rokok, dia tahu aku mau jajan di luar sekolah, kemudian dia pergi meninggalkanku cepat-cepat. Aku ke kamar mandi, berpapasan dengan Mang Roudeng yang baru selesai menyikat kloset. Dia mengedipkan sebelah mata, aku meleletkan lidah sambil menjulingkan mata yang ditanggapainya dengan sebuah cengiran. Baru saja mau ke kloset yang ada di dalam dan hendak menutup pintu, Mang Roudeng mengganjal dengan kakinya mau ikut masuk. Aku menolak tapi dia memaksa, sedangkan aku sudah tidak tahan mau buang air kecil.

“Iih, ngapain sih Mang ?! nanti ada yang lihat !!” omelku.

“Tenang aja…udah Mamang kunci, udah sepi kok !” bujuknya terus mendorong.

“Jangan Mang…Tika ‘gak mau !” mohonku mencoba bertahan.

“Ayolah Neng geulis, secelup dua celup aja…” rayuan gombalnya.

(Muka lu ‘gak mungkin banget…ada sejuta-dua juta celup !!), keluhku dalam hati.

“Mamang aah, Tika khan mau buang air kecil !” protesku merengutkan wajah, karena sudah kebelet.

Bukannya mendengar rengekan, dia malah semakin kuat menodorong tahu aku mau buang air kecil. Dikiranya tadi aku hanya ingin ganti baju, maka jadilah dorong-dorongan pintu yang semakin seru. Karena tenaga kami tidak sebanding, masuklah Mamang ke dalam. Aku yang sudah tidak tahan, langsung menaikkan rok dan menurunkan celana dalam. Berjongkok buang air kecil di saksikan olehnya. Aneh benar…aku tidak malu, tampaknya aku semakin terbiasa dengan hal memalukan ini, bahkan merasa seksi dan horny melihat tatapan nanarnya. Mang Roudeng mengeluarkan burungnya dan mengocok di depanku sambil berjongkok pula. Edan, aku bergairah dengan ke-abnormalan ini.


Aku selesai buang air kecil dan menyiram, dengan telaten kubilas kewanitaan hingga bersih, aku memang merawatnya apik. Sesudahnya, Mang Roudeng bilang ingin bantu mengeringkan. Sebenarnya lebih tepat dikatakan menggerayang daripada mengeringkan, karena hanya bagian ‘itu-itu’ saja yang diusap. Mata-ku merem melek menerima kenakalan jarinya. Tubuhku menggelinjang nikmat, libido naik cepat, terlukis dari lembabnya liang serta nafasku yang berat. Jemari itu mencelup ke dalam, mencari benda seperti kacang yang kemudian dipencet dan dipuntirnya. Bukan hanya itu, dia juga menciumi paha dan menelusurinya dengan lidah. Mang Roudeng memang berada dibawah, jadi kepalanya sejajar dengan kakiku yang berjongkok.




“Neng Tika makin ca’em aja kalo lagi begini !” komentarnya, melihat mataku yang sayu akibat terangsang berat. Mang Roudeng kemudian menarik keluar jari dan mengendusnya, dia menyeringai dan berkata.

“Neng Tika cepet banget beceknya, liat nih”, dengan bangga dia memperlihatkan jarinya yang belepotan cairan bening di depan wajahku, lalu dijilat dengan rakus hingga bersih.

Aku menghembuskan nafas penuh birahi, merasa cantik dan seksi berpuluh-puluh kali lipat atas perlakuan udiknya. Dia menangkup pantatku dan membenamkan wajahnya ke selangkanganku. Vaginaku diseruputnya habis-habisan seperti orang kehausan, kujambak dia sekaligus berpegangan karena takut jatuh. Puas menjilat, dan liangku dirasanya telah banjir lendir. Disuruhnya aku nungging menghadap tembok. Bleessh! desahan nikmat menggema sebagai awal tanda persetubuhan, yang langsung dilanjutkan dengan sodokan-sodokan. Dengan kedua tangan, dia mengangkat rok belakang-ku untuk menambah pemandangan. Pipiku melekat pada tangan yang bersandar di dinding, kugigit-gigit kecil jari tangan dan mengerang sejadi-jadinya.

“Iya-aaaaahh…daleman Maang, Aawh !!”, dia menampar pantatku dengan gemas.

Mang Roudeng senang mendengar pekikan-ku, makin getol saja dia menyodok. Semakin lama, tumpuan tanganku semakin turun, tak mampu lagi menahan beban tubuh dan gaharnya sodokan. Sampai-sampai, sebelah tanganku harus berpijak di lantai, yang otomatis pantatku semakin nungging dan tentunya Mang Roudeng semakin merasa gagah menggauliku. Menuju klimaks, tubuhku ditariknya ke belakang dan dihempas ke depan hingga melekat di tembok dengan kaki berjinjit. Kami mengejang nikmat dan mendesah berdua sambil berpelukan, banyak sekali pejunya kurasa. Tuntas ejakulasi, seenaknya saja dia pergi. Memek-ku diperlakukan bagai Bank sperma saja. Aku terpaksa membersihkannya lagi deh, kurapikan pakaian yang acak-acakan dan menuju luar sekolah dimana banyak penjaja makanan ringan.

Namun, baru saja membuka pintu kamar mandi. Aku mendengar geraman serak pria yang disahut erangan seorang gadis. Di kala itu, sekolah memang sudah sepi sepenuhnya. Aku menoleh, tak jauh kulihat Murti sedang di doggy. Dia bertumpu pada kedua telapak tangan dan lututnya di lantai, roknya tersingkap ke punggung. Celdam biru muda bercorak polka dot putihnya sudah turun selutut. Pria di belakangnya yang sedang asyik menggenjot tak lain adalah Pak Slamet (45 thn), dia tukang sapu sekolah berperut buncit. Posisinya setengah berdiri dan setengah berjongkok, dengan tangan mencengkram pinggang. Wajahnya tersenyum cerah, sedang Murti tertunduk lesu. Tak heran, dengan bebasnya ia melesakkan penis dalam-dalam dan berulang kali. Kondisi itu membuat Murti jalan merangkak, bergerak perlahan menjauhi sang pejantan. Tidak suka karena menggangu kenikmatan, Pak Slamet menjambaknya kasar sebagai hukuman. Entah sudah berapa kali Murti digarap hingga orgasme, yang terlihat pasti dari kelelahan di wajahnya lebih dari satu kali.

Pak Slamet melepas jambakan, menarik kedua lengan Murti kebelakang dan bergerak brutal maju mundur mencari ejakulasinya. Tubuh Murti sampai terpental-pental, rambutnya yang jatuh ke lantai tergerai awut-awutan. Dengan tiba-tiba, Pak Slamet menyodokkan penis di kedalaman paling dasar menyentuh rahim. Tubuh gemuknya berkelojotan, sambil menggemeratakan gigi dan mencengkram erat lengan. Menggambarkan si wanita tidak diizinkan beranjak pergi hingga tuntas ejakulasi. Murti mendesah panjang, pasrah liangnya dihujani mani. Vagina Murti yang menggiurkan…menampung sperma yang menjijikkan…dari pria gemuk berprofesi rendahan…yang sama sekali tidak menjanjikan…tanpa kejelasan di masa depan. Mata mereka tampak redup, terlihat sekali mereka menikmati seks-nya. Terutama Pak Slamet, selain nikmat tentu bangga bisa menyenggama gadis belia Indo Kanada. Aku tak tahu apa Murti ikut klimaks, yang pasti tukang sapu itu selesai melampiaskan nafsunya. Puasnya tuntas, Pak Slamet menarik keluar penis dan melepas cengkraman. Murti memekik seirama letupan, diteruskan tubuh yang jatuh ambruk tertelungkup. Pak Slamet berlutut di depan wajah, minta dibersihkan dengan mulut, beritaseks.com Murti memenuhi hajat itu. Setelahnya, Pak Slamet membetulkan celana dan beranjak pergi tersenyum puas. Aku tidak menyalahkannya, habis kami yang memancing di air keruh.

Kupapah sahabatku yang baru saja dibor habis-habisan, kasihan jalannya ngengkang. Wajar saja sih, memek sempitnya ditumbuki penis gemuk. Tadi pagi sebelum bel masuk sekolah, keadaanku tak jauh beda. Kami ke kamar mandi, Murti membersihkan sekaligus mendinginkan liang yang serasa hangus digesek benda tumpul. Aku meninggalkannya, menuju luar sekolah. Pos satpam kulewati, Pak Juki melempar senyum. Heran, sejak sekolah usai, kulihat dia hanya duduk saja. Tak seperti biasanya yang suka berdiri memegangi pintu gerbang. Tambahan lagi wajahnya itu, sesekali meringis. Hatiku bertanya-tanya, (aneh ? ada apakah gerangan ?!).

Sambil berpikir aku terus berjalan menuju tempat jajanan, sekolahku itu sedikit masuk ke dalam, jaraknya kira-kira 100 m. Jalanan yang kususuri hanya muat 1 mobil dan 1 motor. Jika ada 2 mobil masuk berlawanan, maka harus ada salah satu yang mengalah. Kiri dan kanannya tembok berukuran tinggi, tanpa ada rumah masyarakat.

**************************

Sampailah aku di depan, rupanya disinilah semua berkumpul. Para siswa memang biasa nongkrong ditempat ini, jajanannya lebih lengkap dibanding kantin di dalam sekolah. Sejak sampai disitu, banyak mata mengarah padaku, terasa sekali aku seperti ditelanjangi, tapi aku berusaha mengacuhkannya. Beberapa siswa biasanya nunggu Jum’atan. Tak lama kemudian, Adzan berkumandang. Mereka meninggalkan tempat ini, kontan beberapa penjual juga banyak yang pergi karena tidak ada pembeli. Keperluanku adalah ke tukang es, yang sekarang ada di warung rokok sedang membeli Djarum Super. Pemilik warung rokok itu bernama Bang Otong, kepalanya plontos tanpa rambut sehelaipun alias mengkilap. Dia juga terbiasa melayani pembelian rokok para siswa bahkan siswi yang seharusnya dilarang keras. Untuk dirinya, sejauh itu menambah keuntungan, dia tak peduli dan siap memegang rahasia. Tukang Es yang selesai bertransaksi, buru-buru lari ke gerobaknya melihat ada pembeli.

“Eh, Neng Tika…es nong-nong yah ?”, tanya pria berambut keriting yang mengenakan topi pancing.

“Iya, Pak Mu’in …satu yah !”.

“Neng Tika kelas tiga ya ? wah, sebentar lagi Bapak kehilangan dong” godanya, sambil menyendok es ke sebuah cone.

“Hihihi ya gitu deh…masa disini terus, khan pengen pake putih abu-abu Pak !” sahutku.

“Hahaha iya ya, nih es-nya…”

“Nih Pak, ambil aja ya kembaliannya !” kataku seraya tersenyum manis.

“Waah, makasih Neng…ck ck ck, udah cantik, baik lagi…beruntung nih pacarnya”.

(Sial…jadi inget Ebrin gw, bodo ah !), keluhku dalam hati.

“Makasih ya Pak !” sahutku, berlalu meninggalkannya.

“Sama-sama Neng…”balasnya dari kejauhan.

(Mmm…enak banget panas-panas gini ma’em es…Nyam-nyam ^o^).

Aku tiba di gerbang, Pak Juki masih saja duduk di pos satpam dengan posisi sama, yang semakin membuatku keheranan saja. Aku masuk lebih dalam, tidak jauh kulihat Murti dan ‘ya ampuun…!’, aku menggeleng kepala melihatnya dikerjai lagi. Dia yang sedang sibuk menggembol dua tas (tasnya dan tas Joana) sebelah tangan, dipaksa berlutut oral sex. Murti melempar pandangan ke arah-ku dengan mulut dipenuhi penis, tangan satunya dipakai Mang Roudeng mengocok penisnya. Mereka tahu kehadiranku, Pak Slamet melambaikan tangan mengajakku bergabung. Kali ini aku menolak tak mau ikutan, bukan tidak mau membantu, tapi sedang menikmati makanan, khan eneg juga. Aku menggeleng kepala, mengangkat Es di tangan, mengatakan secara tidak langsung bahwa sedang makan dan tidak ikutan dulu. Dia mengerti, walaupun di wajahnya terlihat guratan kecewa. Kekesalannya, dilampiaskan dengan menggunakan mulut bagai memek pelacur saja. Maju mundur seenak beruknya, hingga wajah terbenam di kerimbunan bulu kemaluan.

Murti tersedak, tangannya mendorong perut yang terus mendesak agar menjaga jarak. Pak Slamet mencabut penis dan mengocoknya sendiri bersamaan Mang Roudeng. Murti bisa bernafas lega, walaupun masih terbatuk-batuk karena tenggorokannya berulang kali di colok penis. Mereka mengerang dengan kepala mendongak, Murti yang sudah pasrah mengibaskan rambut, menjulurkan lidah sambil mendesah. CROOOTTTS !! Cairan putih pekat, kental dan berbau khas memancar dengan deras. Baju dan tas mau tak mau kecipratan, bahkan rambutpun juga. Kedua bandot nampak geram menembaki wajah dengan sperma. Wajah Murti yang belepotan ditertawakan mereka berdua, diratakannya mani sampai mengkilap. Setelah itu menarik reseleting, dan pergi begitu saja. Murti yang sudah terbiasa dengan keadaan itu, berjalan ke kamar mandi hendak mencuci muka setelah menitipkan tas padaku sebelumnya. Tak lama, dia kembali dengan wajah segar. Murti meminta kembali kedua tas karena aku sedang menggenggam es.

“Nov…lo liat Joana gak ?” tanyanya.

“Enggak tuh, Leph leph..tadi sih ada, dia nitip rokok trus ngacir tau kemana Leph leph btw, sori ya tadi ga bantuin nyepong Leph leph !” jawabku sambil terus menjilat Es.

“Engga papa, gimana sih…katanya ‘gak lama-lama disini, Uuuh..” keluh Murti.

“Hus Ti, di rambut tuh !” tunjukku, pada cairan putih pekat yang membercak.

“Apaan..oh, iya nih…dasar Slamet gendut !” omelnya muna, dia menyeka kemudian dijilat juga itu sperma.

“Leph, Aah…lo ngeluh tapi ditelen juga tuh peju hihihi Week !!” ledekku.

“Hihihi Iiiihh…”, dia tertawa jahat kemudian mencubit lenganku.

“Aduduh…!”.

“Hihihi, rasain !” katanya menyukuri.

“Uuuh…atit tauk !!” aku mengeluh sakit, karena cubitannya membiru di lengan.

“Iya iya maaf…mana-mana sini !” Murti menarik lenganku dan Leeph..!!.

Syuurr…!, darah di tubuh berdesir ketika lenganku dijilatnya sambil menatapku. Aku pun balik menatap, kami bertukar pandang beberapa saat.

“Hayoo, Tika mikir apa ?!” godanya.

“Iiiih…nyebelin !” kucubit dia sebab mengganggu fantasy, pipiku merona karenanya.

Kami akui, kami bukanlah gadis yang sepenuhnya straight. Sejak seringkali berpetualang sex bersama, kami suka tergoda untuk lesbian bertiga, walaupun tak ada niatan menjurus serius kesana.

“Aduduh, sakit tau…enak tuh !” kata Murti tertarik es-ku, ketika itu memang terik sekali jadi makan es pas betul momentnya.

“Beli aja tuh di depan, masih ada Abangnya…sekalian deh yuk, gw juga lupa mau beliin Joana rokok !” ajakku.

Kami pun berjalan dengan riang bersama menuju luar sekolah, melalui pos satpam. Lagi-lagi, Pak Juki masih dalam posisi duduk yang sama, aneh ?. Ternyata, bukan hanya aku, Murti pun juga merasakan hal yang sama.

“Pak Juki, lihat Joana ‘gak ?” tanya Murti. Wajah pria itu terlihat seperti sedang dilanda birahi, mulutnya membuka berusaha mengeluarkan kata-kata.

“Diii..di Oookh !! Ohookhh !!”, dia melenguh.

Tubuh hitamnya yang tegap mengejat nikmat, tangannya yang tadi di atas meja turun ke bawah yang tidak terlihat dari luar karena terhalang oleh tembok. Aku dan Murti berlari kecil masuk ke pos itu dan jongkok bersamaan.

“JOANA !!!” teriak kami.

Wajahnya yang belepotan mani, tersenyum nakal sambil meleletkan lidah ke arah kami. Rupanya dia mengocok penis Pak Juki dengan payudara di kolong meja sampai klimaks. Edan memang dunia, tapi itulah yang terjadi apa adanya. Kedua sahabatku yang cantik-cantik itu, Murti dengan bibir tipisnya, Joana dengan sepasang payudara montoknya, sangat menyukai seks. Juga diriku, yang kini menjadi…‘kecanduan KONTOL !!’. Beruntunglah para pria buruk rupa, karena kami mudah diajak naik ranjang dengan pria model begitu, bahkan kami yang balik mengajak. Hypersex telah mengendap di jiwa dan merambah ke raga, We are…sex addicted !!


“Gila lo Pak…lama bener ngecrotnya, sampe pegel toket gw !” keluh Joana asal.

“Fiuuh…maaf Neng, tapi enak banget lho kenyal…Heeh” komentar Pak Juki mendesah puas.

“Joana…gw cariin dari tadi juga, eh..dia ngumpet di kolong nyepong !” omel Murti dengan kata-kata kotor yang tak kalah asal.

“Hihihi sorry…slurph !” sahutnya, sambil menyeka mani di wajah dan sekitar dada, lalu menjilat jarinya sendiri.

Dia keluar dari kolong meja, aku tersenyum melihat kelakuan mereka, seandainya teman-teman atau Guru melihatnya, tau deh ^o^.

“Jadi, sejak bubaran sekolah…lu di kolong ini Jo ?” tanyaku penasaran.

“Hihihi, yaph !” sahutnya ringan.

“Gila…‘gak takut apa, ke ‘gep sama siapa gitu ?”, tanya Murti, meneruskan rasa penasaran kami.

“Yah, justru tegangnya ituu hehe tantangannya Bo !” jawabnya, kami hanya menggeleng kepala, salut dengan kenekatannya.

“Cabut yuk” ajakku.

“Nanti ah, buru-buru amat…gw belum dientot, lo berdua kan pada udah !” protes Joana.

Dia membangunkan Pak Juki yang masih menikmati ejakulasinya, merebahkan diri di kursi dengan menyandarkan kepala. Aku dan Murti berlalu meninggalkan mereka. Sampailah kami di depan, rupanya sudah sepi. Tadi setidaknya masih ada beberapa penjaja makanan, sekarang hanya tinggal tukang es tadi dan Bang Otong.

Esku habis, aku menuju warung membeli rokok untuk Joana, sementara Murti ke Pak Mu’in beli es. Karena kepanasan, aku dan Murti membuka kancing atas baju.

“Bang Otong…biasaa, A Mild Green hehe” kataku tersenyum seraya menyerahkan uang.

“O, hehe buat Neng Joana ya ?” sahutnya sudah tau. Genk kami memang dikenal banyak orang,  sampai-sampai penjaja makanan.

Setelah menyerahkan barter berupa uang dan rokok, aku menghampiri Murti dan Pak Mu’in yang sedang menyendok es.

“Udah ?” tanyaku, sambil menepuk-nepuk bungkus rokok ke telapak tangan.

“Nih…dikit lagi” kata Murti tak sabar, sebenarnya pelayanan Pak Mu’in tidak biasanya lambat.

Faktor utamanya adalah karena dia membuka kancing dibawahnya satu lagi, sambil mengibas-ngibaskan tangan kepanasan. Wajah manis, bibir tipis, tinggi putih sexy abis. Menjadikan Pak Mu’in jelalatan hendak memakan pembelinya saja. Aku berpikir, apakah Murti sengaja pamer ataukah tidak.

“Ti, beliin Joana juga deh ya satu !” suruhku, untuk memecah suasana.

Murti dan Pak Muin sudah saling pandang soalnya, bisa berabe kalau mereka nekat ML di tempat umum gini. Pak Mu’in sih tentu tak peduli, yang penting bisa ngentot. Aku berharap, sahabatku tak senekat itu.

“Satu lagi ya Pak, cepet !” suruh Murti.

Kata-katanya sudah benar, tapi kelakuannya itu ‘aduh !’. Malah semakin melebarkan baju yang sudah terbuka, ditambah acara garuk-garuk paha lagi, mentang-mentang pahanya putih mulus lagi jenjang.

Akhirnya Pak Mu’in selesai. Dia menyerahkan es pada Murti dengan mata mencuri-curi pandang ke dada, yang sudah terlihat di balik Bra biru muda, serasi dengan LippGloss dan kutek di kukunya. Gilanya, Murti menerima es sengaja menggenggam tangan Pak Mu’in. Kontan Mu’in Jr. pun bangun, di tengah hari bolong.Gairah Sex

“Eh tumpah…” Murti berakting.

“Sa-sa-satu lagi ?”, Pak Mu’in langsung grogi dan tergagap, merasakan kehalusan telapak tangan Murti.

“Iyah…Pakh, Emh Sssh”, Murti menjawab dengan menggigit bibir bawah dan mendesah dengan wajah sayu, sengaja menggoda.

Trek tek, tek, tek, tek !, tangan Pak Mu’in gemetar, hingga sendok penyeruk es mengetuk gerobak yang terbuat dari seng. Aku menahan tawa, walaupun takut juga mereka bakal nekat. Sial, Murti betul-betul bitchy. Dia sengaja menjilat es bagai menjilat penis. Dijilatnya batang Cone itu, lalu naik ke atas dan mencucup pucuk es. Dia melakukannya sambil berjalan mendekati Pak Mu’in, tadi dia di seberang gerobak. Setelah berada disampingnya, dia menaruh kedua tas di bangku panjang yang biasanya untuk pembeli duduk, lalu pura-pura melihat ke tempat es. Tangan Pak Mu’in yang gemetar, terus menyendok es sekenanya. Tapi alhasil, beritaseks.com es itu hanya tersendoki setengah dan belepotan tak karuan karena tidak konsen. Dia lagi focus memandang dada, mempelototi bibir juga lidah yang meliuk nakal. Tangannya yang bergetar bagai gempa bumi, memberikanku es yang tak berbentuk. Aku yang bingung mau berkata apa terpaksa menerimanya, sehingga kedua tanganku kini penuh dengan rokok dan es.

“Pak Mu’in…leph leph, es krimnyah..enak Leph !”, goda Murti, melakukan jilatan maut pada pucuk es.

“Ti..ti, jangan gila deh lo !” kataku memperingatkan, namun diacuhkannya.

(Heh, dasar lebai…dientotin sampe kelenger baru tau loh !), keluhku.

Murti sudah dilanda birahi, dia meng-exibisioniskan diri. Memeknya pasti ‘gatel’ ingin disodok kontol. Aku, walaupun dag dig dug, horny juga membayangkan terjadi di tempat umum, seperti yang dilakukan Joana tadi.

“Pak, eMmhh…kriuk, Es-nyah Ssshh, enakhh kriuk !!”, goda Murti lagi, kali ini gigitan-gigitan kecil pada cone.

“Clang !!,” Pak Mu’in melempar sendok pengeruk es ke gerobak, lalu menarik rok hingga Murti tertarik ke arahnya.

“Mmppff !!” erang Murti teredam, es-nya jatuh. Pak Mu’in menciumnya penuh nafsu karena sudah tak tahan.

(Nah lho kejadian, rasain hihihi…), aku tertawa dalam hati menyukuri.

Mata Murti yang jelita terbelalak, kedua pipinya ditangkup erat agar kuluman tak bisa terlepas. Bibirnya yang mungil dilumat habis-habisan bibir hitam Pak Mu’in, seolah-olah ingin ditelannya. Pak Mu’in mendesak ke bangku panjang masih dalam keadaan memagut. Murti memukul-mukul kecil pundak Pak Mu’in untuk menaikkan harga diri, padahal berharap lebih jauh. Murti pun jatuh terduduk di bangku itu, tangan Pak Mu’in langsung menerobos masuk ke dalam rok, menarik celdam polka dotnya turun selutut. Sruuut !!.

“Kyaaa…!!”, reaksi Murti spontan, pura-pura kaget.

Karena bangku tipis, Murti terpaksa berpegangan di pinggirannya. Pak Mu’in menaikkan kaki Murti ke bahunya, kepalanya menyuruk ke selangkangan. Terdengarlah suara rakus seruputan beberapa detik kemudian.

Murti mengerang nikmat dengan nada tinggi, tubuhnya mengejang seperti tersetrum listrik ribuan volt. Vaginanya jadi objek mainan mulut hitam dan lidah kasat tukang es nong-nong. Aku horny sekali melihat adegan itu, Tapii…

(Ya ampuun, ini khan tempat terbuka !!), aku tersadar. Walaupun jalanan sunyi sepi, tetap saja beresiko tinggi.

“Ti…Pak Mu’in, ini tempat umum oi !! Jangan disini kalo mau terus !!”, nasihatku, yang tidak digubris oleh mereka. Murti mendorong kepala penjilat memeknya hanya setengah hati, aku menggeleng kepala namun memaklumi karena pasti enak rasanya.

Murti enak..Pak Mu’in konak. Murti senang Pak Mu’in pun kenyang. Mereka betina dan pejantan, yang saling membutuhkan dan memuaskan pasangan. Sungguh Simbisios mutualisme yang menghangatkan.

Tiba-tiba, aku merasa rok belakangku disingkap seseorang dan pantatku diremas gemas. Aku menoleh, (Aargh…Bang Otong !!, what the Hell is he doing ?). Aku melengoskan pantat, menghindar dari serangan cabul pemilik warung rokok itu. Sayang tak membuahkan, sebab tanganku masih memegang rokok dan es. Aku buru-buru menjatuhkan es dan mengantungi rokok, agar kedua tangan bebas dan bisa menepisnya.

Terlambat !, dia mendorongku hingga tersudut ke gerobak, lalu menyingkap rok belakang tinggi-tinggi. Otomatis, dia melihat celana dalamku yang bernuansa kartun.

“Whua, kancut Neng Tika ada gambar mini mousenya hehe” ejeknya, wajahku langsung merona merah.

Tanpa membuang waktu, dia menariknya turun selutut, lalu meraih tasku. Aku yang juga sudah horny, pasrah mengikuti apa maunya. Dia melempar tasku asal ke bangku, dimana Murti lagi mendesah sambil mengangkang, berikut tukang es di selangkangan. Untung Murti menangkapnya, sehingga tidak jatuh dan kotor.

Kini keadaanku sama dengan Murti, entah dengan Joana di dalam. Pejantanku dan pejantan Murti bersamaan menyeruput. Sama menjilat dan sama mencelup meki dengan jari mereka yang nakal. Hanya saja, Murti diserang dari depan, aku dari belakang. Darahku berdesir, ketika lidah menyapu telak paha belakang dan mengecup pipi pantat. Gigiku menggigit bibir bawah menerima cumbuan itu. Aku yang menghadap ke jalan, merasa lebih was-was, takut ada orang yang datang. Pada saat itu memang Jum’atan telah dimulai, tapi tetap saja aku khawatir. Rasa kekhawatiranku pun terjawab.

‘Brrrm..!’, sebuah mobil mendekat dan menepi. Aku yang melihatnya tegas, refleks berteriak.

“Etii, boil Pak Rudy !!”, mata Murti yang tadinya sayu, mendadak terbelalak mendengar nama ‘Rudy’ yang diketahuinya sebagai Bapak Kepala Sekolah kami.

“Shiit !” umpatnya juga refleks. Kini dia sepenuh hati mendorong kepala Pak Mu’in yang bahagia membenam di selangkangannya.

Aku juga mendorong kepala Bang Otong sekuat tenaga, lalu bersama Murti jongkok bersembunyi di balik gerobak es. Wajah Bang Otong dan Pak Mu’in langsung BT, tentu mereka tak peduli siapapun yang datang karena menggangu kenikmatannya. Dengan sangat terpaksa, Pak Mu’in kembali ke gerobaknya. Bang Otong yang masih saja jongkok, kupaksa berdiri juga. Sedikit banyak, bisa untuk menghalangi tubuh kami dan mengalihkan perhatian Pak Kepsek dengan obrolan.

“Eh Pak Rudy…tumben Pak ?!” sapa Bang Otong pura-pura ramah, padahal kesal dalam hati dengan kehadirannya. Pak Mu’in ikut tersenyum munafik.

“Iya nih, ada dokumen yang tertinggal…ya udah, skalian Jum’atan dekat sini” terangnya.

(O’ow…Joana masih di dalem school, lagi dientot…), hatiku kalut.

“Sama keluarga Pak ?” tanya Pak Mu’in, melihat seorang wanita dan anak kecil di mobil.

“Iya nih, tadi mau langsung jalan..” sahutnya.

“Papa-papa…mau itu !” pinta si bocah dengan suara lucu dari jendela mobil yang terbuka, menunjuk ke gerobak es.

“Mau es sayang, Mm ? cium papa dulu dong…” goda Pak Kepsek, sang Ayah.

“Ayo sayang, cium Papa dong !” suruh wanita penggendong si bocah, yang tak lain Istri Pak Kepsek.

“Cuph !!” cium si bocah, sang Ayah pun tersenyum dan membalas cium, lalu mencium kening Istrinya.

(Aduuh…lama banget sih !!), keluhku.

Disaat kaki kami mulai kesemutan, mereka berdua membuka reseleting, menyodorkan penis minta di SP. Reaksi-ku sama dengan Murti, yakni melengos. Namun dengan cekatan mereka memejet lubang hidung kami, hingga kehilangan oksigen. Mulut terbuka dan meluncurlah penis burik mereka di bibir tipis kami, membuat mereka ternganga enak dan melenguh ‘Ooookkh…!’.

“Es satu ya Pak !!”, Pak Kepsek memesan.

Jantung kami langsung berdegup kencang. Bagaimana tidak ? aku dan Murti mengoral di dekat Pak Kepsek, memang ada sensasi tersendiri. Tetapi jantung serasa berhenti, ketika mendengar kata-kata selanjutnya.

“Lho, inikan tas Murti, Joana sama Tika ?!” tandas Pak Kepsek dengan suara keras.

Deg !, aku dan Murti berhenti menghisap penis saling melirik. Tapi Bang Otong dan Pak Mu’in langsung menjambak, memberi kode untuk tetap melanjutkan sepongan.

“Nakal ya tuh anak pada, bukannya langsung pulang !!” omelnya.

“Iya Pak, anak gadis sekarang memang pada nakal-nakal hehe” sahut Bang Otong kurang ajar, sambil memaju mundurkan kepalaku.

“Pada liat Pak, tuh anak kemana ?”

“Engga tau Pak, tadi sih memang nitip tas…” kilah Bang Otong, Pak Mu’in lebih memilih diam menikmati sepongan sambil terus menyendok es.

“Oo, gitu…”, Pak Kepsek mengeluarkan dompet dari kantung celana.

“Nih Pak Mu’in, ambil aja kembaliannya…es-nya kasih anak saya di mobil !”.

“Iya Pak makasih…”.

Pak Kepsek jalan ke mobil dan berbicara sesuatu pada Istrinya. Kemudian berjalan cepat masuk ke gang, menuju sekolah. Untung dia tidak menoleh ke samping, karena kami bisa terlihat olehnya sedang berlutut mengoral Abang-abang, bisa runyam khan ?.

(Shiit !! gimana nih si Joana…musti diperingatin !!), arti pandanganku pada Murti yang bertemu di satu titik.

Pak Mu’in terpaksa menarik keluar penis dari bibir seksi Murti, untuk menyerahkan es. KRoudengar bunyi mobil distarter, beberapa saat setelah Pak Mu’in kembali. Murti mengintip dari balik gerobak, lalu berkata padaku.

‘Nov, amaan…yuk nyusul Joana !’, bisiknya.

Rupanya, mobil dipindahi Istri Pak Kepsek ke tempat yang lebih rindang untuk di parkir, yang untungnya jauh. Jadi ada kesempatan bagi kami menyelinap masuk, menyusul Pak Kepsek sebelum memergoki Joana.

“Mmppff…Aaah tahan dulu Bang, saya mau nyusul Joana ke dalam !!” pintaku.

“Alaah tanggung Neng…bikin ngecrot dulu dong !” protes Bang Otong.

“Plis Pak…kalo Joana ketangkep Pak Rudy, bisa dikeluarin dia !” sahutku.

“Emang lagi ngapain di dalem sampe dikeluarin ?” tanyanya penasaran.

“Lagi…Mmm……”, aku agak ragu untuk meneruskan.

“Lagi apa Neng, hah ?” tanyanya lagi semakin penasaran.

“Lagi gituan juga” jelasku singkat, sambil menggaruk wajah tak enak, terpaksa membuka rahasia agar bisa cepat.

“Weleh, seru nih heheh..udah saya duga Neng Joana bisa dipake juga” leceh Bang Otong, mereka berdua tertawa kurang ajar.

“Ya udah, kita ke dalem dulu ya Pak…” kataku, Murti mengambil tas kami, namun tiba-tiba direbut Bang Otong.

“Bang, apa-apaan ?!” protesku dan Murti bersamaan.

“Kalo nyusul ya nyusul Neng…tasnya taro disini aja !, nanti abis selesai urusan, balik kesini lagi terusin…khan belum ngerasain memek , ‘tul engga Pak ?” ujar Bang Otong, menjadikan tas sebagai jaminan, karena takut kami tidak melayani nafsu binatangnya nanti.

“Iya betul, sekalian bawa Neng Joana…saya udah lama naksir, itu anak kecil-kecil tapi bodynya…whuihh, engga kalah sama anak SMA…bahenol huehehe”.

“Ya udah kalo gitu…ayo Ti, cepet !!” kataku panik.

Kami pun segera berlari menyusul Pak Kepsek, aku memberitahu Murti untuk menahan sebisanya dengan mengajak bicara ngelantur ke hal apa saja.

(Itu dia…), aku memandang Murti, dia mengangguk seakan-akan berkata ‘serahkan saja padaku’.

“Pak ARudy…” sapa kami berdua dengan suara manja, ia pun menoleh dan menghentikan langkahnya.

(Fiuhh…syukurlah, jadi sempet kalo gini…).

“Eh…kalian…bandel ya, kenapa belum pulang ?!” omelnya, tapi tidak dengan tingkat keseriusan tinggi.

“Anu Pak, Joana lagi kebelakang…kata dia nyeri, biasa pak urusan cewe…” kilahku, mengarang tentang menstruasi.

“Oh, gitu…” sahutnya, kembali berjalan.

(Gawat !!!).

“Pak, aku duluan ya…takut ada apa-apa sama Joana..”, aku langsung berlari secepat kilat meninggalkan mereka berdua.

Pak Rudy melongo bingung melihat keanehanku, karena boleh dibilang sikapku itu tidak sopan. Namun aku tidak punya pilihan, daripada Joana runyam. Akhirnya aku sampai di pintu gerbang. Betul saja, di dalam pos satpam, Joana sedang foursome. Dia menaik turunkan tubuh mengendarai penis Pak Slamet, kedua tangannya mengocok penis Mang Roudeng di kiri dan Pak Juki di kanannya.

“Eh-eh, ada pak Rudy mau kesini !!!” kataku memperingatkan dengan wajah panik.

“HAH, PAK RUUDDYYY…?!!”, sahut mereka semua kaget berbarengan, stop aktivitas seks bersamaan.

Hiyaa…Joana langsung melepaskan diri, ketiga petugas sekolah itu kocar-kacir mencari pakaian yang berceceran, sampai-sampai Pak Slamet yang gendut tertukar celana dengan Mang Roudeng yang kurus. Mereka berpakaian seadanya, lalu lari bersembunyi di tempat terdekat. Joana mengatur nafasnya yang terputus-putus, kami berdua dan Pak Juki yang masih di pos melihat Pak Kepsek bersama Murti berbincang mendekati pintu gerbang.

“Eh Pak Juki, Joana…kamu engga apa-apa ? kalo sakit cepat pulang !”.

“Iya Pakh, ini mauh…pulangh…” sahut Joana masih terengah-engah, melihat ke arahku dengan wajah tak mengerti dibilang sakit apa.

“Pak Juki, anter saya ke ruangan saya !!”.

“Baik Pak !”.

Mereka berdua beranjak pergi meninggalkan kami. Pak Slamet dan Mang Roudeng yang bersembunyi tidak jauh, keluar dari tempat persembunyian untuk bertukar celana. Tak lama, Pak Kepsek dan Pak Juki tampak sudah selesai dengan kepentingannya dan mendekat.

“Ayo Tika, Murti, Joana…pulang !!” perintah Pak Rudy, agar keluar sekolah bersama.

Pak Slamet tampak kesal sekali, namun dia tak bisa apa-apa. Maninya tentu sudah di ujung kepala penis, sedang berbaris. Kami meleletkan lidah ke arahnya, juga Mang Roudeng dan Pak Juki untuk meledek mereka, meskipun Joana juga ‘tanggung’. Kami selamat, untuk sementara, sebab di luar telah ada dua predator memek yang juga ‘pengen’. Bersama Pak Kepsek kami berbincang selama perjalanan, membahas tentang EBTANAS yang akan berlangsung tak lama lagi.

(Oya…), pikirku, yang kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Murti.

‘Ti, si Joana khan lagi engga bawa mobil…bujuk Pak Rudy biar kita numpang bo’ilnya, gw horny tapi lagi gak mood nih…ngelayanin Bang Otong’, bujukku berbisik.

‘Yo’i deh…gue juga cuma iseng aja sih tadi’, balasnya juga berbisik.

“Kalian…mau kemana ?” tanya Pak Kepsek tiba-tiba.

(Wah…pucuk dicinta ulam tiba), pikirku.

“Kita mau ke Tebet Pak, rumah Joana !” sahutku cekatan, sebelum dia berubah pikiran.

“O, ya udah kalo gitu numpang Bapak aja…kebetulan lewat kok !”.

(Yes !), aku dan Murti toss five saking senangnya, Joana bingung.

“Kenapa kalian ?”, Pak Kepsek juga tak mengerti.

“Em..engga Pak, seneng aja uang ongkos utuh hehehe” kilahku tersenyum, Pak Rudy juga tersenyum mendengarnya, hingga dia semakin tampan saja ^o^ xixixi.

Sampai di depan, terlihat Pak Mu’in duduk dengan Bang Otong, mengapit tas sekolah kami bertiga. Mereka memasang wajah seramah mungkin karena ada Pak Kepsek.

“Ayo, bawa tas kalian !” suruh Pak Rudy, di depan Bang Otong dan Pak Mu’in.

Wajah mereka kontan berubah, terutama ketika aku ingin mengambil tas, merasa sekali dipermainkan.

‘Pak, jangan sekarang pliis…kita disuruh bareng, besok-besok aja ya’ mohonku dengan suara kecil, sebab tas tak dibiarkan lepas olehnya, Murti ikut memohon. Joana baru mengerti sekarang, kenapa kami tadi toss five.

“AYO, TUNGGU APA LAGI !!” teriak Pak Kepsek, yang hampir tak dapat Jum’atan.

Pak Mu’in akhirnya melepaskan. Dengan wajah tak enak, aku merayunya berjanji untuk melayani dia lain waktu. Kami masuk ke mobil, di dalam berkenalan dengan Istri dan anaknya yang bawel lucu. Walaupun tak asing dengan wajah Istrinya, tapi baru kali ini kami ber-dialog langsung tatap muka. Halus sekali tutur katanya, tinggi bahasanya, dalam maknanya yang tersirat serta lembut dewasa ke-Ibuan. Mobil berangkat, melalui kaca dari dalam kendaraan, kami melihat raut wajah marah Pak Mu’in dan Bang Otong. Besok-besoknya, jikalau kami pulang sekolah, mereka memaksa bersebadan dengan menyita tas. Berhubung nikmat, kami tak menolak.

Pak Kepsek memarkirkan mobil di sebuah Masjid, kami menunggu di dalam sambil terus berbincang. Tak lama, banyak pria berlalu-lalang pakai sarung dan peci, tanda Jum’atan telah usai. Pak Kepsek pun datang tak lama kemudian dan kami meneruskan perjalanan. Sesampainya di daerah Tebet, kami berterima kasih berpamitan dan melambaikan tangan. Kami makan siang sambil ngegosip di rumah Joana, sorenya main Tennis masih di dalam komplek. Malam harinya seperti biasa, dugem di tempat favorit kami, MATABAR. Pulang-pulang, matahari malam telah tersenyum bulat lebar. Aku dan Joana teler karena banyak menenggak minuman yang memabukkan. Murti yang sedikit alim diantara kami, tidak ikutan teler.

Disamping dia kurang suka, juga untuk berjaga-jaga menyupir. Bisa tabrakan jika Joana yang mabuk menyupir kendaraan. Setibanya di rumahku, Murti memapahku sendirian, karena Joana pun juga sedang tidur di mobil sehabis banyak muntah. Papah Mamah menggeleng kepala melihat kenakalanku di luar batas, Murti pamit dengan wajah tak enak. Mereka mencium bau alcohol dari nafasku, nyanyian metal pun terdengar. Tapi sayang, omelan masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Mamah memapahku ke kamar mandi cepat-cepat, melihatku menutup mulut dengan tangan. Benar saja, aku langsung muntah sesampainya di kloset.

Disedunya teh hangat, untukku memulihkan kondisi. Kurebahkan diri berselimutkan handuk, mencoba menutup kelopak mata. Samar-samar, aku mendengar pembincaraan Papah dan Mamah.

“Aduh, Tika-Tika…mau jadi apa ini anak !!” keluh Ibuku.

“Huuff…ya sudahlah, mau gimana lagi…mudah-mudahan dia cepat sadar dan suatu saat jadi orang berhasil !” bela Ayahku sambil mendo’akan, wanita yang mengandungku itu memang lebih keras dari suaminya.

“Cepet sadar gimana, makin hari makin nakal !”, Ayahku tidak menyahut, beliau hanya menghela nafas.

“Dia mustinya tau, orang tua lagi susah…uang menipis, pengeluaran harus terus !!” keluh Ibuku lagi.

“Ngomong-ngomong gimana Pah…urusan yang dibicarakan sama temen Papah ? Mamah khan belum tau kelanjutannya, abis tadi ngantuk banget jadi aja duluan tidur”.

“Iyaa, ituu…jadii…Huuff…Mukarom ngajak bikin perusahaan majalah”.

“Trus, sisa uang kita bakal kepake berapa Pah ?”.

“Yaah, kemungkinan…¾-nya…”.

“Aduh…gak papa tuh Pah ? kayaknya beresiko deh…”.

“Ya mau gimana lagi…kalo uangnya disimpan terus juga bisa habis, mendingan kita buat usaha…”.

“Yaa…tapi jangan sampai ¾ dong Paah, si Tika khan masih perjalanan panjang, butuh banyak biayaa…”.

“Iya, tadi sih Papah sudah nego…kata dia karena pemegang sahamnya engga ada lagi, ya jadi mau engga mau, atauu…dibatalkan aja ?”.

“Yaa…jangan juga, aduuh gimana yah…?”.

“Iya khan bingung…jaman susah, mau engga mau…gambling, mudah-mudahan berjalan lancar untuk Papah…Mamah…dan juga untuk anak kita tersayang, Tika…”.

Kata-kata itu yang terakhir kRoudengar dan kuingat selalu, sebelum terlelap menuju alam mimpi. Aku membalik badan, tak dapat kutahan laju air mata. Aku tau semua perbuatanku salah, tapi masih kulakoni juga. Tika yang dulu menangis, tak ubahnya yang sekarang. Mata bulatku meneteskan air, menggenangi pipi hingga basah. Aku merasa bersalah sekali kepada mereka berdua.

(Papah-Mamah, maafkan anakmu ini…aku anak yang tidak berbakti, hanya bisa menyenangkan hati, selalu menyusahkan dan melupakan bakti diri terhadap kalian yang telah membesarkanku sejauh ini…), kandungan kata curahan lubuk hati.

Tak terasa, waktupun berlalu begitu cepat. Kami selesai EBTANAS dan mendapat hasil yang cukup lumayan. Menjelang ujian, kami mengatakan kepada para pejantan untuk tidak mengganggu dulu karena ingin konsentrasi. Walaupun tetap saja, mereka nekat. Seperti Mang Roudeng contohnya, dia memberi kode untuk ke kamar mandi disela-sela ujian, hanya untuk disuruh menyepong dan menelan peju amisnya. Sampai-sampai, Guru penjaga ujian curiga padaku. Tapi semua itu telah berlalu, kami merayakannya dengan Shoping ke Mall, nonton di 21 dan makan di tempat tongkrongan ABG. Kami menghabiskan waktu TP sana-sini, hanya mengenakan tank top dan rok mini, sampai hari larut malam.

1 comment:

  1. KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
    dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor yang AKI
    beri 4 angka [2536] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus AKI.
    dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
    ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu AKI. insya
    allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
    kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
    sekali lagi makasih banyak ya AKI… bagi saudara yang suka PASANG NOMOR
    yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI SUBALA JATI,,di no (((085-342-064-735)))
    insya allah anda bisa seperti saya…menang NOMOR 670 JUTA , wassalam.

    ReplyDelete