Sunday 25 January 2015

Baby Sitter



Aku, sebut saja Narti, kerja sebagai baby sitter, –sekali
lagi baby SITTER, karena entah kenapa masih ada saja yang
menyebutnya baby ’sister’– di sebuah keluarga kaya dan
terhormat di Jakarta, sebut saja keluarga Pak Anton. Aku
dilahirkan di sebuah kota di Jawa Timur. Seperti perempuan
Jawa pada umumnya Aku berkulit sawo matang dan ada yang manis
di roman mukaku. Tinggi tubuhku sedang-sedang saja, 163 cm dan
berat tubuhku 54 kg, suatu proporsi yang cukup ideal, kata
Mas Adi. Tapi Aku bilang ideal kalau bobotku 52.
“Engga”katanya lagi. Aku diminta mempertahankan bobotku
segitu, karena
“Yang 2 kilo itu ada di dadamu, dan Aku menyukainya” sergah
Mas Adi.

“Jadi jangan diturunkan lagi bobotmu” lanjutnya lagi.
“Sialan …”protesku. Terus terang Aku menyukai pujian Mas
Adi pada dadaku.
Aku baru menyadari bahwa Aku punya keistimewaan pada buah
kembarku juga dari Mas Adi, walaupun banyak temanku seasrama
dulu yang sering bilang. Pantas saja mata lelaki yang
berpapasan denganku selalu tertuju ke sini setelah sekejap
memandang mukaku. Apalagi sewaktu Aku berenang. Risih juga
dipelototin terus dadaku (sejujurnya, kadang juga ada rasa
bangga …). Oh iya, untuk menjaga bentuk tubuhku, Aku tiap
hari Minggu pagi berenang ke kolam renang di Hotel M, tempat
terdekat dengan rumah majikanku. Ditambah dengan push-up 3
kali seminggu di kamarku, tak banyak hanya 10 -15 kali.
Tapi asal dilakukan dengan rutin cukup memperkuat otot-otot di
dada. Itu semua Aku lakukan untuk Mas Adi tercinta.

Mas Adi memang lelaki pertama yang mengisi hatiku,
mudah-mudahan juga yang terakhir.
Bagi Mas Adi Aku adalah pacar yang ketiga. Perkenalanku
dengan Mas Adi ketika Aku masih bekerja di rumah sakit swasta
di Jakarta Selatan. Setamat sekolah keperawatan (setingkat
SLA) di Jawa Timur Aku merantau ke Jakarta cari kerja. Dia
sedang menunggui sepupu perempuannya yang opname di situ. Mas
Adi kerja di sebuah lembaga pendidikan komputer sebagai
instruktur. Dia juga kerja sambilan (part timer) sebagai
programmer di beberapa software house. Dia numpang tinggal di
rumah pamannya, sedangkan Aku kost di rumah sederhana. Pada
awalnya hanya teman biasa dan tak ada perasaan apapun
terhadapnya. Dia begitu penuh perhatian terhadapku dan amat
menyayangiku. Tak ganteng dan tak jelek amat, dia jujur dan
terbuka, satunya kata dan perbuatan. Inilah yang membuat Aku
jatuh cinta.

Setelah pernyataan cinta kami (’jadian’ kata ABG), cara
pacaran kami sebatas ciuman dan raba-raba. Itu kami lakukan
hampir setiap minggu selama setengah tahun. Tempatnya bisa di
gedung bioskop, di kegelapan taman, atau di beranda kamar
kost-ku. Sesekali kalau situasi tempat kost memungkinkan,
kami bermesraan di kamarku masih sebatas ciuman dan raba-raba
dengan sedikit kemajuan, Aku amat menikmati cara Mas Adi
“mengerjai” kedua buah dadaku. Dengan penuh perasaan, kasih
sayang, dan hati-hati seolah daging kembarku itu mudah pecah,
tapi membuatku serasa melayang-layang. Mas Adi tak pernah
minta lebih dari itu, meskipun Aku tahu dia juga sudah
sedemikian ‘tinggi’.
“Untuk nanti di malam pengantin kita” bisiknya. Aku terharu
mendengarnya.
Paling jauh, kalau dia sudah tak tahan lagi Aku diminta
memainkan penisnya dengan tanganku sampai ejakulasi. Bahkan
pernah suatu malam Minggu kami begitu intensif-nya bermesraan,
Mas Adi telah menelanjangi dirinya sampai bulat, Aku tinggal
CD saja, Aku sudah demikian ‘megap-megap’, di bawah sana
sudah terasa lembab, sampai mataku berair. Aku mengharapkan
Mas Adi segera membuka CDku lalu penisnya yang tegak mengacung
keras itu segera mengisi kelembaban di selangkanganku, tapi
dia tak melakukan apa yang kuharapkan. Dia hanya menindihku,
menggosok-gosokkan penisnya di CDku sambil mengeksplorasi buah
dadaku. Mas Adi bisa sampai ‘tuntas’ dengan tumpah di
perutku, tapi Aku ? Gelisah ! Sesuatu yang tak sampai,
menggantung. Sungguh tak enak.

Aku terus gerak-gerakkan tubuhku dengan gelisah, selangkangan
kugosokkan ke tubuhnya. Kucengkeram pantat Mas Adi dan
kugeser-geserkan penisnya yang mulai menurun ke CDku. Tak
menjadi lebih baik, tak meredakan nafsuku yang telah
memuncak, tak mengisi kekosonganku. Penisnya tak menyentuh
langsung ke selangkanganku, masih ada penghalang yang harus
dihilangkan. Kulepaskan tubuhku dari tindihan Mas Adi, lalu
dengan nekatnya Aku melepas CDku. Aku tak malu-malu lagi
berbugil di depan kekasihku ini.

Mas Adi kaget luar biasa, sampai melongo, tapi matanya tak
lepas dari bagian tubuhku yang baru saja terbuka. Bagian
tubuh yang baru kali ini Aku buka di depan lelaki. Kutarik
tubuh Mas Adi untuk kembali menindihku, supaya dia tak
melongo terus memandangi milikku. Tubuhnya kembali bergoyang,
penisnya kini menggeseki permukaan liang vaginaku secara
langsung, tak ada penghalang lagi. Tapi penis itu mulai
menyurut….

Mas Adi tahu kegelisahanku, lalu tindakan berikutnya ganti
mengejutkanku. Pahaku dibentangnya lebar-lebar kemudian
kepalanya menunduk. Ha …? Apa yang akan dilakukannya ?
Tanganku refleks bergerak menutupi milikku.
“Dik … tak apa-apa, ini aman kok …” katanya sambil
menyingkirkan telapak tanganku dari sana. Lalu detik-detik
berikutnya kurasakan nikmatnya di bawah sana. Lidah Mas Adi
ternyata yang melakukannya. Lidah itu menyapu-nyapu seluruh
permukaan selangkanganku. Tak itu saja. Aku dibuatnya terbang
oleh Mas Adi dengan permainan lidah dan bibirnya di clit-ku
….

Kurang lebih setahun kami melewatkan masa-masa bermesraan
dengan cara seperti itu. Cara yang dapat memuaskan kami
berdua, tanpa Aku harus kehilangan keperawanan, tanpa
penetrasi sama sekali.

***

(Pembaca, perkenankan saya memutar waktu ke belakang
sedikit).
Tertarik iklan kecil di harian ibukota Aku ingin mencoba
mengadu nasib. Iklan itu berbunyi : “Dicari seorang baby
sitter wanita yang berpengalaman, mengerti tentang
keperawatan, menyayangi anak-anak, bersedia tinggal di rumah.
Gaji dan fasilitas menarik”
Kutelepon nomor yang tercantum di iklan itu, suara lembut
wanita menyambutku dan Aku dijanjikan waktu, Sabtu pagi pukul
9 agar datang untuk wawancara. Wah, pakai wawancara seperti
melamar kerja kantoran saja.

Pada hari yang dijanjikan pukul 9 kurang Aku sudah tiba di
depan rumah besar dan mewah di kawasan Jakarta Pusat.
“Selamat pagi” sambutku ketika pintu dibuka seorang wanita
cantik.
“Pagi, siapa ya”
“Saya Narti Bu, pelamar baby sitter”
“Oh iya, masuk … silakan”dia menyambut uluran tanganku.
“Siapa tadi … ehm ..Narti ya, saya Ny. Anton”
Nyonya rumah ini cantik sekali. Berkulit putih mulus,
tubuhnya tinggi ramping, rambut lurus sebahu terurai,
pendeknya mirip peragawati atau model yang sering Aku lihat di
TV. Kutaksir umurnya sekitar 26 – 28 tahun. Wajahnya sekilas
mirip mantan peragawati yang juga atlet berkuda, hidung
mancungnya yang mirip banget. Aku juga dikenalkan kepada Pak
Anton suaminya. Pria ini biasa saja, tak ganteng amat, kulit
rada cerah, rasanya tinggi badan Pak Anton sama dengan tinggi
isterinya. Kedua orang suami isteri ini mewawancaraiku.

Aku diminta bercerita tentang riwayat sekolah dan pekerjaanku,
kenapa Aku tertarik pekerjaan sebagai baby sitter sedangkan
pendidikanku adalah perawat, juga termasuk berapa gaji yang
Aku minta. Aku kemukakan apa adanya dan sejujur mungkin.
Ditanya gaji Aku tak menyebutkan jumlahnya, hanya yang
penting lebih tinggi dibanding pekerjaanku sekarang di rumah
sakit swasta. Juga Aku minta satu hari libur dalam seminggu.
Hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan pribadiku tak luput
ditanya. Termasuk tentang famili dan kawan dekat. Aku
ceritakan punya kakak perempuanku yang tinggal sama suaminya
di Jakarta, juga tentang pacarku Mas Adi, dimana tinggal dan
pekerjaannya. Aku cerita juga kadang-kadang di hari libur Aku
nginap di rumah kakak perempuanku. Melalui wawancara ini pula
Aku tahu pasangan ini punya 2 orang anak, yang sulung lelaki
kelas 6 SD dan anak kedua perempuan 8 bulan yang kelak Aku
asuh seandainya diterima kerja. Kesanku mereka keluarga ideal
dan amat bahagia.
“Jadi gimana nanti saya menghubungi kamu ?”
“Ke tempat kost saja Bu ada teleponnya, di rumah kakak belum
ada”
“Di tempat kost kamu berapa nomornya ?”tanya Bu Anton. Aku
sebutkan nomornya.
“Okay, minggu depan Ibu hubungi diterima atau tidaknya”
lanjutnya.
“Baik, Bu” Aku pamitan.
“Kalau boleh tahu, sudah berapa orang yang melamar, Bu ?”
tanyaku.
“Ada beberapa, engga banyak” jawabnya.
Minggu siang seminggu kemudian Aku ditelepon Bu Anton.
“Kamu bisa datang lagi sore ini engga ?”
“Bisa, Bu. Gimana saya diterima ?”
“Kita bicarakan dulu tentang tugas-tugasmu”dia tak tegas
menjawab Aku diterima atau tidak, tapi rasanya iya. Mendadak
hatiku senang. Ada beberapa kelebihan kerja di Bu Anton.
Selain gaji yang kuterima lebih tinggi, juga Aku tak perlu
mikir bayar kost dan biaya makan sehari-hari. Tentunya Aku
akan bisa menabung untuk persiapan hari depanku bersama Mas
Adi. Ketika hal ini kuceritakan kepada Mas Adi, dia
mendukung.
“Asal kamu menyukai pekerjaan ini, Mas dukung” Aku gembira.
“Jangan senang dulu Ti, kamu belum tentu diterima
…”tambahnya.

Bu Anton menjelaskan secara rinci tugas-tugasku dan cara
merawat Si Putri, begitu saja kusebut, anak perempuannya. Aku
dikenalkan kepada pembantu rt-nya, Ijah, perempuan usia
sekitar 35an, dan juga Ricky, anak lelakinya sekitar 12
tahunan. Aku dibawa keliling ruangan rumah besar ini. Putri,
walaupun masih terhitung bayi, sudah punya kamar sendiri
bersebelahan dengan kamar suami-isteri Anton. Dalam kamar
Putri yang lumayan besar hanya ada lemari dan rak pakaian
serta sebuah box bayi. Ada pintu penghubung ke kamar Pak dan
Bu Anton. Di belakang kamar Putri terhalang satu ruang
terbuka, terletak kamarku. Keluarga ini secara berkala
berlibur ke luar kota, kadang kalau dibutuhkan Aku harus ikut
atau tidak tergantung situasi, kata Bu Anton. Tentang hari
libur yang kuminta, Bu Anton mengabulkan tapi harinya tak
harus Minggu, dan kalau mereka membutuhkan Aku tetap mengasuh
Putri dan dibayar sebagai lembur. Tak masalah kukira.
“Kapan kamu mulai kerja ?”tanya Bu Anton.
“Secepatnya setelah saya dapat surat pengunduran diri dari
rumah sakit”

***

Hari-hari pertama kerja sebagai baby sitter memang melelahkan,
sebab Aku harus mengenali karakter Putri dan juga situasi
rumah tangga ini termasuk karakter seisi rumah. Aku harus
berbaik-baik sama Mbak Ijah supaya terjalin hubungan akrab dan
agar dia tak ‘jealous’, karena Aku tak menyentuh pekerjaan
rumah tangga dan digaji lebih tinggi. Bu Anton memang telah
membagi tugas sesuai ‘profesi’ masing-masing. Lama-lama Aku
menjadi biasa dan mulai bisa menikmati pekerjaanku. Pada
dasarnya Aku memang menyayangi anak-anak.

Ada satu yang ‘hilang’ sehubungan pekerjaan baruku ini, yaitu
masa bermesraan dengan Mas Adi. Tak bisa lagi kami bermesraan
‘berat’ sampai Mas Adi menggosok-gosokkan penisnya di ‘pintu’
vaginaku lalu tumpah di perutku. Atau mulut Mas Adi dengan
‘rakus’nya mencium, menjilat, dan gigit pelan milikku di bawah
sana. Cara pacaran kami berubah. Pergi berdua harus menunggu
hari liburku. Paling juga ciuman dan raba-raba di gedung
bioskop. Mas Adi pintar cari lokasi yang aman untuk
bermesraan, pilih film yang masa putarnya sudah beberapa hari
sehingga sepi penonton, lalu kami mojok di belakang.

Pada hari libur kedua kami nonton lagi. Film baru beberapa
menit diputar Mas Adi minta Aku membuka bra setelah kami
berciuman ‘panas’. Mukanya terbenam di dadaku, Aku harus
menahan untuk tak merintih keras-keras ketika puting dadaku
dijilati dan dikemotnya. Lalu dia minta Aku membuka rits
celananya. Kurang ajar … Aku langsung ‘menemukan’ penisnya
yang keras tegak, Mas Adi tak pakai cd !
“Mas nakal …” bisikku ke kupingnya. Jawabannya berupa
lumatan di bibirku, lalu dituntunnya telapak tanganku untuk
mengurut-urut batang penisnya. Aku nurut, perlahan kelima
jari-jariku menjamahi seluruh batang tegang itu dari ujung
sampai ke pangkal, bolak-balik. Sementara telapak tangannya
‘menampung’ daging dadaku sambil ujung telunjuknya
bermain-main di putingku.
“Tambah kecepatannya dikit, Ti …”bisiknya sambil
ngos-ngosan. Kupenuhi permintaannya. Beberapa saat kemudian,
“Tambah lagi …”nafasnya makin memburu.
“Eh … nanti kalo … itu gimana ..”
“Engga apa-apa …. terus aja sampai keluar”
“Gak mau”protesku dan langsung menghentikan gerak kocokan.
“Ti … tolong Mas dong udah 2 minggu engga keluar …”
Dua minggu ? Oh iya memang, sejak Aku pindah kerja kami tak
melakukan petting sampai Mas Adi ‘keluar’, seperti yang biasa
kami lakukan tiap minggu. Apa boleh buat …
Kupercepat gerak tanganku. Mas Adi makin terengah, lalu
megap-megap, tubuhnya rebah ke sandaran kursi dan mengejang,
kepalanya menengadah ke arah langit-langit gedung, gerak
tangannya yang meremasi susuku berhenti, tanganku yang
menggenggam penisnya terasa kedut-kedut beraturan. Mas Adi
sedang menikmati orgasmenya. Airnya entah terpancar kemana
saja, mungkin ke sandaran kursi depan ……

***
Rumah semegah ini hanya dihuni oleh 6 orang, suami isteri
Anton, kedua anaknya, seorang pembantu, dan Aku. Bang Hasan
si sopir selesai mengantarkan Pak Anton malam hari, dia pulang
ke rumahnya, tak menginap. Jam 7 pagi dia sudah sampai ke
sini lagi.

Pak Anton orang yang amat sibuk, jam 8 pagi dia sudah
berangkat dan pulangnya malam. Dia punya banyak perusahaan,
kata Bi Ijah. Perusahaan apa dan sebesar apa Aku tahu dan tak
ingin tahu. Kalau lihat rumah yang besar dan megah, isinya
yang mewah, tiga buah mobil yang semuanya jenis mewah,
pantaslah dia punya perusahaan, suatu keluarga kaya-raya.
Sedangkan Si Jelita nyonya Anton meskipun tidak tiap hari
keluar rumah, tapi tampaknya orang sibuk juga. Urusannya
banyak, kalau sedang di rumah teleponnya sering berdering,
bicara serius sepertinya urusan bisnis juga, lalu kadang
keluar rumah menyetir sendiri BMW-nya. Kadang sekalian
menjemput Ricky dari sekolah. Ricky walaupun sudah kelas 1
SMP masih juga diantar-jemput. Orang kaya cenderung
memanjakan anaknya. Anak-anak di sekitar tempat Aku kost dulu
walaupun masih SD berangkat dan pulang sekolah sendiri. Kalau
ibunya tak menjemput, Ricky pulang sama Bang Hasan.

Tak hanya kaya raya, keluarga ini juga keluarga harmonis
tampaknya. Kalau mereka bertiga sedang di ruang tengah nonton
TV, banyak celetukan canda diantara mereka. Bu Anton sering
menggelendot manja ke tubuh suaminya sewaktu duduk di sofa
sambil nonton TV, atau tangan Pak Anton merangkul bahu
isterinya, diselingi saling kecup di pipi. Suami-isteri itu
tak risih saling kecup meskipun Aku ada di situ menggendong
Putri. Memang sudah kebiasaannya sehari-hari. Ricky juga
sering bermanja-manja kepada ayah atau ibunya. Kalau Aku
sedang bergabung di situ sambil menunggu Putri, kadang Ricky
juga bermanja kepadaku. Menyandar ke tubuhku atau minta
pangku. Pendeknya benar-benar keluarga bahagia. Bahkan Aku
tahu, betapa mesranya mereka di tempat tidur …

Malam belum larut baru sekitar setengah sembilan. Setelah Aku
menidurkan Putri di box-nya, kulihat Pak dan Bu Anton
berrangkulan mesra sambil nonton TV. Aku lalu makan malam dan
menyiapkan susu dan popok Putri. Ketika Aku hendak ke kamar
Putri melewati ruang tengah sumi isteri itu sudah tak ada.
Cepat sekali malam ini mereka tidur, pikirku. Khawatir
mengganggu tidur majikanku, Aku dengan hati-hati dan pelan
masuk ke kamar Putri untuk menaruh pakaiannya dan sekaligus
ngecheck tidurnya. Tapi …… samar-samar ada suara-suara
aneh dari kamar utama itu. Entah kenapa diluar kebiasaanku,
Aku jadi ingin tahu. Nyaris tanpa suara Aku melangkah
mendekati pintu penghubung itu. Oh, suara rintihan Bu Anton !
Aku segera maklum sedang apa suami-isteri itu. Apalagi
rintihan Bu Anton diselingi dengan ucapan “Ooh … sedap Yang
….uuh …ooh…”. Aku mendadak merinding, jantungku
berdebar kencang. Aku cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku,
tak tahan Aku berlama-lama di situ. Beberapa menit berlalu
suara-suara aneh itu masih saja terdengar, bahkan ditambah
suara “hah .. huh” nya Pak Anton dan berisiknya kresek-kresek
dan hentakan-hentakan tubuh di kasur.

Aku keluar menuju kamarku dan langsung rebahan. Segera saja
bayangan tubuh pualam Bu Anton yang telanjang bulat,
terlentang, dan pahanya membuka lebar sedang ditindih oleh
tubuh coklat kekar Pak Anton yang pantatnya naik-turun
menusuki selangkangan isterinya, muncul di anganku. Bayangan
kedua tubuh suami isteri tiba-tiba berganti dengan bayangan
tubuhku yang ditindih oleh tubuh Mas Adi. Aah …. gimana
rasanya ya kalau penis Mas Adi menusuk habis liang senggamaku
? Mungkin sedap banget, Bu Anton yang santun itu saja sampai
merintih-rintih keenakan. Jelas nikmat banget. Selama ini
penis Mas Adi yang hanya menyapu-nyapu ‘pintuku’ saja nikmat
rasanya, apalagi ….. Mas Adi memang tak pernah minta lebih
dari menyapu-nyapu, dan sepertinya memang tak punya niat
untuk masuk. Di kamar kostku dulu kesempatan untuk bermesraan
sampai masuk terbuka lebar, tapi Mas Adi tetap menjagaku, dan
mampu menahan diri. Seandainya waktu itu Mas Adi minta,
mungkin Aku akan ikhlas memberikannya. Apalagi seandainya
malam ini ada Mas Adi, Aku mungkin yang ambil inisiatif untuk
‘maju terus’. Aku kini begitu gelisah, begitu terrangsang
oleh suara rintihan dan bayangan ciptaanku sendiri tentang
suami-isteri majikanku itu. Tapi Mas Adi memang beda. Aku
begitu mempercayai kekasihku ini, lelaki yang
bertanggungjawab. Kalaupun ada faktor Aku tetap masih perawan
mungkin karena Aku takut sakit. Konon berhubungan seks yang
pertama kali bagi wanita adalah hanya rasa sakit yang didapat.
Aku memang takut sakit, bahkan dengan jarum suntikpun Aku
takut.

Malam berikutnya pada waktu yang sama Aku ke kamar Putri lagi
berharap kalau-kalau mendengar erangan Bu Anton yang lebih
seru, ternyata tidak. Mereka berdua masih di ruang tengah.
Pengetahuanku tentang pasangan ini bertambah, ternyata mereka
tak punya jadwal tetap untuk berhubungan seks, alias bisa
terjadi kapan saja. Pernah sekitar jam 4 pagi Aku terbangun
mendengar Putri menangis. Ketika Aku sedang mencari-cari baju
ganti Putri, Bu Antonpun mendatangi anaknya, dengan pakaian
kimono yang belum sempat ditutup, buah dadanya yang amat
putih, mulus, kecil agak membulat terbuka, bentuk dada khas
peragawati.
“Eh … kamu Ti..”katanya ketika menyadari ada Aku di situ,
lalu cepat-cepat Bu Anton merapikan kimononya. Aku sempat
melihat dada Bu Anton mengkilat, berkeringat, wajahnya juga
dihiasi butiran keringat. Dan kimono tipis itu sempat
‘mencetak’ tonjolan putingnya. Masa pagi yang dingin ini
keringatan di dalam kamar berAC ? Dugaanku benar, ketika Aku
selesai mengurus Putri, erangan khas Bu Anton kembali
kudengar. Rupanya tangisan Putri menghentikan kegiatan seks
dini hari mereka. Setelah Putri ada yang mengurus, kegiatan
itu berlanjut …

***

Hari Minggu berikutnya Pak dan Bu Anton liburan keluarga
bersama kawan-kawan bisnisnya ke Pulau Bidadari. Seharusnya
ini hari liburku, tapi karena Putri ditinggal di rumah Aku
harus menjaganya dan dibayar sebagai lembur. Rencanaku nonton
sama Mas Adi batal, dan kuminta saja dia datang menemaniku di
rumah. Kami hanya ngobrol saja di ruang tengah sambil
mengasuh Putri. Mauku sih sambil bermesraan tapi tak enaklah
sebab ada Bi Ijah sedang memasak di dapur. Setelah Si Putri
tertidur, kesempatan untuk bermesraan dengan Mas Adi datang
juga, sebab Bi Ijah bilang mau keluar rumah setelah
pekerjaannya beres. Aku tak tahu apa yang ada di kepala Bi
Ijah, apakah dia memang benar-benar ada keperluan keluar
rumah atau hanya ingin memberiku kesempatan berdua saja dengan
kekasihku.

Aku langsung duduk manja di pangkuan Mas Adi begitu Bi Ijah
keluar. Kami berciuman dan seterusnya buka-bukaan. Dalam
waktu singkat seperti biasa Mas Adi sudah bugil dengan penis
mengacung. Gaun putih seragamku telah tersingkir dan kini Aku
telanjang dada. Seperti biasanya pula Mas Adi mengerjai buah
kembarku. Mataku terpejam menikmatinya. Tapi ada yang tak
biasa. Kurasakan ‘pekerjaan’ Mas Adi di dadaku kurang intens
seperti yang sudah-sudah. Aku merasa pikiran Mas Adi tak
sepenuhnya berada di buah dadaku.
“Ada apa sih Mas ?” tanyaku menyelidik.
“Kenapa Ti ?” Mas Adi menghentikan kemotan di putingku.
“Rasanya hari ini Mas lain, deh”
“Lain gimana”
“Pokoknya Mas engga seperti biasa”
“Hmm ….”
“Ada apa Yang …?” tanyaku lembut sambil membelai-belai
penisnya. Benda itupun tak sekeras biasanya.
“Sorry Ti …. Ada yang ingin Mas sampaikan”
“Ngomong aja” Mendadak Aku berdebar.
Mas Adi diam saja. Aku makin gelisah.
“Udah bosan ama Narti ?” serangku tiba-tiba.
“Engga … sama sekali engga” lalu Aku dipeluknya erat-erat.
Lama.
“Lalu apa ?”
“Mulai Juli Mas dipindah ke Semarang”. Juli ? berarti tak
sampai dua bulan lagi.
“Kenapa ? Mas berbuat salah apa ?”
“Sama sekali tidak. Justru Mas dapat promosi”
“Bagus, kan ?”
“Iya, tapi kita jadi jauh”.
Jauh. Oh … rasanya Aku tak sanggup berpisah dengan
kekasihku ini. Jangan-jangan nanti ….
“Mas Bingung. Aku ingin pendapatmu, Ti” lanjutnya.
Akupun bingung.
“Gini aja Mas, kalo menurut Mas pindah ke Semarang bagus buat
karir Mas, lakukan saja”
“Kelihatannya begitu Ti, Aku dipercaya sebagai supervisor,
cuman kita jadi jauh”
“Hari libur Mas bisa ke sini, kan ?”
“Bisa”
“Ya udah, lakukan saja”
Tiba-tiba Aku dipeluknya erat-erat.
“Makasih … Ti…”

Pelukan berlanjut jadi ciuman, terus ke dadaku. Kurasakan
miliknya di bawah sana mengeras lagi. Lalu mulut Mas Adi
turun ke perutku, Aku kegelian ketika lidahnya menari-nari di
pusarku. Dengan cepat Cd-ku dipelorotkannya dan lidah nakal
itu telah berpindah ke selangkanganku yang telah membasah
lembab. Aku meninggi. Kuraih batang kerasnya dan
kusapu-sapukan di seputaran pintuku. Aku makin tinggi. Hanya
menyapu-nyapu, seperti biasa. Dan lalu tumpah di perutku,
seperti biasa.

***

Tumpah di perutku lagi, hari Minggu pagi ini. Bukan di ruang
tengah rumah keluarga Anton, tapi di ruang tengah rumah paman
Mas Adi. Aku masih rebah telanjang dengan posisi terlentang,
bahkan kakikupun masih terkangkang. Aku kelelahan setelah
tadi dilumat habis-habisan oleh Mas Adi. Diapun kelihatannya
letih, tubuhnya rebah terlentang pula di sampingku. Masih
ada sisa terengah setelah dia ‘kerja’ habis-habisan melumatku.
Airnya yang tercecer di perutku demikian banyaknya setelah
‘ditabung’ selama seminggu. Kami bisa bebas bercumbu di rumah
paman Mas Adi karena rumahnya kosong. Paman Mas Adi dan
keluarganya pergi ke Bandung.

Kemarin Mas Adi meneleponku memintaku datang. Hari ini Aku
libur dan dapat izin keluar sampai jam 6 sore. Tapi Aku
‘menawar’ minta ke Bu Anton sampai besok pagi, dengan alasan
diminta nginap di rumah kakak perempuanku, karena ada acara
keluarga. Bu Anton memenuhi permintaanku. Minggu pagi
sekitar pukul 7 Aku sudah meninggalkan rumah keluarga Anton
menuju rumah Paman Mas Adi.

Baru saja Aku masuk pintu Mas Adi langsung menyerbuku. Jelas
saja Aku berontak khawatir ketahuan paman atau keluarga yang
lain. Tapi Mas Adi malah mencopoti pakaiannya sampai bugil
sambil bilang bahwa hanya kami berdua saja yang ada di rumah
ini …

Kulirik wajah Mas Adi. Mata terpejam tenang menandakan
kepuasannya. Ada perasaan puas tersendiri bagiku karena mampu
memuaskan Mas Adi, walau tanpa penetrasi. Tapi apakah wajah
teduh ini memang benar-benar menandakan kepuasan ? Hanya dia
yang tahu. Cara kami bercinta menuju puncak tanpa Aku
kehilangan virginitas mungkin memang belum benar-benar
memuaskannya, seperti yang Aku rasakan sekarang. Ada rasa
kurang ‘terpenuhi’ ketika denyutan-denyutan di dalam sana
tetap dibiarkan tak tersentuh, walaupun mulut Mas Adi telah
begitu intensif mencumbui clit-ku. Mungkin Mas Adi juga
begitu, walaupun fellatio yang kulakukan sempat membuat Mas
Adi mencabutnya takut ’sampai’ di dalam mulutku.

Aku sebenarnya telah pasrah, menerima apapun yang akan
dilakukan oleh calon suamiku ini. Dulu sewaktu kami
bermesraan di kamar kost-ku, Aku menginginkan Mas Adi
melakukan hubungan seks ‘paripurna’ saat itu juga, tapi dia
tak melakukannya. Memang keinginan tak kutunjukkan secara
lisan, tapi dengan gerakan tubuhku Aku yakin Mas Adi mengerti
keinginanku. Aku ingat saat dia memegang penis tegangnya dan
siap-siap mau menyapu-nyapukannya di clit-ku seperti biasanya,
Aku membuka pahaku lebih lebar dari biasanya dan sedikit
mengangkat pinggulku agar ’sasaran’ bukan di clit tapi di
liang senggamaku. Tapi Mas Adi dengan halus menghindar. Tadi
juga begitu. Cumbuan intens ke seluruh permukaan tubuhku
membuatku naik tinggi. Lalu pada saatnya dia akan mulai
‘menyapu-nyapu’ Aku sudah ambil posisi terlentang pasrah.
Inilah saatnya Aku menyerahkan segalanya kepada lelakiku
tercinta.
“Masuklah Mas, Aku ikhlas mempersembahkan keperawananku
kepadamu” begitu kataku, tapi dalam hati.
Tapi lagi-lagi Mas Adi tak melakukannya. Bahkan suatu saat
kepala penisnya sudah tepat menyentuh liangku, tanganku lalu
menekan pantatnya. Lagi-lagi Mas Adi dengan pandai
menghindar. Ketika moment itu kembali datang Aku menekan
pantatnya lebih kuat. Detik berikutnya kurasakan ‘pintu’ku
terpenuhi oleh benda hangat … aha … nikmat. Rasanya awal
penetrasi dimulai. Tapi …. Mas Adi menariknya. Pinggulnya
diangkat dan tubuhnya rebah menindihku dan erat memeluk
tubuhku. Kurasakan tubuh Mas Adi bergetar. Beberapa saat
berikutnya kurasakan cairan hangat di perutku …

“Mikir apa Ti ?”
Aku menoleh.
“Eh … kirain tidur. Engga mikir apa-apa, cuman lemes aja”
jawabku.
“Sama dong ..” tubuhnya menggeliat lalu bangkit. Diciumnya
putingku sekilas, lalu dia duduk. Matanya ke dadaku, lalu
turun ke perutku. Diambilnya tissu dan dibersihkannya perutku
dari ceceran maninya.
“Mas keluarnya banyak banget” kataku.
“Iya nih, maklumlah udah seminggu gak keluar”
Aku bangkit. Tubuhku serasa lengket-lengket karena keringatku
yang bercampur dengan keringat Mas Adi.
“Aku mau mandi Mas”
“Oh ya, sebentar” Mas Adi mengambil handuk dan perlengkapan
mandi lainnya. Di rumah paman Mas Adi ini hanya kami berdua,
jadi Aku tenang saja bertelanjang melangkah ke kamar mandi.
“Kamu benar-benar seksi, Ti ….” Secara refleks Aku menutupi
dadaku dengan handuk yang terlipat rapi dan menutup
selangkanganku dengan telapak tangan.
“Ha ..ha ..ha … kenapa musti ditutupi, toh Aku udah lihat
seluruhnya ….”
Aku hanya senyum, masuk kamar mandi dan menutup pintu. Mas
Adi menahan pintu.
“Entar dong …. kita mandi bareng yuk. Belum pernah kan ?”

Dengan sabun cair Mas Adi membalur tubuhku. Di bagian dada
dia lebih tepat dibilang mengusap-usap dibanding menyabuni.
Juga di selangkangan. Dia minta Aku membuka pahaku dan dengan
hati-hati telapak tangannya yang bersabun mengusapi
kewanitaanku. Aku bergidik.
“Gantian Ti…”
Kubalur tubuhnya. Mulai dari leher, turun ke dada, perut dan
…. eh, benda itu mulai menegang. Aku hanya selintasan saja
membalur miliknya itu lalu ke pahanya.
“Eh … yang itu dong Ti …. biar bersih”
“Huu …maunya” Tapi Aku nurut. Kubalur mulai dari
‘telor’-nya dan ketika sampai ke batangnya, benda itu
benar-benar telah tegang mengacung.
“Ih … nakal nih … berdiri melulu ….”kataku gemas.
Lalu Mas Adi memelukku, tangannya membuka kran shower. Kami
berpelukan erat di bawah guyuran air. Kemudian tubuh Mas Adi
perlahan bergeser mendorongku. Pantatku dinaikkan ke meja
keramik di samping wastafel dan pahaku dibukanya.
Diarahkannya penis tegang itu menuju selangkanganku dan benda
itu mulai menggosok-gosok kewanitaanku. Mukanya disusupkan di
belahan dadaku. Engga tahu kenapa Aku tak begitu menikmati
gosokan penis Mas Adi. Mungkin posisiku yang kurasakan kurang
pas. Sebaliknya Mas Adi kurasakan sudah ‘tinggi’, nafasnya
begitu memburu.

Tak apalah, kali ini Aku akan memberi Mas Adi kepuasan tanpa
menuntut kepuasan untukku.
“Gantian … Mas yang duduk” Mas Adi nurut saja. Penisnya
yang menantang langit itu kubelai-belai. Tangan sebelah lagi
kugunakan untuk meraba-raba biji pelirnya. Sisa-sisa sabun
yang masih nempel di tubuhnya memungkinkan telapak tanganku
mengocok batang keras itu. Mulut Mas Adi mendesis-desis.
Beberapa menit telah berlalu. Aku heran, Mas Adi belum juga
’sampai’. Berdasarkan ‘pengalaman’ku selama ini menstimulir
penis Mas Adi, seharusnya dia telah orgasme. Aku lalu ambil
inisiatif, kubersihkan busa yang menempel di batang itu
dengan air sampai bersih, lalu dengan lidah kutelusuri
batangnya mulai dari pangkal sampai ke kepalanya.
“Ohhh …. Tiii ….” desisan Mas Adi tambah seru.
Ketika batang penis itu dengan perlahan dan bertahap
kumasukkan dalam mulutku, mulut Mas Adi makin tak karuan
mengoceh.
Dengan gerakan berirama kedua belah bibirku seperti mengurut
penisnya. Mulai dari pangkal sampai kepala dan balik lagi ke
pangkal. Aku tak mempedulikan reaksi mulut Mas Adi yang
menceracau. Kuberi dia berbagai variasi gerakan ‘mengurut’.
Sampai suatu saat Mas Adi merangkul kepalaku, tubuhnya
mengejang, mulutnya meneriakkan namaku. Dan … kurasakan
cairan hangat itu menyemprot di dalam mulutku. Seketika
mulutku mual dan rasa tak nyaman. Segera kulepas penis Mas Adi
dari mulutku, khawatir Aku akan tersedak atau bahkan muntah.
Kusaksikan penis Mas Adi berkedut-kedut mengeluarkan cairan
putih.
“Sorry Ti …. mustinya tadi kucabut ….”
“Engga apa-apa Mas …” Aku tadi memang berniat membiarkan Mas
Adi ejakulasi di mulutku dan akan kumuntahkan lagi, tidak
kutelan. Tapi baru satu semprotan Aku tak sanggup
menampungnya …

***

Benar-benar !. Sejak pagi tadi yang kami lakukan berdua hanya
makan, nonton TV, dan seks (atau entah apa namanya, hubungan
seks jelas bukan, pokoknya bermesraan sampai puas tanpa
penetrasi, mungkin ‘petting’ istilah yang mendekati). Berdua
kami bagai kuda yang selama ini terkekang dan kini lepas
kendali. Kesempatan tiba dengan ‘pas’. Sudah lama kami tak
ketemu, lalu ada rumah kosong yang bisa kami tempati. Sampai
sore ini entah berapa kali kami bermesraan, yang jelas dua
kali Mas Adi ejakulasi. Pertama, kami lakukan begitu tiba di
rumah pamannya ini. Kedua, sehabis mandi Aku meng-oralnya.
Kami sempat ketiduran setelahnya.

Ketika Aku terbangun, kulihat diluar telah gelap. Arlojiku
menunjukkan pukul 6.40 sore. Mas Adi masih nyenyak tidurnya,
bahkan ngorok. Aku tak tega membangunkannya. Kelihatannya
dia benar-benar lelah setelah ‘kerja-berat’. Tapi perutku
lapar. Aku bangkit dan melangkah ke dapur. Tak ada makanan.
Terpaksalah Aku membangunkan Mas Adi.
“Mas. …bangun Mas, udah malam”
Mas Adi menggeliat
“Hah …. udah gelap”
“Emang, yuk kita keluar cari makanan. Narti laper nih”
“Oh iya … kita engga punya makanan ya” Aku lalu mandi dulu,
baru Mas Adi.

Oh…. alangkah indahnya.
Jalan-jalan berdua bergandengan tangan –kadang berpelukan–
di malam hari yang cerah langit penuh bintang. Sebelum masuk
ke rumah makan, Mas Adi sempat mengecup pipiku dan berbisik
“Mas sayang banget ama Narti …..”
“Narti juga, Mas …” Kubalas kecupannya.
Oh … alangkah indahnya.

Sepulang dari makan malam Mas Adi mulai mencumbuku lagi ketika
Aku sedang duduk di sofa nonton TV. Blousku berantakan
diacaknya, dadaku digigitinya. Lalu dia bangkit dari sofa
dan …… seperti yang sering dia lakukan, menelanjangi
dirinya sampai bugil. Penisnya sudah tegang lagi. Entah
berapa kali benda itu tegang sejak pagi. Lalu dia berlutut di
karpet tepat di depan Aku duduk. Diusapnya dengkulku dan lalu
tangannya menyelusup di balik rok-ku membelai-belai pahaku.
Aku mulai terrangsang…

Disingkapnya rok-ku tinggi-tingi, lalu Cd-ku ditariknya
kebawah, perlahan-lahan sampai lepas dari kakiku. Dengan
gemetaran Aku menunggu apa yang akan dilakukan Mas Adi.
Pahaku dibukanya lebar-lebar, dipandanginya kewanitaanku.
Pandangannya yang sayu beralih menatapku.
“Yayang nikmati aja ya ….” katanya sambil mendorong kedua
bahuku hingga rebah di sandaran sofa. Lalu kepala Mas Adi
tenggelam di antara pahaku. Kepalaku mendongak ke arah
langit-langit menikmati permainan lidah dan bibir Mas Adi di
kewanitaanku. Aku benar-benar serasa melayang. Apalagi kedua
telapak tangan Mas Adi menyusup di bawah pantatku yang
telanjang, meremas-remas sambil setengah diangkat. Terbangku
makin tinggi …..

Lalu Mas Adi bangkit. Dilepasnya blouse dan braku, lalu
rok-ku. Dengan masih berlutut, kelaminnya diarahkan ke
kelaminku. Seperti biasanya, dia akan ‘menyapu-nyapu’
Dengan bertelanjang bulat kami berjalan berpelukan menuju
kamar. Mas Adi mengarah ke kamar tidur pamannya.
“Jangan di situ ah Mas, engga enak” Masa’ bermesraan di
tempat tidur pamannya. Lalu kami ke kamar depan, kamar Mas
Adi dulu ketika masih kerja di Jakarta.

Aku rebah terlentang membuka paha, Mas Adi kembali
menyusupkan kepalanya di antara pahaku, meneruskan permainan
lidah dan bibirnya. Tubuhku mulai terangkat lagi …..
Mas Adi begitu intensifnya menstimulir clit dan liang
senggamaku sampai Aku benar-benar pada puncak rangsangan.
“Ayolah Mas …..” kudorong kepala Mas Adi hingga lepas dari
selangkanganku. Kugenggam batang penisnya dan
kusapu-sapukannya pada liangku. Lalu ketika ujung penis Mas
Adi tepat di mulut kewanitaanku, kulepas genggamanku pada
penisnya dan kutekan pantat Mas Adi ke bawah. Ya, Aku telah
memutuskan sekaranglah saatnya untuk benar-benar bersetubuh
dengan kekasihku tercinta ini. Aku telah mengambil keputusan
untuk melepas keperawananku bersama Mas Adi malam ini. Dasar
keputusanku bukan saja karena Aku telah terrangsang tinggi,
tapi memang niatku untuk menyerahkannya malam ini begitu kami
punya kesempatan bebas di rumah ini.

“Ti ……. !”
Mas Adi kaget dan menarik pinggulnya hingga penisnya terangkat
lepas.
“Ayo Mas ….. kita lakukan sekarang …”
“Kamu sadar apa yang kamu omongkan ?”
“Iya. Sadar banget”
“Engga Ti ….. jangan sekarang ….”
“Narti pengin banget Mas …Mas engga pengin ?”
“Dari dulu Ti, Mas pengiin banget, tapi bukan sekarang …”
Aku heran dengan kekasihku ini. Yang biasanya terjadi adalah
lelaki yang minta duluan. Ini justru Aku yang minta, eh malah
lakinya yang nolak.
Aku sepertinya sudah sampai pada ‘no return point’, sudah
begitu lembab dan berdenyut-denyut di dalam sana. Saat itu
Aku lupa pada rasa sakit yang mungkin akan Aku rasakan pada
hubungan seks yang pertama kali, yang selama ini
menakutkanku. Yang Aku rasakan hanyalah keinginan untuk ‘diisi
dan digosok’.

Akhirnya Mas Adi kembali menempelkan ujung penisnya ke
‘pintu’ku untuk, seperti biasa, digesek-gesek. Aku
menyambutnya dengan amat antusias. Gerakan pinggulku begitu
aktif merespons gesekan Mas Adi. Gerakan Mas Adi begitu
galak, dan dari wajahnya yang merah padam menandakan dia juga
sudah sangat tinggi.

Aku ambil inisiatif. Kupeluk tubuhnya erat-erat lalu
kugulingkan. Aku di atas tubuhnya sekarang. Pahaku
mengangkangi pinggul Mas Adi lalu penisnya yang sudah teramat
tegang dan ‘membara’ kuarahkan ke selangkanganku, lalu Aku
menggerakkan pinggulku maju-mundur di atas pinggulnya. Mata
Mas Adi terpejam, kepalanya menghadap langit dan mulutnya
berdesis-desis. Ketika kurasakan kepala penisnya tepat pada
liang senggamaku, Aku menekan. Ahh … nikmatnya ketika
kepala itu memenuhi liangku. Lalu Aku menekan lagi lebih
keras, ahh … sakit kurasakan memenuhi liangku. Aku
mengurangi tekananku dan kembali bergoyang. Kuulangi gerakan
tadi, ahh … sakit lagi. Benar-benar sakit selangkanganku !

Tiba-tiba kedua lengan Mas Adi mencengkeram tubuhku lalu
tubuhnya miring. Kami bergulingan dan ujung penisnya terlepas
dari selangkanganku. Mas Adi kini menindih tubuhku. Kurasakan
‘kepala hangat’ itu menempel liangku lagi dan berikutnya tubuh
Mas Adi kurasakan menekan. Aku terpejam menunggu. Tekanan
itu semakin kuat. Bukan sakit lagi yang kurasakan tapi ngilu
yang tak tertahankan. Sehingga tanpa sadar mulutku terucap
“Aduuh …”

Mas Adi langsung mengendorkan tekanan ” Oh … sorry Yang
….”
“Engga apa-apa Mas …… terus aja Mas ….” kataku terengah.
“Kamu engga apa-apa Yang …..”
Aku menggeleng.
“Yayang yakin ….. kita lakukan sekarang …?”
Aku mengangguk-angguk
Lalu pinggul Mas Adi membuat gerakan memompa. Rasa ngilu
lenyap, hanya rasa nikmat di bawah sana. Kulihat kebawah,
Aku sempat melihat kepala penis Mas Adi timbul tenggelam
seirama gerakan pompaannya. Pompaan kecil, hanya ujungnya
saja yang keluar-masuk.
“Sakit, Yang …?”
Aku menggeleng.
Lalu kurasakan Mas Adi menambah tekanannya. Kembali kurasakan
ngilu selangkanganku.
“Aauuff” seruku.
“Sakit, Yang ….?” Aku mengangguk.
“Tapi engga apa-apa Mas …. terus saja”
Kulihat lagi ke bawah. Separuh batang penisnya telah tenggelam
di selangkanganku. Mas Adi benar-benar telah memasuki
tubuhku. Kami benar-benar telah melakukannya !

Mas Adi memompa lagi, kini pompaan yang rada panjang. Rasa
nikmat kembali datang. Tapi ketika dia menekan lebih kuat
lagi, rasa sakit yang kudapat. Begitulah, rasa nikmat silih
berganti dengan rasa ngilu. Sampai suatu saat seluruh bagian
tubuh Mas Adi telah menindih ketat ke tubuhku.
“Yang ….. kita telah melakukannya ….. kita benar-benar
berhubungan seks” bisiknya
Pada saat Mas Adi berhenti memompa, kulihat bulu-bulu kelamin
kami memang telah saling menempel ketat. Penis itu telah
seluruhnya tenggelam dalam tubuhku !
“Berarti Narti sudah bukan perawan lagi ….” kataku. Mas Adi
mengangguk
Entah kenapa tiba-tiba Aku jadi sedih, dan terus menangis
….
“Yang ……” Mas Adi memeluk tubuhku lebih erat.
“Yang …. jangan nangis dong …” Dia menciumi wajahku
bertubi-tubi. Aku masih sesenggukan.
Ada rasa menyesal, ada juga rasa bahagia.
“Yayang nyesel …?”
Aku tak menjawab. Kupeluk tubuh Mas Adi erat-erat.
Apa yang harus disesalkan ? Semuanya telah terjadi dan Aku
memang menginginkannya.
Lalu kami saling berpelukan.
Lalu kami mulai bergoyang.
Mas Adi memompa lagi.
Pompaan sempurna.
Layaknya pompaan hubungan suami isteri…………. !

***

Tubuhnya masih menindihku. Baru saja Mas Adi ejakulasi
setelah pompaan hebat yang menghanyutkanku. Tak seperti
biasanya tumpah di perutku, entah mengapa kali ini dia
tumpahkan ke sprei di antara bentangan pahaku. Setelah
beberapa saat kami rebahan lemas, Mas Adi bangkit.
“Bangun Yang ….” kata Mas Adi. Dengan malas Aku bangkit.
Mata Mas Adi terus tertuju pada bentangan pahaku.
“Lihat apa sih, Mas ?”
“Yayang geser dulu “. Aku menggeser pantatku, penasaran ingin
tahu.
Ternyata ……
Bercak-bercak telah ‘menghiasi’ sprei.
Bercak-bercak merah dari tubuhku.
Darah dari selaput daraku yang robek.
Bercampur dengan mani kekasihku.

Mas Adi memelukku. Mungkin dikiranya Aku akan menangis lagi.
Kenyataannya Aku memang menangis lagi.
“Mas mau berjanji ..?” tanyaku sambil sesenggukan.
“Janji apa, Yang ?”
“Janji tidak meninggalkan Narti”
“Tentu saja Yang. Kita sudah jadi suami-isteri”
“Benar, Mas ?”
“Benar Ti, kita sudah suami-isteri. Cuma perlu surat nikah
saja”
“Benar Mas akan menikahiku ?”
“Pasti, Ti”
“Tak akan meninggalkanku ?”
“Tidak” katanya mantap.
“Narti sudah bukan perawan lagi ……………”
“Tak ada bedanya, Yang”
Mas Adi lalu membereskan sprei bernoda itu. Dengan hati-hati
sprei itu dilipatnya baik-baik.
“Akan Mas simpan untuk kenangan kita” katanya.

Lalu kami berdua ke kamar mandi. Kurasakan perih di
selangkanganku ketika Aku membasuh. Seperti perihnya luka
terkena air. Ini telah menyadarkanku bahwa Narti yang tadi
pagi memasuki rumah ini telah berbeda dengan Narti sekarang.
Aku sekarang bukan gadis lagi …..
Aku berusaha tak menangis lagi, tapi gagal ……
“Sudahlah Yang …..” Mas Adi memelukku. Aku menangis di
dadanya yang bidang. Sudah sering dia memelukku seperti ini.
Tapi baru kali inilah aku merasakan rasa aman dalam pelukan
Mas Adi.

Tengah malam menjelang tidur, kami melakukannya lagi. Aku
yang memintanya. Kali ini Aku benar-benar bisa merasakan
nikmatnya berhubungan seks, dengan sebenar-benarnya.
Benar-benar memabukkan ! Makanya, dengan senang hati Aku
memenuhi permintaan Mas Adi ketika bangun pagi Mas Adi minta
lagi, meskipun Aku setengah mengantuk. Benar-benar nikmat.
Nikmat yang susah digambarkan !

Dan anehnya, ketika Aku telah berada di rumah keluarga Anton
dan Mas Adi telah berangkat kembali ke Semarang, serasa penis
Mas Adi masih ‘tersimpan’ di dalam tubuhku bagian bawah sana
….. !!!

***

Baru seminggu Mas Adi pindah ke Semarang Aku sudah merasakan
kerinduan yang menyiksa. Libur pertama dia tak bisa ke
Jakarta mengunjungiku, sebab dia harus memanfaatkan waktu
liburnya untuk mencari-cari tempat kost. Untuk sementara dia
numpang tinggal di rumah temannya. Sebenarnya, temannya itu
tak berkeberatan bila Mas Adi tinggal lebih lama sementara dia
mencari kost, tapi Mas Adi merasa tak enak hati saja. Dia
harus cepat-cepat mendapatkan tempat tinggal. Aku bisa
mengerti bila Mas Adi week-end kali ini belum bisa menemuiku.

Yang tak bisa “mengerti” adalah bagian tubuhku yang di bawah
sana … 
Di dalam sana acap kali berdenyut-denyut merindukan ‘belaian’,
suhu tubuhku naik seiring dengan naiknya keinginan ‘diisi’.
Kalau sudah begini buah dadaku serasa ‘bengkak’ dan putingnya
keras menegang. Aku sungguh merindukan remasan tangannya dan
ciuman mengambangnya di dadaku, serta kuluman pada putingku
seperti setiap minggu dia lakukan.
Aku juga merindukan pompaannya yang penuh variasi, kadang
tusukan mengambang dan setengah batang, kadang hunjaman ‘full
body’. Oh Mas Adi …. Aku merindukan belaian mesramu yang
penuh nafsu ….

Perasaan haus belaian Mas Adi begini biasa datang waktu
menjelang tidur atau saat sepi siang hari dimana penghuni
sedang tak ada. Hanya ada Aku dan Putri, sementara Bi Ijah
sepanjang hari hampir selalu ada di belakang. Seperti tadi
malam. Aku begitu merindukan belaian Mas Adi sampai tubuhku
panas dan bergetar. Aku membayangkan Mas Adi sedang
menindihku dan mengemoti putingku. Tapi sebenarnya yang
terjadi adalah Aku tanpa sadar meremasi dadaku sendiri dan
jari-jariku memelintir puting-puting susuku. Kurasakan tubuhku
di bawah sana telah kuyup…

Suatu malam saat Aku sedang ‘kasmaran’ dan meremas-remas
dadaku, kudengar suara tangisan Putri. Aku segera bangkit
menghampirinya dengan nafas yang masih tersengal. Biasa,
Putri terbangun karena pampers-nya basah. Setelah kuganti
tangisannya tak juga berhenti, ini artinya dia lapar.
Kugendong dia supaya tangisannya tak mengganggu papa mamanya
yang mungkin lagi ‘main’ sementara Aku membuatkan susunya.
Tiba-tiba Aku merasakan nikmat yang aneh di dadaku dan tangis
Putri berhenti.

Oh ! … kulihat mulut Putri sedang asyik menyedoti puting
dadaku ! Dia begitu tenang menikmati ’susu’ku. Dadaku yang
tanpa bra belum sempat kututup lagi sewaktu mendatangi Putri
tadi. Memang sudah biasa ketika kugendong kepala Putri
menyusup di dadaku. Dengan dada yang terbuka dan puting yang
masih tegang karena kugosok-gosok sambil membayangkan Mas Adi
tadi, Putri dengan mudah ‘menemukan’nya. Kalau dadaku dalam
keadaan ‘normal’ tentu sulit bagi Putri untuk mengemotnya.
Tapi kejadian ini membuatku pada pengalaman nikmat baru …

***

Pagi tadi Aku sungguh nervous. Betapa tidak. Sebelum Pak
Anton berangkat kantor, dia ingin menggendong Putri dan
mengambilnya dari gendonganku. Entah sengaja atau tidak,
lengan Pak Anton sempat menekan dadaku sewaktu dia meraih
Putri dari gendonganku. Tekanan lengannya pas pula di
putingku.

Aku sungguh berharap semoga saja Pak Anton tadi sama sekali
tak sengaja berbuat begitu. Aku tak ingin ada masalah dengan
keluarga Anton. Masalah yang sering Aku dengar antara baby
sitter dengan majikannya. Aku menyukai pekerjaan ini dan
betah tinggal di sini. Aku tak mau kehilangan pekerjaan ini.
Aku pantas cemas bila memikirkan jangan-jangan Pak Anton
sengaja berbuat begitu dalam rangka coba-coba menggodaku.

Menggodaku ? Memangnya kamu siapa. Cukup “berharga”kah kamu
di mata Pak Anton ? Lihat isterinya. Cantik, putih, tinggi,
langsing bak peragawati. Aku jadi senyum sendiri. Suatu
kekhawatiran yang berlebihan kurasa. Ini karena Aku menikmati
pekerjaanku. Dengan gaji yang lumayan dan pengeluaran hampir
tak ada, Aku bisa menabung untuk persiapan masa depanku
bersama Mas Adi. Wajarlah Aku begitu khawatir kalau
kehilangan pekerjaan. Tapi dengan membandingkan Bu Anton, Aku
merasa lebih tenang. Peristiwa tadi pagi adalah senggolan tak
disengaja.

Rupanya perasaan tenang yang kualami tak lama bertahan. Tadi
pagi lagi-lagi Pak Anton mengambil Putri dari gendonganku
sambil punggung tangannya mengusap dadaku. Padahal Aku sudah
bersiap dengan menjauhkan jarak Putri dari dadaku, tapi
tangan Pak Anton begitu jelasnya sengaja menjangkau dadaku.
Dengan muka marah kupelototi mata Pak Anton. Ingin Aku
memakinya saat itu juga, tapi mulutku terkunci. Dia
menghindar, tak berani menatap mataku. Ini jelas-jelas bukan
tak sengaja. Aku menangis. Begitu sedih dan jengkel mendapati
kenyataan bahwa Pak Anton memang sengaja meraba dadaku. Ingin
rasanya Aku menelepon Mas Adi dan mengadukan perbuatan Pak
Anton ini. Tapi Aku begitu khawatir kehilangan pekerjaan.
Kalau nanti Mas Adi melapor ke Bu Anton atas perbuatan
suaminya itu, pasti Bu Anton menyalahkanku dan lalu
memecatku. Orang kecil memang selalu jadi korban. Mana ada
Bu Anton menyalahkan suaminya, tak akan terjadi.

Kejadian itu berulang lagi dengan cara yang berbeda. Ketika
Aku sedang membalur tubuh Putri yang kubaringkan di boks-nya
dengan minyak telon, Pak Anton berdiri di belakangku menggoda
Putri. Kurasakan pahanya menempel di pantatku. Posisi
tubuhku yang setengah membungkuk tak bisa lagi maju karena
tertahan boks bayi, paling hanya menggeser kekiri. Tapi dia
ikut pula menggeser bahkan sambil menekan. Oh … kurasakan
sesuatu yang keras menekan pantatku. Jelas, benda keras itu
adalah penis Pak Anton. Aku tak bisa lagi menghindar dengan
menggeser lagi karena kena tiang boks. Aku terpojok tak
berkutik. Yang bisa kulakukan hanya cepat-cepat menyelesaikan
pekerjaanku untuk segera kabur dari situ. Kurang ajar ! Pak
Anton membuat gerakan-gerakan menggoda anaknya sehingga penis
tegangnya menggeser-geser pantatku. Aku hanya bisa menahan
diri untuk tak meledak marah.
Lagi-lagi Aku hanya bisa menangis …

Setelah agak tenang Aku coba mengingat-ingat kembali
perilakuku sejak pertama bekerja sebagai baby sitter di
keluarga Anton sampai hari ini. Aku mencoba introspeksi
apakah ada kelakuanku yang membuat Pak Anton jadi kurang ajar.
Tidak ada. Perilakuku biasa saja. Caraku berpakaian juga
sopan, Aku selalu memakai seragam putih yang tertutup. Aku
coba meyakinkan dengan bercermin. Tertutup. Tak ada bagian
tubuhku yang terbuka. Seragam itu ujungnya sampai di bawah
lutut dan bagian dada tertutup. Kalaupun ada yang dibilang
rada ‘mengundang’ cuma ini, di bagian dada rada ketat
sehingga kesan menonjol. Tapi itu bukan salahku, memang
keadaan dadaku begitu.

Aku bisa menarik suatu pelajaran, bahwa seorang pria yang
punya segalanya, isteri cantik, keluarga harmonis dan
bahagia, bukan berarti dia berperilaku baik pada wanita di
sekelilingnya, bukan pula jaminan dia tak akan mengganggu
wanita lain. Apa yang musti kulakukan sekarang agar nanti tak
jadi runyam ?
Minta berhenti ? Tidak. Itu hanya menandakan bahwa Aku
seorang wanita lemah yang gampang ditindas. Aku bukan tipe
wanita seperti itu.
Menerima keadaan menahan diri walaupun dilecehkan ? Tidak.
Lalu ?
Pertama, sedapat mungkin Aku akan menghindar bertemu dengan
Pak Anton.
Kedua, kalaupun harus ketemu kuusahakan agar ada orang lain
yang hadir.
Hanya itu yang bisa kulakukan untuk mencegah hal-hal yang tak
kuinginkan.

***

“Mbak Ti, Mbak lagi di mana ?” suara teriakan Ricky.
“Di sini Mas” Aku ikut-ikut memanggil Mas pada Ricky, seperti
yang dilakukan papa-mamanya, juga “membahasakan” Putri. Aku
sedang menjaga Putri yang sedang belajar telungkup di karpet
ruang tengah.
“Tolongin dong Mbak banyak pe-er nih” katanya sambil langsung
saja duduk dipangkuanku dan tubuhnya menyandar di badanku.
Manja benar anak ini.
“Heh … apa nih” katanya setengah kaget. Tapi sebenarnya Aku
yang kaget. Ketika dia menyandar ke badanku terasa ada yang
mengganjal di punggungnya. Tiba-tiba tangan Ricky meraba
benda yang mengganjal tadi yang tak lain adalah buah dadaku.
Segera saja Aku menepis tangannya.
“He ! Engga boleh begitu ya, nakal tuh namanya” seruku.
“Ehm … sory deh mBak. Ricky gak tahu. Di dada mbak kok ada
yang gede gitu” katanya polos.
“Semua wanita dewasa memang begitu, masa Mas gak tahu”
jelasku.
“Punya Mama kok gak ada ?”
“Ada dong, kalo engga ada di mana Putri mau menyusu”
“Tapi gak gede kaya punya mBak”
Aku tak tahu mengapa anak sebesar ini belum mengerti perbedaan
tubuh antara pria wanita. Kalau melihat cara bicaranya yang
ceplas-ceplos spontan begitu Ricky memang tidak sedang
berpura-pura.
“Tiap orang kan beda-beda Mas. Ada yang besar, sedang, ada
yang kecil” terangku. Sekalian memberi pelajaran pada anak
ini.
“Jadi punya Mama kecil ya mBak”
“Mungkin, Mbak kan belum pernah lihat”
“Udahlah. Mana pe-er nya”potongku untuk mengalihkan perhatian.
Risih juga Aku, anak ini menatapi bagian dadaku terus.
Ricky memang mengalihkan pandangannya, tapi tak mau turun
dari pangkuanku dan punggungnya masih menyandar ke dadaku.

Anak ini semakin bermanja kepadaku dan tingkahnya cenderung
semakin “nakal”. Kalau dia duduk di pangkuanku kadang
kepalanya sengaja menekan-nekan dadaku. Kadang sambil dia
tiduran di pahaku, mencuri-curi pandang ke arah
selangkanganku.
“mBak pake celana putih ya” ujarnya spontan.
Kadang dia masuk ke kamarku selagi Aku berganti baju.
Sebenarnya Aku makin khawatir pada tingkah lakunya ini, tapi
toh dia masih kekanakan begitu. Aku tak menganggapnya masalah
serius, seperti kenakalan Bapaknya.

***

Akhir-akhir ini Aku punya kebiasaan baru yang menyenangkan.
Sewaktu Aku merasa kesepian merindukan kehadiran Mas Adi lalu
jadi “panas”, kugendong Putri dan membiarkan anak itu
‘menyusu’. Putri dengan nyamannya mengemoti puting susuku
yang memberiku kenikmatan baru. Begitulah, kebiasaan yang
nakal sebenarnya, tapi lumayan bisa menghiburku. Tentu saja
perbuatan ini Aku lakukan bila Aku hanya berdua saja dengan
Putri.

Bagaimanapun kebiasaan yang nakal ini akan ada akibatnya. Aku
kena batunya. Waktu itu nafsuku sedang naik. Duduk di tepian
tempat tidurku Aku sedang asyik ‘menyusukan’ Putri sambil
memejamkan mata menikmati kemotannya, tiba-tiba tanpa
kusadari Pak Anton sudah berdiri di depanku ! Mati Aku.
Habislah Aku !
“Ti ! Ngapain kamu !” bentak Pak Anton.
Aku begitu gugup sehingga kemotan Putri terlepas, lalu dia
menangis. Wajah Pak Anton begitu marahnya. Pandangannya
tidak ke mataku tapi tertuju menatapi sebelah dadaku yang
terbuka seluruhnya. Begitu takutnya sampai Aku ‘lupa’
menutup kancing bajuku. Cepat-cepat Aku menutup dada.
“Coba ulangi, apa yang kamu lakukan”
Aku gemetar dan diam terpaku. Takut setengah mati. Tamatlah
Aku.
“Ulangi !” bentaknya. Aku masih diam.
“Aku bilang ulangi apa yang kamu lakukan pada Putri” bentaknya
lagi sambil mendekat.
Perlahan Aku membuka lagi kancing bajuku, mengeluarkan dadaku
dan menyusukan Putri. Anak itu tangisnya langsung berhenti.
Pak Anton makin mendekat dan jongkok di depanku. Matanya tajam
menatap dadaku.
“Ampun Pak …. dari tadi Putri nangis terus ….” akhirnya
Aku mampu membuka mulut.
“Kalo Mamanya tahu kamu bisa dipecat” katanya lagi setelah
agak lama sunyi. Bicara begitu tapi matanya tak lepas dari
dadaku.
“Sayang …. enak ya”katanya kepada Putri sambil mengusap-usap
pipinya.
Aku diam ketakutan.
Begitu pula ketika Pak Anton mulai menyentuh buah dadaku. Aku
masih diam ketakutan ketika tangan Pak Anton mulai mengelus
buah dadaku. Mendadak Aku sadar, lalu bergerak mundur
menghindar. Mulut Putri terlepas dari dadaku.
“Kamu diam” bentaknya. Tangan pak Anton makin leluasa
mengelusi dadaku, bahkan meremasnya. Saking takutnya Aku
hanya diam membiarkan tangannya terus meremas-remas. Matanya
kini tajam menatapku.
“Pantesan Putri diam …..”katanya pelan. Aku masih mematung.
“Dada kamu bagus …..” lanjutnya dengan suara serak.
Aku mulai berontak menepis tangan nakal Pak Anton..
“Diam kataku”bentaknya. Aku kalah kuat, tangannya masih saja
‘bekerja’. Putri menangis keras.
“Putri …. Pak” kataku beralasan. Pak Anton bangkit
melepaskan dadaku menuju kamar Putri. Aku segera hendak
merapikan bajuku.
“Kamu diam aja di situ” bentaknya lagi. Aku menurut. Pak
Anton membuatkan susu untuk Putri. Baru kali ini Aku melihat
dia membuatkan susu anaknya. Lalu dia menidurkan Putri di
kasurku dan diberinya susu. Putri langsung diam. Pak Anton
kembali ke arahku duduk, jongkok di depanku. Lalu tangannya
membuka kancing bajuku dan lalu merabai dadaku. Aku memang tak
memakai bra ketika sedang “bermain” dengan Putri.
“Pak ….jangan ….”
“Kamu sebaiknya diam aja, daripada kulaporkan ke Mamanya Putri
!” bentaknya, masih galak.
Otakku buntu, tak mampu berpikir lagi cara untuk menghindar
dari kenakalan majikanku ini. Mungkin juga karena rasa
bersalah yang besar.
Aku masih mematung ketika mulutnya mulai menciumi dadaku dan
lalu mengemoti putingku. Sementara tangan kirinya menyusup dan
meremasi buah dada kananku. Lalu didorongnya tubuhku hingga
rebah ke kasur dan ditindihnya tubuhku. Aku benar-benar bagai
boneka yang diam saja padahal bahaya mengancamku. Hanya ada
satu rasa, ketakutan yang amat sangat.
Sampai gaunku dilepasnya dan hanya tinggal CDku saja, Aku
masih tak mampu berreaksi. Bahkan tanpa kusadari tubuh bagian
bawah Pak Anton telah telanjang. Entah kapan dia melepas
celana panjang dan CDnya. Pria ini benar-benar telah
kerasukan. Dengan tubuh yang setengah telanjang dia
menindihku sementara bayinya berbaring persis di sebelahnya.

Ketika dia mulai memelorotkan CDku dan bersiap menghujamkan
penis tegangnya ke selangkanganku, mendadak kesadaranku
pulih. Aku berontak keras, sekuat tenaga melepaskan dari
tindihannya.
“Diam Ti, layani Aku baik-baik, Aku tak akan lapor …”
Aku tetap berontak.
“Kalau nggak mau diam Aku lapor”
“Biar saja. Nanti saya juga lapor ke Ibu !” kataku berani.
“Kamu nanti dipecat”
“Biar saja !” kataku tegas. Mendadak Aku punya kekuatan.
“Saya akan bilangin ke Ibu” tambahku.
Mendadak pelukannya mengendor. Kugunakan kesempatan ini untuk
melepaskan diri. Pak Anton tidak mencoba menahanku. Aku
menang !
“Tubuhmu bagus ….”
Aku cepat-cepat memunguti pakaianku dan mengenakannya, di
bawah sorot mata Pak Anton. Kini Pak Anton yang mematung.
Penisnya masih tegang mengacung. Hmm … lumayan besar tapi
tak sepanjang punya Mas Adi. Huh ! dalam kondisi seperti ini
masih saja Aku sempat membanding-bandingkan …
“Baiklah … kamu nggak benar-benar mau lapor ke Ibu kan ?”
katanya kemudian sambil memakai CDnya.
Aku diam.
“Kamu masih mau kerja di sini, kan ?”
“Sebenarnya saya betah kerja di sini, Pak, asalkan Bapak engga
mengganggu saya lagi”
“Saya engga mengganggu kamu Ti, saya sebenarnya tertarik sama
kamu dari dulu”
Aku lebih baik diam.
“Saya inginkan kamu secara baik-baik”
“Bapak engga boleh begitu dong”
“Benar Ti, tapi Aku menginginkan kamu”
“Tolong ya Ti. Saya akan penuhi permintaan kamu. Apa saja”
“Kamu udah lama engga ketemu sama pacarmu, kan ?” lanjutnya
Aku masih diam. Pak Anton mendekat.
“Aku ingin kita sama-sama menikmati” makin dekat
Huh, enak saja.
“Okay, saya tunggu sampai kamu bersedia” sambil bangkit dia
tiba-tiba memegang kedua bahuku dan lalu mencium bibirku. Aku
kaget mendapat serangan tak terduga ini, lalu berontak. Pak
Anton malah memelukku kencang. Makin Aku bergerak dia semakin
mempererat pelukannya. Aku menyerah, toh dia hanya menciumku.
Dilumatnya bibirku dengan ketat, Aku diam membiarkan, tak
berreaksi. Aneh rasanya. Pak Anton, orang terhormat, kaya
raya, punya isteri cantik ini mencium bibir pengasuh bayinya,
Aku, wanita ‘biasa’. Bibirnya melumat habis bibirku, Aku
masih mematung, tak membalas lumatannya juga tak berusaha
menolak. Lalu lidahnya mulai menyapu-nyapu bibirku dan
diselipkan ke mulutku. Aku merinding.

Entah kenapa lidahku menyambut sapuan lidahnya. Dari rasa
merinding Aku merasakan aliran hangat di kepalaku. Dan …
hey, bibirku mulai berreaksi membalas lumatan bibirnya !
Aliran hangat terasa makin meluas ke sekujur tubuhku. Tangan
kanannya membukai kancing bajuku dan lalu telapak itu merabai
bulatan dadaku. Cara dia merabai dadaku yang setengah
mengambang mirip yang selalu dilakukan oleh Mas Adi. Tubuhku
bergetar dan rasanya Aku mulai terrangsang. Dadaku serasa
membengkak dan putingnya menegang. Perubahan ini dimanfaatkan
oleh Pak Anton. Tadinya putingku hanya dirabai oleh ujung
jarinya, setelah puting itu tegang menonjol lalu
dipelintirnya. Selangkanganku mulai membasah …

Dengan cepatnya gaun seragamku dilepasnya dan tubuhku didorong
hingga rebah ke kasur. Entah kenapa Aku nurut saja. Demikian
pula ketika Pak Anton menindih tubuhku dan lidahnya menjilati
buah dadaku. Mungkin karena Aku mulai terrangsang. Apalagi
ketika jari-jarinya menyusup ke CDku dan menggosok-gosok
selangkanganku. Aku mulai melayang….
Entah kapan Pak Anton memelorotkan CDku, yang jelas Aku telah
bugil.
Entah kapan dia mencopoti pakaiannya, yang jelas penisnya
tampak mendongak ketika dia membentangkan pahaku lebar-lebar.

Detik berikutnya penis hangat itu telah menggosoki vaginaku

Saat berikutnya lagi benda hangat itu terasa tepat menekan
pintuku …
Lalu kurasakan tekanan ….

Tiba-tiba wajah Mas Adi melintas di bayanganku. Aku membuka
mata.
Oh … bukan wajah Mas Adi yang kulihat, tapi kepala Pak
Anton yang menunduk, memegangi penisnya diselangkanganku dan
berusaha masuk. Aku tersentak. Secara refleks pahaku
menutup, tapi pria bugil ini membukanya lagi dan mencoba
menusuk lagi.
Oh … ini tak boleh terjadi !
Aku mengatupkan pahaku lagi. Tapi, seberapalah kekuatanku
melawan pria yang telah terbanjur nafsu ini ? Kedua belah
tangan kuatnya menahan katupan pahaku dan menekan lagi.
Tangannya boleh menahan pahaku, tapi Aku masih punya ruang
untuk menggerakkan pinggulku dan membawa hasil, penisnya
terpeleset !

Pak Anton jadi lebih “buas”, dengan kuatnya dibukanya pahaku
lagi lalu mengarahkan batang tegangnya langsung ke liangku,
dan dengan kuat pula ditekannya, dan … ohh … kurasakan
benda hangat itu mulai menusuk. Rasanya “kepala”nya telah
masuk. Pegangan tangannya pada pahaku kurasakan mengendor,
kugunakan kesempatan ini untuk menutupkan pahaku kembali. Tapi
tekanan tusukannya tak berkurang, justru bertambah, sehingga
penisnya tak lepas, malahan seolah Aku menjepit “kepala” yang
telah masuk itu.. Dan …. edan ! Aku mulai merasakan nikmat
di bawah sana.

Rasanya Aku mulai menyerah, tak ada gunanya melawan pria yang
kesetanan ini. Disaksikan oleh anak bayinya pria ini mencoba
menyetubuhi pengasuhnya. Sialnya –atau untungnya ?– Tubuhku
di bawah sana mulai menikmatinya setelah seminggu lebih tak
tersentuh. Oh, betapa lemahnya Aku. Betapa mudahnya Aku
menyerah. Maafkan Aku Mas Adi, Aku tak kuasa menolaknya. Air
mataku meleleh … aku menangis.

Tapi, terjadilah sesuatu yang tak disangka. Pak Anton
tiba-tiba dengan cepat menarik penisnya lalu tubuhnya rebah di
atas tubuhku. Detik berikutnya kurasakan cairan hangat
membasahi perutku. Betapa leganya Aku. Pak Anton telah
“selesai” walaupun belum penetrasi. Belum ?. Tepatnya belum
sempurna. Aku yakin baru kepala penisnya saja yang masuk.
Dengan begitu Aku coba meyakinkan diriku sendiri bahwa tadi
memang ‘belum terjadi sesuatu’. Pak Anton gagal memaksakan
kehendaknya. Diam-diam Aku bersyukur.
Hanya sebentar dia menindih tubuhku, Pak Anton lalu bangkit
membenahi pakaiannya. Kupandangi dia satu-persatu mengenakan
pakaiannya. Matanya menunduk terus, tak berani menatap
mataku. Tanpa berkata sepatahpun dia lalu keluar kamar.
Mungkin dia malu …rasain !

Sejak peristiwa percobaan perkosaan Pak Anton terhadapku
hidupku jadi tak tenang. Kerja diliputi perasaan was-was,
jangan-jangan pas Bu Anton keluar rumah Pak Anton datang siang
hari seperti kemarin untuk mengulangi usahanya menyetubuhiku.
Jelas Aku tak berani lagi bermain-main dengan Putri untuk
mengemoti putingku. Aku juga tak berani dekat-dekat dengan
Pak Anton. Kalau dia ingin ngemong Putri lebih baik Aku
menyingkir jauh-jauh. Untunglah Pak Anton memang jarang pulang
siang.

Teringat kejadian kemarin itu sungguh membuatku ketakutan.
Betapa tidak, Aku nyaris saja diperkosa oleh majikanku.
Untunglah dia keburu keluar, kalau tidak pasti hal itu akan
terjadi sebab Aku sendiri sudah tak berdaya menolaknya. Aku
sempat menyerah karena bukan saja Pak Anton terlalu kuat
memaksaku, tapi juga karena Aku mulai “merasakan enaknya”.
Inilah yang Aku sesali terus-menerus. Aku juga menyalahkan
Mas Adi, kenapa dia lama tak mendatangiku. Sejak Aku
merasakan nikmatnya orgasme bersama Mas Adi, milikku yang di
bawah sana itu terus-terusan minta diisi. Mauku setiap hari
Mas Adi menyetubuhiku. Tapi sekarang dia jauh dan belum tentu
setiap minggu bisa ke Jakarta. Wajar ‘kan bila Aku juga
menyalahkan Mas Adi ? Sebenarnya sih Aku juga salah, kenapa
Aku dulu minta Mas Adi untuk terus masuk sehingga Aku
kehilangan kegadisanku, lalu jadi ketagihan. Sudahlah. Aku
tak menyesal mempersembahkan keperawananku kepada pria yang
kucintai itu. Hanya kenapa dia tidak selalu ada bila
selangkanganku berdenyut-denyut.

Sekarang, ada masalah baru. Pak Anton orang yang terhormat
itu menginginkanku. Dan orang itu sehari-hari berada di
sekelilingku. Tentu dia akan terus mencoba. Jelas Aku akan
berusaha sekuat tenaga untuk menolaknya, tapi sampai kapan
Aku mampu terus menghindar ? Mungkin satu-satunya jalan untuk
mencegah terjadinya pemaksaan hanyalah bila Aku berhenti
kerja. Ini yang tak kuinginkan. Mungkin Aku harus mulai
mencari-cari pekerjaan baru. Sungguh suatu hal yang tak mudah
mendapatkan pekerjaan di masa multikrisis begini. Nantilah
Aku akan minta tolong Mas Adi mencarikan lowongan di Semarang
saja. Kalau Mas Adi tanya Aku punya alasan yang kuat, agar
bisa selalu bersama Mas Adi.

Perkiraanku benar, Pak Anton tak berhenti mencoba, malah dia
semakin kurang ajar. Kalau ada kesempatan dia berada dekat
denganku sementara Bu Anton ada di lantai atas, pinggulku
diremasnya. “Pantatmu bagus” katanya pelan. Aku hanya bisa
menepis tangannya, tak berteriak khawatir kedengaran
isterinya. Di lain kesempatan dia dengan diam-diam
mendekatiku dari belakang lalu merapatkan tubuhnya. Aku
hampir saja teriak.
“Ssstt Ti..”
Aku berusaha melepaskan dekapannya tapi dia makin ketat
memelukku. Kurasakan miliknya yang tegang menekan-nekan
pantatku.
“Cuman gini aja kok…bentar aja…” bisiknya.
Ketika Aku berhasil lolos dari dekapannya, kulihat Pak Anton
sengaja mengeluarkan penisnya sebelum mendekapku. Orang ini
sudah tak waras, pikirku.
Oh Mas Adi, tolonglah Aku … cepat datanglah. Aku tak tahan
lagi !

***

Penantianku berujung juga, akhirnya. Mas Adi nelepon liburan
besok mau ke Jakarta. Wah … betapa gembiranya Aku,
sampai-sampai mataku basah. Minggu pagi Aku mau dijemput. Tiba
saatnya pagi-pagi Aku membereskan Putri dulu sebelum
‘kuserahkan’ pada ibunya. Lalu Aku mandi sambil
bernyanyi-nyanyi gembira. Rasanya ini mandi yang paling lama.

Sekitar pukul 8 pagi Mas Adi udah nongol. Ingin rasanya Aku
memeluknya erat-erat, tapi mana bisa dilakukan disini. Kami
duduk di ruang terletak belakang garasi, Aku memang biasa
menemuinya di situ.
“Ti … rasanya Aku pengin nubruk kamu” katanya pelan-pelan.
“Tubruk aja Mas, Aku udah siap kok” tantangku.
Dicubitnya pipiku, lalu …
“Selamat pagi, Bu” Eh … Bu Anton nongol, jelas dia sempat
melihat Mas Adi mencubit pipiku. Aku jadi malu.
“Pagi Di. Kapan datang ?” untung Bu Anton pura-pura tak tahu.
“Tadi pagi jam setengah lima”
“Naik apa”
“Bus malam, Bu”
“Ya udah, silakan aja. Ti, bikin minuman, dong”
“Oh iya … sampai lupa …”
Kubuatkan Mas Adi teh panas manis, kesukaannya.
“Jam lima udah nyampe ?” tanyaku
“Ya”
“Langsung ke rumah Oom ?”
“Engga”
“Lalu ?”
“Udahlah. Sekarang aja yuk kita pergi”
“Yuk. Habisin dulu tehnya”
Aku pamit ke Bu Anton. Lalu sambil menggandeng tangan Mas Adi
Aku keluar, rasanya bahagia benar Aku pagi ini. Di teras ada
Pak Anton lagi baca koran. Dia sempat melihat Aku melepaskan
tangan Mas Adi. Aku juga pamitan. Pak Anton bukannya
langsung bilang ‘Ya’ tapi melongo melihatku. Matanya meneliti
dari ujung rambut ke ujung jariku.
“Saya pergi, Pak” kuulangi pamitanku.
“Eh … ya ..ya” sahutnya.
Ketika telah keluar pagar, Mas Adi menggamitku.
“Kenapa sih Pak Anton ?” tanya Mas Adi.
“Dia emang biasa acuh” jawabku.
“Justru engga. Jangan-jangan naksir kamu”
OH ! sekejap Aku tercekat. Lalu ingat bagaimana Pak Anton
sempat menelanjangiku dan bahkan sempat menyusupkan kepala
penisnya.
“Mas !” kataku sambil mencubit lengannya.
“Aaw … cuma bercanda gitu aja kok marah …” Untunglah Mas
Adi hanya bergurau. Gurauan yang tepat sasaran !

Kami mencegat taksi dan Mas Adi menyebutkan tujuannya. Kalau
tak salah itu nama hotel kecil. Kutatap mata Mas Adi.
“Aku tadi langsung ke hotel, habis masih gelap” bisiknya.
Diam-diam Aku senang. Berarti nanti Aku bisa langsung
meluapkan rasa rindu.
“Sempet tidur dulu tadi sejam” lanjutnya.
Sampai di hotel kami langsung menuju kamar. Petugas front
office melihat kami cuma sekilas, lalu nunduk lagi.

Begitu Mas Adi selesai mengunci kamar, Aku dipeluknya kencang
sekali sampai sesak.
“Oh ..Ti …kangen banget”
“Narti juga Mas …”
Lalu bibirku dilumatnya habis-habisan, lidahnya menerobos
masuk mulutku. Kami berciuman sambil saling memainkan lidah.
Kurasakan milik Mas Adi mengeras. Mas Adi melepaskan pelukan
dan langsung melepas kancing-kancing gaunku. Aku menunggu
sambil dadaku naik-turun seirama alunan nafasku yang mulai
memburu. Gaunku jatuh ke lantai. Mas Adi dengan cepat
menelanjangi diri sampai bugil. Penisnya sudah tegang
mengacung. Lalu perlahan dia mendorong tubuhku hingga rebah
ke kasur, dan menindih tubuhku.

Tekanan tubuh telanjang Mas Adi di atas tubuhku makin kuat.
Kedua belah tanganku dibentangnya untuk ditindih oleh kedua
belah tangannya pula. Kesepuluh jari-jari tangan Mas Adi
meremasi sepuluh jari-jari tanganku. Lalu sebelah tangannya
menyusup dibalik punggungku. Aku tahu apa yang akan
dilakukannya, melepas kaitan bra-ku. Mas Andi memang punya
cara sendiri dalam proses persetubuhan. Sebelum menindih
tubuhku dia lebih dulu bertelanjang bulat, sementara Aku
masih mengenakan bra dan CDku.

Aku menyukai cara dia ‘memperlakukan’ buah dadaku, aku sampai
hafal tahapannya. Kali inipun prosesnya sepertinya akan
berjalan sama. Perlahan dia membuka bra-ku, lalu sejenak
dipandanginya kedua buah dadaku bergantian kanan-kiri. Dia
memang selalu mengagumi bentuk dadaku. “Bulatan yang sempurna”
katanya suatu ketika. Kemudian telapak tangannya mengelusi
bulatan bukit-bukit dadaku. Cara mengelusi permukaan bukitku
yang ‘mengambang’, antara terasa dan tidak justru membuatku
bergidik. Kemudian dilanjutkan dengan sentuhan-sentuhan lembut
di kedua putingku yang semakin membuatku ‘naik’. Aku memang
paling tak tahan kalau dadaku disentuh. Bagiku daerah itu
memang sensitif, selain daerah paha bagian dalam dan, tentu
saja seluruh wilayah vaginaku. Lalu tahap-tahap perlakuan
kepada buah dadaku diulangnya tapi proses yang kedua ini
dilakukan dengan mulut dan lidahnya yang berujung kemotan
nikmat di puting dadaku.

Lalu ketika ciuman Mas Adi bergeser makin ke bawah, dia
langsung menyerbu selangkanganku yang masih tertutup CD.
Digigitinya daerahku di situ dan tubuhku berkelojotan.
Nafsuku makin naik. Tubuh Mas Adi lalu bangkit, perlahan
dipelorotkannya CDku dan pahaku dibentangnya. Biasanya tahap
berikut adalah Mas Adi membenamkan mukanya ke situ. Tapi Aku
sudah demikian ‘matang’ lembab. Kutahan kepalanya yang mulai
menunduk. Mas Adi mengerti, penisnya yang tegak menegang
gagah segera diarahkan ke kelaminku.

Inilah saat-saat indah yang menegangkan, saat penantian
dimana miliknya yang berwarna kegelapan mulai memasuki
tubuhku, saat memulai rasa nikmat. Adalah merupakan
‘kesepakatan’ kami berdua bahwa penetrasi harus dia lakukan
dengan perlahan dan bertahap, tak boleh terburu-buru, apapun
alasannya. Demikian pula saat memompanya, masuk perlahan
sampai seluruh batang penisnya tenggelam, lalu menariknya
secara perlahan pula. Sehingga Aku bisa menikmati sensasi
gesekan pada relung-relung liang senggamaku. Paling tidak
untuk belasan kali ‘pompaan’ dulu, selanjutnya terserah Anda,
eh .. Mas Adi untuk membuat variasi gerakan sampai akhirnya
Mas Adi membiarkan Aku menikmati detik-detik orgasme-ku lebih
dulu dengan melayang-layang ke awan kenikmatan. Setelah Aku
kembali ‘mendarat’ di bumi, barulah Mas Adi melanjutkan
pompaannya sampai dia mencabutnya dan menumpahkan ‘air
kehidupan’ di perutku …

Begitulah umumnya persetubuhan yang kami lakukan berjalan.
Kami selalu mampu mencapai puncak kenikmatan dengan cara itu.
Tentu saja proses seperti itu tidak begitu saja kami temukan.
Didahului dengan kegagalan-kegagalanku mencapai ‘the big O’
pada awal-awal persetubuhan kami, kami terus berusaha,
berbicara terbuka tentang perlakuan-perlakuan Mas Adi apa saja
yang membuatku nikmat, demikian pula sebaliknya. Aku bisa
menemukan 3 daerah tubuhku yang sensitif ini juga berkat
diskusi yang terbuka (dan juga “percobaan-percobaan”) yang
kami lakukan. Sementara bagi Mas Adi daerah sensitifnya
terpusat pada hanya yang satu itu…. Entahlah apa semua
lelaki memang begitu, Aku tak tahu. Oleh karena itulah Aku
kini rela melakukan oral untuknya, meskipun pada awalnya Aku
begitu jengah melakukannya.

Bukan faktor keterbukaan itu saja yang membuat hubungan seks
kami menjadi begitu nikmat. Faktor lainnya adalah –dan ini
yang terpenting– kami saling mencintai. Kami menjadi saling
tergantung. Bagiku Mas Adi adalah segalanya, demikian pula
sebaliknya. Jadi, seandainya Aku bilang –dengan gaya
menggurui– faktor penting yang membuat hubungan seks menjadi
’surga’ adalah saling mencintai dan keterbukaan, bukanlah
omong kosong, karena Aku mengalaminya sendiri. (Bagaimana
dengan Anda pembaca ?).

***

Liburan akhir minggu ini keluarga Anton akan berlibur ke
Bandung. Rencana berangkat Jumat pagi-pagi sekali karena Pak
Anton ada urusan bisnis dulu pada hari Jumat dan pulangnya
Minggu sore. Bu Anton memintaku untuk ikut pergi dan Aku
sudah menyatakan bersedia, sebab Mas Adi minggu ini tak bisa
ke Jakarta. Ada perasaan senang yang bercampur khawatir.
Senang karena selama berlibur toh tugasku sama saja kalau di
rumah, mengasuh Putri. Aku bisa menikmati menginap di hotel
mewah dan makan enak. Keluarga kaya ini selalu memilih hotel
besar bila berlibur. Lagi pula Aku belum pernah lihat kota
Bandung. Khawatir karena Pak Anton memanfaatkan kesempatan
ini untuk mencoba menyetubuhiku lagi. Aku tak mau peristiwa
itu terulang lagi. Cukuplah sekali saja penderitaan itu.
Amat susah menghilangkan rasa bersalahku kepada Mas Adi yang
sampai kini masih kurasakan.

Sekitar setengah enam pagi kami meninggalkan Jakarta menuju
Bandung dengan mobil Pak Anton. Bang Hasan yang menyetir
mobil mewah dan besar ini. Aku duduk di depan sambil
menggendong Putri yang masih tidur. Pak dan Bu Anton di jok
belakang bersama Si Ricky. Ketika baru masuk tol Jagorawi
Putri bangun. Bagiku lebih merepotkan, karena dia
meloncat-loncat di pangkuanku dan terkadang merayap ke
belakang minta ikut ibunya. Sampai masuk Bandung sekitar pukul
sepuluh Putri tak tidur lagi. Kami langsung menuju hotel H
yang besar dan ramai di jalan yang kemudian Aku tahu namanya
jalan Juanda. Tak jauh dari hotel ini ada Mall yang lumayan
besar. Keluarga Anton menempati dua kamar yang bersebelahan.
Satu untuk suami isteri kaya itu dan satu lagi untuk Aku dan
dua anaknya. Bang Hasan rupanya tak ikut menginap di hotel,
dia minta izin mengunjungi familinya di Bandung dan hari
Minggu akan bergabung kembali.

Tak berapa lama masuk kamar Putri ketiduran lagi. Kugunakan
kesempatan ini untuk berberes-beres peralatan Putri. Setelah
itu Aku berniat mau mandi. Si Ricky tadi hanya menaruh tasnya
terus langsung keluar lagi, mau ke lobby katanya. Selesai
Aku mandi Si Ricky sudah kembali, Putri masih tidur. Ricky
langsung masuk kamar mandi. Aku masih belum terbiasa tinggal
di hotel, jadi waktu masuk kamar mandi tadi Aku tak membawa
pakaian dalam, seperti kebiasaan di kamarku. Jadi Aku keluar
kamar mandi hanya mengenakan daster saja tanpa daleman. Aku
bermaksud mau mengenakan bra dan CD khawatir nanti tiba-tiba
Ricky keluar dari kamar mandi. Aku duduk di ranjang dengan
tangan menggenggam pakaian dalam menunggu keluarnya Ricky.

Begitu keluar dari kamar mandi Aku belum sempat bangkit Ricky
langsung duduk di pangkuanku, menyandarkan punggungnya ke
dadaku.
“Entar dong Mas, mBak mau mandi dulu”
“Lho, tadi mBak kan udah mandi” Aku salah omong, maksudnya
mau ke kamar mandi.
“Mau ke kamar mandi, ganti baju”
“Bentar aja mBak, capek nih”
Tanpa kuduga Ricky memutar punggungnya dan lalu tangannya
mengusap buah dadaku.
“Mas …. engga boleh nakal gitu” Aku kaget.
“Pantesan …. empuk. Mbak gak pakai beha, ya”
“Ini mau dipakai. Makanya Mas bangun dong”kataku sambil
menunjukkan isi genggaman tanganku.
“Pakai di sini aja, mBak”
“Engga !”
Lagi-lagi Ricky membuat gerakan tak terduga, belahan dasterku
dikuaknya.
“Lihat ya Mbak ….”
Dengan cepat Aku mencegah tangannya dan lalu mendororng
tubuhnya dari pangkuanku.
“Kalo Mas nakal gitu, entar gak boleh pangku lagi, lho”
“Ya deh mBak, sorry…”

***

Selesai sarapan rencananya semua keluar pakai mobil Pak Anton
yang setir. Pak Anton ke kantor sedangkan Bu Anton, Ricky,
Aku dan Putri nanti turun di Mall untuk jalan-jalan. Tapi
karena Si Putri masih pulas tidurnya, Aku tak jadi ikut,
nungguin Putri. Tinggalah Aku di kamar sendiri, Putri
begitu pulasnya. Aku rebahan di sebelahnya sambil baca
majalah, tapi tak bisa konsentrasi. Ingatanku ke Mas Adi
melulu. Aku bayangkan bila saja Mas Adi sekarang ada di sini
…. ooh bisa dua atau tiga ronde kita ’selesaikan’ sementara
menunggu mereka pulang. Bisa dilakukan di kasur ini, atau di
atas karpet yang cukup tebal, atau di kamar mandi. Ya, di
kamar mandi Aku duduk di tepian meja dekat wastafel dengan
kaki membuka, lalu Mas Adi masuk sambil berdiri. Membayangkan
itu semua Aku jadi basah …

Khalayanku berlanjut. Kubayangkan Mas Adi telanjang bulat
menindih tubuhku, lalu membukai dasterku dan menciumi buah
dadaku. Pada kenyataannya tangan kiriku sendiri yang membuka
kancing daster dan mengeluarkan buah dadaku dari bra, lalu
jempol dan telunjukku memelintir puting dadaku. Ciuman Mas
Adi bergeser ke bawah menciumi perutku. Pahaku kubentangkan
lebar seolah menampung kepala Mas Adi yang sedang menjilati
clit-ku yang membasah (kenyataannya : tangan kananku telah
menyusup ke cd dan mulai menggosok-gosok). Nafasku makin
memburu. Gelisah. Tubuhku berkelejotan dan serasa mulai
melayang ….

Tiba-tiba kudengar pintu diketuk. Aku kembali mendarat ke
bumi dan dengan gugup merapikan bra dan dasterku. Sambil
menyeka keringat di wajahku Aku berjalan menuju pintu.
“Oh … Pak ….” Kaget bukan main Aku, ternyata Pak Anton.
Tanpa bersuara Pak Anton langsung masuk dan menutup pintu
kembali. Tiba-tiba Aku sadar akan bahaya yang bakal
mengancamku. Celaka !
“Bapak engga ke kantor” tanyaku mengatasi rasa gugup.
“Sstt…” jawabnya sambil memberi tanda menyilangkan jari di
bibirnya dan mendekatiku. Kedua tangannya ke bahu kanan
kiriku. Lalu sebelah tangannya membelai pipiku.
“Narti …..”panggilnya dengan suara serak. Lidahku kelu.
“Kuminta kamu rela ……..” jarinya merabai bibirku.
“Tidak, Pak. Jangan ……” bibirnya menutup bibirku dan lalu
melumatinya. Kedua belah angannya merangkul tubuhku. Aku
dipeluknya erat sekali. Kurasakan benda keras itu menghunjam
perutku. Uh …keras banget.

Aku melepas ciuman, tapi tak mampu melepaskan rangkulannya.
“Kumohon Pak …. jangan” kataku menghiba. Dadaku diremasnya.
Aku menepis. Tangannya pindah ke pantatku, diremasnya pula.
Lagi-lagi Aku menepis. Masih sambil memeluk tubuhku di
dorongnya hingga Aku rebah di ranjang Ricky. Disingkapnya rok
dasterku dan dipelorotkannya cd-ku. Gerakan yang tiba-tiba
dan tak terduga ini gagal kucegah. Lalu Pak Anton membenamkan
wajahnya di selangkanganku. Kututup pahaku hingga menjepit
kepalanya. Pak Anton bangkit melepaskan jepitan pahaku.
“Narti …. tolonglah … sebentar saja”
“Jangan Pak …. ” kataku setengah menangis.
“Sekali ini saja, udah itu saya tak akan ganggu lagi, Ti…”
Tangan kuat Pak Anton membuka pahaku. Percuma. Sia-sia saja
melawan gerakan Pak Anton yang kuat. Kubiarkan dia menjilati
kewanitaanku. Aku malu Pak Anton tahu Aku telah basah.
Akhirnya Aku pasrah. Semoga dia benar-benar menepati
janjinya, hanya sekali ini saja. Toh seperti dulu, dia
hanya sebentar saja.

Oh … lidahnya sungguh amat berpengalaman, membuatku secara
perlahan mulai “naik”. Aku muak dengan kelakuan majikanku
ini, tapi Aku tak berdaya melawannya. Aku benci ! Aku
membenci diriku sendiri yang tak berdaya melawan, malah
terrangsang. Dalam keadaan frustasi begini apa yang bisa
kulakukan selain menangis. Apalagi kini Pak Anton telah
telanjang bulat dengan penis keras mendongak. Penis yang
membuat Bu Anton merintih-rintih keenakan. Penis yang pernah
sebentar memasuki tubuhku dan kini akan memasukinya lagi.

Tangisanku yang sesenggukan menghentikan gerak Pak Anton yang
telah membentangkan pahaku dan siap menusuk. Pak Anton
merangkak mendekati mukaku.
“Ti … kumohon kamu rela ….. sekali ini saja …”
Aku masih sesenggukan.
“Sekali ini saja … melayaniku, Ti …”
“Kenapa engga sama Ibu aja ….”
Lalu mulailah Pak Anton ngoceh nerocos tentang perlunya
variasi bagi pria yang sudah belasan tahun menikah. Tentang
dia tak berani meniduri perempuan sembarangan bila butuh
variasi. Dia bisa saja ‘membeli’ perempuan yang paling mahal
sekalipun, tapi dia tak mau melakukan. Seks dengan membeli itu
sama sekali tak nikmat dan penuh resiko kena penyakit. Cerita
berlanjut bagaimana dia telah mengamatiku dari sejak Aku mulai
bekerja. Mengamati pergaulanku. Sehingga sampai pada
kesimpulan bahwa Aku “bersih”. Dia makin yakin setelah
menikmati ‘aroma’ kewanitaanku.
“Si Adi sungguh beruntung” katanya lagi.
“Punyamu sungguh berbeda” sambungnya.
“Enak banget …. legit” katanya lagi makin ngaco merayuku.
“Itulah kenapa saya tak kuat lama ….” Akunya.
“Okay, sekarang jangan nangis lagi ya … saya minta kamu
ikhlas memberikan”
Pak Anton menggeser tubuhnya ke atas lagi sampai penisnya
mendekati mukaku. Kulihat penis itu tak setegang tadi. Agak
menurun. Lalu penis itu disentuhkan ke mulutku. Tiba-tiba
terlintas dalam benakku. Lebih baik Aku oral saja dia sampai
keluar lalu kumuntahkan maninya, daripada dia menyetubuhiku.
Mendapatkan ide itu Aku tak menolak ketika penis itu mulai
menerobos mulutku. Pak Anton mendesah. Aku tinggal
membayangkan sedang mengulum penis Mas Adi. Benda itu dengan
segera membengkak dan mengeras. Aku makin intensif
menguluminya. Tapi Pak Anton mencabutnya. Aku kira dia akan
muntah, tapi tidak.

Pak Anton bangkit. Dibukanya pahaku lebar-lebar, lalu
mengambil posisi siap tusuk. Menekan dan ‘kepala’nya masuk.
Dipompanya sambil membentang pahaku lebih lebar lagi. Perlahan
penisnya marasuk lebih dalam. Pompa lagi dan secara perlahan
tapi pasti terus masuk. Sampai akhirnya seluruh batang telah
tenggelam. Tubuhnya rebah menindihku, kedua belah tangannya
menyusup ke punggungku dan memeluk kuat tubuhku. Perlahan
pinggulnya mulai memompa. Naik-turun dan kanan-kiri. Kadang
diputar.
“Ooh …. kamu benar-benar sedap …..” bisiknya dekat
telingaku.
Oh … dia benar-benar telah menyetubuhiku. Pak Anton
meniduri pengasuh anaknya dengan “disaksikan” oleh anaknya
sendiri. Pak Anton asyik berhubungan seks dengan wanita bukan
isterinya sementara anaknya tidur di ranjang yang hanya
semeter jaraknya !

Kuharapkan beberapa kali pompaan Pak Anton segera mencabut dan
menumpahkannya di perutku seperti waktu lalu. Harapanku
meleset. Sudah belasan pompaan tak ada tanda-tanda ’sampai’.
Justru timbul kekhawatiranku, aku mulai menikmati pompaannya
! Sungguh lihai dia membuat variasi gerak pompaan. Tusukan
’setengah’ dikombinasi dengan tusukan full. Tusukan ‘arah’
atas bervariasi dengan arah bawah. Hunjaman dari kiri
bergantian dengan dari kanan. Pak Anton yang sekarang sedang
memompaku berbeda dengan Pak Anton beberapa hari lalu. Entah
kenapa dia jadi kuat sekarang. Hampir menyamai Mas Adi. Terus
terang tubuhku mulai terangkat dan melayang …

Suatu saat di tengah pompaan Pak Anton tiba-tiba mencabut.
(dan … ah, sialan Aku jadi merasa ‘kehilangan’). Tiba
saatnya juga akhirnya. Detik berikutnya akan kurasakan
tumpahan hangat di perutku. Oh … tapi tidak ! Penis itu
masih mengacung gagah.
“Gantian Ti …. Aku di bawah …” pintanya. Aku mau saja
bangkit dan memberi kesempatan Pak Anton rebah terlentang.
Lalu tanpa diminta Aku melangkah mengangkangi tubuhnya.
Dengan Mas Adi Aku memang biasa berganti posisi Aku di atas.
Jadi Aku tahu maksud Pak Anton. Aku jadi tak malu-malu lagi
menuntun penis Pak Anton agar tepat arahnya sebelum Aku
menduduki tubuhnya. Aku juga tak malu menggoyang pinggulku di
atas tubuh Pak Anton. Bahkan ikut ‘membantu’ kedua belah
telapak Pak Anton meremasi buah dadaku. Lalu dia mengangkat
punggungnya dan memeluk tubuhku.
“Ohh … sedapnya kamu Ti …” Pelukannya makin erat sehingga
tak memungkinkan kami bergoyang lagi. Tubuhnya diam memeluk.
Celaka, jangan-jangan dia keluar. Dalam posisi begini jadi
susah mencabutnya. Ternyata tidak.
“Ganti posisi lagi ya sayang …” Uh, dia memanggilku dengan
’sayang’. Kulepaskan penisnya lalu Aku turun dari pangkuannya
dan ambil posisi terlentang. Kulihat penisnya masih perkasa
begitu. Sungguh mengherankan, berbeda jauh dibanding beberapa
hari lalu …

“Telungkup …Ti” perintahnya. Ohoi, Aku nurut saja. Begitu
juga ketika dia mengatur posisiku seperti merangkak. Gaya apa
pula ini ? Mas Adi belum pernah begini. Punggungku dimintanya
lebih merendah lagi. Pinggul bertumpu pada lutut. Dan …..
ahh … penis Pak Anton memasuki tubuhku dari arah belakang
(belakangan Aku tahu ini adalah gaya ‘doggie’), persetubuhan
gaya anjing. Enak juga …

Gila nih lelaki, masih belum nyampe juga. Padahal beberapa
hari lalu dia ‘peltu’, menempel langsung ‘metu’ (keluar).
Setelah banyak tusukan gaya doggie, Pak Anton minta mengubah
lagi dengan gaya ‘biasa’, Aku di bawah. Rasanya gaya ini
yang paling mendatangkan kenikmatan. Kembali Pak Anton
mempraktekkan berbagai variasi tusukan. Dan … Oh … Aku
juga tak kalah seru merintih dan melenguh. Merambat naik
pelan dan pasti. Serasa tubuh mulai terangkat dan
melayang-layang. Makin tinggi dan tinggi ….. dan …..
tubuhku bergetar. Tepatnya ‘kedutan’ tubuh yang teratur dan di
luar kontrolku. Kesadaranku sejenak hilang. Hawa nikmat yang
terpusat di selangkanganku kini menyebar ke seluruh tubuh,
sampai ke ujung-ujung jari sekalipun. Sampai-sampai tubuh Pak
Anton ikut berkedut, karena selama proses “the big-O”ku ini
dia menghentikan tusukannya dan mendekap tubuhku kuat-kuat.

Ketika beberapa saat kemudian kedutan tubuhku makin melemah,
Pak Anton melepas dekapannya dan bangkit lalu mulai menusuki
lagi. Ampuun …. rasanya …. ngilu ! Untunglah
penderitaanku ini tak lama. Suatu saat dia mempercepat
pompaannya, lalu penisnya dicabut dan tumpah di perutku.
Maninya membasahi perutku yang telah basah oleh keringat.
Keringat kami berdua.
“Uuhh …. uuhhh …. “lenguhnya di sela-sela tarikan nafasnya
yang memburu.
Lalu tubuh itu rebah di atas tubuhku. Kurasakan berat
tubuhnya bertambah. Mungkin karena dia lemas sehingga
membebankan seluruh berat tubuhnya pada tubuhku.
“Ooh …Ti …. kamu sedap banget ….”bisiknya di dekat
telingaku sambil masih terengah.
Aku diam.
Pipiku diciumnya, lalu
“Punyamu itu …. nikmat banget ….”
Aku masih diam.
“Sempit dan legit …..”

Tiba-tiba Aku tersadar. Aku yang sedang dalam proses mendarat
kembali ke bumi serasa dibangunkan dari mimpi. Ucapan Pak
Anton yang terakhir itulah yang menyadarkanku. Sadar betapa
bodohnya Aku. Bagi Pak Anton Aku adalah bukan siapa-siapa.
Aku hanyalah seonggok daging yang dipilihnya karena ’sempit
dan legit’. Memang baru saja dia memberiku kepuasan sama
seperti yang dilakukan Mas Adi, tapi itu hanyalah ‘efek
samping’ dalam rangka usaha dia mencapai kenikmatan. Aku
hanyalah sebongkah tubuh alat pemuas nafsu. Celakanya Aku
membiarkan saja semuanya terjadi. Membiarkan tubuhku ini
sebagai alat dia mencari kenikmatan. Posisiku sebagai pekerja
tak mampu menolak umbaran nafsunya. Posisiku memang lemah.

Dalam diriku tiba-tiba muncul rasa benci. Benci kepada diriku
sendiri kenapa jatuh pada posisi yang lemah begini. Juga
benci kepada tubuh yang menindihku, majikanku ini, yang
telah memanfaatkan posisi di atas anginnya untuk mendapatkan
kenikmatan. Aku marah. Darahku mendidih. Aku berontak.
Dengan mudah Aku lepas dari dekapan Pak Anton dan tubuh itu
terguling dari badanku, bahkan dia hampir terjerembab ke
karpet.
“Ti ….. ” teriaknya.
Aku tak peduli. Aku bangkit masuk ke kamar mandi.
Seharusnya Aku tadi mendorong tubuhnya biar sampai jatuh.
Seharusnya Aku tadi memakinya ketika dia teriak.
Tapi Aku tak berbuat apa-apa. Rasa benci dan marah hanya bisa
membuatku menangis. Pak Anton masuk.
“Kenapa nangis, Ti ?”
Kenapa kepalamu !
Bahuku disentuh. Langsung tangannya kutepiskan.
“Bapak lebih baik keluar sekarang” teriakku.
“Ya ..ya….tapi kenapa ?”
“Atau saya telepon Ibu ?”
“Okay …. okay ….” dengan cepat dia keluar. Kukunci pintu
kamar mandi. Kulanjutkan tangisku. Aku benar-benar
membencinya.
Sejurus kemudian pintu kamar mandi diketuk. Pak Anton
memanggil-manggil namaku.
“Bapak belum juga keluar !” teriakku.
“Putri bangun, Ti …”
“Pokoknya keluar dulu !”

Kubersihkan tubuhku dari ceceran mani Si Maniak itu. Setelah
Aku yakin Pak Anton telah keluar kamar, Aku baru keluar kamar
mandi. Kudapati Putri nangis di pinggir ranjang, hampir
jatuh, kubiarkan saja. Aku jadi malas mengurusnya. Tapi
lama-lama Aku kasian juga, anak ini tak bersalah. Yang jahat
adalah bapaknya, kenapa dia yang jadi korban ? Kuambil Putri
dan kupangku, langsung saja dia menyergap buah dadaku. Oh …
Aku baru sadar belum berpakaian. Ah biar saja, Putri begitu
asyik mengemoti putingku. Biar saja kalau tiba-tiba Bu Anton
masuk melihat Aku ‘menyusui’ anaknya. Sekalian saja Aku akan
bilang tingkah suaminya yang telah meniduriku. Biar mereka
bertengkar. Biar. Begitu bencinya Aku pada Pak Anton,
diam-diam tumbuh rasa dendam di hatiku. Ingin membalas
kelakuannya. Tapi bagaimana cara membalasnya ? Sekarang
memang belum terpikirkan. Pokoknya nanti begitu ada
kesempatan, aku akan melakukannya.

Aku tak tahu apa yang harus kukerjakan siang ini. Bu Anton
dan Ricky belum pulang dari Mall, Si Putri sudah tertidur.
Ah, lebih baik Aku tidur saja, lelah juga tubuhku dikerjain
oleh Si Munafik itu. Dia benar-benar munafik. Sering sekali
dia menunjukkan keluarga yang harmonis, sangat sayang kepada
isterinya. Tapi dibelakang isterinya diam-diam dia meniduri
pengasuh anaknya, sambil menceritakan kekurangan isterinya.

Kurapikan tempat tidur kembali. Kutata sprei yang berantakan
dan kubetulkan letak bantal. Tiba-tiba mataku menangkap ada
sampul tertutup di bawah bantal. Sampul surat berlogo
perusahaan Pak Anton dan tak ada tulisan tangan di atasnya.
Milik siapa ini ? Karena rasa penasaranku kubuka sampul itu.
Ternyata isinya setumpuk uang dan selembar kertas bertulisan
tangan : “Narti, Bapak puas banget. Terima kasih ya. Besok
Bapak hubungi lagi”
Mandadak darahku mendidih. Kurobek kertas itu dan kulempar
amplopnya. Isinya berantakan dilantai. Kurang ajar !
Dianggapnya Aku ini apa ? Perempuan bayaran ? Benar-benar
suatu penghinaan dan pelecehan ! Tak pernah sedikitpun
terlintas di kepalaku untuk menerima banyak uang tanpa
bekerja. Untuk apa Aku bersusah payah kerja sebagai perawat
di rumah sakit ? Untuk apa Aku kerja sebagai baby sitter ?

Niatku makin bulat untuk membalas dendam. Hati boleh panas
tapi kepala harus tetap dingin, begitulah ajaran ibuku. Mana
bisa menyusun rencana pembalasan dengan kepala panas ? Aku
coba untuk mendinginkan diri. Kukumpulkan kembali uang yang
berserakan itu, Aku masukkan ke dalam sampulnya bersama
secarik kertas tulisannya. Rencana uang itu akan kusimpan
saja, tak akan kugunakan. Jumlahnya hampir sama dengan dua
bulan gajiku.

***

Ketika keluarga Anton makan malam bersama di restoran hotel,
Aku ikut untuk menyuapi Putri. Sesekali ekor mataku menangkap
mata Pak Anton mencuri-curi pandang ke arahku. Suatu saat
dengan memasang muka marah kutatap mata Pak Anton, aha …
dia cepat menunduk dan jadi salah tingkah.

Selesai makan kami jalan-jalan menyusuri jalan depan hotel
menikmati udara malam Bandung yang sejuk, lalu masuk ke
(lagi-lagi) Mall. Beginilah model orang kaya berlibur. Kalau
tidak ke luar negeri, ke Bali, atau jalan-jalan ke Mall
membeli apa saja. Suatu saat di sebuah butik di lantai 1 Bu
Anton sedang sibuk memilih-milih pakaian, Pak Anton
mendekatiku.
“Awas … saya akan teriak” bisikku ketika tangannya mulai
menjamah pipi Putri yang kugendong. Aku mengantisipasi
gerakan tangan dia selanjutnya.
Pak Anton langsung menjauh. Ciut juga nyalinya. Mungkin saja
dia memang hanya ingin menyentuh anaknya, bukan menjamahku,
Aku tak peduli.

Pulang dari jalan-jalan Aku sudah demikian lelahnya ingin
cepat-cepat merebahkan tubuh. Untunglah Putri sudah lelap.
Ricky menonton TV.
“Kecilin suaranya ya Mas, mbak mau tidur” Ricky mematuhiku.
Lalu Aku terlelap ….
Aku memimpikan Mas Adi tiba-tiba menyusul ke Bandung dan
marah-marah kenapa Aku mau saja ditiduri Pak Anton. Sambil
menangis Aku menjelaskan situasinya yang menyudutkanku. Aku
juga menyalahkannya. Lalu tiba-tiba Mas Adi telah menindih
tubuhku. Dibukanya kancing dasterku dan kemudian bra-ku.
Diusapnya bulatan buah dadaku, usapan seperti biasa,
mengambang antara sentuhan dan tidak. Lalu puting dadaku
dikemotnya. Aku terbangun …

Kaget bukan main Aku. Begitu membuka mata kurasakan sesosok
tubuh menindihku. Ah ini mimpi. Ketika kesadaranku berangsur
pulih, hey … ini bukan mimpi. Samar-samar kulihat tubuh itu
benar-benar ada. Kepalanya menyusup di dadaku. Mulut itu
benar-benar mengulumi. Kemotannya terasa di putingku. Aku
berusaha bangkit, ah tubuhku lemah, kesadaranku belum pulih
benar. Tubuhku hanya sedikit terangkat. Kuluman itu terlepas.
Ketika Aku benar-benar telah sadar sepenuhnya, kuangkat kepala
yang menindih dadaku. Ricky !

“Kurang ajar !” tanganku melayang menampar pipinya, kanan dan
kiri, cukup keras. Aku marah benar. Kucengkeram kedua belah
bahunya dan kuguncang-guncang sementara mulutku memuntahkan
bermacam makian. Ricky pasif saja, tak melawan. Mukanya
menunduk. Aku sadar, tak ada gunanya menyiksa anak ini.
Cengkeraman kulepaskan. Meskipun Aku jengkel bukan main tapi
Aku masih mampu menahan diri. Baru kusadari anak majikanku
ini telanjang bulat. Pakaiannya berserakan di karpet.

Aku membetulkan letak bra-ku yang tersingkap ke atas dan
memasang kancing dasterku kembali. Kulihat Ricky sesenggukan,
tubuhnya berguncang. Ricky menangis. Kubiarkan dia. Menangis
karena kupukuli tadi atau karena apa Aku tak peduli. Entah
sudah berapa lama tangisnya tak berhenti juga. Lama-lama
timbul rasa iba. Anak ini sebenarnya anak baik, penurut,
tidak nakal, punya tenggang rasa kepada pembantu sekalipun.
Aku sungguh tak menyangka dan shock mendapati dia menjamahi
tubuhku. Selama ini Aku menganggap dia masih anak-anak.
Tingkahnya memang manja kekanakan. Tapi kelakuannya tadi
adalah kelakuan lelaki dewasa. Anak sekarang memang cepat
matang dalam hal seksual, padahal Ricky baru kelas 2 SMP.

“Kenapa kamu, Rick ?”
Mendadak Ricky bangkit dan kepalanya rebah di pahaku,
tangisnya makin keras.
“Maafkan saya, mbak ….” katanya terbata-bata.
“Saya emang jahat kepada mbak …”lanjutnya.
“Saya engga bisa menahan …… saya tak tahan mbak ….”
Tak tahan ? Apanya ? Tapi Aku malas bicara malam ini, masih
ngantuk. Begitu nyenyaknya tadi Aku tidur sampai tak merasakan
Ricky telah membuka kancing dasterku dan menyingkap bra-ku
bahkan menciumi dadaku.
“Udah tidur sana, udah setengah satu” ujarku.
“Tapi mbak mau memaafkan saya, kan ?”
“Ya. Asal jangan kamu ulangi lagi”
“Ya mbak”
“Kalau kamu nakal lagi, mbak akan seret kamu keluar kamar,
mbak kasih tahu papa mama”
“Saya janji mbak”
“Pakai baju kamu terus tidur” Ricky menurut.
Kuperhatikan Ricky mengenakan pakaiannya. Tubuhnya memang
telah menjadi tubuh lelaki dewasa. Bahkan kelaminnyapun tak
beda dengan kelamin lelaki dewasa. Anak ini memang sedang
tumbuh. Aku harus lebih berhati-hati. Setelah Ricky
merebahkan tubuhnya hendak tidur, Aku berniat keluar kamar
sekedar menghirup udara segar. Kulihat dibawah pintu ada
secarik kertas tergeletak. Kurang ajar ! Tulisan Pak Anton.
Kulirik Ricky sudah terlelap, Aku mendekat ke lampu baca di
dekat bed. “Besok pagi jam 10 Bapak tunggu di kamar 509
lantai 5″. Lelaki ini benar-benar ular ! Berlibur ke luar
kota membawa keluarganya, menginap di hotel mengambil 2 kamar
di lantai 4, sementara diam-diam dia mengambil kamar lagi di
lantai berbeda dan dengan penuh percaya diri mengajak pengasuh
anaknya untuk disetubuhi ! Benar-benar keterlaluan. Tunggu
saja besok ! Hampir saja Aku merobek-robek kertas itu.
Rencanakulah yang mencegah Aku merobek. Kulipat kertas itu
baik-baik lalu kusimpan dalam sampul uang tadi.

***

Esok harinya, Sabtu, Ricky jadi murung dan pendiam, tak
seperti biasanya yang lincah. Dia menghindar setiap kutatap
matanya. Tak lagi bermanja-manja ke pangkuanku. Bahkan kalau
tak dipaksa ibunya untuk sarapan, dia tak mau makan. Tak
heran pula ketika diajak bapak-ibunya jalan-jalan dia pilih
tinggal saja di hotel.
“Kamu sakit, Nak ?” tanya ibunya.
“Engga, Ma …”
“Trus kenapa ngga mau jalan ?”
“Males aja. Capek. Lagian Ricky pengin main play-station”

Setelah ayahnya pergi Ricky memang terus memasang perangkat
play-station ke TV kamar dan lalu tenggelam dengan mainan yang
populer di kalangan anak-anak dan remaja itu. Aku tahu, Pak
Anton tidak benar-benar pergi keluar hotel. Paling-paling
hanya naik satu lantai.

Aku sebenarnya ingin meng’interogasi’ anak ini dan ingin tahu
kenapa dia tadi malam sampai senekat itu. Kubiarkan dia main
sampai satu jam dan akhirnya dia matikan TV dan beranjak
keluar kamar.
“Ricky” panggilku. Dia menoleh sekejap terus menunduk. Tapi
dia mengurungkan niatnya keluar kamar dan berjalan
mendekatiku.
“Duduk, mbak mau bicara”. Ricky duduk di tempat tidur Putri
dan Aku duduk di tempat tidur lainnya. Dia diam menunggu.
“Kenapa kamu tadi malem ?” Ricky diam, kepalanya makin
menunduk.
“Bicaralah, mbak engga marah lagi kok” sambungku.
“Bener, mbak engga marah lagi ?”
“Asal kamu mau terus terang”
Lama dia diam terus belum mau membuka mulut. Aku harus
bersabar menunggu.
“Saya …saya memang udah lama pengin ….” katanya
terbata-bata.
“Pengin ? Pengin apa ?”
“Ya … begituan …”
Sementara Aku masih terkejut betapa cepatnya anak ini jadi
‘matang’, Ricky nerocos melanjutkan.
“Temen-temen Ricky sering cerita begituan sama pacarnya,
kaya’nya enak banget. Ada juga yang sama cewe bayaran …
Ricky pengin juga, tapi nggak punya pacar …”
Oh, anak ini masuk dalam lingkungan pergaulan yang salah.
Berani bertaruh, ibunya pasti pingsan mendengar anaknya sudah
sejauh ini.
“Papa mama udah tahu Ricky pengin begituan ?”
“Jelas engga dong mbak”
“Kenapa kamu engga cerita ke papa atau mama ?”
“Engga berani …. Ricky takut …”
“Kenapa kamu berani sama mbak ?”
“Maaf mbak ….. ” wajahnya sudah mau menangis.
“Maksud mbak … kenapa kamu pengin ke mbak ?”
“Mbak kan baik banget sama Ricky … minta pangku …. nyender
ke mbak ….”
“Tapi ….” belum selesai Aku bicara Ricky memotong.
“Sebenarnya Ricky naksir cewe temen sekelas. Anaknya manis.
Ricky suka kalo lihat dia senyum … manis banget. Badannya
tinggi hampir sama ama Ricky … trus … teteknya gede”
“Trus … kamu pacari dia ?”
“Iya … tapi … belum. Gini, Ricky udah deketin dia.
Kayanya dia nerima, tapi kadang-kadang dia juga acuh. Paling
makan ke kantin berdua. Kalo deketan ama dia Ricky suka engga
tahan …
“Engga tahan apa ?”
“Ngliat dadanya …. pengin Ricky remes atau ciumin … kaya
temen-temen ama pacarnya …”
“Trus ?”
“Tapi … tapi …..”
“Tapi apa ?”
“Dadanya lebih bagus … punya mbak ….”
“Bagus apanya ?”
“Mbak ngga marah kan ?”
“Engga “
“Punya mbak bulat …. dan lebih gede …”
Tentu saja, bandingannya sama anak SMP yang baru tumbuh.
“Pernah suatu ketika Ricky udah ngga tahan … trus Ricky
pegang dadanya … wah dia marah banget … ampe sekarang dia
engga mau ngomong lagi ama Ricky”lanjutnya.
“Trus kenapa berani ganggu mbak ?” Ricky diam.
“Kenapa Ricky ?”
“Habisnya … habisnya Ricky pengin banget …lagian mbak
tidurnya pules banget sih. Coba kalo mbak waktu itu bangun …
engga sampai begitu …”
Pengakuan polos anak-anak. Aku bisa menerima penjelasannya,
bisa memaklumi perbuatannya. Kelakuan seorang anak yang baru
mulai tumbuh, yang selalu ingin tahu segalanya, termasuk soal
seks. Yang tidak bisa kuterima adalah kenapa bapak dan anaknya
sama-sama nakal terhadapku. Seolah menganggapku hanyalah obyek
belaka. Cuma obyek seksual. Aku memang memendam dendam kepada
bapaknya. Tiba-tiba terlintas pikiran jahat di kepalaku. Ah
… tidaklah.

Pintu kamar di ketuk, Bu Anton masuk.
“Ti, Ibu mau keluar dulu ya” Kulihat arlojiku, pukul 9.25.
“Saya ikut ya Bu …”
“Kan Putri lagi tidur …”
“Entar saya gendong aja”
Tatapan mata Bu Anton rada aneh.
“Ayolah”

Di perjalanan Bu Anton menanyaiku
“Kenapa kamu pengin banget ikut”
“Mengganggu Ibu, gitu ?”
“Engga ….. cuman engga biasanya kamu begitu”
“Gak ada pa-pa kok Bu. Bosan di kamar terus”
Alasanku yang sebenarnya sih menghindari ajakan Pak Anton
untuk ‘ngamar’. Rasain dia menunggu terus ….

***

Tingkah Pak Anton sewaktu makan malam di restoran tadi
benar-benar membuatku ingin melaksanakan pikiran jahatku.
Kami makan malam hanya berempat, Ricky tak mau turun hanya
minta dibelikan makanan. Padahal Bu Anton hanya ke toilet
sekitar 5 menit, masih sempatnya dia merabaku sambil berbisik
:
“Kenapa tadi engga dateng ? … saya pengin lagi ….”
Dengan kasar kutepis tangannya, lalu kubawa Putri menghindar.
Aku benar-benar marah. Marah karena dia tahu persis Aku tak
bakalan lapor kepada isterinya. Dia tahu persis posisiku yang
lemah dan lalu memanfaatkannya.
“Gimana Ti ….?”
“Pokoknya begitu Bapak mulai macem-macem lagi, saya langsung
bilang ke Ibu !” ancamku.
Mendadak dia jadi diam seribu bahasa, lalu kembali ke tempat
duduknya dan minum. Wajahnya sungguh sulit dibaca. Tegang
mungkin.
“Cuman segitu …..” pikirku. Lelaki gagah itu langsung surut
begitu mendengar ancamanku. Begitu takutnya dia kalau
isterinya tahu. Padahal Aku cuma mengancam, belum tentu
berani melaksanakan ancamanku. Karena Aku belum berniat
berhenti kerja, Aku masih punya ‘hidden agenda’, yaitu rencana
untuk membalas dendam !

Malam ini keluarga Anton tak punya acara, setelah makan malam
suami isteri itu langsung menuju kamar dan mengurung diri.
Mungkin karena besok harus bangun pagi untuk kembali ke
Jakarta. Atau mungkin Pak Anton sudah tak tahan ingin segera
melampiaskan hasrat seksualnya yang tadi tertahan.
Melampiaskan ke ‘jalan yang benar’, yaitu kepada isterinya.

Akupun segera ke kamarku menidurkan putri. Si Ricky masih
takut-takut kepadaku. Dia masih asyik bermain game. Tak
seperti biasanya ikut bermanja-manja ketika Aku menidurkan
adiknya.
“Udah malam, kamu besok harus bangun pagi-pagi. Tidurlah”
kataku.
“Ya mBak”. Ricky langsung mematikan mainannya dan merebahkan
diri ke kasur. Anak ini memang jadi pendiam. Aku memejamkan
mata mencoba tidur.
“mBak ….” suara Ricky mengejutkanku ketika Aku hampir
terlelap.
“Ada apa ?”
“mBak udah tidur ?”
“Hampir”
“Ricky mau nanya-nanya boleh nggak”
Tampaknya Ricky sudah pulih, tak takut-takut lagi bicara
kepadaku.
“Nanya apa”
“Kalau begituan bisa hamil ya mBak”
“Kamu udah begituan ….?” agak kaget juga Aku. Pertanyaan
yang tak kuduga.
“Engga lah mBak. Temen Ricky yang bilang”
“Apa katanya”
“Dia engga berani ‘gituin’ pacarnya. Takut pacarnya hamil”
“Kamu memangnya belum tahu”
“Belum”
“Engga diajarin di sekolah”
“Engga dong, masa pelajaran gituan”
“Di Biologi kan ada pelajaran tentang terjadinya bayi”
“Engga ada tuh mbak. Gimana dong mBak, Ricky pengin tahu”
Aku lalu cerita tentang terjadinya pembuahan sel mani dan sel
telur melalu proses hubungan kelamin, tentang janin sampai
menjadi bayi.
“Hmm … pantesan” komentarnya.
“Apanya ?”
“Si Rudy sering gituan tapi pacarnya tapi engga hamil. Kata
dia cabut duluan sebelum keluar”
“Temen sekolah kamu udah ada yang pintar begitu”
“Dia udah SMU kok mBak. Kalau begituan kayanya enak banget ya
mBak”
“Ya … kalau engga enak nanti gak ada manusia yang mau punya
anak. Trus akibatnya manusia bisa punah”
Tiba-tiba terlintas pikiran burukku. Inilah saatnya ! Telah
tiba waktuku untuk bertindak !
Ah …. tapi aku tak tega. Lain kali saja dipertimbangkan
lagi.
“Udah tidur aja”

Aku mencoba tidur lagi. Si Ricky tampaknya belum tidur juga.
Badannya bolak balik.
“Ricky engga bisa tidur …” keluhnya setelah setengah jam tak
bersuara. Aku diam saja.
“mBak, Ricky gak bisa tidur” ulangnya.
“Ya udah, jangan ganggu mBak dong”
Lalu hening. Tapi sejurus kemudian.
“mBak ….”
“Apa lagi sih Rick” Aku mulai jengkel.
“Ricky mau pindah kesitu boleh ?”
Di bed besar ukuran King ini Aku biasa di sisi kiri, Putri di
tengah, lalu Ricky di sebelah kanan.
“Ya udah sini” pikirku, supaya dia cepat tertidur dan tak
menggangguku lagi.
Ricky dengan perlahan menggeser adiknya sedikit kekanan, lalu
dia tidur di tengah.
“Hati-hati entar adikmu jatuh lho”
“Engga kok mBak, udah diganjal ama guling”
“Peluk Ricky dong mBak, supaya cepet tidur”
Aku diam. Malas. Bahkan memiringkan tubuhku membelakanginya.
“Ya udah, Ricky aja yang peluk mBak”
Kubiarkan saja Ricky memeluk tubuhku dari belakang. Lalu
ketika Aku mulai terlelap, kurasakan sesuatu menekan
pinggangku.
Anak ini memang sedang mendekati puber, menjadi gampang
terrangsang. Hari-hari sebelumnya dia sering memeluk tubuhku
seperti ini, tapi tak kurasakan apa-apa. Mungkin sejak dia
berani menjamahku kemarin, “penghayatan” atas sikap memeluk
tubuhku menjadi berbeda. Sekarang ini bukannya seorang anak
memeluk tubuh pengasuhnya, tapi sesosok tubuh lelaki menjelang
puber yang sedang memeluk tubuh seorang wanita dewasa.

Kenyataan ini telah membuatku mengambil keputusan :
sekaranglah saatnya. Telah tiba waktunya untuk membalas dendam
kelakuan Pak Anton terhadapku. Telah datang saatnya untuk
membuat seorang anak 12 tahun menjadi “dewasa” secara
mendadak. Ya, inilah waktu yang tepat !

Aku lalu melepaskan diri dari pelukan Ricky dan turun dari
tempat tidur.
“Mau kemana mBak ?”
“Pipis”
Di dalam kamar mandi yang terkunci Aku melepaskan dasterku.
Bra dan celana dalam kulepas juga. Aku telanjang bulat berdiri
di depan cermin mengamati tubuhku sendiri. Sepasang buah dada
yang bentuknya tak berubah sejak mereka tumbuh, masih bulat
kencang ke depan. Perut bak landasan rata dengan dihiasi
pusar yang begitu melesak ke dalam. Lalu dibawahnya tumbuh
bulu-bulu halus menutupi permukaan lubang kelamin yang katanya
‘legit’, begitu pria beristeri di kamar sebelah pernah
mengatakannya. Inilah bedanya antara lelaki nakal yang sudah
berpengalaman itu dengan lelaki seperti Mas Adi. Mas Adi
hanya berkomentar ’susah masuknya’ atau ‘enak banget’,
bukannya legit. Emangnya kue lapis !

Kukenakan dasterku kembali lalu Aku keluar dengan meninggalkan
bra dan celana dalamku di gantungan kamar mandi. Inilah
saatnya ! Kurebahkan tubuhku di kasur, kali ini Aku
terlentang dan memejamkan mata, pura-pura hendak tidur. Ricky
yang tadinya terlentang memiringkan tubuhnya ke arahku, lalu
kurasakan sebelah tangannya memeluk perutku dan sebelah
kakinya menyilang di atas pahaku. Aku dipeluknya seperti
kebiasaannya memeluk guling. Segera saja kurasakan kelamin
tegang itu mendesak sisi pinggulku.

Persis seperti dugaanku telapak tangannya mulai merabai dadaku
setelah setengah jam dia diam saja. Dia berani memulai
setelah Aku disangkanya telah tertidur. Kubiarkan tangannya
membukai kancing atas dasterku satu persatu, lalu tangannya
menyusup ke balik dasterku. Mungkin dia kaget melihat Aku tak
memakai bra. Diciuminya bukit dadaku lalu mulutnyapun sampai
ke putingnya, dikemotnya.

Saatnya beraksi. Tanganku lalu membelai-belai rambut dan
punggungnya. Ricky tersentak mengetahui ternyata Aku tak
tidur. Kulumannya terlepas dan kepalanya terangkat
memandangiku. Aku tersenyum.
“mBak ……”
“Kamu mau ngapain lagi, Rick ?”
“Ricky pengin mBak ….. pengin banget …. boleh ya mBak ?”
“Pengin apa …”
“Pengin main sama mBak”
“Main apa ….”
“Ah … mBak ini. Boleh ya mBak ?”
“Ntar kalo mBak hamil gimana ?”
“Kaya Si Rudy aja, dicabut ….”
“Bener kamu pengin …”
“Bener mBak, banget !”
“Kenapa engga sama temen sekolah kamu, yang sebaya …”
“Temen sekolah nyebelin. Penginnya sama mBak aja”
“Kenapa pengin sama mBak ?”
“Habisnya mBak baik …”
“Engga nyesel kamu ?”
“Engga !”
“Lepas dulu baju kamu”
Kontan Ricky bangkit dan secepat kilat melepas pakaiannya
hingga telanjang bulat. Penisnya sudah begitu tegang
mengacung, tak beda dengan penis orang dewasa. Lalu tanpa
diminta dia melepas kancing dasterku terus kebawah. Ketika
sampai di kancing bagian bawah perut, dia tertegun melihat Aku
tak memakai celana dalam lagi.

Ketika dasterku telah lepas seluruhnya, Ricky langsung
menindih tubuhku. Penisnya menekan-nekan selangkanganku,
tapi salah sasaran.
“Bukan begitu caranya ……. sini…..”
Tanganku meraih batang penisnya, kusuruh dia menempatkan
kedua lututnya di antara pahaku yang kubuka lebar. Kutuntun
penisnya menuju arah yang benar, liang senggamaku. Tusukan
dia tadi mengarah di atas clit-ku. Lalu kuberi isyarat agar
dia mulai menekan. Aku belum basah benar sehingga dengan
susah payah akhirnya Ricky berhasil membenamkan seluruh batang
penisnya ke dalam tubuhku. Lalu dari berlutut dia mengubah
posisi tubuhnya menjadi menindih tubuhku. Kupeluk erat
tubuhnya ….. tapi sesaat kemudian mendadak dia mengangkat
tubuhnya kembali dan lalu dengan cepat mencabut penisnya. Dan
…. air maninya berhamburan di perut dan dadaku.
“Hmmm …kok udahan …” komentarku mulai menyerang.
“Habis …. engga tahan lagi mBak ….” katanya
terengah-engah.
“Bentar banget ….” kataku menusuk.
Ricky diam.
“Cuman bikin kotor badan mBak doang …”
“Apa enaknya kalo begini ….” Aku terus menyerangnya.
Menghancurkan harga dirinya.
“Berhubungan seks tak boleh egois, asal dirinya udah puas
lalu selesai. Lihat juga gimana pasangan kita, apa dia juga
puas” lanjutku.
Ricky masih diam.
Sebenarnya Aku juga tahu kenapa dia begitu cepat ejakulasi.
Ini merupakan pengalaman pertama bagi Ricky dalam bersetubuh.
Letak lubangnyapun dia belum tahu persis. Cepat selesai bagi
lelaki yang pertama kali melakukan adalah hal wajar. Mas Adi
juga begitu. Sudah bagus Ricky mampu sampai penetrasi.

Seranganku ini merupakan langkah pertama dari agenda balas
dendam. Langkah kedua atau langkah terakhir sudah tersusun di
kepalaku. Hanya pelaksanaannya membutuhkan persiapanku, baik
mental atau fisik, serta waktu yang tepat. Yang jelas langkah
pertama ini Aku nilai berhasil. Ricky sama sekali berubah,
menjadi pendiam. Tak pernah lagi bicara denganku. Jangankan
bicara, melihat mukakupun seperti ketakutan.

***

Waktu yang kutunggupun hampir tiba, setelah Mas Adi
menyetujui rencanaku pindah ke Semarang menyusul dia. Sebelum
dia setuju memang terjadi ‘diskusi’ yang cukup seru.
“Kenapa sih kamu tinggalin kerja yang udah enak ini” tanyanya.
“Habis …. Mas belum tentu bisa ke sini tiap minggu” jawabku.
Baru kali ini Aku menyembunyikan sesuatu dari Mas Adi. Aku
terpaksa tidak berterus terang mengatakan alasanku yang
sebenarnya. Yaitu menghindar dari Pak Anton sekaligus
membalas dendam.
“Itu kan awalnya aja, mulai Maret nanti Mas bisa kok tiap
minggu ke Jakarta”
“Maret masih lama … penginnya sekarang ini tiap minggu
ketemu ama Mas”
“Kenapa …. kangen ya ama Mas” pipiku diciumnya.
“Engga, cuman kangen sama ini …” ku-elus penisnya.
Lalu Mas Adi menubrukku hingga Aku terlentang. Saat
berikutnya dia menelanjangiku.
‘Diskusi’nya break dulu.
Ada selingan
Selingan nikmat : persetubuhan.

“Kamu engga ada masalah dengan keluarga Anton, kan ?”
tanyanya. Tubuh Mas Adi masih menelingkupi tubuhku, bahkan
kelamin kamipun masih ‘berhubungan’. Tadi kami sepakat untuk
melakukan hubungan seks ‘dengan sebenar-benarnya’. Artinya,
Mas Adi tak perlu mencabut menjelang puncak. Mas Adi
ber-ejakulasi di dalam tubuhku. Sungguh suatu sensasi baru.
Merasakan pengalaman baru bagaimana benda hangat itu
berdenyut-denyut di dalam sana….. Kalau ternyata benih itu
‘jadi’, ya urusan nanti lah.
“Engga ada masalah apa-apa kok”
“Trus kamu nanti kerja di mana ?”
“Kerja di rumah sakit ajalah. Lebih enak kaya’nya”
“Katanya dulu lebih enak jadi baby sitter”
“Iya dulu ….. sekarang lain. Entar bantuin Narti bikin
surat-surat lamaran ya Mas”
“Okelah, kalau mau kamu begitu”
“Bener nih, Mas setuju ?”
“Iya”
“Engga nyesel …”
“Nyesel apa ?”
“Entar ketahuan punya simpenan di Semarang ….” candaku.
Digigitnya buah dadaku.
“Rupanya itu ya alasanmu …”

***

Minggu pagi itu Aku sudah siap. Semua pakaianku sudah
kumasukkan kedalam koper kecil, dan barang-barang lainnya
telah masuk ke tas jinjing. Rasanya seluruh benda milikku
telah Aku kemas, kecuali sampul berisi uang dan selembar
kertas dari Pak Anton dulu, sengaja Aku rekatkan ke cermin
hias dengan selotape. Kukunci pintu kamarku dan kuncinya Aku
bawa.
Mas Adi dan temannya sudah siap mengantarku ke stasiun Gambir
dengan mobil kakaknya. Dia sekarang parkir di depan rumah.
Sengaja tak kuminta masuk dia masuk, alasanku agar tak
berlama-lama pamitnya. Pagi ini Aku dan Mas Adi akan ke
Semarang dengan KA.
Kubawa 2 tas itu ke depan, di mana Pak dan Bu Anton
duduk-duduk minum teh.

“Ibu boleh check isi tas-tas ini” kataku sambil membuka koper
dan tasku lebar-lebar. Supaya dia yakin Aku tak membawa
benda-benda bukan milikku.
“Tak perlu Ti, Aku percaya kamu. Kamu sudah pikirkan benar ?”
tanya Bu Anton.
“Sudah Bu”
“Terus terang Ibu menyayangkan keputusanmu. Ibu inginnya kamu
tetap di sini”
“Saya sudah putuskan, Bu”
“Jujur saja Ti ya. Ada apa sebenarnya ?”
“Engga ada apa-apa, Bu. Ini hanya demi masa depan saya
bersama Mas Adi”
Ekor mataku menangkap Pak Anton sedang menatapiku.
“Toh dengan kerja di sini tak ada masalah dengan pacarmu, kan
?”
“Lebih baik kalau saya tingga satu kota dengan tunangan saya,
Bu”
“Atau ada masalah lain, gaji misalnya ?”
“Engga ada masalah dengan gaji”
“Anak-anak, Bi Ijah atau Bang Hasan ?”
“Sama sekali tidak”
“Lalu apa ?”
“Ibu benar-benar ingin tahu ?”
“Iya dong”
Saatnya mulai serangan.
“Ibu bisa tanya ke Bapak !” kataku dengan nada rada tinggi dan
menatap mata Pak Anton.
Mata Bu Anton terbelalak. Ditatapnya suaminya, lalu pindah
memandangku. Ke suaminya lagi. Berganti-ganti.
“Kalian ….berdua …………… ?” katanya kemudian.
“……A….Aku…. tak percaya ….” kata Bu Anton
terbata-bata.
Saatnya melancarkan serangan terakhir.
“Sudah saya duga Ibu tak akan percaya. Ibu ingat waktu di
Bandung saya ngotot ingin ikut Ibu ke Mall ?”
Bu Anton hanya melongo.
“Silakan Ibu ke kamar saya, lihat di cermin. Ini kuncinya”
kuserahkan kunci kamarku ke Bu Anton.
“Kalian tunggu di sini”
Bu Anton mengambil kunci dari tanganku dan bergegas ke
belakang, menuju kamarku. Aku juga bergegas mengangkut
tas-tasku dan melangkah keluar rumah. Sebelum keluar pintu
Aku sempat ‘menghadiahkan’ senyuman kepada wajah pucat Pak
Anton. Senyum kemenangan.
Aku menuju mobil, Mas Adi membantuku mengangkat koper. Lalu
kami berangkat meninggalkan rumah keluarga Anton menuju
stasiun Gambir……

Sebentar lagi akan terjadi ‘perang baratayuda’ antara
suami-isteri Anton. Setumpuk uang yang tak berkurang sesenpun
dan secarik kertas tulisan tangan Pak Anton yang berisi ajakan
ke kamar 509, serta ‘alibi’ku ikut Bu Anton pada hari dan jam
itu, telah menjelaskan semuanya …

(Seperti yang diceritakan Narti kepadaku — ipah)

TAMAT


No comments:

Post a Comment