Sunday 25 January 2015

Innocent Angels: Whom I Slept With?


CHAPTER ONE 

Suatu pagi yang terlihat cukup cerah.


Adelia
Di sebuah ruangan kamar tubuh seorang gadis nampak terbungkus selimut putih dan tergolek polos diatas ranjang. Dari ekspresi wajahnya terlihat gadis itu masih terlelap dalam tidurnya yang damai. Sedangkan diluar sana sang mentari sudah cukup lama berganti tugas dengan sang rembulan. Ranjang dimana gadis itu tergolek diatasnya terlihat acak-acakan. Sprei putih yang seharusnya menutupi kasur dengan rapi kini terlihat berantakan. Kaos berkerah tanpa lengan berwarna merah muda, jeans biru, sandalhigh heel hitam dan tas jinjing coklat terlihat berserakan di atas dan bawah ranjang. Tak ada yang tahu apa yang terjadi diatas ranjang tersebut sebelumnya, namun yang jelas perlu sesuatu yang sangat dasyat untuk membuat keadaan menjadi tampak seperti sekarang. Dari kepolosan paras wajah cantik si gadis dalam tidurnya nampaknya ia sama sekali tidak menyadari keadaan di sekitar dirinya saat ini. Saking polosnya ekspresi wajah cantik tersebut, gadis manis ini bak seorang bidadari tanpa dosa yang sedang terlelap dalam peraduannya. Gadis itu adalah Adelia Pramesti Devi dan biasa dipanggil Adel. Muda, cantik, pintar, energik, sedikit ambisius dan cekatan. Dengan usia yang baru menginjak 27 tahun, gadis ini sudah dipercaya untuk menjabat sebagai Manager Marketing dan Humas di salah satu agensi modeling anak perusahaan swasta yang bergerak dibidang fashion dan entertainment. Karier yang terus menanjak ini jelas ditunjang pula oleh paras Adel yang cantik dan tubuh yang proporsional sehingga memancarkan keanggunan dan feminisme seorang wanita karier profesional. Belum lagi pendidikan luar negeri yang baru saja ia selesaikan setahun yang lalu membuat gadis cantik ini menguasai bahasa asing dengan cukup fasih. Garis karier yang menanjak ternyata diikuti juga dengan garis perjodohan yang baik. Saat ini Adel sudah terikat pertunangan dengan kekasihnya Abimanyu atau biasa dipanggilnya Abi. Saat ini kekasihnya Abi sedang menjalani tugas belajar ke Australia, sehingga mau tidak mau membuat intensitas pertemuan mereka agak berkurang. Inilah yang akhirnya membuat Adel menjadi terus menerus membenamkan dirinya dalam aktifitas kerja, kerja dan kerja. Bekerja berusaha dijadikan alternatif untuk mengisi kesendiriannya saat ini.



Dering suara ringtone ponsel memenuhi seisi ruangan kamar. Bahkan suara ringtoneyang merupakan lagu dari salah satu band terkenal tersebut sudah cukup lama terdengar. Namun baru beberapa menit kemudian mampu untuk membangkitkan kesadaran Adel dari tidurnya. Dengan sangat berat Adel mencoba untuk membuka mata dan berusaha menggerakkan tubuhnya untuk menggapai sumber suara yang terdengar dari bawah ranjang. Dengan kesadaran yang masih sangat minim tangan si gadis terus menggapai-gapai sampai akhirnya ia bisa merogoh ke dalam tas jinjingnya dan berhasil menemukan apa yang dicarinya. Tanpa gadis itu sadari, gerakannya tadi membuat selimut penutup tubuhnya sedikit tersingkap. Celah diantara selimut tersebut cukup jelas memperlihatkan kalau bagian atas tubuh gadis kini dalam keadaan topless.

“Hallo...”, suara gadis tersebut terdengar serak.

“Del... dari tadi gue telponin nggak diangkat-angkat! Lu lagi ngapain sih?”

Masih dengan kesadaran yang belum pulih benar Adel memijit-mijit kepalanya pelan dan kemudian menggosok-gosokkan tangan kanannya ke kelopak matanya mencoba untuk mengurangi rasa pusing dan pening yang membuat kepalanya terasa begitu berat. Sedangkan di ujung telepon Laras terdengar masih terus mengomel. Larasati Savitri, atau lebih sering dipanggil Laras adalah rekan kerja sekaligus asisten pribadi Adel di kantor. Secara fisik memang tak ada yang berbeda antara Adel dan Laras, selain tinggi badan mereka dimana Adel terlihat sedikit lebih tinggi. Saking miripnya, keduanya sering disebut sebagai kakak dan adik. Keduanya cantik, manis dan menarik. Yang membedakan keduanya adalah sifat Laras yang lebih cuek, ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja. Hal ini pula yang membuatnya sangat mudah untuk mencari teman bahkan bergonta-ganti pacar. Sifat seperti ini jelas tidak dimiliki oleh Adel yang cenderung memiliki sifat teliti dan sedikit perfeksionis. Namun perbedaan inilah pula yang membuat keduanya terlihat begitu kompak. Di satu sisi Adel mampu meredam dan mengendalikan sifat Laras yang memiliki emosional meledak-ledak dan moody, sedangkan di sisi lain Laras mampu menceriakan dan membuat Adel rileks dalam menghadapi beban tekanan akibat pekerjaannya sehari-hari.

“Gue… gue baru bangun”.

“Aaahh…! Ya ampun Jeng... Jam segini lu baru bangun? Gue nggak peduli, pokoknya lu musti ke kantor sekarang, inget lu ada meeting jam 10!”



Mendengar kata-kata Laras di ujung telpon Adel langsung tersentak. Ia benar-benar lupa kalau pagi ini ia harus mempresentasikan proposal kerjasamanya dengan Perusahaan *** yang kemarin disusunnya. Presentasi ini benar-benar penting karena nilai kontraknya yang cukup besar jika tercapai kesepakatan antar perusahaannya dengan perusahaan calon rekanan.

“Aduh Ras… Sumpah gue lupa banget! Lu masih dirumah kan?”.

“Iya, emang kenapa?”.

“Ntar tolong lu bawain gue pakaian kerja lu ya, kayaknya gue nggak bakal sempet balik ke apartemen nih”.

“Ah? Lu sekarang nggak lagi di apartemen? Emang lu dimana sih?”.

“Gue nggak tau, ntar deh gue jelasin soalnya gue juga nggak ngerti nih...”.

“Maksud lu?”.

“Udah ntar aja! Inget ntar lu urus dulu ruangan sama semua berkas-berkas yang diperluin di kantor dan inget jangan lupa lu bawain gue pakaian”.

Percakapan itu pun segera diputus Adel secara sepihak. Adel kemudian menyapu pandangannya ke sekeliling untuk memperhatikan secara seksama ruangan dimana saat ini ia berada. Adel baru menyadari kalau saat ini ia sedang berada di sebuah kamar hotel. Gadis cantik itu kemudian menyingkap ujung selimut yang membungkus tubuhnya dan ia pun akhirnya menyadari kalau saat ini tak ada satu helai kain pun yang menutupi tubuhnya selain selimut putih tersebut. Ia lalu menggenggam selimut itu erat-erat sambil berusaha mengingat-ingat apa yang kemarin ia lakukan sepanjang hari sehingga bisa berakhir dalam kondisi telanjang seperti ini. Namun semakin ia mencoba mengingat, semakin kuat pula rasa pusing dan pening menyerang kepalanya. Ketika mencoba membasahi bibirnya dengan lidah, Adel merasakan rasa yang aneh di permukaan bibirnya. Dengan rasa sakit disekujur tubuhnya, Adel dengan berlahan berusaha beranjak dari ranjang untuk menuju ke meja rias di dekatnya. Di depan kaca ia bisa melihat dirinya yang benar-benar dalam keadaan berantakan. Rambut panjang bergelombang yang ia cat coklat itu biasanya setiap hari selalu tertata rapi dan elegan, namun kini rambut tersebut terlihat acak-acakan sehingga sama sekali jauh dari kesan anggun. Ia kemudian mendekatkan bibirnya ke kaca dan disana terlihat banyak bercak-bercak putih mengering. Tak hanya di bibirnya, ketika ia menurunkan selimut pembungkus tubuhnya bercak-bercak putih itu juga berada di permukaan payudara dan juga sedikit di bagian perutnya. Ia menggosok-gosok bercak-bercak putih yang terasa lengket itu dengan tangannya. Bukannya hilang justru kini bercak-bercak kian menyebar disekujur tubuhnya. Benda di permukaan tubuhnya ini sebenarnya bukan hal asing bagi Adel. Gadis cantik ini tahu kalau bercak-bercak putih itu adalah cairan sperma yang mengering. Yang membuatnya bingung adalah bagaimana cairan sperma ini bisa berada di tubuhnya.



Gadis cantik itu memegang kepalanya yang mulai terasa sakit lagi. Kilasan demi kilasanmemory kini mulai bergiliran memenuhi otaknya. Namun sama sekali belum bisa menjawab kenapa saat ini ia bisa berada di dalam kamar hotel ini, dalam keadaan telanjang dengan cairan sperma kering memenuhi sekujur tubuhnya. Yang ia ingat hanyalah kemarin ia diajak oleh Lia, teman satu apartemennya untuk merayakan ulang tahun sahabatnya di sebuah diskotik. Banyak orang yang datang dan tak satupun dikenalnya. Musik terdengar begitu keras dan menghentak. Mereka semua yang ada disana meminum minuman beralkohol, begitu juga dengan dirinya. Sampai disana kemudian Adel benar-benar lupa apa yang selanjutnya terjadi. Yang pasti rupanya saat itu ia pasti sudah sangat mabuk sehingga hilang kesadaran. Rasa sakit kembali menyerang kepalanya ketika ia berusaha semakin keras mengingat-ingat. Adel tahu kalau ia sama sekali tidak memiliki cukup waktu untuk mencari tahu lebih jauh jawaban atas semua pertanyaannya. Jam dinding di kamar itu kini sudah menunjukkan pukul setengah 9. Pada jam dinding itu tertulis Hotel ***, yang berarti berada cukup jauh dari lokasi kantornya. Dengan rasa sakit yang masih terasa menusuk-nusuk di sekujur tubuh dan rasa pusing di kepalanya berlari menuju lemari pakaian dan membukanya. Disambarnya sebuah handuk putih yang terlipat rapi di dalam lemari pakaian dan segera berlari menuju kamar mandi. Sedetik kemudian gemericik air pun terdengar dari dalamnya. Dibawah guyuran airshower kilasan-kilasan kejadian muncul kembali di kepala Adel. Ia ingat kalau ada seseorang yang memapahnya keluar diskotik. Orang tersebut sangat jelas tidak ia kenal, bahkan ia tidak tahu apakah orang itu laki-laki atau wanita. Seingatnya lagi kalau orang tersebut membawa dirinya ke suatu tempat dan setelah itu ia sama sekali tidak ingat lagi. Mungkin setelah itu ia jatuh tertidur. Diantara ketidaksadarannya tersebut, Adel ingat kalau tiba-tiba saja Abi muncul dihadapannya. Tentu saja membuat dirinya sangat bahagia sehingga mereka pun berciuman, bercumbu dan bercinta. Percintaan tersebut berlangsung sedemikian panas dan bergelora. Seakan sama-sama ingin melepaskan rasa rindu yang selama ini selama mereka pendam, percintaan tersebut berlangsung tak hanya sekali bahkan sampai berkali-kali. Rasa sakit dan pening kembali menyerang kepala Adel. Apakah kemarin ia benar-benar telah bercinta dengan Abi kekasihnya? Hal ini tentu tidak mungkin karena malam sebelum berangkat ke diskotik Abi sempat menelponya dan mengatakan ia masih di Ausie. Apa semua bayangannya tadi hanya mimpi? Jika mimpi, lalu kenapa ada sperma yang menempel di tubuhnya? Ini berarti percintaan tersebut adalah nyata? Tapi dengan siapa kemarin ia bercinta? Pertanyaan demi pertanyaan secara bergiliran muncul dalam kepala Adel. Ini membuat kepalanya terasa semakin sakit. Adel lalu memutuskan untuk segera keluar dari kamar mandi.



Dengan tergesa-gesa Adel mengeringkan tubuhnya dan mulai memunguti pakaian dan barang-barangnya yang berserakan di sekitar kamar. Semua pakaian dan barang-barangnya lengkap ia peroleh kecuali bra dan celana dalamnya. Hal ini semakin memperkuat dugaan yang semula sama sekali tidak ingin ia bayangkan terjadi kepada dirinya. Kini mau tidak mau ia harus mengakui kalau semua bayangan percintaan tadi memang benar-benar telah terjadi. Namun Adel tetap berusaha meyakinkan dirinya kalau semuanya adalah tidak nyata, karena jika percintaan itu nyata dan ia tidak melakukannya dengan Abi maka hal itu adalah hal yang paling memalukan yang pernah ia lakukan. Adel pun dengan cepat mengenakan kembali pakaiannya dengan tentunya minus pakaian dalamnya. Sebelum keluar dari kamar Adel memeriksa isi tas jinjingnya guna meyakinkan kalau tidak ada barang-barang lainnya yang hilang, selain pakaian dalamnya. Setelah merasa semuanya masih ti tempatnya ia pun mengenakan sandalnya. Keluar dari lift, kini gadis itu terlihat berlari di sepanjang koridor hotel menuju meja resepsionis. Di resepsionis ia diberitahukan kalau semua pembayaran tagihan sudah terselesaikan tadi pagi, sehingga dengan segera ia bisa memesan taxi dan meluncur menuju kantornya. Turun dari taxi kemudian membayar ongkosnya, Adel segera memacu langkahnya memasuki lobi perusahaan tempatnya bekerja. Beberapa pegawai menyapa ramah kepada Adel dan ia pun membalas dengan senyuman sekedarnya. Ia benar-benar berharap kalau tidak ada seorangpun yang memperhatikan kondisi rambut dan pakaiannya yang acak-acakan. Namun selain itu yang Adel paling harapkan adalah agar orang-orang ini jangan sampai tahu kalau hari ini ia tidak mengenakan pakaian dalam. Untuk menutupi aibnya inilah ia kemudian meletakkan tas jinjingnya di dadanya sambil berlari guna menutupi puting payudaranya yang mungkin saja tercetak dari balik kaosnya.

“Ting…!”, Pintu lift terbuka.

Dari dalam lift tiga orang pegawai nampak keluar dan empat orang lagi hendak masuk. Adel sengaja masuk ke dalam lift duluan sehingga bisa berada di jajaran belakang.

“Pagi Mba Adel”, seorang pegawai laki-laki menyapa ramah ke arahnya.

“Pagi juga”, Adel hanya menganggukan kepala. Gadis itu pun semakin menempelkan tas jinjingnya ke dadanya. Adel kemudian menundukkan kepalanya agar laki-laki disebelahnya dan juga orang-orang lain yang berada di dalam lift bersamanya saat ini tidak mengajaknya berbicara.

“Ting…!”, Pintu lift kembali terbuka.

Begitu pegawai-pegawai tersebut berjalan keluar lift, Adel pun langsung berlari menuju ruangannya. Ia berusaha berlari sekencang-kencangnya agar bisa secepatnya sampai.



“Braak!” Adel langsung masuk dan menutup pintu, mengunci, dan menutup korden ruangannya. Kehadirannya di ruangan itu yang begitu tiba-tiba tentu membuat Laras tersentak. Laras benar-benar heran dengan kelakuan rekan kerjanya hari ini.

“Ya ampun Jeng, lu kenapa sih? Ngos-ngosan gitu, kayak habis dikejar setan aja? Mana acak-acakan banget lagi!”, Laras beranjak dari meja kerjanya dan menghampiri rekan kerjanya yang kini terlihat berjalan mondar-mandir sambil berkomat-kamit tak jelas. Laras dan Adel memang berada dalam satu ruang kerja yang sama, dengan meja kerja yang berbeda. Hal ini sengaja Adel lakukan untuk memudahkan dalam mengkoordinasikan tugas-tugas mereka berdua.

“Nggak boleh, ini nggak boleh terjadi, gue mimpi, sumpah gue mimpi, bangun-bangun Del, bangun...”, Adel masih sibuk dengan dirinya sendiri sambil terus berjalan mondar-mandir di sekitar ruangan tanpa menghiraukan keberadaan Laras.

“Ye ni anak gila kali ya? Eh... sadar Del lu tuh udah di kantor!”

Adel tetap mondar-mandir dan berkomat-kamit mengeluarkan kalimat yang sama berulang-ulang. Laras pun nampak semakin bingung dengan tingkah Adel.

“Duduk Del!”, Laras memegang tubuh Adel dan mendorongnya hingga terhempas di sofa. “Sekarang lu cerita kenapa bisa kayak gini?”.

Adel menghembuskan nafas panjang. Memegang pundak Laras yang berjongkok di depannya.

“Ras... Kayaknya kemarin malem gue having sex with stranger deh”.

“Ahh...! Maksud lu? Jangan bilang lu diperkosa?”.

“Ssstt... Gila lo ya! Pelanin dikit dong, lu mau semua orang kantor denger?”.

Kini Laras sedikit berbisik,”Iya, tapi apa maksud lu ama “stranger tadi?”

“Kemarin gue diajak ke diskotik ama temen gue di apartemen buat ngerayain ultah temennya, gue sih mau saja sekalian buat ngilangin stress gara-gara seharian buat bahan presentasi, tapi gue malahan jadi mabuk dan waktu sadar tau-tau gue ada di kamar hotel,naked… with all my body full of sprem and the worse part is that I don`t know whose sprem is it”.

“Oh my God… Ini gila Del! Jadi maksudnya kalo lu sama sekali nggak tau semalem lu bercinta ama siapa?”.

Adel hanya mengangguk dan kemudian menunduk sambil memegang kepalanya dengan kedua tangannya.

“Gue kan udah sering ingetin lu, kalo minum jangan ampe mabuk, lu kalo udah mabuk pasti bawaannya horny, kalo udah gini gimana dong? Kalo lu sampai hamil gimana? Lu minta tanggung jawab ama siapa? Kok bisa sih lu ceroboh kayak gini?”, Laras langsung menghujani Adel dengan pertanyaan demi pertanyaan.



“Udah dong Ras, yang harusnya stress tu gue, gue tuh masih shock tau nggak? Lu jangan nakut-nakutin gue kayak gitu dong!”, mata Adel mulai nampak berkaca-kaca.

“Tapi gue nggak habis pikir, kok lu yang biasanya cerdas tapi kali ini bisa sebegitu bodohnya ngejaga tubuh lu sendiri? Kira-kira tu cowok pake pengaman kan?”

“Gue nggak tau!”, Adel menggeleng-gelengkan kepalanya. Walau berusaha untuk tidak menangis namun tetap saja air mata berlahan mulai jatuh membasahi wajah cantik Adel.

Ekspresi wajah Laras menjadi semakin tegang, bahkan lebih tegang dari sebelumnya. Sedangkan Adel pun kembali hanya bisa menunduk sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Isak tangis Adel terdengar semakin lirih. Laras lalu menghembuskan nafas panjang mencoba menenangkan diri. Walau ia sendiri sebenarnya tidak tahu harus melakukan apa, namun paling tidak ia mencoba untuk tidak membuat rekan kerja sekaligus sahabatnya ini menjadi makin tertekan. Maka dari itu ia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri terlebih dahulu. Laras memeluk tubuh sahabatnya ini dan membelai rambutnya. Isak tertahan masih terdengar lirih dari mulut Adel.

“Udah dong jangan nangis, lu kan inget kalau gue pernah cerita pengalaman yang sama kayak lu alamin sekarang?”.

Tanpa berkata apa-apa, Adel hanya mengangguk.

“Semuanya akhirnya baik-baik aja kan? Nggak terjadi apa-apa kan sama gue? Anggep saja semuanya just sexjust one night standthat’s all OK?”.

Kembali Adel hanya mengangguk di pelukan laras.

“Ya udah, sekarang lu ganti pakaian aja dulu terus tenangin diri, konsen ama presentasi lu setengah jam lagi, ntar kita bahas lagi abis meeting, tuh lu udah gue bawain pakaian”, Laras membantu Adel beranjak dari sofa karena kaki Adel kini terasa benar-benar lemas untuk dapat berdiri sendiri. Setelah Adel cukup kuat untuk menopang tubuhnya sendiri, Laras mengambil pakaian yang terlipat rapi di atas meja dan menyerahkannya bersama sebuah tissue kepada Adel. Kemudian gadis itu pun beranjak menuju pintu dan menguncinya.

“Udah buruan ganti pakaian, waktu udah mepet banget nih”, Laras menyuruh Adel yang masih terlihat berdiri mematung.

Adel menyeka air matanya dengan tissue, kemudian membuka lipatan pakaian yang dipegangnya. “Aduh… Lu bawain gue rok ya?”.



“Emang kenapa Del? Lu kan biasa ke kantor pake rok? Gue juga sekarang pake rok? Ada yang salah?”, ucap Laras dengan nada heran.

“Iya si, tapi masalahnya hari ini gue nggak pake daleman”.

“Aaah... kok bisa?”.

“Kayaknya diambil sama tu cowok deh, abis tadi di kamar hotel gue udah cari-cari bra sama celana dalem gue tapi nggak ketemu, jadi terpaksa sekarang gue nggak make”.

“Ya ampun sial bener lu hari ni Del? Terus ada barang-barang lain yang hilang?”.

Adel menggeleng.

“Sakit jiwa bener tu cowok ya?”, Laras menggaruk-garuk kepalanya. “Ya udah… mau gimana lagi? Kayaknya terpaksa deh lu meeting nggak make daleman hari ini”.

Adel lama terdiam namun tidak juga menemukan alternatif lain untuk masalahnya, selain yang dikatakan Laras tadi. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit. Adel pun segera membuka pakaiannya dan menggantinya dengan cardigan berwarna putih dan blazer serta rok span berwarna hitam yang dibawakan Laras untuknya. Adel berusaha menarik turun ujung rok span yang dikenakannya, namun usaha Adel tentu saja sia-sia karena ujung rok yang mencapai 5 cm diatas lutut sama sekali tidak menjadi lebih panjang. Rok tersebut tetap saja mengekspos jelas kedua paha Adel yang mulus dan putih. Sebenarnya sehari-hari dalam menjalani aktifitas kerjanya, Adel sudah terbiasa untuk mengenakan rok model seperti ini. Yang tidak biasa dan merupakan pengalaman pertama bagi Adel adalah mengenakan rok sependek ini dengan tanpa mengenakan apapun di baliknya.

”Gimana, keliatan nggak?”, Adel memutar tubuhnya di depan Laras.

Laras memandang rekan kerjanya ini dari atas ke bawah, “Sip! Nggak keliatan kok”. Ia lalu mengambil tumpukan sebuah tas kecil, map dan file yang berada diatas mejanya. “Proposal, laptop ama flashdisk lu biar gue yang bawa deh ke ruangan rapat, lu cuci muka aja dulu di kamar mandi terus pake make up dikit and pake parfum biar keliatan lebih fresh”.

Thanks ya Ras, you’re the best friend I ever had deh”, Adel memeluk tubuh Laras.

“Eh... Pake meluk-meluk, tadi lu udah sempet mandi kan?”

“Ya udahlah!”

“Syukur deh, gue kan nggak mau klien kita pingsan di ruang meeting gara-gara nyium bau badan lu hehehe…”.

“Dasar lu ada-ada aja!”, Laras berhasil membuat Adel tersenyum. “Udah ah gue bersihin muka dulu”, Adel pun beranjak keluar ruangan.

“Eh Del…”.

“Ada apa?”.

By the way busway nih, pantat lu keliatan sexy lo kalo nggak pake celana dalem, kayaknya lu musti sering-sering nggak pake celana dalem deh ke kantor buat ngibur cowok-cowok di sini hehehe…”.

“Ih, amit-amit deh!”.

Wajah Adel langsung kembali manyun, sedangkan Laras sendiri keluar dari ruangan dengan tawa tertahan.



********

Di ruang rapat Adel berusaha semampunya untuk berkonsentrasi dengan pemaparan proposal kerjasamanya. Awal-awalnya memang ia merasa agak risih dengan rasa dingin AC yang menusuk diantara selangkangan dan dadanya. Apalagi pada saat presentasi ia beberapa kali harus berdiri mondar-mandir untuk memaparkan slide demi slide yang muncul di layar OHP, dimana disaat yang bersamaan semua mata menuju padanya. Muncul rasa malu dan was-was dalam diri Adel dengan keadaannya saat ini. Pandangan semua laki-laki yang ada di ruangan rapat tersebut seolah-olah sedang menelanjanginya, walaupun semua itu tentunya hanya ada di dalam pikirannya semata. Semua orang di ruangan tersebut tentu sama sekali tidak tahu kalau saat ini dirinya tidak mengenakan apa-apa dibalik pakaian luarnya. Ditambah lagi saat ini Laras tidak bisa menemaninya di dalam ruangan untuk bisa menenangkan dirinya. Hal ini membuat perasaan semakin bercampur aduk. Namun beberapa jam kemudian, seiring berjalannya waktu berlahan semua perasaan tersebut menghilang dan Adel mampu menguasai dirinya dengan baik. Sesi tanya jawab pun bisa dilalui Adel dengan lancar sebelum kemudian ditutup sementara guna beristirahat makan siang.

Hello miss no undiest, nih gue bawain makanan”, Laras menaruh kotak nasi atas meja kerja Adel. Sedang Adel sendiri masih nampak sibuk dengan laptopnya.

“Eh... sekali lagi lu panggil gue pake sebutan itu, gue bakal nelanjangin lo biar kita sama-sama impas”.

“Iya, iya gitu aja ngambek hehehe… Nih pesenan lo juga udah gue beliin”.

Adel mengambil sesuatu dari dalam plastik yang disodori Laras.

“Aduh, kok modelnya kayak emak-emak gini sih? Kampungan banget!”, Adel berkomentar pedas dengan benda yang ada di dalam plastik yang tak lain adalah sebuah celana dalam.

“Gue kan cuman punya waktu setengah jam buat keluar kantor Del, emang waktu segitu bisa buat ke mall? Paling nggak kan lumayan bisa nutup buat sementara biar nggak masuk angin Hehehe…”.

“Terus bra-nya mana?”.

“Ukuran yang lu pesen lagi nggak ada, jadi yang atas biar dikasi bebas bernafas aja dulu deh hari ini”, tawa usil kembali terdengar dari mulut Laras.

“Uuh… Dasar!”, karena tidak ada pilihan lagi Adel pun mengeluarkan sepotong pakaian dalam tersebut dari dalam plastik dan mengenakannya dengan cara menaikkan roknya. Sekilas ketika rok span itu terangkat naik nampak vagina Adel yang tertutupi bulu-bulu tipis serta bongkahan pantatnya yang montok, sampai saat rok itu turun kembali ke posisinya.

“Eh gimana tadi hasil rapatnya? Proposal lu disetujui? “, tanya Laras sambil merapikan rambut panjangnya di depan cermin.

“Belum ada kepastian sih. Pak Bram, Kepala Perwakilan dari perusahaan asing itu masih minta waktu seminggu lagi buat berkonsultasi, semoga saja dia mau menerima tawaran kerja sama kita, kan lumayan gede tuh fee-nya kalo ampe deal. Lagian habis ini rapat juga masih berlanjut kok”.

Adel mengambil kotak nasi, membukanya dan mulai nampak asyik menyantapnya. Laras kemudian duduk di depan Adel sambil menopangkan kedua tangannya di dagu.



“Eh, btw gimana semalem rasanya having sex with stranger?”.

“Udah ah nggak usah dibahas lagi!”, Adel menjawab cetus. 

Sorry… Tapi kan gue pengen tau aja”.

“Bukannya lu udah pernah ngerasain?”.

“Tapi itu kan gue, kalo versi lu kan jelas bakal beda”.

“Ya nggak tau lah Ras, waktu itu kan gue lagi setengah sadar jadi semuanya kayak mimpi gitu”.

“Masa sih nggak ada yang lu inget?”.

“Nggak ada, tapi yang jelas kayaknya gue main nggak cuma sekali deh”.

“Maniak juga ya tu cowok ya? Terus gaya mainnya gimana?”.

“Tulang-tulang gue kayak mau remuk semua Ras, jadi lu bisa bayangin sendiri deh gimana kasarnya tu cowok”.

“Wah, ampe segitunya? Amatiran kali? Jadi mainnya langsung hajar aja”.

“Yang gue takut sih kalo semua ini akhirnya bukan menjadi sekedar one night stand. Kalau seandainya tu cowok masih kenal gue gimana? Mau ditaruh dimana muka gue? Terus gue juga nggak tau dia sudah ngelakuin apa aja ke gue malam itu”.

Yeah, let`s hope there will be no bad things happen to you”.

I hope so too, lagian bener juga kata-kata lu kok bisa-bisanya ya gue seteledor ini? Apa ini tanda gue mulai merindukan sentuhan laki-laki ya Ras? Abis kalau dipikir-pikir udah lama juga ya Abi ada di Ausie”.

Idih... jablay nih ceritanya? Napa ga bilang ma tante? Tau gitu daripada bercinta sama cowok yang nggak jelas, kan tante bisa pilihin anak buah tante buat menghilangkan dahaga Jeng Adelia hahaha...”.

“Hahaha... sejak kapan lu kerja sampingan jadi germo?”

“Makanya sekali-kali have fun dong jangan kerja melulu, lu kan udah lama nggak pernah ikut kumpul-kumpul lagi bareng temen-temen buat hang out hunting cowok, emang nggak bosen tuh main sama satu kontol mulu?”, senyum genit Laras pun terkembang.

“Ih, apaan sih lu ngomong jorok! Udah ah kerja lagi sana ngobrol mulu bentar lagi rapat mau mulai lagi nih!”.



Adel mencoba mengalihkan pembicaraan, namun dalam hati ia harus mengakui kebenaran kata-kata Laras tadi. Sejak bersama Abi memang membuat Adel menjadi tertutup dan jarang berkumpul dengan teman-temannya lagi. Ia pun mulai meninggalkan kehidupan malam dan petualangan cintanya demi sang kekasih. Sebelum bersama Abi, Adel memang sama seperti Laras yang identik dengan kehidupan malam dan doyan berganti-ganti pacar. Namun untuk urusan tubuhnya Adel memang sangat protektif. Setelah disakiti oleh kekasih yang memerawaninya ketika kuliah dahulu, praktis hanya Abi yang pernah menikmati kehangatan tubuhnya. Disinilah beda Adel dengan Laras, dimana Laras berpikir lebih simple untuk urusan ranjang, yaitu I like you, you like me so let’s do it!

“Iya, iya Bu nggak usah sewot gitu donk”, sebuah ciuman mendarat di pipi Adel, “Yuk dada bye bye...”.

“Bener-bener sakit nih anak, nih sekalian bawa CD (=compact disc) data hasil rapat sesi pertama terus copy di komputer lu”.

“Apaan Del? CD (=celana dalam)?”, Laras langsung terlihat cekikikan setelah berhasil menggoda rekan kerjanya yang hari ini memang cukup bermasalah dengan pakaian dalam.

“Mulai lagi lu! Beneran gue telanjangin nih!”

“Maaf komandan! Letnan Laras siap bertugas…”, Laras memberi hormat ala militer, namun tetap dengan gaya cengengesannya. Setelah itu Laras pun melakukan balik kanan bubar versinya sendiri dan berjalan dengan langkah tegak maju ala kadarnya memuju meja kerjanya.

Adel tersenyum geli melihat tingkah konyol rekan kerjanya dan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tahu ia seharusnya berterima kasih kepada rekan kerjanya ini, karena paling tidak ditengah semua kekacauan ini Laras bisa membuatnya tersenyum. Adel pun kemudian beranjak keluar dari ruangannya dan menuju ruang rapat guna melanjutkan rapat sesi kedua.



********

Di kamar tidur Adel.



Malam ini Adel terbaring di atas ranjang, namun sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya masih terbayang-bayang kejadian kemarin malam dan pagi tadi. Abi sama sekali belum menelponnya hari ini. Sebenarnya ia ingin memastikan keberadaan Abi saat ini, namun ia tidak berani melakukannya karena itu hanya akan menambah beban pikirannya. Namun jika ia tidak melakukannya maka semuanya akan tetap menjadi sebuah pertanyaan yang mengganjal dalam hatinya. Setelah cukup lama berpikir akhirnya Adel memutuskan untuk tidak menelpon. Ia pun lalu mengambil bantal dan menutupi wajahnya, berharap segera bisa terlelap. Tak berselang beberapa detik ponsel Adel berbunyi. Ia langsung menyambar ponsel tersebut di atas meja. Entah memang karena faktor ikatan batin atau hanya kebetulan semata, ketika Adel membatalkan niatnya menelpon justru ternyata Abi yang menelpon dirinya.

Hi honey”, suara mesra Abi terdengar di ujung telepon.

“Hai juga”.

Sorry I just call you to night, because from yesterday I must working my exam”.

Oh it’s OK, so it’s means that last night you still in Ausie?”.

Of course, it’s a silly question, why?”.

Ingin sekali rasanya Adel menangis mendengar kata-kata tunangannya ini, namun ia tidak ingin tunangannya ini mendengar isak tangisnya di telepon. Jika Abi masih di Australia berarti kemarin malam benar-benar terlibat one night stand dengan laki-laki lain, dan baginya itu sama dengan sebuah perselingkuhan. Adel sebenarnya ingin sekali mengucapkan maaf kepada Abi saat ini juga atas perbuatannya tersebut, namun itu berarti sama saja ia juga harus menceritakan kejadian malam kemarin kepada tuangannya. Hal yang sama sekali tak bisa ia lakukan.

Honey, you still there? ”.

Oh, yeah!”.

“Are you OK?”.

“I’m fine…”, Adel pun berbohong.

I miss you!”.

“I miss you too”.

“Oh God, I really miss you, I miss your face, I miss your lips, I miss your skin…”, 



Air mata tanpa Adel sadari mulai keluar dari kedua mata indahnya. Ia tak bisa lagi mendengar kata-kata Abi, karena semua hal yang dirindukan Abi tersebut kemarin malam tanpa sadar telah ia berikan untuk laki-laki lain. “and you know what?”.

“What?”.

“I miss “little Adelia” so much!”, yang disebut sebagai “little Adelia” oleh Abi tak lain adalah vagina Adel. Ia senang sekali memanggilnya dengan nick name tersebut.

Sebutan ini semakin membuat Adel semakin tidak tahan mendengarnya. Ia terus berusaha untuk tidak menangis, atau paling tidak berusaha untuk tidak terdengar terisak.

Is it “little Adelia” with you tonight?”.

Yes…”, suara Adel mulai terdengar serak.

Oh I wish I can touch it tonight, can you touch it for me?”.

Adel tahu benar dengan kebiasaan kekasihnya ini. Ia tahu kalau saat ini sang kekasih sedang berusaha merangsang dirinya. Sering kali Abi memang berhasil memancing gairah Adel lewat phone sex seperti ini dan kemudian membuat dirinya harus bermasturbasi guna menuntaskan gairahnya tersebut. Namun kali ini Adel sama sekali tidak on the mood untuk bermesraan. Rasa berdosanya kepada sang kekasih membuat dirinya sama sekali kehilangan gairah. Jangankan menyentuh, saat ini melihat tubuhnya sendiri saja Adel benar-benar merasa jijik.

No, I won’t”.

Please… please… please Honey touch it for me”.

Adel terus menolak, namun Abi terdengar terus saja merengek dan memelas.

Honey, please stop it!”, Adel tak kuasa lagi menahan diri dan tangis yang sejak tadi ditahannya pun pecah.

“Why do you crying? Did I do something wrong?”.

“Abi… please go home, I need you so much!”.

Malam itu pun Abi harus bekerja ekstra keras untuk menghentikan tangis sang kekasih. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang membuat malam ini Adel menjadi begitu sedih. Semua itu mungkin akan selalu menjadi pertanyaan dalam hati Abi, karena sang kekasih jelas akan menyimpan jawaban atas pertanyaannya itu untuk selama-lamanya. Sebuah rahasia besar dalam hubungan percintaan mereka.



Beberapa hari pun berlalu. Hubungan Adel dan Abi pun masih berjalan seperti sedia kala. Mereka kembali dengan rutinitas kerja dan keseharian mereka masing-masing. Memang sampai saat ini Adel masih belum bisa melupakan kejadian di malam yang aneh tersebut. Namun Adel berusaha meyakini kalau apa yang dikatakan Laras memang benar adanya. Kejadian malam itu mungkin hanyalah sebuah bentuk one night stand, just sex without relationship. Sebenarnya masih ada sedikit kekhawatiran dalam benak Adel, kalau semua ini ternyata belum berakhir. Seumur hidupnya ia sama sekali belum pernah mengalami pengalaman seperti ini sebelumnya, sehingga rasa was-was tetap hanya mengganjal di hatinya. Adel memang bisa dikatakan sebagai tipe wanita konservatif dalam urusan percintaan, sehingga mencoba untuk melakukan variasi seks model one night stand jelas sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Bercinta dengan pasangan yang sama sekali tidak ia kenal sebelumnya adalah sebuah hal yang tabu bagi wanita seperti Adel. Namun pengalaman buruk itu pun mulai terkikis seiring berjalannya hari. Adel pun menganggap kejadian malam itu hanyalah sebuah kesalahan terbesar di dalam hidupnya, yang jelas tidak akan pernah ia ulangi lagi.



********

Dua minggu setelah hari itu.



Terdengar suara gelak tawa dari salah satu ruangan di kantor Perusahaan ***. Ruangan itu adalah ruang pantri. Di dalamnya ternyata berkumpul lima orang pegawai yang kesemuanya adalah laki-laki. Memang waktu makan siang sudah beberapa menit yang lalu berakhir, namun beberapa pegawai ini rupanya sedang off sehingga masih nampak berkumpul dan bersantai di ruang pantri ini. Tak lama masuklah dua orang wanita yang tak lain adalah Adel dan Laras.

Hi, guys lagi pada kumpul nih?”, Adel menyapa mereka ramah.

“Eh, Neng Adel cayang sama Neng Laras cayang, tumben nih mampir, kangen ama kita-kita ya?”, ujar salah satu OB (=Office Boy) yang bertubuh gempal. Sedang pegawai lain yang bertubuh kerempeng bernama Sugi seakan tak mau kalah langsung berdiri menghampiri mereka berdua, “Ye enak aja lu, mereka tuh mau nyari gue bukan lu-lu pada, betul kan cewek-cewek manis?”, ucapan itu pun langsung disambut teriakan “Huuu...” yang panjang dari pegawai lainnya yang berada di dalam ruangan tersebut.

“Ye jangan pada ge er ya, kita kesini tuh cuma mau bikin kopi aja kok”, Laras langsung mentoel hitung laki-laki kerempeng di depannya dan dengan gaya genit berjalan menuju rak tempat penyimpanan mug.

“Ih, Neng Laras ini bikin gemes aja, mau dibantuin buatin kopi nggak?”

“Oh, Pak Roni mau buatin saya kopi nih? Bole-bole aja tapi gulanya jangan banyak-banyak ya”.

Ketika Roni hendak beranjak mendekati Laras, dari belakang Sugi langsung berlari mendahuluinya, ”Eh, ini urusan orang cakep, orang-orang jelek duduk aja jangan ganggu”.

Roni langsung menyunggingkan senyum masam, dan menjauh dari keduanya.

“Neng, Adel mau dibuatin juga?”, tawar Roni kepada Adel setelah baru saja kehilangan mangsa utamanya.

“Nggak usah Pak Roni, saya bisa buat sendiri kok”.

“Nah, ini kopinya Neng Laras”, Sugi menyodorkan sebuah mug.

Laras mengambil mug berisi kopi tersebut, “Makasi ya Pak Sugi”.



“Aduh jangan panggil Pak dong Neng”.

“Terus saya harus manggil apa dong?”.

Laki-laki yang menjabat sopir itu lalu tersenyum malu-malu, “Panggil Aa aja he…”.

“O gitu, kalau gitu makasi ya Aa Sugi”.

“Oh jangan sungkan-sungkan Neng, jangankan buatin kopi, nyeberang laut juga Aa Sugi mau kok demi Neng Laras”. Kembali teriakan “Huuuu….” panjang bergema di dalam ruangan tersebut.

“Wih kayak ikan donk!”, teriak salah satu pegawai.

“Iya ikan Lohan, jidatnya aja mirip tuh”, gelak tawa pun terdengar kencang.

“Uuuh... Sirik amat! Lu-lu pada bisa diem nggak sih?”, Sugi lalu kembali berpaling pada Laras. “Neng Laras, kan Aa udah buatin kopi buat neng, bole dong Aa minta sun”.

“Ah! Sun? Bole aja…”, Laras langsung memberikan kecupan jauh ke arah Sugi.

“Yaaaa... nggak kena Neng, nggak kerasa dong?”, ekspresi kekecewaan langsung menghiasi wajah Sugi, dan kembali gelak tawa riuh terdengar di belakangnya.

“Ya segitu aja dulu ya Aa, nanti kalau Aa sudah buatin saya kopi yang ke-1000 baru deh saya cium beneran”.

“Kok kayak dongeng Candi Prambanan sih Non?”.

Gelak tawa riuh terdengar semakin kencang saat si Sugi hanya bisa menggaruk-garuk kepala mendengar syarat yang diajukan oleh sang pujaan hati.

“Permisi ya bapak-bapak kita berdua harus buru-buru kerja lagi nih, kita tinggal dulu ya? Yuk Del”, Laras menggandeng tangan Adel dan keluar ruangan sambil tak lupa melambaikan tangan bak Miss Universe kepada para laki-laki tersebut. Para laki-laki itu pun hanya bisa menatap mupeng ke arahnya. Laras dan Adel memang primadona di kantor tersebut. Sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang fashion dan modeling, tentunya setiap hari kantor ini hampir selalu dipenuhi oleh gadis-gadis muda, cantik, manis dan sexy. Namun tetap saja Adel maupun Laras memiliki daya tarik sendiri bagi laki-laki yang melihatnya. Keduanya pun cantik, muda, fashionable dan masih singlesehingga mereka layaknya bunga yang selalu menyegarkan untuk dipandang mata. Tak hanya sedap untuk dipandang, bagi laki-laki yang kebetulan berotak sedikit mesum dan porno pasti menganggap mereka berdua juga “sedap” untuk dinikmati. Dimata laki-laki seperti ini, lekuk tubuh indah dari keduanya pasti akan terlihat lebih indah ketika tak berbalut busana sama sekali. Dan tentunya akan lebih indah lagi apabila tubuh tersebut bergelinjang di atas ranjang ditengah kobaran birahi yang membara. Namun karena kedudukan Laras dan Adel di kantor tersebut termasuk jajaran staf tinggi, sehingga sebagai pegawai bawahan tentunya mereka harus sadar diri kalau fantasi jorok mereka mungkin selamanya hanya akan menjadi sebuah fantasi. Bahkan laki-laki berkedudukan tinggi pun harus merasakan nasib yang sama ketika keduanya selalu menolak ajakan kencan mereka secara halus.



********

“Gila lo Ras, asal udah ketemu cowok aja pasti deh langsung heboh”, Adel memasuki ruangan kerjanya diikuti Laras.

“Hehehe... abis mereka duluan, gue kan cuma mengikuti arus”, Laras menghempaskan pantatnya di sofa lalu ia pun kemudian nampak sibuk meniup-niup kopi yang dibawanya.

“Yealah pake alasan ngikutin arus? Lo aja yang emang dasarnya ganjen hehehe”, Adel berjalan menuju meja kerjanya, meletakkan mug kopinya dan menghidupkan kembali komputernya.

“Habis udah bawaan insting sih, mau gimana dong Del? Hehehe”, akhirnya satu siupan kopi berhasil masuk kerongkongan Laras, setelah sedari tadi ia berusaha mendinginkan kopi di dalam mug yang sedang dipegangnya tersebut.

Kemudian terdengar suara ketokan dari luar pintu ruangan.

“Masuk!”, teriak Adel.

Rupanya Pak Darmin, si pesuruh di kantor yang hendak mengambil gelas bekas teh yang selalu dihidangkan kepada para pegawai setiap paginya.

“Silakan Pak, gelas-gelasnya diambil aja”, Adel mempersilakan laki-laki paruh baya itu masuk.

Pak Darmin sedikit membungkukkan badan seolah meminta permisi pada Adel dan Laras sebelum memasuk ke dalam ruangan. Sekilas ia menatap ke arah Laras yang sedang duduk sambil masih sibuk dengan aktifitasnya meniup-niup kopi di dalam mug. Sambil mengambil gelas-gelas di atas meja Pak Darmin mencuri-curi pandang ke arah Laras. Sebuah pandangan tajam yang seolah-olah menyiratkan sesuatu. Pandangan itu seperti pandangan tajam harimau yang sedang menatap mangsanya yang ranum dan terlihat begitu lezat. Insting kewanitaan Laras terusik seolah bisa merasakan kalau saat ini ada sepasang mata yang menatap kearahnya. Gadis itu pun balik menatap ke arah laki-laki paruh baya itu. Pandangan mereka sempat beradu, namun kemudian cepat-cepat Pak Darmin menundukan kepalanya. Sedikit perasaan curiga sekaligus risih menyeruak di dalam hati Laras atas tatapan tersebut, namun tak lama ia pun kemudian cuek dan melanjutkan kegiatannya meniup kopi digenggamnya. Laki-laki paruh baya itu pun tak berani lagi menatap Laras.



“Permisi Mbak”, Pak Darmin meminta ijin keluar setelah selesai menaruh gelas-gelas tersebut di atas baki.

“Silakan Pak”, Adel berbicara tanpa melepaskan pandangannya dari layar komputer.

“Permisi Mbak”, Pak Darmin meminta diri kepada Laras. Laras pun hanya tersenyum kecil mencoba tetap sopan walau ia sendiri masih menaruh curiga terhadap laki-laki tersebut.

Tak lama Pak Darmin pun keluar dari ruangan Adel.

“Eh Del, lu ngerasa ada yang aneh nggak dengan Pak Darmin?”.

“Aneh? Maksud lu?”, Adel masih tetap tidak melepaskan pandangannya dari layar komputer.

“Hhhmmm… Cara ngeliatnya itu lo misterius banget, selain itu orangnya kan tertutup, kadang gue merinding lo deket-deket dia”.

“Perasaan lu aja yang terlalu sensitif kali”.

“Nggak gitu kali Del, biasanya insting gue bener lo, tadi aja Pak Darmin ngeliatin gue tajam banget kayak mau makan gue gitu”.

Adel lalu mengalihkan pandangannya dari layar komputer hendak mengambil mug kopi di atas mejanya. Dari posisinya saat ini, yang sama dengan posisi berdiri Pak Darmin tadi ia bisa melihat ke arah Laras yang sedang duduk sofa.

“Nah wajar dong Pak Darmin mandangin lu tajam barusan, rok lu kebuka tuh!”

Laras menatap ke ujung roknya, “Aduh... keliatan ya?”. Dengan segera Laras merapatkan kedua pahanya. “Tidak… tidak… tidak…”, Laras menggeleng-gelengkan kepalanya dan terlihat begitu kesal.

“Makanya tau make rok pendek duduk musti ati-ati dong”.

“Pantes Pak Darmin tadi ngelirik-lirik terus ke gue, sebeeel...!”, Laras meletakkan mug diatas meja tamu di depannya. Ia lalu berdiri dan merapikan ujung roknya, kemudian kembali duduk. Kali ini Laras benar-benar berusaha meyakinkan kalau posisi duduknya tidak lagi menimbulkan celah diantara kedua pahanya. “Sialan… mana tu Bapak ngeliatnya gratisan lagi”.

Ketika Laras masih bergelut dengan umpatan dan caci maki atas keteledorannya tadi, kembali terdengar suara ketukan dari balik pintu.

“Masuk!”, teriak Adel lagi.

Pintu pun terbuka dan nampak Heri, salah satu pegawai tata usaha mendongokkan kepalanya.



“Eh Her, masuk-masuk, ada apa nih?”, Adel menyapa ramah, sedang Laras langsung menghentikan omelannya dan segera berdiri.

“Maaf saya mengganggu Mbak Adel, saya mau mencari Laras nih tadi kita janjian habis makan siang mau keluar beli alat-alat tulis kantor”. Lalu Heri memandang ke arah Laras, “Gimana Ras? Jadi nggak?”.

Sekilas Laras mengerlingkan matanya nakal ke arah Adel dan Adel pun langsung mengerti maksudnya. Rupanya rekannya yang satu ini kembali menemukan calon korbannya untuk dijadikan “sopir” pribadinya. Dasar Laras! Sudah punya gebetan berjibun masih saja gebet sana gebet sini, pikir Adel dalam hati.

“Jadi dong, tapi nggak ngerepotin kan?”, Laras memasang ekspresi wajahnya yang paling imut.

“Nggak kok, yuk sekarang aja biar nggak telat nanti balik ke kantornya”

“Yuk!”

“Mbak Adel mau ada yang mau dititip sekalian?”

“Nggak deh Her, kamu jagain aja tuh si Laras biar nggak hilang di Mall, kalau perlu kamu iket aja sekalian”. Adel tersenyum simpul.

“Enak aja! Emang gue anjing pake diiket-iket waktu jalan-jalan”, semprot Laras.

Heri dan Adel tertawa berbarengan mendengarnya.

“Kalau gitu kita berangkat dulu Mbak”, Heri keluar pun dari kantor tersebut. Sebelum mengikuti Heri keluar ruangan Laras sempat melambaikan tangannya ke arah Adel, lengkap dengan senyum genit dan ciuman jauhnya. Adel pun hanya tersenyum simpul. Selepas kepergian Laras dan Heri, Adel yang kini duduk di belakang meja kerja kembali melanjutkan kegiatannya di depan komputer. Selain acara rapat dengan salah satu perusahaan tekstil pagi tadi, Adel memang tidak memiliki jadwal penting lain hari ini. Mungkin yang akan sedikit menyita waktunya adalah rencana lembur pembuatan laporan triwulan sore nanti, namun itupun kalau bagian keuangan sudah selesai menyusun neraca keuangan akhir. Beberapa menit kemudian perhatian Adel tidak lagi ditujukan ke layar komputernya, ia kemudian mengambil sebuah majalah di laci bawah meja kerjanya. Dengan posisi duduk bersandar di kursinya, Adel mulai membolak-balikkan halaman demi halaman dari majalah wanita tersebut sambil beberapa kali berhenti untuk membaca artikel yang menarik perhatiannya.



Di tengah keheningan ruangan tersebut tiba-tiba ponsel Adel berbunyi. Ia pun mengambil ponselnya tersebut diatas meja. Sebuah senyuman manis pun terkembang di wajahnya yang cantik ketika melihat nama yang muncul di layar ponselnya.

“Hi cinta…”, suara Adel terdengar mesra dan manja.

“Aduh kayaknya ada yang lagi happy nih?”.

“Ya dong, kan lagi ditelpon sama pacar he… Ada apa nih?”.

Oh I just want to hear your voice”.

“And…?”.

And also I want to kiss my lovely Adelia muaaacch…”.

Thank You Honey”.

OK, I must go to the class now”.

That’s it?”.

“Yes, so bye for now, love you…”.

Love you too”.

Raut bahagia masih terlihat di wajah cantik Adel. Setelah penghiatanan cinta yang ia lakukan beberapa hari yang lalu, perasaan cinta Adel menjadi semakin dalam kepada diri sang kekasih. Seolah-olah ia ingin mengobati perasaan bersalah dengan mencoba mencurahkan seluruh cintanya untuk Abi. Namun walau demikian, ia tidak bisa membohongi diri kalau jarak yang terpisah sedemikian jauh tetap saja mempengaruhi hubungan mereka. Secara batiniah mungkin saja hubungan mereka masih terjaga dengan baik, namun tanpa adanya kontak secara ragawi tetap saja menimbulkan sebuah ruang kosong dalam diri Adel. Kekosongan dalam bentuk sentuhan, rabaan dan belaian yang nyata, yang sudah lama tidak ia peroleh dari sang kekasih. Namun Adel berusaha menampikkan perasaan kosong tersebut, dan menyakinkan dirinya kalau saat ini hubungan mereka masih baik-baik saja. Senyum masih menghiasi wajah Adel ketika ia meletakkannya kembali ponselnya di atas meja untuk kemudian melanjutkan kembali kegiatan membacanya. Beberapa menit kemudian kembali ponsel Adel berbunyi, namun kali ini nada ponselnya menandakan sebuah pesan masuk ke dalam inbox-nya. Tanpa melepaskan pandangannya dari artikel di dalam majalah, Adel mengambil ponselnya di atas meja. Adel melihat nomor yang tertera di layar ponselnya adalah nomor asing yang tak terdaftar. Dibukanya pesan yang masuk tersebut dan ternyata adalah sebuah MMS (=Multimedia Message Service). Hal ini cukup mengherankan, karena sudah cukup lama juga dirinya tidak pernah menerima pesan dalam bentuk MMS. Ia lalu memencel tombol guna men-download isi MMS tersebut ke dalam ponselnya. Setelah proses download selesai, file tersebut muncul dalam bentuk sebuah video dengan format 3gp. Adel membuka video tersebut dan betapa terkejutnya ia ketika yang muncul adalah sebuah adegan layak sensor dimana seorang laki-laki terlihat sedang menyetubuhi seorang wanita diatas sebuah ranjang. Adegan ini jelas sangat menjijikkan bagi Adel untuk disaksikan, namun ia tetap membiarkan video itu berjalan dengan harapan bisa menduga siapa yang kira-kira mengirimkan video mesum tersebut ke ponselnya.



Setelah beberapa menit video itu berjalan, majalah di tangan Adel langsung terjatuh ketika wajah wanita di dalam video tersebut ter-zoom dan terpampang jelas di layar ponselnya. Wajah Adel langsung terlihat pucat pasi ketika melihat wajah wanita yang sedang disetubuhi tersebut tak lain dan tak bukan adalah dirinya sendiri. Di dalam video tersebut terlihat sekali ekspresi horny di wajahnya dan jelas sekali terdengar suara desahan dan rintihan bergantian keluar dari mulutnya. Ia tahu benar kalau adegan ini jelas diambil di malam ketika ia sedang mabuk waktu itu. Adel sama sekali tidak bisa berkata-kata apa-apa, ia hanya mematung menatap ke arah layar ponselnya. Rupanya Adel benar-benar salah telah menggangap semuanya berakhir di malam itu, karena justru saat ini semuanya baru saja dimulai. Belum sampai durasi video tersebut selesai berjalan, ponsel Adel bergetar. Nomor pengirim MMS tersebut terpampang di layar dengan tulisan memanggil. Dengan gemetar Adel menjawab panggilan tersebut, “Siapa ini!”.

“Sudah menonton videonya? Bagus kan? Pemeran utamanya benar-benar menggairahkan”.

“Tega benar kamu berbuat seperti ini!”

“Denger! Kalau kamu tidak mau video tersebut tersebar di internet, sekarang juga kamu datang ke Hotel *** dan cari kamar nomor 478, ingat kamu harus dateng sendiri dan jangan sampai menceritakan kejadian ini kepada seorang pun kalau kamu tidak ingin semua orang tahu skandal seks kamu ini lewat internet”.

“Tapi aku sedang di kantor sekarang, aku tidak bisa pergi begitu saja”

“Kamu bukan diposisi untuk bisa melakukan tawar-menawar, jadi lakukan apa yang aku perintahkan tadi. Sekarang juga ke Hotel *** dan tunggu aku di kamar nomor 478, sebaiknya kamu datang secepatnya atau video ini akan tersebar malam ini juga!”.

Si penelpon langsung menghentikan pembicaraan. Telepon pun terputus. Adel terlihatshock. Tatapan matanya terlihat kosong. Ia seakan masih tidak percaya kalau masalah malam itu akan berlanjut dan bahkan mungkin saja bisa berlanjut menjadi semakin parah. Ia sama sekali tidak tahu harus berbuat apa lagi kecuali mengikuti kata-kata laki-laki yang menelponnya tadi. Segera saja Adel beranjak dari kursinya dan menyambar tas jinjingnya. Sebelum meninggalkan kantor ia sempat menitipkan pesan kepada Mita, salah satu pegawainya di bagian Humas kalau ia harus buru-buru pergi karena ada telepon penting dari klein. Adel juga menitipkan pesan untuk disampaikan kepada Laras agar melanjutkan pembuatan laporan selama ia pergi, karena dirinya mungkin akan pergi cukup lama. Dan kini Adel pun sudah berada di dalam mobilnya. Berbagai macam perasaan kini bergejolak dalam hati Adel. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya sesampainya ia di Hotel ***, yang jelas perasaan ini sangatlah tidak mengenakkan. Bayangan bagaimana ketika pagi-pagi ia terbangun dalam kondisi memalukan dan harus bergegas check out dari hotel tersebut kembali muncul dalam ingatannya. Setelah sekian hari ia berusaha untuk menghapus memory buruk tersebut, kini ia justru harus kembali ke hotel itu lagi. Batin Adel mengatakan kalau sesuatu yang jahat sedang menunggunya saat ini.



********

Turun dari mobil, dalam keadaan setengah berlari Adel langsung menuju lobi hotel dan menghampiri meja resepsionis. Ia diberitahukan kalau kamar yang ditujunya berada di lantai 3. Di dalam lift perasaan Adel semakin bercampur aduk. Ketika pintu lift terbuka di lantai 3, Adel langsung keluar diikuti beberapa orang yang juga menuju lantai yang sama. Setelah berjalan beberapa langkah akhirnya Adel berdiri di depan pintu yang bertuliskan nomor 478. Dengan perasaan bergejolak Adel menghembuskan nafas panjang dan mengetuknya beberapa kali. Lama tidak ada jawaban dari dalam akhirnya Adel memberanikan diri untuk membuka pintu kamar itu dengan menggunakan kunci yang diberikan oleh resepsionis. Ternyata di dalam kamar itu tak ada seorang pun. Adel menyapu pandangannya sekeliling kamar tersebut. Adel baru sadar ini adalah kamar dimana kejadian malam itu terjadi. Di pagi hari, di saat kejadian itu terjadi Adel memang terburu-buru untuk meninggalkan kamar ini, namun ia cukup bisa mengingat posisi dan situasi di dalam kamar ini. Ia benar-benar yakin kalau ini adalah kamar tempat ia terbangun dalam keadaan telanjang telanjang, pusing, sakit kepala dan belepotan sperma di sekujur tubuhnya. Kalau rekaman video itu benar adanya, maka semua itu pastilah diambil di dalam kamar ini dan juga diatas ranjang ini. Dada Adel terasa begitu sesak ketika ia harus kembali berada di dalam kamar maksiat ini. Pintu kamar tiba-tiba terbuka ketika Adel masih termenung dalam bayang-bayang pikirannya. Adel melihat sesosok laki-laki masuk ke dalam kamar. Laki-laki tersebut lalu menutup pintu dan tersenyum ke arahnya. Di depannya kini berdiri sosok seorang laki-laki yang usianya mungkin tidak berbeda jauh dengan dirinya. Dengan perawakan tubuh yang sedikit lebih tinggi dari dirinya dan rambut yang tercukur pendek, laki-laki itu terlihat begitu jantan. Tubuh tegap itu terbalut kaos berwarna putih dan jeans. Ia kemudian hanya berdiri di depan pintu dan menatap tajam kearah Adel dari ujung atas sampai ujung bawah. Adel bertanya-tanya dalam hatinya, apakah ini laki-laki yang terlibat one night stand dengan dirinya di malam itu?

“Akhirnya kamu datang juga Adelia Pramesti Devi, itu nama kamu kan?”

“I… Iya, apa kamu yang menelpon tadi?”

“Begitulah kira-kira”, Laki-laki itu kini dengan santainya duduk di sofa di dekat tempat tidur.

“Tolong katakan apa yang kamu mau, kamu mau uang?”

Laki-laki itu sama sekali tidak memperhatikan pertanyaan Adel, ia terlihat sibuk menyapu pandangannya sekeliling kamar.

“Kamu masih ingat kamar ini kan? Kamar ini benar-benar nampak luar biasa malam itu. Begitu hangat dan begitu menggairahkan. Sungguh malam yang tak terlupakan”.

Please... aku tidak punya banyak waktu, berapa jumlah yang kamu mau?”



Laki-laki itu kemudian berdiri dan bergerak mendekati Adel. “Jadi kamu pikir aku melakukan semua ini dan menyuruh kamu datang kesini hanya untuk uang? Maaf aku tidak butuh uangmu”.

“Lalu kamu mau apa?”, tubuh Adel terlihat bergetar, ia mencoba menutupi perasaan takut yang saat ini sedang menyelimutinya.

Ok, kalau memang kamu ingin tahu tujuan semua ini, aku akan mengatakannya sekarang”. Laki-laki itu lalu berjalan mengitari Adel dengan pandangan tajam menatap setiap lekuk tubuh Adel yang hari itu terbalut kemeja biru muda dan rok span warna biru tua. “Ternyata wangi tubuhmu sama sekali tidak berubah, sungguh tubuh yang luar biasa sempurna dan tidak terlupakan”, Laki-laki itu kemudian berhenti di belakang Adel. “Aku sebenarnya mengundangmu kemari hanya ingin mengulang kejadian malam itu di tempat yang sama namun dengan kondisi yang sedikit berbeda”.

Adel sontak terkejut. Nafasnya mulai terlihat tidak teratur. Dadanya terasa sesak. Wajahnya pucat pasi mendengar kata-kata laki-laki didekatnya ini. Jika ia benar menangkap maksud si laki-laki berarti ia harus kembali bersetubuh dengan laki-laki ini, disini dan saat ini juga.

“Malam itu kamu begitu menggairahkan. Kamu mendesah dan bergelinjang liar sepanjang malam, bahkan ketika kita mengulangi untuk ketiga kalinya kamu masih saja liar, sungguh luar biasa!”. Laki-laki itu kini berani meraba rambut Adel dengan tangannya, menyeka rambutnya, menyentuh telinganya kemudian turun ke leher dan pundaknya.

Adel menepis tangan itu dan bergerak menjauh. “Jangan kurang ajar ya! Malam itu aku sama sekali tidak tahu apa yang aku lakukan, jika aku sadar tentu kejadian itu tidak akan terjadi!”, Adel berteriak lantang.

“Terserah apa katamu, yang jelas saat ini kamu tidak berada di posisi yang kuat untuk menolak, aku hanya ingin tahu apa jika dalam keadaan tidak mabuk kamu akan sama menggairahkannya seperti malam itu”.

Tubuh Adel nampak semakin bergetar menahan rasa geram dalam dirinya. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Tanpa ia sadari air mata mulai keluar dari kelopak matanya. Ia pun kini hanya bisa berdiri membisu di depan pintu kamar mandi di seberang laki-laki tersebut. Ia sadar apa yang dikatakan oleh laki-laki ini adalah benar kalau posisinya saat ini sangatlah lemah. Namun jika ia menuruti kemauan laki-laki tersebut maka akan sama artinya dengan menyerahkan diri untuk kedua kalinya. Ia sama sekali tidak mengenal laki-laki di hadapannya ini. Adel tentunya tidak mungkin akan menyerahkan tubuhnya begitu saja kepada laki-laki ini, walaupun sebelumnya secara tidak sadar ia memang pernah melakukannya.



“Kenapa menangis? Aku tahu malam itu kamu juga menikmatinya, lalu apa salahnya kalau kita mengulanginya lagi?”.

“Tolong serahkan rekaman itu, aku mohon…”, ucapan Adel terdengar memelas. Isak tangis Adel pun mulai terdengar lirih.

“Rekaman ini sangat berharga untukku, apa kamu pikir aku akan menyerahkannya begitu saja tanpa konpensasi?”.

“Tapi aku tidak bisa melakukan apa yang kamu mau”.

“Hahaha… tidak usah sok suci! Malam itu aku tahu kalau kamu sudah tidak perawan lagi artinya bukan hanya aku yang pernah menidurimu, bukan begitu?”.

“Ta… tapi…”.

Laki-laki itu lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Sedangkan Adel sendiri masih tetap berdiri mematung di posisinya semula.

“Baiklah… aku tidak akan memaksamu, pintu ini kini sudah terbuka dan kamu bisa keluar sekarang, namun aku ingatkan begitu kamu keluar berarti kamu memilih konsekuensi kalau video itu akan tersebar”. Laki-laki itu lalu berjalan ke arah ranjang kemudian duduk. Dengan tenang ia lalu membuka baju kaos yang dikenakan serta mulai melepaskan sepatu ketsnya. “Namun jika kamu tidak mau hal itu sampai terjadi, sebaiknya kamu menutup pintu itu, menguncinya”.

Adel benar-benar bingung apa yang harus dilakukannya. Laki-laki itu telah memberikan dua pilihan untuk ia pilih. Ia tahu saat ini ia sedang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama sulit. Beberapa saat kesunyian menyelimuti ruangan tersebut.

“Bagaimana? Sudah kamu putuskan?”.

“A… apakah kamu akan menyerahkan rekaman itu jika aku memenuhi permintaanmu?”, setelah lama membisu akhirnya sebuah kalimat keluar dari mulut Adel.

“Kita lihat saja nanti apakah kamu bisa memuaskan aku atau tidak”, Laki-laki itu kini berdiri kemudian melepaskan jeans yang dikenakannya sehingga kini hanya menyisakanboxer hitam yang melekat di tubuhnya. Dari kata-kata Adel tadi rupanya laki-laki itu sudah bisa memperkirakan kalau sang gadis cantik di hadapannya akan memilih untuk melayaninya ketimbang harus kehilangan nama baik akibat skandal video mesum.

Adel mengepalkan kedua tangannya. Ia benar-benar marah mendengar kata-kata laki-laki itu. Ingin rasanya ia bisa memukul wajah yang kini sedang tersenyum mesum kearahnya tersebut, namun ia tahu itu tidak akan ada gunanya dan hanya akan memperkeruh suasana. Kata-kata laki-laki itu memang benar kalau ia sudah pernah melakukan persetubuhan sebelumnya, namun itu ia lakukan berdasarkan cinta dan ketulusan. Sedangkan kali ini ia harus menyerahkan tubuhnya dalam kondisi dibawah tekanan dan paksaan.



Harus diakuinya kalau saat ini memang sama sekali tidak ada pilihan lain baginya. Pikiran putus asa pun kian kuat menguasai diri Adel. Toh, sebelumnya laki-laki dihadapannya ini sudah pernah menyetubuhinya lalu apa salahnya kalau ia melakukannya lagi. Hal ini coba dijadikan pembenar oleh Adel atas pilihan yang mungkin akan segera ia ambil. Akhirnya dengan langkah berat Adel pun melangkah ke arah pintu, menutup dan lalu menguncinya. Dibandingkan dengan pilihan membiarkan video itu tersebar sehingga membuat karier, nama baik dan hidupnya hancur berantakan, maka ia merasa menyerahkan tubuhnya adalah pilihan terbaik saat ini.

“Pilihan yang bagus”, senyum mesum makin lebar tersungging dari bibir laki-laki tersebut. “Sekarang buka pakaianmu!”.

Adel meletakkan tas jinjingnya diatas meja rias. Berlahan ia melepaskan ikat rambutnya sehingga kini rambut panjang tersebut jatuh tergerai lurus. Adel menatap tajam ke arah laki-laki yang kini duduk santai di pinggir ranjang menunggu dirinya untuk melakukan perintah tadi. Dengan posisi berdiri Adel melepaskan sepatu hak tinggi yang dikenakannya secara bergantian. Kemudian dengan masih diselimuti perasaan ragu, berlahan satu per satu gadis cantik ini melepaskan kancing kemejanya. Setelah semua kancingnya terbuka Adel nampak enggan untuk melepaskan kemeja itu dari tubuhnya. Rupanya Adel masih tidak sepenuhnya yakin atas pilihannya ini.

“Tunggu apa lagi? Bukankah tadi kamu mengatakan tidak punya banyak waktu?”.

Setelah menguatkan kembali batinnya yang sempat bimbang, Adel pun melepaskan kemeja tersebut dan meletakkannya di atas kursi. Namun setelah itu, dengan cepat Adel menutup bagian atas tubuhnya yang kini hanya tertutupi bra berwarna krem dengan kedua tangannya. Bagaimana pun sebagai wanita tentunya tetap saja ada perasaan risih untuk memperlihatkan tubuhnya di depan seorang laki-laki. Pandangan nanar mulai terlihat dari sorot mata laki-laki tersebut. Walaupun sebelumnya ia sudah pernah melihat tubuh telanjang gadis cantik dihadapannya ini, namun tentunya sensasi yang ditimbulkan akan terasa jauh lebih nikmat ketika melihat si gadislah yang melepaskan pakaiannya sendiri.

“Tolong jangan menguji kesabaranku, sekarang cepat buka rokmu!”.

Air mata kembali mengalir membasahi wajah manis Adel. Semua ini terasa begitu memalukan bagi dirinya. Kini Adel merasa tak lebih seperti seorang pelacur sehingga bisa begitu saja diperintah oleh laki-laki yang telah mem-booking-nya.



Ingin rasanya ia melawan, namun ketidakberdayaan justru membuat tangannya bergerak sendiri melepaskan resleting belakang roknya sehingga sedetik kemudian rok itu pun meluncur turun ke lantai. Kini tubuh bawah Adel pun hanya terbalut celana dalam mini berwarna krem. Tubuh yang kini dalam keadaan setengah telanjang ini terlihat benar-benar luar biasa dan begitu mempesona. Dengan tinggi hampir 170 cm, berat 58 kg, dan ukuran dada 34 B, tentu akan membuat banyak laki-laki bersedia mengorbankan apapun untuk bisa memiliki dan menikmati keindahan ciptaan yang maha kuasa ini. Adel masih tetap berusaha untuk menutupi telanjangannya dengan kedua tangannya. Ia menundukkan kepalanya menahan rasa malu. Isak tangis masih terdengar dari gadis cantik tersebut. Berkali-laki Adel mengucapkan maaf dalam hati kepada Abi tunangannya, karena sebentar lagi mungkin ia akan kembali melakukan penghianatan terhadap cinta mereka.

“Cukup sudah! Sekarang cepat kemari”. Nada suara laki-laki itu terdengar begitu keras.

Gadis cantik itu pun menurut dan dengan langkah berat mendekati laki-laki itu, kemudian berdiri polos dihadapannya.

“Ah... kamu benar-benar tercipta sempurna”. Laki-laki itu mulai menyentuh kedua paha Adel, turun ke betis dan naik lagi ke pantat Adel. Adel sendiri mulai merinding menerima rabaan tersebut. Tangan laki-laki itu kini meremas-remas pantat Adel. Bongkahan pantat gadis itu terasa begitu halus dan padat. Lalu tangan itu menyusup masuk ke dalam celana dalam yang dikenakan sang gadis.

“Ini yang selalu aku ingat!”, laki-laki itu meremas-remas selangkangan Adel, sambil diikuti desahan lembut sang pemilik. Terasa bulu-bulu lembut menyentuh permukaan tangannya, namun sama sekali belum terasa adanya cairan yang keluar dari dalamnya.

Laki-laki itu lalu berdiri dan mencium bibir Adel dengan lembut, kemudian mulai memainkan lidahnya di permukaan bibir lalu masuk dalam mulut Adel. Sementara tangan laki-laki itu nampak sibuk menjelajahi setiap lekuk tubuh Adel. Tak lama tangan laki-laki itu pun menyusup ke dalam cup bra yang dikenakan Adel dan meremas payudara montok milik gadis tersebut. Ditengah remasan tangan laki-laki itu pada payudara Adel, cup bra yang tersingkap tadi menjadi sedikit mengganggu sehingga laki-laki itu memutuskan untuk melepaskan kaitan bra tersebut. Akhirnya penutup payudara itu pun tergeletak di lantai. Kini tangan laki-laki itu bisa dengan bebas menyerang payudara Adel dengan remasan demi remasan, sambil diatas sana ciuman dan pagutan tetap menyerang bibir lembut si gadis.



Masih tetap perpagutan bahkan kini dengan intensitas yang lebih tinggi, laki-laki itu merebahkan tubuh Adel di ranjang. Adel kini sudah tidak lagi pasif menerima pagutan di bibirnya, namun mulai ikut membalas permainan lidah laki-laki tersebut. Rupanya gairah birahi mulai mengusai akal sehat Adel. Ciuman laki-laki lalu beralih ke telinga, pipi, leher dan payudara Adel. Dengan bergantian secara lembut dan kasar laki-laki itu mengulum puting payudara Adel kemudian menjilatnya, menggigit dan menyupangi payudara padat yang kini mulai nampak makin padat dan tegang tersebut. Si gadis pun kini tak malu-malu lagi untuk mendesah dan merintih menandakan kalau ia sangat menikmati aksi-aksi nakal laki-laki tersebut di areal dada dan perutnya. Tangan kiri laki-laki itu kini kembali mengincar daerah selangkangan, sambil tetap melanjutkan ciuman, jilatan dan sedotannya pada payudara Adel. Berbeda dengan sentuhan tangannya tadi, kini celana dalam Adel terasa basah tepat di gundukan yang berada di tengah daerah selangkangan tersebut. Rupanya gairah mulai kian membakar diri si gadis cantik. Memang harus diakui Adel, sejak kepergian Abi ke Ausie sudah hampir 6 bulan lamanya ia tidak pernah merasakan lagi sentuhan laki-laki di tubuhnya. Sebagai wanita normal tentunya waktu selama itu membuat tubuhnya bergejolak terus menerus menahan gairah yang kadang menyerang di waktu-waktu tertentu. Masturbasi mungkin bisa sedikit mengurangi gejolak tersebut, namun tetap saja tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan yang diperoleh dari sentuhan langsung dari lawan jenis. Sehingga kini ketika ada seorang laki-laki menyerang setiap titik-titik sensitif di tubuhnya, maka dengan cepat tubuh Adel beraksi dan logika pun segera berganti dengan lesakan nafsu yang bergelora. Bahkan kini Adel seakan lupa kalau laki-laki yang kini sedang menjilati vaginanya bukanlah siapa-siapa dalam kehidupannya. Ia juga seakan lupa kalau saat ini ia sudah terikat pertunangan dengan laki-laki lain. Sebuah hubungan yang seharusnya ia hormati sebagai sesuatu yang sakral. Namun kini justru dirinyalah yang terlihat memegang kepala laki-laki tersebut seakan ingin mengatakan teruskan jilatanmu dan berikan aku kenikmatan. Adel bahkan tidak sadar kapan kain mungil pelindung terakhir selangkangannya terlepas, yang jelas kini ia nampak membuka kedua pahanya lebar-lebar dan memberikan akses penuh kepada lidah dan mulut laki-laki tersebut. Kenikmatan yang dirasakannya membuat Adel hanya bisa pasrah memejamkan mata, mendesah, mengerang serta berteriak sepuas-puasnya.

“Aaah… aahh… oohh…”, desahan makin sering terdengar dari mulut Adel ketika laki-laki tersebut memasukkan dua jari tangan kanannya ke dalam vaginanya dan kemudian mengocoknya dengan kencang.



“Awalnya nolak akhirnya konak juga!”, Laki-laki itu tertawa sambil terus melanjutkan kocokan tangannya.

Adel tak peduli dengan ejekan laki-laki itu. Memang ia tadi sempat menolak dan mencoba bertahan untuk tidak larut dalam percintaan terlarang ini, namun sebagai wanita normal tentu rangsangan demi rangsangan yang menghujani tubuhnya secara terus menerus mau tidak mau membangkitkan alam bawah sadar sekaligus sisi liarnya. Sampai titik tertentu laki-laki itu rupanya mulai menyadari kalau ia telah berhasil membuat si gadis cantik takluk dengan gelora nafsunya sendiri. Ia pun lalu menghentikan kocokan tangannya kemudian beranjak dari ranjang dan berdiri dipinggirnya. Laki-laki itu lalu mengangkat kepala Adel yang masih nampak terlentang dan terbuai gelora birahi.

“Sepong kontolku!”.

Adel menurut lalu beranjak dari posisinya. Nafasnya masih terlihat memburu walaupun tidak sekencang ketika tadi laki-laki itu masih merangsang tubuhnya. Adel lalu berlutut di hadapan laki-laki itu dan mulai meremas tonjolan di balik boxer-nya. Berlahan tangan Adel masuk ke dalam boxer tersebut dan mengeluarkan batang tegang dari dalamnya. Adel tersentak melihat batang penis milik laki-laki tersebut. Batang itu begitu besar dan panjang, dengan urat-urat pada permukaannya. Ukuran penis ini jelas 2 kali bahkan 5 kali lipat lebih besar dari penis milik laki-laki yang pernah bercinta dengannya. Bahkan jari-jari lentik Adel tak cukup untuk menggenggam batang tegang tersebut. Melihat batang tegang tersebut, Adel pun menjadi tidak heran kalau malam itu ia bisa bermain sampai 3 kali dengan laki-laki tersebut. Sisi liar dirinya seakan berteriak kegirangan dan tak sabar untuk bisa merasakan kenikmatan yang akan menyerangnya seandainya batang penis di genggamannya ini mengaduk-aduk vaginanya. Setelah beberapa menit mengocok-ngocok batang penis itu dengan tangannya, Adel kemudian melepaskan boxer yang dikenakan laki-laki itu. Berlahan Adel pun mulai menjilati ujung penis tersebut, bergiliran dengan batang dan buah zakarnya. Tak lama batang penis itupun amblas ke dalam mulut Adel yang dengan telaten mulai mengulum dan mengoralnya. Adel berusaha sehati-hati mungkin memasukkan dan mengeluarkan batang penis tersebut dari dalam mulutnya. Hal ini karena saking panjangnya batang penis tersebut, ujungnya sampai beberapa kali menyentuh tenggorokan Adel sehingga ia tak ingin tersedak karenanya.

“Berhenti sebentar”.

Laki-laki itu sejenak menghentikan kuluman Adel, untuk kemudian mengambil posisi bersandar di ujung tempat tidur sehingga kini ia dapat menyaksikan bagaimana aksi kuluman Adel pada penisnya dengan nyaman. “Ayo lanjutkan!”.



Adel pun menurut dan mengambil posisi menungging untuk kemudian kembali dengan kegiatannya menjilat, mengulum dan mengoral batang penis laki-laki itu.

“Oooh… ternyata tak hanya memeknya yang nikmat, lidahnya juga ternyata nikmat!”, Laki-laki itu mengelus-elus kepala Adel yang kini sedang mengoral penisnya. Memang ketika percintaannya di malam itu dengan Adel, laki-laki itu tidak merasakan kenikmatan lidah dan mulut si gadis karena saat itu Adel sedang dalam keadaan mabuk berat. Dalam keadaan setengah sadar seperti itu tentunya sama sekali tidak mungkin menyuruh si gadis melakukan oral seks.

Sambil menikmati layanan Adel di selangkangannya, tangan laki-laki itu meremas-remas payudara gadis tersebut yang terlihat menggantung dan menggoda. Sedangkan Adel sendiri sambil melakukan oral, ia nampak merabai vaginanya sendiri yang kini mulai terasa semakin gatal. Ia juga merabai klitorisnya agar kondisi vaginanya tetap dalam keadaan lembab dan basah sehingga nantinya akan siap untuk dimasuki setiap saat. Cukup lama Adel men-servis penis laki-laki itu dengan mulut dan lidahnya. Akhirnya si laki-laki menghentikan aksinya tersebut dan merubah kembali posisi Adel kembali menjadi terlentang. Laki-laki itu lalu membuka kedua paha Adel sehingga vagina ranum berwarna merah muda itu menjadi terpampang jelas di depannya. Tanpa basa-basi langsung saja laki-laki itu memasukkan ujung penisnya ke dalam vagina Adel diikuti oleh teriakan panjang Adel.

“Aaakkh…!”, Adel berteriak lantang ketika batang penis itu pertama kali merangsek masuk ke dalam lubang vaginanya. Besarnya diameter batang penis itu membuat otot-otot dinding vagina Adel berkontraksi dengan maksimal, hal ini tentu cukup menimbulkan rasa sakit karena ia belum terbiasa menghadapi batang penis berdiameter sebesar itu.

Laki-laki itu pun ikut mendesah panjang ketika memasukkan batang penisnya. Ia merasakan jepitan yang luar biasa dari dinding-dinding vagina Adel. Jangka waktu 6 bulan rupanya cukup membuat lubang vagina Adel terasa sempit kembali. Tak lama laki-laki itu pun telah mulai nampak sibuk menggenjoti vagina Adel sambil meremas-remas kedua payudaranya bergiliran. Berlahan keringat mulai membasahi tubuh kedua insan berlainan jenis tersebut. Mendengar desahan dan teriakan Adel seiring sodokan penisnya membuat laki-laki itu semakin bernafsu., sehingga laki-laki itu pun semakin mempercepat intensitas genjotannya.

“Aahh… biar sedang mabuk ataupun tidak sedang mabuk ternyata kamu tetap saja menggairahkan”.

Adel sama sekali tidak bisa berkonsentrasi mendengar perkataan laki-laki itu. Saat ini ia hanya berkonsentrasi merasakan kenikmatan di sekujur tubuhnya setiap kali penis tersebut masuk dan keluar di dalam vaginanya. Saat ini Adel seakan-akan menikmati sekali setiap detik persetubuhannya dengan laki-laki ini. Sudah cukup lama Adel tidak merasakan sensasi kenikmatan ragawi seperti ini, karena itulah ia sangat ingin di ujung percintaannya saat ini ia bisa mencapai klimaks yang luar biasa. Klimaks yang memuaskan. Kepuasan yang sudah lama sekali tidak ia rasakan.



“Jepitan memekmu benar-benar luar biasa! Ooohh…”.

Setelah sekitar lima belas menitan bercinta, kini laki-laki itu nampak menggenjoti vagina Adel dalam posisi dogie style. Permainan laki-laki ini hampir sama sekali tidak berbeda dengan permainannya di malam percintaan pertama mereka. Permainan yang cenderung kasar dan menjurus brutal. Namun mau tidak mau Adel harus mengakui kalau sensasi seperti ini tidak pernah ia alami bersama dengan pacar dan tunangannya. Tidak seperti malam itu, saat ini Adel benar-benar dalam keadaan sadar menikmati persetubuhan mereka ini. Apalagi memang telah lama Adel haus dengan sentuhan laki-laki dan ingin merasakan kembali hujaman penis di vaginanya. Ia ingin penis laki-laki itu menghujam vaginanya selama dan sedalam mungkin di dalam vaginanya. Bahkan beberapa kali suara ponsel Adel yang terdengar dari dalam tasnya sama sekali tidak diperhatikan olehnya. Perhatian Adel kini telah sepenuhnya terfokus pada kenikmatan yang dirasakan di sekujur tubuhnya. Isak tangis yang diawal permainan keluar dari mulut adel kini berganti desahan dan teriakan mengiringi genjotan demi genjotan yang menghujam vaginanya.

“Kamu suka?”, laki-laki itu menampar-nampar bongkahan pantat Adel.

Adel tak menjawab. Hanya desahan dan teriakan yang terdengar keluar dari mulutnya.

“Ayo jawab! Kamu suka ngentot tidak?”.

“I… iya su… suka banget Oooh…!”.

“Suka apa…?”, sebuah tamparan kembali mendarat di pantat Adel.

“Aaakh… suka… suka ngentot”.

Laki-laki itu lalu merubah posisi kembali sehingga kini Adel berada di atas dengan posisiwoman on top. Rupanya si laki-laki ingin melihat aksi goyangan pinggul Adel pada penisnya sambil melihat ekspresi horny pada wajah Adel. Adel pun nampak memejamkan matanya ketika menggoyang-goyangnya pinggulnya. Payudara gadis itu pun terlihat terguncang-guncang menambah nuansa erotis dari persetubuhan mereka. Desahan nafsu kedua insan tersebut makin memenuhi seisi ruangan kamar. Adel benar-benar memanfaatkan posisi ini, ia bergoyang liar sehingga membuat penis laki-laki itu benar-benar menghujam dan mengaduk-aduk hingga ke ujung dinding vaginanya. “Aaakkh… Oohh… Aaakh…”, desahan dan teriakan Adel makin merancau tak karuan, begitu juga dengan si laki-laki.



Keduanya seakan menikmati benar aksi-aksi dari lawan mainnya. Mereka kembali berganti posisi menjadi conventional style. Adel bisa merasakan sebentar lagi dirinya akan mencapai klimaks yang sudah sejak lama diidam-idamkannya. Sehingga ketika genjotan penis laki-laki itu semakin kencang, ia pun mengangkat pantatnya dan membuka lebar kedua kakinya. Dengan posisi seperti ini membuat kenikmatan yang diperolehnya akan semakin besar dan klimaks akan bisa ia capai semakin cepat.

“Rasain nih kontol gue perek!”, rancauan dengan kata-kata kasar mulai terdengar dari mulut laki-laki itu. Biasanya ini adalah pertanda kalau sebentar lagi ia akan mencapai klimaks. “Mampus lu lonte! Mampus lu gue entotin!”.

Umpatan dan kata-kata laki-laki itu kalau dalam keadaan sadar mungkin akan terdengar begitu kasar di telinga. Mungkin kata-kata itu lebih menyerupai hinaan terhadap dirinya. Namun dalam keadaan terbakar gairah birahi seperti ini, kata-kata dan umpatan seperti itu justru membuat Adel semakin liar. Desahan dan teriakan penuh nafsu pun semakin sering terdengar dari mulut Adel. Akhirnya setelah sekian lama terlarut dalam kenikmatan duniawi Adel akhirnya terlebih dahulu mencapai puncak permainan. “Aaakh…!”, cairan kenikmatan mengalir deras dari dalam vaginanya. Teriakan keras mengiringi pencapaian Adel. Sebuah teriakan yang menunjukkan kepuasan luar biasa, seakan bisa ia terbebas dari belenggu nafsu tertahannya selama ini. Hal ini berbeda dengan si laki-laki. Rupanya ia masih ingin merasakan nikmatnya jepitan lubang kenikmatan Adel sehingga ia berusaha menahan luapan yang hendak keluar dari dalam tubuhnya. Dengan begini laki-laki itu masih mampu bertahan menggenjot vagina Adel untuk beberapa saat lagi. Beberapa menit kemudian akhirnya laki-laki itu pun mencabut penisnya dari dalam vagina Adel dan menyemprotkan cairan putih beberapa kali ke dada, wajah dan mulut Adel. Adel yang sesungguhnya telah merasa lemas hanya bisa pasrah menerima semprotan demi semprotan sperma di dada dan wajahnya. Ia terlalu lelah untuk menolak. Bahkan ia pun tak bisa berbuat apa-apa ketika laki-laki itu memasukkan penisnya ke mulutnya dan menyemprotkan sisa-sisa cairan sperma terakhir ke dalamnya. Mulut Adel kini dipenuhi oleh sperma si laki-laki tersebut. Bahkan Adel sampai terbatuk-batuk karena ada cairan sperma yang tak sengaja tertelan olehnya. Sisa cairan sperma yang tak tertelan pun kini nampak meleleh keluar dari mulut Adel. Keduanya akhirnya ambruk terlentang bersebelahan di atas ranjang dalam keadaan telanjang. Keduanya masih terlihat menikmati sisa-sisa kenikmatan dari permainan cinta mereka tadi. Adel berlahan mulai mengatur nafasnya. Matanya terpejam memancarkan kepuasan luar biasa layaknya seseorang musafir yang baru menemukan oase di tengah padang pasir gersang. Bahkan ketika laki-laki itu kembali menindih tubuhnya dan menciumi sekujur tubuh telanjangnya ia hanya pasrah menikmati sensasi panas yang ditinggalkan lidah kasar laki-laki itu di setiap inci tubuhnya. Sama sekali tidak terlihat kalau awalnya ia justru dipaksa untuk melakukan semua ini.



“Kamu benar-benar luar biasa!”, Laki-laki itu merabai setiap inci tubuh Adel yang masih berusaha mengatur nafasnya, sehingga mengakibatkan sperma kini tersebar rata di sekujur tubuhnya.

Adel sendiri nampaknya masih terbuai dalam kenikmatan dan kepuasan seksual yang baru saja ia alami. Setelah sekian lama hanya bergulat dengan dirinya sendiri dengan cara masturbasi, persetubuhan tadi menjadi terasa begitu luar biasa. Namun kesadaran tiba-tiba Adel bangkit kembali ketika mendengar suara ponselnya berbunyi. Ia pun mendorong tubuh laki-laki itu dari atas tubuhnya sehingga terguling ke pinggir. Ia berlari masih dengan keadaan telanjang menuju ke meja rias dan mengambil ponselnya.

“Halo”, di depan cermin Adel melihat dirinya yang terlihat benar-benar berantakan dan acak-acakan. Ceceran cairan putih kental terlihat merata hampir di sekujur tubuhnya, sehingga mengakibatkan tubuhnya nampak mengkilap. Ia berusaha merapikan rambutnya sambil melihat si laki-laki duduk bersandar di ujung ranjang. Dari pantulan cermin, Adel sekilas bisa melihat sebuah senyuman puas tersungging dari bibir laki-laki tersebut.

“Del lu kemana sih? Mita bilang lu tadi keluar buru-buru dari kantor? Gue telpon-telpon nggak diangkat-angkat?”, terdengar suara Laras dengan nada suara khawatir.

“Gue nggak apa-apa kok Ras, tadi gue di telpon sama klien dan minta ketemu segera, jadi gue buru-buru deh”.

“Oh gitu…”, terdengar sedikit nada curiga dari suara Laras. “Ya udah, gue cuma mau bilang ke lu kalau sampai sore ini bagian akunting belum juga selesai nyusun neraca akhir jadi kita nggak bisa deh nyusun laporannya hari ini “.

“Tapi temen-temen lain gimana?”.

“Udah pada pulang kecuali bagian akunting yang katanya mau lembur, nih gue juga lagi dalam perjalanan pulang kok jadi kalau urusan lu udah selesai mending nggak usah balik ke kantor lagi deh”.

Di tengah percakapannya, tiba-tiba saja Adel merasakan laki-laki itu meremas payudaranya dari belakang. Adel langsung menepis tangan tersebut.

“Ya udah kalau gitu ntar gue langsung pulang aja, thanks ya infonya Ras kalau gitu sampai besok deh”.

“Ok deh Del, sampai besok juga”.



Begitu Adel mematikan ponselnya, laki-laki itu tiba-tiba saja membekap dan melempar tubuhnya ke ranjang. Tubuh Adel mendarat cukup keras di atas ranjang dengan posisi tertelungkup. Ponsel yang tadi dipegangnya pun terpelanting entah kemana. Sedetik kemudian Adel berteriak kesakitan karena laki-laki itu menindih dan menjambak rambutnya.

“Eh! Jangan pernah kamu sekali lagi berani menepis tanganku seperti tadi, inget rahasia kamu ada ditanganku sekarang jadi aku bisa melakukan apa saja yang aku mau, kamu ngerti?”.

Adel hanya kembali bisa terisak sambil berusaha menahan sakit.

“Kamu mengerti tidak?!”, laki-laki itu kembali menjambak rambut Adel.

“Aaaakhhh… sakit!”.

“Ditanya itu jawab!”.

“Iya… iya ngerti”.

“Bagus! Jadi harap kamu ingat kalau kamu itu sekarang milikku, apa yang aku perintahkan harus kamu turuti kalau tidak ingin menyesal, mengerti?”.

“Ngerti…”.

Laki-laki itu kemudian melepaskan jambakannya. Ia lalu beranjak menjauh dari Adel yang masih tertelungkup sambil menangis. Terlihat ia kemudian memunguti pakaiannya dan mulai mengenakannya kembali. Laki-laki itu lalu mendekati kembali Adel dan membalikkan tubuh gadis itu sehingga terlentang. Ia lalu memegang wajah Adel sehingga membuat pandangan mereka beradu.

“Masukkan nomor ponselku ke dalam HP-mu karena dalam waktu dekat ini sepertinya aku masih ingin menikmati tubuh indahmu ini”.

“A… apa maksudmu? Ka…kamu tadi bilang aku hanya harus melayanimu saat ini saja”.

Laki-laki itu tertawa. Ia kemudian dengan berlahan merabai tubuh telanjang Adel. Kali ini Adel tidak berani menepis tangan itu dan membiarkan saja laki-laki itu menyentuh setiap bagian tubuhnya yang diinginkannya. Ia tidak ingin mendapatkan kekerasan fisik seperti tadi lagi.

“Adel, Adel, aku tadi bilang aku janji tidak akan menyebarkan videomu kalau kamu bisa memuaskan aku, dan tentunya bercinta denganmu saat ini saja tidak akan membuatku puas hahaha… Jadi kalau kamu masih ingin namamu bersih demi kariermu maka mulai sekarang setiap kali aku menelponmu kamu harus datang untuk memuaskan aku”. Laki-laki itu kembali tertawa.



“Dasar maniak… Serahkan rekaman itu!”.

“Hahaha… Terserah apa katamu, yang jelas kamu tak bisa mengelak dari nasibmu, kamu adalah milikku sekarang!”. Tanpa menghiraukan permintaan Adel, ia lalu berdiri di pinggir ranjang dan menyalakan rokok. “Namaku Prasetyo, kamu bisa memanggil aku Pras”.

Laki-laki itu kemudian beranjak menuju pintu. “Beberapa hari lagi aku akan menelpon, jadi jangan pernah mematikan HP-mu hahaha…”. Setelah mengucapkan pesan terakhirnya tersebut, laki-laki yang mengaku bernama Prasetyo itu pun kemudian menghilang dari balik pintu meninggalkan Adel sendirian di kamar ini.

Sepeninggal laki-laki itu Adel masih terbaring lemah di atas ranjang. Ia terlihat menangis sambil memeluk guling masih dalam keadaan telanjang. Akal sehat Adel rupanya sudah kembali mengganti birahinya yang tadi berkecambuk. Ia masih tak percaya dengan apa yang barusan terjadi kepadanya. Ia baru saja kembali melakukan sebuah perselingkuhan. Apa kata Abi jika ia tahu. Tapi laki-laki itulah memaksanya. Menikmati tubuhnya tanpa ia inginkan. Ia telah diperkosa. Namun apakah Adel bisa mengatakan dirinya habis diperkosa? Memang benar ia tidak ingin melakukannya dan dipaksa untuk melakukannya, tapi bukankah tadi ia juga menikmatinya dan mencapai kepuasan seksual dari persetubuhan tersebut? Hari ini ia merasa telah melakukan dosa karena mengkhianati cinta tunangannya.Kini ia baru menyesali diri kenapa memilih untuk kembali menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki tadi. Ia merasa dibohongi mentah-mentah oleh laki-laki bejat tersebut. Kini tak hanya tubuhnya yang terasa sakit, hatinya pun terasa lebih sakit lagi. Beberapa lama larut dalam kesedihan dan penyesalan dirinya, Adel akhirnya beranjak dari atas ranjang. Ia tahu semuanya telah terjadi dan rasa sesal pun seakan sudah tidak ada gunanya lagi saat ini. Adel mengumpulkan pakaiannya satu persatu. Seperti halnya kejadian waktu itu Adel juga tidak bisa menemukan bra dan celana dalamnya kembali. Ternyata laki-laki itu benar-benar maniak makinya dalam hati. Namun Adel sama sekali tidak ingin memperdulikannya lagi karena sehabis ini ia tak perlu datang lagi ke kantor. Ia pun segera mengenakan pakaiannya yang masih tersisa, memungut ponsel, kemudian menyambar tas jinjingnya. Gadis itu pun bergegas meninggalkan kamar maksiat tersebut. Tak ada lagi yang paling penting dalam pikiran Adel saat ini selain pulang dan membersihkan tubuhnya.



********

Di apartemennya, Adel sedang terduduk di lantai kamar mandi di bawah pancuran yang sedang menyala. Ia menangis walau tanpa air mata. Pandangan gadis itu kosong. Ia membiarkan saja tubuh telanjangnya disirami air yang terus mengucur berharap semua kotoran karena persetubuhan tadi akan terhanyut. Bagaimanapun ia berusaha untuk melupakan namun remasan, jilatan, rabaan dan genjotan yang menghujani tubuhnya beberapa jam yang lalu sampai kini masih terasa begitu nyata. Masih dengan tatapan kosong, Adel beranjak berdiri dan mematikan pancuran. Ia lalu berjalan gontai menuju ranjang dan langsung merebahkan tubuhnya disana. Bulir-bulir air mengalir sepanjang permukaan kulit dan tubuh Adel yang lembut, kemudian turun membasahi sprei dan ranjang. Adel sama sekali tidak memperdulikannya. Bahkan beberapa saat kemudian semuanya pun menjadi gelap.

Innocent Angels 2: Two Sides of A Coin

Short Note From Writter…

See you again in Chapter Two… Ini adalah seri sambungan dari serial INNOCENT ANGELS Chapter One: Whom I Slept With? Sejujurnya saya tidak menyangka seri pertama INNOCENT ANGELS mendapat respon yang baik, bahkan sangat teramat baik dari berbagai kalangan pembaca. Hal ini tentu sangat membahagiakan bagi saya sebagai seorang penulis pemula. Seperti layaknya seorang koki yang bertugas meracik bahan-bahan masakan dan bumbu-bumbu untuk dijadikan sebuah hidangan spesial, tentu akan tercapai sebuah kepuasan batin yang luar biasa ketika orang-orang bisa menerima dan menikmati hidangan tersebut dengan tersenyum. Dengan demikian hal ini pun akan membuat sang koki dari hari ke hari akan kian bersemangat untuk menemukan dan meracik resep-resep baru. Ketika dianalogikan seperti itu, maka dalam hal ini saya adalah sang koki dan para pembaca sekalian adalah sang penikmat masakan. Sehingga pada kesempatan ini kembali saya harus mengucapkan terima kasih atas segala bentuk apresiasi yang telah diberikan oleh pemilik web, para senior dan seluruh pembaca – baik aktif maupun pasif – di web ini, serta pihak-pihak lain yang mungkin secara tak sengaja ikut membaca cerita saya ini.

Dengan kembali mengutip sebuah pepatah dari para leluhur dan pendahulu kita yaitu “seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk”, maka dengan segala kerendahan hati saya sebagai penulis tetap mengharapkan kritik, saran, pendapat, opini atau bahkan mungkin cacian dan makian dari pembaca sekalian. Semoga semua kritik, saran, pendapat, opini, cacian dan makian tersebut bisa menjadi zat adiktif dan candu di dalam aliran darah dan setiap simpul-simpul saraf otak saya sehingga membuat saya semakinsakaw untuk terus berkarya dan berkarya. Dan seperti sebelumnya, sebagai kata-kata penutup dengan ini saya sampaikan: Selamat Membaca…!
Somewhere in Earth, December 2009.
Pendekar Maboek Ó
******************************** 

 
Adelia

“Del…!” teriakan Laras langsung mengembalikan Adel kembali ke alam nyata.

Rupanya beberapa detik yang lalu pikiran Adel terbang melayang entah kemana. Suara ponsel yang menandakan sebuah SMS (=short message service) masuk ternyata cukup menyita perhatiannya tadi. Memang sejak munculnya Prasetyo dalam kehidupan Adel, membuat gadis cantik tersebut selalu berada dalam bayang-bayang ketakutan. Walaupun ia terus berusaha untuk tetap menjalankan hidupnya dengan normal, namun bayang-bayang laki-laki tersebut selalu menghantui kehidupannya.

“Beberapa hari lagi aku akan menelpon…”, kata-kata laki-laki itu selalu terngiang-ngiang dalam benak Adel. Rasa takut, cemas dan was-was hampir selalu mengisi keseharian Adel setiap kali mendengar suara ponselnya sendiri.

“Eh… iya kenapa Ras?”, Adel meletakkan kembali ponselnya diatas meja. Nampaknya isi SMS tersebut bukanlah dari orang yang ia takuti, karena melihat ekspresi wajah Adel yang nampak kembali tenang.

“Gue perhatiin akhir-akhir ini lu kebanyakan bengong deh Del, lu kenapa sih?”.

“Nggak apa-apa kok, mungkin kecapean kali”, sebuah kebohongan kembali harus terucap dari mulut Adel.

“Bener lu nggak apa-apa?”.

“Udah ah Ras, tadi sampai mana ya?”, Adel langsung mengalihkan pembicaraan.

“Makanya jangan kebanyakan bengong, tadi gue nanya dari dua kain ini yang mana yang lu mau kirim ke desainer?”, Laras nampak berdiri sambil memegang dua kain berwarna kuning dan putih bercorak brokat.

Dari balik meja kerjanya Adel nampak mengerutkan keningnya beberapa saat. “Yang kuning aja deh, tema fashion show depan kan “Bright Summer” jadi warna itu kayaknya cocok”.

“Hhmm… Lu yakin?”.

Adel mengangguk.

“Ya sudah, kalau gitu gue bawa yang ini sekarang”, Laras meletakkan kembali kain berwarna putih diatas meja. Ia lalu beranjak keluar ruangan. “Eh, lu jangan lupa ngubungin model-model yang mau kita seleksi besok”, Laras kembali melongokkan kepala dari balik pintu, setelah beberapa saat tadi sempat menghilang dari baliknya.

Adel kembali mengangguk. Laras pun akhirnya kembali menghilang dari balik pintu.

Sepeninggal Laras, kembali Adel termenung. Pikiran-pikiran yang beberapa hari ini terus memenuhi kepalanya kembali muncul satu per satu. Kejadian demi kejadian yang berusaha ia lupakan justru semakin hari semakin kuat membayangi dirinya. Wajah penuh tawa mesum laki-laki bernama Prasetyo itu seolah-olah menjadi mimpi buruk yang tak bisa ia hilangkan dari pikirannya. Adel menggigit bibir bawahnya dan mengepal kencang kedua telapak tangannya, berusaha untuk tidak kembali menangis. Ingin sekali ia membagi beban ini dengan seseorang, namun ia tahu itu tidak mungkin ia lakukan. Semua kejadian ini terlalu memalukan untuk diceritakan dengan orang lain, bahkan dengan Laras sahabat baiknya sekalipun. Bayang-bayang wajah sangar Prasetyo ketika menyetubuhi dirinya dan bayang-bayang wajah Abi yang tersenyum manis kepada dirinya bergantian muncul di dalam pikirannya. Kedua bayangan ini seolah-olah menimbulkan peperangan batin dalam diri Adel. Ketika semua bayang-bayang tersebut semakin kuat menguasai otaknya, suara telepon di atas meja menarik dirinya kembali ke alam nyata. Adel mengangkat gagang telepon tersebut dan terdengar suara Mita yang mengatakan Jenni, ketua panitia acara fashion show yang akan diselenggarakan oleh perusahaan tempat Adel bekerja ingin bertemu.

“Suruh masuk saja Mit”.

Adel meletakkan kembali gagang telepon dan menarik nafas panjang. Beberapa hari ini memang belum terdengar kabar dari Prasetyo, namun Adel tahu pertemuan kembali dengan laki-laki maniak tersebut cepat atau lambat pasti akan segera terjadi. Hal ini jelas tidak mungkin bisa ia hindari. Saat ini Adel hanya berusaha untuk mengisi hari-harinya dengan kesibukan sehingga rasa takut, cemas dan was-was tidak sepenuhnya bisa menguasai dirinya. Karena kesendirian hanya akan menambah berat beban pikirannya yang kini memang sudah terasa sangat berat. Jika boleh meminta, Adel ingin sekali Abi bisa berada di sisinya saat ini untuk memeluk dan melindunginya.

##########################

Empat orang wanita dan dua orang pria sedang berdiri di depan sebuah catwalk dimana satu persatu model terlihat sedang berjalan melenggak-lenggok diatasnya. Wanita itu adalah Adel, Laras, Mita dan Jenni, sedang kedua pria tersebut adalah Heri dan Steve, sang desainer yang dikontrak sebagai penasehat mode. Mereka berenam nampak serius memperhatikan setiap gerakan dari model-model yang sedang melaksanakan gladi kotor dalam rangka acara fashion show yang akan segera diselenggarakan dua minggu lagi.

“Gimana Ibu Adel, koreografi yang saya susun?”.

“Sudah bagus sih Pak Steve, tapi bagaimana kalau tata lampunya dibuat lebih sedikit terang jadi kesan bright akan lebih terasa”.

“Tidak masalah sih Bu, nanti saya sampaikan kepada petugas penata lampu”, laki-laki bertubuh tambun dengan rambut dicat kuning muda pada beberapa bagian itu pun nampak sibuk mencatat sesuatu di buku tebal yang dipegangnya. “Kalau masalah koreografinya Bu?”.

“Sudah bagus kok Pak, tinggal lebih dimantapkan lagi saja latihannya”.

Adel lalu membuka-buka buku agendanya, seperti hendak mencari beberapa catatan penting di dalamnya.

“Untuk kontrak kerja sama dengan agensi sudah clear Jen?”, Adel mengalihkan pandangannya ke arah Jenni.

“Pada dasarnya agensi sudah deal dengan proposal yang kita ajukan, mereka cuma minta sponsor dari luar daerah bisa terus diintensifkan jadi dananya bisa di konversidengan biaya sewa gedung, sehingga nanti beban keuangan Perusahaan bisa sedikit berkurang”.

“Memang belum ada kabar dari sponsor luar?”.

“Beberapa sudah confirm sih, tapi calon-calon sponsor yang diproyeksikan bisa memberi dana yang cukup besar belum ada yang konfirmasi balik”.

“Coba deh nanti kamu hubungi mereka lagi, tapi jangan sampai menimbulkan kesan kita menekan mereka ya”.

Jenni mengangguk dan mencatat hal tersebut dalam agendanya.

Mereka berenam kembali berjalan pelan menyusuri tempat pelaksanaan latihan dalam rangka rencana pelaksanaan acara fashion show bulan depan. Sesekali mereka nampak berhenti apabila salah satu dari mereka ada melihat beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki. Dalam kegiatan ini Adel memang ditunjuk sebagai SC (=steering committee), dimana ia langsung membawahi lima orang panitia inti OC (=organizing committee) yang diketuai oleh Jenni, salah satu staf bagian operasional. Di tengah pembahasan masalah-masalah teknis acara, terdengar suara ponsel. Mereka semua pun saling menoleh sampai akhirnya diketahui kalau pemilik ponsel yang berbunyi itu adalah Laras.

“Bapak-babak, ibu-ibu, maaf aku menjawab telepon ini dulu”

Laras bergegas meninggalkan rombongan. Di kejauhan Laras terlihat bercakap-cakap dengan seseorang diujung telepon. Dari ekspresi tubuh dan sesekali senyuman manis tersungging dari bibirnya, maka dapat dipastikan kalau si penelpon adalah seorang yang cukup mendapat tempat spesial dihatinya. Sekembalinya Laras, kelima orang lainnya masih nampak serius menyambung pembicaraan mereka tadi. Ketika mereka kembali hendak berjalan guna melakukan inspeksi terhadap jalannya latihan, Laras menarik tangan Adel. Mereka pun terpisah dari rombongan.

“Ada apa Ras?”.

“Del, hari ini gue mau minta ijin pulang cepet, boleh ya?”.

“Emang lu mau kemana?”.

“Tadi yang nelpon itu Glen, hari ini dia ulang tahun jadi dia minta ditemenin nyiapin acara perayaan kecil-kecilan buat ntar malem di rumahnya. Boleh ya gue pulang cepet?”.

“Ya udah deh, lu boleh pulang tapi besok lu datengnya musti pagian”.

“Siap bos…!”, senyuman pun kembali tersungging dari bibir Laras. “Thanks ya Del…”.

Ketika Laras hendak beranjak pergi , Adel iseng menyeletuk, “Cowok lu ulang tahun kok gue perhatiin lu nggak pernah sibuk nyari kado sebelumnya?”.

“Ngapain musti sibuk-sibuk? Kan kadonya gue, nih tinggal di pasangin pita aja hehehe…”.

“Dasar!”, Adel hanya bisa tersenyum penuh arti. Laras pun balik tersenyum, sebelum akhirnya terlihat pergi meninggalkan tempat latihan tersebut. Sedang Adel kembali menyusul rombongan yang kini sudah nampak berdiri di depan petugas penata lampu.

*********

“Kok belanjaannya banyak banget sih say? Emang undangannya berapa orang?”.

“Cuma keluarga sama temen-temen deket aja kok”.

Laras menerima kantong plastik yang dikeluarkan Glen dari dalam bagasi mobilnya. “Bokap nyokap kamu dateng juga?”.

“Ya iyalah, kan sekalian ngenalin kamu hehe…”, Glen kali ini mengeluarkan dus kecil berisi air mineral dari dalam bagasi.

“Aduh say, kok nggak bilang-bilang sih? Aku kan belum siap ketemu bokap nyokap kamu”.

“Terus kapan dong siapnya? Lagian kan ini baru tahap perkenalan aja, nggak usah panik kayak gitu ah…”.

“Iya sih… tapi…”.

Laras dan Glen memang telah cukup lama berpacaran, hampir dua tahun lamanya. Glen adalah seorang kontraktor freelance. Pekerjaan ini membuatnya harus sering berada di luar kota apabila mendapatkan job proyek. Kesibukannya inilah yang membuat intensitas pertemuan keduanya memang menjadi agak terbatas. Glen sendiri memiliki perawatan tubuh tinggi semampai, lebih tinggi sedikit jika dibandingkan dengan Laras, rambut cepak model eksekutif muda dan beralis lebal. Dilihat dari tingkat kemapanan, mungkin Glen bisa dikatakan cukup mapan. Memiliki rumah sederhana di sebuah perumahan, mobil, tabungan dan sebuah pekerjaan yang cukup menjanjikan. Maka dari itulah setiap kali ada kesempatan ia selalu meminta Laras untuk segera menikahinya. Laras sendiri kerap menolak dan berusaha menghindar apabila pembicaraan mereka mulai membahas topik pernikahan. Gadis manis ini merasa belum siap untuk terikat dalam sebuah tali pernikahan, walaupun dari segi umur dirinya dapat dikatakan telah cukup matang. Usia Laras saat ini adalah 25 tahun, sebuah angka yang bagi beberapa wanita mungkin telah jauh dari cukup untuk segera menikah dan berkeluarga. Gaya hidup Laras yang cenderung bebas dan cuek membuat ikatan pernikahan bak sebuah belenggu kehidupan yang menyiksa dan menakutkan. Apalagi berkeluarga berarti ia juga harus memenuhi kodratnya sebagai wanita untuk hamil dan memiliki anak. Hal ini jelas semakin menakutkan bagi Laras yang masih sangat manja dan kekanak-kananan. Walaupun suatu saat sebagai seorang manusia tentu masa-masa itu akan datang, namun jelas sekali Laras kalau ia tidak ingin memasuki masa-masa itu dalam waktu dekat ini.

“Udah ah, ayo bantuin bawa barang-barang ini ke dalem”,

Glen menutup pintu bagasi. Ia lalu mengangkat satu buah dus air mineral dan satu dus lagi yang berisi barang-barang lain, kemudian beranjak menuju ke dalam rumah. Laras sendiri mengambil tiga buah tas plastik yang tersisa, dan berjalan mengikuti Glen.

“Aku taruh barang-barangnya disini ya?”, Laras meletakkan ketiga tas plastik berisi bahan-bahan makanan tersebut di atas meja makan dekat dapur.

OK, tapi minuman sodanya langsung masukin lemari es aja”.

OK deh…”.

Glen meletakkan kedua dus yang dipegangnya di atas meja dapur di dekat wastafel. Kemudian ia menoleh ke arah Laras yang sedang membungkuk guna meletakkan beberapa kaleng minuman ke dalam lemari es. Dalam posisi membungkuk seperti itu, pantat dan paha mulus gadis manis tersebut langsung menjadi santapan empuk bagi mata Glen. Apalagi hari ini Laras menggunakan celana katun ketat berukuran super pendek. Sedangkan untuk atasan gadis manis ini mengenakan tank top berwarna kuning bergambar mini mouse di bagian dada. Dengan menggunakan celana sependek itu tentunya ketika membungkuk maka otomatis bongkahan pantat yang ada di baliknya akan tercetak dengan jelas. Walau celana pendek berwarna coklat itu sedemikian ketatnya, namun mata Glen sama sekali tidak menangkap adanya garis celana dalam tercetakdari baliknya. Ini berarti hanya ada dua kemungkinan, yaitu kekasihnya saat ini mengenakan celana dalam super duper mini atau ia sama sekali tidak mengenakan apa-apa di dalam sana. Selain itu ketika Laras mengambil satu per satu kaleng dari dalam plastik, Glen juga bisa melihat jelas belahan ranum dada kekasihnya. Apalagi tank topyang dikenakan Laras begitu ketat menekan payudaranya, sehingga bukit kembar tersebut menjadi terlihat begitu padat dan menggairahkan. Semua ini tentu mengakibatkan terjadi konsleting antara syaraf-syaraf mata, otak dan selangkangannya. Sebagai seorang laki-laki normal, disuguhi pemandangan indah seperti itu tentu membuat gairah birahi Glen terusik. Ia pun berlahan mendekati sang kekasih yang masih terlihat sibuk memasukkan beberapa kaleng minuman lagi yang masih tersisa di dalam tas plastik. Selesai memasukkan kaleng-kaleng minuman soda tersebut, Laras kembali berdiri dan menutup pintu lemari es. Namun tiba-tiba dari belakang ia merasakan sebuah dekapan mesra dan sebuah ciuman mendarat di pipinya. Laras cukup terkejut dengan tingkah kekasihnya ini.

“Ada apa sih say?”, ia pun segera menoleh kebelakang.

Namun bukan jawaban yang diperoleh Laras tapi sebuah pagutan hangat di bibirnya. Sesaat Laras memang terlihat cukup gelagapan menerima pagutan yang begitu tiba-tiba tersebut di bibirnya. Namun beberapa saat kemudian ia pun mulai bisa mengendalikan dirinya. Ketika pagutan itu berakhir, Glen terlihat tersenyum mesra ke arah sang kekasih. Laras pun lalu membalikkan badannya.

“Ada apa sih?”, Laras kembali mengulangi pertanyaannya.

“Nggak apa-apa, aku kok baru sadar ya kalau cewekku ternyata sexy banget hehehe…”.

“Ih, mulai deh gombal”.

“Siapa yang gombal? Orang kenyataan kok”, Glen kembali memeluk tubuh Laras, kemudian mencium kembali bibir kekasihnya tersebut.

Di antara pagutannya, Glen pun mulai merabai sekujur tubuh Laras.

“Sayang, geli tau nggak!”, Laras melepaskan pagutan mereka dan bergelinjang berusaha menghentikan rabaan tangan Glen di pinggangnya.

Bukannya menghentikan rabaannya, Glen malah semakin gencar merabai pinggang Laras sehingga gadis manis itu kian bergelinjang sambil terus cekikikan menahan geli.

“Aow… aow… udah dong say… serius geli nih…”.

“Geli tapi enak kan? Hehehe…”.

Laras akhirnya berhasil melepaskan diri dari pelukan Glen. Gadis manis itu kemudian berlari keluar dapur agar bisa terlepas dari rabaan-rabaan nakal kekasihnya. Namun di belakangnya, Glen terus mengejar sambil tetap berusaha menyentuh tubuh molek tersebut.

“Aow… ampun… aow… aow… sumpah nggak tahan nih… udah dong…”, Laras terus merengek sambil terus berusaha menepis kedua tangan Glen, sambil membungkukkan tubuhnya agar pinggangnya terlindungi dari rabaan laki-laki tersebut.

Laras dan Glen terus berlarian berkeliling di ruang tamu. Mereka berlarian mengelilingi sofa dan juga meja. Suara tawa keduanya terdengar memenuhi ruangan tersebut. Mereka terus berkejaran sampai akhirnya Laras terjebak di pojok ruangan.

“Hayo… mau kemana sekarang? Hehehe…”.

“Udah dong say…”, rengek Laras lagi.

Glen pun kemudian berhasil mendekap tubuh Laras. Gadis manis itu pun langsung bergelinjang berusaha melepaskan dekapan kekasihnya tersebut. Walaupun terus meronta, bukan masalah sulit bagi Glen yang memang memiliki tubuh lebih besar untuk akhirnya bisa sepenuhnya mengendalikan Laras. Malahan kini ia dengan mudah mengangkat tubuh molek kekasih tersebut dan menggendongnya.

“Aduh say, turunin aku…”.

Seperti sebelumnya, Glen sama sekali tidak menghiraukan rengekan manja Laras. Ia hanya tersenyum mendengar kekasihnya ini terus merengek-rengek minta diturunkan. Sambil menggendong Laras, Glen berjalan berlahan menuju kamar tidurnya. Glen cukup mendorong pintu dengan pundaknya karena memang pintu kamar tersebut telah terbuka sebelumnya. Kini mereka berdua nampak seperti pasangan pengantin baru yang memasuki pelaminan dan tak sabar untuk segera memulai malam pertama mereka.

“Kok ke kamar sih?”, rengek Laras lagi.

Glen tetap tersenyum tanpa memberi jawaban. Di ujung ranjang laki-laki itu menurunkan tubuh Laras dengan berlahan. Ruangan kamar ini terlihat cukup sederhana dan tidak terlalu besar. Tembok kamar dicat warna putih susu tanpa corak tambahan apapun. Sebuah ranjang yang cukup besar, sebuah lemari pakaian, sebuah meja kecil, kaca, AC(=air conditioner) serta sebuah lukisan kecil, hanya itulah furniture yang ada di kamar tersebut. Dari suasana kamar nampak sekali kalau Glen adalah orang yang cukup teliti dan teratur. Mengingat ia tinggal sendiri di rumah tersebut tanpa pembantu, kebersihan dan kerapian kamar tidur serta ruangan-ruangan lainnya di dalam rumah tersebut bisa dikatakan sangat terjaga.

“Sayang, ini masih sore…”, Laras langsung berguling menghindar ketika Glen menaiki ranjang dan meloncat ke arahnya. Laras berusaha menggeser tubuhnya menjauhi Glen yang kini merangkak mendekatinya. Ia seakan-akan bisa membaca apa yang ada di pikiran Glen saat ini. “Say, kita masih harus nyiapin buat ntar malem”, lanjut Laras sambil terus mengeser-geser tubuhnya. Gadis itu bisa melihat ekspresi birahi yang sangat tinggi dari wajah kekasihnya. Ia berusaha menyadarkan Glen kalau saat ini bukan waktu yang tepat untuk bermesraan, namun Glen tetap saja mendekatinya dengan pandangan tajam penuh gairah.

“Bentar aja honey, udah kebelet nih!”.

“Ntar malem aja ya please…”.

“Pengennya sekarang”.

“Ditahan dulu”.

“Nggak bisa honey”, kata-kata Glen kian lama kian terdengar memelas.

Glen dan Laras kini nampak seperti seekor kucing dan seekor tikus yang saling berkejar-kejaran dan bergerak berputar-putar di atas ranjang. Laras tidak sadar kalau gerakan bergeser-geser yang dilakukannya guna menjauhi Glen, justru membuat nafsu laki-laki itu semakin meninggi. Bagaimana tidak, gadis cantik itu terkadang harus mengangkang lebar untuk menghindari terjangan kekasihnya. Dengan hanya tertutupi celana pendek, posisi kaki Laras yang terbuka membuat selangkangannya menjadi tercetak jelas. Pandangan nanar Glen seolah-olah bisa menembus ke dalam celana pendek tersebut, dan melihat langsung sesuatu yang nikmat yang berada di dalamnya. Apalagi gerakan Laras juga mengakibatkan beberapa kali payudaranya bergoyang kencang, seakan-akan menggoda birahi Glen untuk bisa menjamahnya.

“Aaoo…!”, Laras berteriak ketika Glen tiba-tiba melompat dan berhasil menindih tubuhnya.

Lalu keduanya saling berpandangan.

Honey, you make me turn on…”, laki-laki itu berbisik lirih di telinga Laras.

Sebuah bisikan yang lebih menyerupai sebuah desahan. Desah nafas Glen membuat sekujur tubuh gadis manis tersebut langsung merinding. Apalagi kemudian ciuman mulai dilancarkan Glen di telinga dan leher Laras. Desah nafas kekasihnya ini terasa begitu terasa hangat di setiap jengkal pori-pori kulit Laras yang dijelajahi ciuman. Deru nafas terdengar semakin memburu ketika tak lama kemudian Glen menyerang bibir Laras dengan pagutan demi pagutan panas. Laras sendiri nampak gelagapan menerima serbuan ciuman seperti itu. Nampak sekali kalau tingkat gairah sang kekasih sudah terlalu tinggi untuk bisa dibendung lagi. Belum lagi Laras mampu mengendalikan dirinya, gadis manis itu bisa merasakan kalau lidah Glen mulai menyeruak masuk ke dalam mulutnya. Lidah itu terasa seperti menari-nari di dalam mulut Laras, sehingga mengakibatkan beberapa kali lidah mereka berdua kerap beradu. Cukup lama juga Laras harus beradaptasi untuk akhirnya mulai dapat menikmati frech kiss yang sedang mereka lakukan saat ini. Terlihat sekali kalau tubuh Laras mulai bereaksi menerima stimulasi rangsangan yang diberikan oleh sang kekasih.

“Aaahh…!”, masih tetap dalam keadaan tertindih, desahan pelan terdengar dari mulut Laras ketika tangan kanan Glen mulai nakal meremasi payudaranya dari balik tank topyang dikenakannya.

Di tengah pagutan Glen desahan pelan terus terdengar, bahkan terdengar semakin lirih ketika tangan kanan Glen mulai masuk ke dalam tank top Laras dari bagian bawah. Perbuatan Glen ini mengakibatkan tank top yang dikenakan Laras terangkat tinggi, memperlihatkan secara jelas pusar, perut dan pinggangnya yang ramping. Jari-jari tangan Glen dengan perlahan merabai perut rata tersebut sehingga membuat si pemilik semakin bergelinjang dan bergairah. Tak lama kemudian tangan Glen pun sudah berhasil menyingkap kedua cup bra yang dikenakan Laras sehingga mengakibatkan pakaian dalam hitam bertali transparan itu tidak lagi berada pada posisinya semula. Tank topketat itu pun terlihat sudah terangkat diatas payudara Laras, sehingga bukit kembar sempurna tersebut kini terekspos bebas. Keadaan ini jelas membuat tangan Glen dapat dengan bebas pula merasakan padat dan kenyalnya kedua payudara milik kekasihnya ini. Tak hanya meremas, tangan Glen juga sesekali memilin-milin kedua puting mungil payudara Laras. Puting mungil tersebut pun nampak semakin mencuat ditengah gundukan daging bulat padat yang terlihat mulai menjadi semakin padat.

“Hai mungil…”, Glen mengecup puting payudara kiri Laras dan menyapa ramah tonjolan kecil berwarna coklat tersebut.

Laras menggigit bibir bawahnya menahan geli, kemudian tersenyum simpul ketika melihat tingkah aneh kekasihnya itu.

“Kok nggak jawab sih?”, Glen pun kembali menyapa dan memutar-mutar puting payudara Laras. Kali ini pada bagian yang kanan. “Hai mungil…”.

“Hai juga”, ucap Laras lirih kemudian kembali tersenyum simpul. Senyum itu dibalas senyuman pula oleh Glen.

Laki-laki itu lalu menatap wajah Laras dalam-dalam dan berucap, “You’re so hot baby… so… hot…”. Ucapan ini seolah-olah menekankan kalau kekasihnya ini begitu membuatnya tergila-gila. “Thanks God, you give me one of your angels to be my girlfriend”, dan sebuah ciuman pun mendarat mulus di bibir Laras.

Laras hanya tersipu malu mendengar kata-kata kekasihnya tadi. Laras sebenarnya masih berniat untuk menghentikan perbuatan kekasihnya ini. Hal ini karena sejak tiba di rumah tadi mereka sama sekali belum melakukan apa-apa untuk mempersiapkan acara malam nanti, sedangkan saat ini hari sudah mulai beranjak sore. Tentu akan sangat memalukan apabila tamu-tamu mulai datang dan belum ada hidangan apa-apa untuk disiapkan. Walaupun mereka sudah memesan chatering, namun tetap saja masih ada hal-hal lain yang perlu untuk disiapkan. Namun karena melihat Glen sudah begitu terbakar birahi ia pun membatalkan niatnya.

Kini ia pun hanya bisa berpasrah diri, sambil berharap kalau semua ini akan berakhir dengan cepat. Harapan ini tentu akan jauh berbeda seandainya percumbuan ini terjadi di malam hari setelah acara selesai. Kini lidah Glen tak lagi menyeruak di dalam rongga mulut Laras. Lidah liar laki-laki itu kini nampak lincah menjilati puting payudara kanan milik kekasihnya. Dari beberapa bercak-bercak merah bekas cupangan di permukaan payudara Laras, seakan-akan bisa menggambarkan bagaimana bernafsunya Glen saat ini. Sesekali lidah itu menyapu sekujur permukaan bukit kembar tersebut, dan kemudian bergantian menjilati perut dan pusar Laras.

“Aaah… aah… aahh…”, Laras berdesah sambil sesekali nampak bergelinjang menahan rasa geli. Gadis manis tersebut hanya bisa memegang kepala kekasihnya yang masih nampak liar menciumi dan menjilati tubuh atasnya.

Kembali kedua payudara Laras menjadi sasaran Glen. Melihat bagaimana Glen mengulum dan meremas kedua payudara tersebut, benar-benar terlihat sekali kalau kedua bukit kembar tersebut begitu empuk dan padat. Ditengah aksi-aksinya, Glen melepas kaitan bra Laras kemudian meloloskan pakaian dalam tersebut berikut dengantank top yang masih melekat pada tubuh gadis itu. Rupanya Glen merasa cukup terganggu dengan keberadaan kedua potong pakaian tersebut. Kini dalam keadaantopless seperti ini, tentu tubuh atas Laras akan bisa semakin bebas ia nikmati tanpa penghalang lagi.

“Sebentar say”, Laras menghentikan kuluman dan sedotan Glen pada payudaranya. Glen menurut namun dengan ekspresi wajah penuh tanda tanya.

Gadis itu lalu menggeser posisi tubuhnya agak mundur sehingga bersandar di ujung ranjang. Dengan begini maka Laras tidak lagi terlentang namun posisinya berubah menjadi terduduk.

“Ayo sini, lanjut lagi”.

Bagai kerbau dicocok hidungnya Glen pun beranjak mendekati Laras. Tak lama ia pun kemudian kembali terhanyut dalam aktifitasnya menciumi dan menjilati payudara Laras. Laras sesekali mendesah lirih apabila Glen terlalu keras menggigit puting payudaranya, selebihnya ia hanya mengusap-usap kepala Glen penuh kasih sayang. Dari jauh mungkin akan terlihat Laras seperti seorang ibu yang sedang menyusui bayi besarnya. Akibat rangsangan demi rangsangan yang diterimanya dari Glen, kini Laras bisa merasakan kalau perlahan cairan kewanitaannya mulai keluar. Selangkangannya mulai terasa gatal dan basah, menandakan kalau dirinya pun mulai terangsang.

Laras mengendurkan sedikit ikatan tali celananya, lalu menggenggam tangan kanan Glen dan tanpa malu-malu mengarahkan tangan tersebut masuk ke dalam celana pendek yang dikenakannya. Glen sempat melirik ke arah Laras ditengah aktifitasnya pada payudara gadis tersebut. Laras pun menatap sayu ke arah Glen. Seakan mengerti maksud kekasihnya, tangan kanan Glen pun mulai merabai daerah selangkangan kekasihnya tersebut. Jari-jari tangan Glen bisa merasakan bulu-bulu lembut dari balik celana dalam Laras. Ini jelas memperlihatkan bagaimana tipisnya bahan celana dalam tersebut. Bahkan setelah beberapa menit, jari-jari Glen bisa merasakan kalau daerah tersebut mulai terasa lembab dan semakin basah.

“Di buka aja”, ucap Laras lirih.

Glen yang sedang menciumi perut kekasihnya, kemudian memegang ujung celana pendek yang dikenakan Laras dan menurunkannya perlahan. Laras sedikit mengangkat pantatnya untuk memudahkan pekerjaan Glen. Kini pakaian yang tersisa di tubuh sintal Laras hanyalah sebuah G-string berwarna hitam. Hidung Glen langsung digoda oleh aroma yang begitu menggairahkan ketika kini ciumannya mendarat di kedua paha mulus kekasihnya dan terus berlahan naik. Laras pun berlahan membuka kedua pahanya lebar-lebar, ketika ciuman Glen akhirnya mencapai daerah selangkangannya.

“Aaah… aah… aahh…”, desahan pun kembali terdengar, ketika Glen sedikit menggeser kain mungil tersebut dan mulai memainkan lidahnya dengan liar.

Bahkan tubuh Laras nampak menegang ketika beberapa kali lidah Glen menyentuh klitorisnya. Sambil menerima permainan lidah Glen di selangkangannya, Laras secara bergantian meremas-remas sendiri kedua payudaranya. Rangsangan kekasihnya membuat Laras merasakan sensasi geli penuh kenikmatan di sekujur tubuhnya. Setelah cukup lama mengoral lubang kenikmatan kekasihnya yang mulai membanjir, Glen kemudian menghentikan aksinya. Ia lalu menggengam tangan Laras dan giliran membawa tangan kanan ke selangkangannya yang sudah nampak menggelembung.

Honey, giliran isepin dong…”.

Laras menuruti kata-kata kekasihnya. Lalu keduanya pun berganti posisi. Saat ini Glen-lah yang bersandar di ujung ranjang sedangkan Laras nampak bersimpuh di depannya. Dalam keadaan topless seperti ini payudara Laras terlihat begitu menggairahkan dan menggantung sempurna, apalagi setelah mendapatkan rangsangan demi rangsangan beberapa saat yang lalu. Gadis itu membuka kancing dan resleting celana jeans pendek kekasihnya, kemudian melorotkannya turun berikut boxer yang dikenakan Glen.

Begitu kedua pakaian itu melorot maka langsung mencuat sebuah batang tegang dengan diameter yang cukup besar. Laras pun menggenggam batang tegang tersebut dengan jari-jarinya yang lentik kemudian berlahan mengocoknya dengan lembut.

“Oohh…!”, Glen melenguh nikmat menerima kocokan tangan Laras pada penisnya.

Tanpa melepaskan genggaman pada batang penis Glen, Laras kemudian mencium bibir laki-laki tersebut. Mereka pun berciuman panas untuk beberapa saat. Sambil berciuman tangan Glen mengambil kesempatan untuk meremas bukit kembar sang kekasih. Ketika ciuman itu berakhir, Laras kembali bersimpuh di depan kekasihnya, menunduk dan mulai menjilati ujung kepala penis Glen. Dengan telaten gadis manis itu memainkan lidahnya di selangkangan Glen. Lidah itu terus menjilati secara bergiliran batang penis dan buah zakar laki-laki tersebut.

“Enak say?”, Laras mengeluarkan senyuman menggodanya.

“Oooh… enak banget…”.

Gadis itu pun melanjutkan layanan dengan memasukkan batang penis tersebut ke dalam mulutnya. Batang penis itu pun kini mulai terlihat keluar masuk seiring kuluman Laras. Sesekali ditengah kulumannya, Laras juga mengemut buah zakar Glen sehingga membuat laki-laki itu semakin merancau penuh kenikmatan.

“Terus honey… terus… oooh…”, Glen menyeka rambut yang menutupi wajah manis Laras. Laki-laki itu rupanya ingin melihat ekspresi wajah kekasinya ketika mengoral penisnya.

Sesekali juga Laras mengocok batang penis kekasihnya itu dengan tangannya ketika sejenak beristirahat mengambil nafas. Service oral merupakan salah satu andalan Laras dalam bercinta, selain tentu saja goyangan pinggulnya. Goyangan pinggul Laras hampir selalu berhasil menaklukkan setiap laki-laki yang pernah mengarungi kenikmatan ragawi bersamanya. Sebagai seorang gadis yang sudah berpengalaman di dalam percintaan, tentunya Laras sudah pernah bersentuhan dengan berbagai macam bentuk penis sebelumnya. Memang rata-rata laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya, pasti pernah merasakan nikmatnya service oral gadis manis ini. Namun diantara mereka hanya sedikit yang cukup beruntung untuk bisa merasakan nikmatnya goyang pinggul gadis manis tersebut. Penis Glen sebenarnya bukanlah penis terbesar yang pernah dirasakan Laras, namun karena mendengar nasehat Adel maka Laras berusaha mengurangi petualangan cintanya dan mencoba setia pada satu pasangan.

“Ooohh… ooohh… ooohh…”, desahan Glen terdengar lirih setiap kali batang penisnya memasuki mulut kekasihnya.

Glen nampak menengadah sambil memejamkan matanya. Terlihat sekali ia begitu menikmati apa yang dilakukan Laras di bawah sana. Sedangkan Laras masih terlihat sibuk melakukan aktifitasnya dalam posisi menungging. Seandainya saja ada laki-laki lain yang berdiri di belakang Laras mungkin tidak akan tahan melihat pemandangan bongkahan pantat yang begitu padat dan montok.


Laras
Kain kecil yang lebih menyerupai tali berwarna hitam yang ada disana terlihat sama sekali tidak berfungsi sebagai penutup wilayah tersebut. Bahkan ketika Laras sedikit menggeserkan tubuhnya lubang kenikmatan yang ditutupi oleh bulu-bulu tipis di baliknya beberapa kali terlihat mengintip, seakan menggoda mata setiap laki-laki yang melihatnya untuk bisa menerobos masuk ke dalamnya. Ketika Glen sedang berkonsentrasi penuh menikmati kocokan, kuluman dan jilatan Laras di daerah selangkangannya, tiba-tiba terdengar suara telepon dari ruang tamu.

“Say, ada telepon”, Laras menghentikan kulumannya.

Glen membuka matanya, “Biarin aja, lagi enak nih”. Terdengar nada protes dari kata-katanya tersebut.

“Ntar penting lo”.

“Udah anggap aja salah sambung”, Glen menekan pelan kepala kekasihnya sebagai isyarat agar gadis tersebut kembali melanjutkan mengoral batang penisnya.

Laras pun mengalah. Batang penis Glen kembali amblas ke dalam mulut gadis manis tersebut. Kembali dengan telaten Laras mengulum dan menjilati penis kekasihnya. Suara telepon di ruang tamu masih terdengar beberapa kali namun kemudian berhenti. Ketenangan tersebut tidak berlangsung lama, karena kemudian kembali telepon di ruang tamu berbunyi. Kali ini Laras tidak bisa lagi menghentikan aktifitasnya mengoral penis Glen, karena kini laki-laki itu memegang kepalanya agar tetap berada di selangkangannya. Suara telepon itu pun akhirnya berhenti. Namun beberapa menit kemudian justru ponsel Glen yang berada di atas meja giliran berbunyi.

“Apaan sih ganggu banget!”, Glen berteriak kesal.

Laras pun akhirnya bisa mengangkat kepalanya kembali, “Udah say, angkat dulu deh”.

Glen menghela nafas panjang dan tanpa mengenakan kembali celananya, ia pun beranjak dari atas ranjang. Laras sendiri kemudian menyambar kaosnya yang tergeletak di atas ranjang untuk menutupi kedua payudaranya.

“Halo Mi…”.

Glen terlihat sedang berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Sedangkan Laras terlihat bersimpuh di atas ranjang sambil menyimak pembicaraan kekasihnya.

“Mami sama papi sudah di bandara?”.

Glen terlihat mengerutkan keningnya.

“Ya udah kalau gitu aku jemput deh”

Pembicaraan pun berakhir. Glen kemudian melangkah menuju ranjang.

“Ortu kamu ya?”.

Glen mengangguk. “Mereka dan juga adik-adik aku sudah di bandara sekarang”.

“Ya sudah, kamu jemput dong”.

“Tapi masih belum tuntas nih”, Glen menunjuk ke arah penisnya yang masih mengacung tegak.

Laras tersenyum melihat ekspresi wajah kekasihnya. “Kan nanti bisa dilanjutin lagi?”.

“Lanjutin sekarang aja yuk, tanggung nih dikit lagi”.

“Nggak… ntar malem aja”.

Sebenarnya Laras juga cukup kesal karena percumbuan mereka harus terputus. Beberapa saat yang lalu dirinya pun sebenarnya sudah mulai terbuai dalam gairah. Namun ia juga tahu waktu yang tersisa sudah terlalu mepet, sehingga dengan halus ia pun harus menolak permintaan quicky sex dari kekasihnya ini.

“Ya deh…”, dengan berat hati Glen pun mengalah. Ia lalu mengambil boxer dan jeansnya kemudian mengenakannya kembali.

Laras sendiri juga mengenakan kembali celana pendek dan tank top-nya, namun tanpa bra dibaliknya. Ia lalu beranjak turun dari ranjang dan bergelayut manja di pundak kekasihnya.

“Jangan cemberut gitu dong hehehe…”.

“Habis lagi enak-enaknya eh malah keputus di tengah jalan”, ekspresi kekecewaan jelas sekali tersirat dari wajah Glen.

“Ntar malem dilanjutin lagi deh, pokoknya tonight I’m totally yours”.

Promise?”.

Promise…”.

Mereka berdua pun berciuman. Kemudian Laras menggandeng kekasihnya tersebut menuju pintu depan.

“Kamu bawa pakaian ganti kan?”, Glen bertanya dari dalam mobil.

Laras yang berdiri di pintu gerbang kemudian mengangguk, “Udah kok”.

“Kalau gitu nanti dandan yang cantik ya, kan mau ketemu calon mertua hehehe”.

Gadis manis itu pun hanya terlihat tersenyum memaksa. Tak lama keduanya pun saling melambai. Glen pergi menjemput orang tua dan adik-adiknya, sedangkan Laras kembali melanjutkan persiapan untuk acara malam nanti yang sempat terhenti.

*********

Masih di hari yang sama, di tempat yang berbeda.

Adel sedang membereskan barang-barang di atas meja kerjanya. Jam di dinding telah menunjukkan pukul empat sore kurang lima belas menit. Sebentar lagi jam kantor akan berakhir. Di tengah kegiatan beres-beresnya, ponsel Adel berbunyi dari dalam saku blazernya. Seperti biasa Adel hampir selalu tersentak dibuatnya. Mendengar suara ponselnya sendiri, semakin hari semakin menjadi sesuatu yang menakutkan bagi gadis cantik ini. Dering nada ponselnya seakan kini menjadi pemicu dari bayangan-bayangan menakutkan yang beberapa hari ini ia alami. Rupanya kejadian itu cukup menimbulkan trauma yang mendalam bagi Adel. Dengan berlahan ia mengeluarkan ponselnya dan melihat nomor yang tertera di layar. Kali ini Adel tetap masih bisa bernafas lega. Nomor yang tertera adalah nomor kakaknya.

“Sore mbak Ecy”.

“Sore dik, kamu masih di kantor ya? Sorry nih mbak ganggu”.

“Nggak apa-apa mbak, aku juga mau pulang kok, emang ada apa?”.

“Gini lo Del, ntar kamu bisa mampir bentar nggak ke sekolahnya Jos? Soalnya mbak nggak bisa jemput dia, mbak masih belum selesai tutup buku nih di kantor, biasalah akhir bulan kayak gini”.

Wanita yang dipanggil mbak Ecy oleh Adel ini adalah kakak kandungnya. Adel adalah anak ketiga dari 3 bersaudara. Ecy atau lengkapnya Desiany Lestari, adalah kakaknya yang kedua. Kakak pertama Adel yang bernama Fariska Merliana atau Faris tinggal bersama suaminya di Belanda. Kedua orang tua mereka tinggal berbeda kota dengan Adel dan Ecy. Sejak kecil mereka bertiga memang terbiasa dididik untuk tidak tergantung dengan orang tua. Hal ini akhirnya membuat mereka tumbuh menjadi tiga wanita cantik, ulet, mapan dan mandiri. Jos atau Joshua adalah anak semata wayang dari hasil perkawinan Ecy dengan suaminya. Namun keduanya telah bercerai dan Ecy pun kini berstatus sebagai janda dan single parent bagi Jos. Kesibukannya bekerja di salah satu bank swasta di kota itu memang cukup menyita tenaga dan waktu Ecy, sehingga Adel memang kerap diminta bantuan apabila dirinya mulai kerepotan membagi waktu antara bekerja dan mengurus anaknya. Jos baru beberapa bulan ini menginjak bangku SLTP (=Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Adel yang saat ini masih berstatus lajang sama sekali tidak keberatan jika beberapa kali diminta ikut membantu. Pertama kali datang ke kota ini setelah menamatkan bangku kuliah, Adel sempat tinggal di rumah kakaknya ini. Kemudian Adel pindah setelah mendapatkan pekerjaan. Jos sendiri sudah ia anggap lebih dari sekedar keponakan, karena bagaimanapun ia ikut mengasuh Jos sejak dari balita. Melihat kondisi rumah tangga kakaknya inilah yang membuat Adel berpikir untuk tidak segera menikah. Ia tidak mau keadaan seperti yang dialami oleh kakaknya terjadi juga kepada dirinya. Adel akhirnya berprinsip tidak akan menikah sebelum ia menemukan laki-laki yang dinilai tepat untuk dijadikan suami.

“Bisa sih mbak, memang Jos pulang jam berapa?”.

“Jam empat, nanti setelah kamu anter Jos ke rumah, kamu langsung balik aja”.

“Ya udah, kalo gitu abis ini aku langsung ke sekolah Jos deh mbak”.

“Makasi ya Del, sorry lo ngerepotin”.

“Aduh mbak ini kayak sama siapa aja, nggak usah sungkan gitu ah”.

Percakapan berakhir. Adel pun mempercepat kegiatan beres-beresnya. Suasana ruangan tersebut sudah sepi. Begitu pula dengan suasana kantor di luar ruangan. Laras siang tadi sudah meminta ijin untuk pulang cepat. Mita juga beberapa saat yang lalu sudah meninggalkan kantor. Yang nampak di luar hanya beberapa pegawai yang juga sedang terlihat bersiap untuk pulang. Adel mulai bergegas karena sekolah Jos lumayan cukup jauh dari lokasi kantornya ini. Selesai berberes Adel pun segera beranjak meninggalkan kantornya.

********

“Mami lu telat lagi ya bro?”.

“Iya nih kayaknya, jam segini belum juga nongol”.

“Lu ikut gue aja”.

“Nggak ah, gue tunggu bentar lagi”.

“Ya udah, gue temenin lu kalau gitu”.

Suasana gedung sekolah itu sudah nampak lengang. Hanya nampak satu dua murid yang senasib dengan Jos masih menunggu jemputan. Memang hari ini jam sekolah berakhir agak awal dari biasanya, karena ada agenda rapat guru membahas rencana menghadapi UN (=Ujian Nasional) bagi siswa kelas 3.

“Udah deh, gue jadi ikut lu aja”,

Setelah beberapa menit berlalu tanpa ada tanda-tanda kedatangan ibunya, Jos pun memutuskan untuk pulang bersama temannya ini. Anak bertubuh tinggi tapi kerempeng disamping Jos adalah Coki. Mereka memang cukup akrab karena rumah mereka yang berlokasi cukup berdekatan. Baru hendak beranjak dari posisi mereka, sebuah mobil Jazz silver memasuki areal sekolah. Melihat mobil tersebut, Jos dan Coki pun menghentikan langkah mereka. Setelah mobil itu terparkir dengan baik, beberapa saat kemudian terlihat seorang gadis cantik keluar dari dalamnya.

“Itu kan tante gue, kenapa dia kesini ya?”.

“Itu tante lu bro?”.

“Iya… memang kenapa?”.

“Gile bener! Bohay banget tante lu… mantep pisan!”.

“Eh, mulai deh pikiran ngeres lu keluar”.

“Liat yang kayak gini, cowok mana sih yang nggak ngeres bro?”, wajah Coki langsung menampakkan ekspresi kemupengan tingkat tinggi ketika gadis itu mendekati mereka. Gadis cantik itu tak lain dan tak bukan adalah Adel.

“Udah lama nunggu ya Jos? Sorry tante telat jemputnya”.

“Mami yang nyuruh jemput ya tante?”.

Adel tersenyum manis kemudian mengangguk. Coki yang berada di samping Jos masih nampak terkesima melihat gadis cantik di depannya. Seorang gadis cantik yang berbalut blazer hitam dan rok span pendek dengan warna senada. Sosok yang begitu menampakkan keelokan, kefeminiman dan keeleganan seorang wanita dewasa. Adel bak seorang bidadari untuk bocah seusia Coki. Ekspresi mupeng begitu terlihat jelas dari wajahnya. Pikiran mesum Coki membuatnya benar-benar bergairah saat ini. Seolah-olah melihat gadis cantik dan sexy yang biasa ia lihat di dalam bokep-bokep miliknya, kini berdiri nyata di hadapannya.

“Aduh, Jos jadi nggak enak nih ngerepotin tante”.

“Nggak apa-apa kok, yuk tante anter pulang”.

Jos langsung menyikut tubuh Coki yang masih terbengong. Syukur bocah kerempeng itu tidak sampai membuka mulutnya lebar dan mengeluarkan air liur akibat menahan konaknya. Coki pun langsung tersadar dari lamunannya akibat sikutan Jos.

“Cok, gue nggak jadi bareng lu”.

OK, nggak apa-apa”.

“Yuk dik, mbak duluan”, Adel tersenyum ramah ke arah Coki.

“I… iya mbak”, bocah kerempeng itu hanya bisa terbata.

Coki pun kembali hanya bisa menatap mesum ke arah Adel yang beranjak menjauh diikuti oleh Jos yang berjalan di sampingnya. Gerakan tubuh Adel ketika berjalan benar-benar menyihir mata bocah tersebut. Sungguh pemandangan yang akan selalu melekat dalam otaknya.

“Memang mami bilang kemana tante?”, Jos bertanya sambil terlihat asyik menikmati alunan lagu hip hop yang mengalun dari tape mobil.

“Katanya sih masih sibuk di kantor, soalnya musti lembur”.

“Oh iya, sekarang akhir bulan ya?”, Jos menghembuskan nafas panjang.

“Memang kenapa?”.

“Nggak apa-apa sih, cuma kalau akhir bulan mami memang suka pulang telat”.

Sebagai seorang anak kecil yang baru beranjak dewasa, kehidupan tanpa orang tua yang lengkap kadang dirasa dicukup berat untuk Jos. Disatu sisi ia masih memerlukan kasih sayang dari orang tua sebagai tempat untuk berbagi, sedangkan disisi lain ia juga harus mengerti kalau kedua orang tuanya kini tidak lagi hidup bersama dalam satu rumah. Kadang Jos merasa kesepian ketika ibunya harus disibukkan dengan segala aktifitas pekerjaannya. Memang ayahnya beberapa kali datang untuk menengoknya, namun bagaimanapun ayahnya tetap tidak bisa ia miliki sepenuhnya karena telah memiliki keluarga barunya sendiri.

“Kalau biasanya mami nggak jemput, Jos pulang naik apa?”.

“Kalau nggak naik angkot, ya bareng temen”.

“Jos udah makan?”.

“Udah tante”.

Adel yang sedang mengemudi sama sekali tidak menyadari kalau sambil menanggapi pertanyaan-pertanyaannya Jos sejak tadi mencuri-curi pandang ke arah tubuhnya. Sebagai seorang cowok normal bentuk tubuh sempurna seperti milik Adel tentunya sangat menggoda mata Jos. Apalagi rok span Adel yang berukuran cukup pendek, semakin menambah indah pemandangan yang sesungguhnya sudah sangat indah. Layaknya seorang anak laki-laki ABG (=anak baru gede) yang sedang memasuki masa puber, bagian-bagian sensitif dari tubuh wanita mulai akan menjadi perhatian khusus bagi anak seumuran Jos. Kenakalan-kenalan seperti mencolek dada, meremas pantat atau mengangkat rok menjadi seolah-olah sesuatu yang “wajar”. Namun untuk tantenya yang satu ini tentunya memiliki konteks yang berbeda. Apa yang ada di balik blazer tersebut, tentu berbeda dengan apa yang ada di balik hem putih yang dikenakan perempuan-perempuan di sekolah Jos. Begitu pula yang ada di dalam rok span ketat tersebut, tentu juga berbeda dengan apa yang ada di dalam rok biru perempuan-perempuan di sekolahnya. Tak terasa jantung Jos pun mulai nampak berdetak kencang. Tantenya ini kalau dibandingkan dengan ibu dan juga tantenya yang lain memang memiliki wajah yang paling menarik. Bukan berarti ibu dan tantenya yang di luar negeri tidak cantik, namun kecantikan Tante Adel, begitu panggilan Jos biasanya, terbilang begitu alami. Selain itu karena masih berstatus lajang tentu tubuh tantenya ini masih sangat terjaga keindahannya, karena belum dirusak oleh proses mengandung dan melahirkan. Memang sudah cukup lama Jos tidak melihat tantenya ini. Saat ini seakan-akan Jos baru menyadari kalau apa yang dikatakan Coki tadi memang benar adanya.

“Jos... Jos... diajak ngomong kok malah diem aja?”

“Eh... apa tante? Maaf Jos tadi nggak denger”, Jos tersadar lamunannya.

“Tadi tante tanya Jos berani nggak sendirian di rumah?”.

“Oh... nggak apa-apa tante, Jos sudah biasa kok”.

Ekor mata Jos rupanya masih tergoda untuk kembali melirik ke arah Adel. Dalam posisi mengemudi seperti ini membuat rok Adel terangkat cukup tinggi. Kini sepasang paha mulus dan padat tersebut hampir setengahnya terekspos bebas. Jos berusaha untuk tetap berkonsentrasi dan tidak sampai terhanyut dalam nafsu mudanya. Ia menyadari bagaimana pun yang duduk disampingnya adalah tantenya sendiri, saudara kandung dari ibunya. Beberapa kali ia nampak menelan ludah. Jantungnya pun berdetak makin kencang. Nafsu lelakinya sedang berperang dengan akal sehatnya. Apalagi rok itu semakin terangkat ketika kedua kaki Adel bergiliran menginjak rem, gas dan kopling. Seandainya saja Jos bisa sedikit merundukkan kepalanya ke dasboard, mungkin ia akan bisa melihat isi di dalam rok ketat tersebut. Jos berusaha sekuat tenaga untuk mengusir pikiran jahat di dalam otaknya dengan membuang pandangannya keluar jendela. Jos berharap dengan memperhatikan apa yang mereka lintasi bisa membantunya mengendalikan dirinya sendiri. Akhirnya tak ada lagi percakapan yang terdengar dari keduanya. Yang terdengar kini hanya alunan musik dari tape mobil Adel. Ditengah kesunyian tersebut tiba-tiba terdengar suara nada dering ponsel. Jos melihat tantenya mengeluarkan ponsel dari saku blazernya dengan ragu-ragu. Begitu melihat ke layar ponselnya, wajah tantenya terlihat langsung berubah pucat. Dengan tiba-tiba saja tantenya ini membanting setir dan meminggirkan mobil ke pinggir jalan.

“Ada apa tante?”.

“Nggak apa-apa kok, kamu tunggu bentar ya”.

Adel lalu meletakkan ponsel tersebut di telinganya.

“Halo…”.

“Hai cantik, masih ingat aku?”.

“Mau apa kamu sekarang?”, sesungguhnya di dalam hati Adel ingin sekali berteriak, namun ia sadar ia tidak bisa melakukan itu di depan keponakannya.

“Hahaha… seperti biasa selalu saja galak dan cetus, tapi aku suka sekali dengan tipe wanita seperti ini”.

“Cepat serahkan rekaman itu padaku”.

“Hhhm… sungguh kebetulan, aku juga ingin sekali bertemu denganmu, kamu tahu karaoke *** di Jalan ***?”.

“Tahu…”, Adel menjawab ragu.

“Aku tunggu kamu disana sekarang”.

“Tapi…”. belum selesai Adel berbicara tiba-tiba saja pembicaraan tersebut terputus.

Hari yang ditakutkan Adel pun akhirnya tiba. Ia kembali harus berhadapan dengan laki-laki misterius yang mengaku bernama Prasetyo tersebut. Laki-laki yang merusak total kehidupannya. Laki-laki yang selalu memberi mimpi buruk di setiap tidurnya. Laki-laki yang dengan kasar telah menikmati kehangatan tubuhnya tanpa ada ikatan apapun. Namun ditengah ketakutan, kekesalan dan kemarahannya tersebut, ia tahu kalau ia tetap harus menemui laki-laki itu lagi untuk bisa mengakhiri semua ini.

“Maaf ya Jos, temen tante tiba-tiba nelpon nih jadi ntar tante kayaknya nggak bisa nemenin Jos sampai mami Jos dateng”.

“Nggak apa-apa kok tante, tadi kan Jos juga sudah bilang kalau Jos sudah biasa sendiri di rumah”.

“Ya udah, kalau gitu tante anter Jos sampai depan rumah aja ya”.

Jos pun hanya mengangguk.

Tidak seperti tadi, Jos merasa kalau kini tantenya mengemudikan mobil dengan tergesa-gesa. Jos sama sekali tidak berani berkomentar dan hanya bisa duduk terdiam. Yang ia tahu hanyalah telepon tadi terlihat cukup mengganggu pikiran tantenya ini. Kecepatan mobil yang sangat tinggi membuat mereka sampai di tujuan dalam waktu yang relatif singkat. Kini mereka telah sampai di depan sebuah rumah kecil di dalam sebuah komplek perumahan. Rumah itu terlihat cukup sederhana jika dibandingkan dengan rumah-rumah lain disebelahnya. Jos pun langsung turun dari mobil.

“Makasi ya tante”.

“Iya sama-sama Jos, maaf ya sekali lagi tante musti buru-buru”.

Jos hanya menganggukkan kepalanya dan menutup pintu mobil. Dari balik kaca Adel nampak melambaikan tangan ke arah Jos. Jos pun menyambut dengan lambaian. Mobil itu pun kemudian kembali melaju meninggalkan Jos yang masih berdiri termangu.

********

Mobil Adel terlihat memasuki sebuah pelataran parkir. Di depannya nampak sebuah gedung bertuliskan Bar & Karaoke ***. Tempat ini tidak begitu asing baginya Adel karena semasa kuliah dulu ia sempat beberapa kali datang ke tempat ini bersama dengan teman-temannya. Apalagi dari luar terlihat tidak terlalu banyak perubahan dari tempat ini. Di pelataran parkir masih tidak banyak terlihat kendaraan. Hanya nampak beberapa mobil yang terparkir rapi di areal tersebut. Kelihatannya di dalam belum cukup ramai. Hari memang masih terlalu sore bagi orang-orang untuk menghabiskan waktu di tempat seperti ini. Adel keluar dari dalam mobil dan beranjak menuju pintu depan. Di depan pintu masuk Adel mengeluarkan ponselnya dan menghubungi sebuah nomor. Sebelum ponselnya tersambung, Adel sempat melihat tiga orang body guard bertubuh besar dan berwajah sangar, menatap nanar ke arah dirinya. Sebuah tatapan bak seekor harimau yang sedang melihat mangsa empuk untuk mereka terkam. Dengan cepat Adel buru-buru mengalihkan pandangannya kembali ke areal parkir, sehingga tak perlu lagi beradu pandangan dengan ketiga laki-laki menyeramkan tersebut.

“Kamu dimana?”.

“Masuk saja ke dalam room 8”.

Adel memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu masuk ke dalam gedung. Di dalam Adel melihat beberapa orang sedang berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil. Beberapa laki-laki terlihat menatap tajam ke arah dirinya. Adel merasa cukup risih berlama-lama sendirian di tempat seperti ini. Maka dari itu ia berusaha bergegas mencari room 8 sebagaimana dimaksud Pras. Begitu menemukan pintu yang dicarinya, Adel segera masuk ke dalamnya. Ruangannya itu berukuran cukup besar. Dua buah sofa kecil dan sebuah sofa panjang serta sebuah meja kayu kecil berada di tengah ruangan. Di depannya ada sebuah televisi besar lengkap dengan perlengkapan karaokenya. Mungkin ruangan itu bisa menampung kurang lebih sekitar 5-7 orang. Dasar lantai ruangan ditutupi karpet, sedangkan dinding-dindingnya ditutupi peredam suara berbahan tebal. Di dalam ruangan Adel melihat sesosok laki-laki yang paling dibencinya saat ini sedang duduk santai sambil menikmati sebatang rokok. Laki-laki itu langsung tersenyum ke arahnya. Jika melihat sosok Pras dari luar mungkin orang tidak akan menyangka ada sisi liar dalam diri laki-laki tersebut. Perawakan yang tinggi, macho, rapi dan tegap, seakan-akan memancarkan kemaskulinan seorang laki-laki sejati. Namun semua itu berubah ketika berhadapan dengan Adel. Di depan Adel, Pras bak seorang iblis yang mampu menyiksa korbannya tanpa belas kasihan. Laki-laki itu juga ibarat seorang tukang jagal yang siap membantai Adel tanpa perikemanusian. Don’t jugde the book from it’s cover, mungkin ini yang paling sesuai untuk menggambarkan sosok Prasetyo, si laki-laki misterius dalam kehidupan Adel.

“Adelia Pramesti Devi… wanita penuh pesona dan keindahan, selamat datang!”, laki-laki itu langsung berdiri bak seorang pangeran yang menyambut kedatangan seorang puteri cantik dari negeri seberang di istananya.

“Aku kesini hendak meminta rekaman itu!”, ucap Adel ketus.

“Adel… Adel… kamu masih saja begitu naif mengira kalau aku akan menyerahkan rekaman itu sebegitu gampang kepadamu? Lagi pula apa kamu berpikir aku akan begitu ceroboh membawa rekaman itu kemana-mana? Itu tentu sangat beresiko”.

“Lalu kenapa kamu memintaku untuk datang kesini?”.

“Kamu mau memesan minum?”, laki-laki itu menghisap rokoknya dan asap pun kemudian mengepul dari mulutnya.

“Sudah jangan pakai basa-basi!”.

“Ah… langsung to the point, aku suka itu!”, laki-laki itu lalu kembali duduk dan mematikan rokoknya pada asbak di atas meja. “Aku kesini hendak menemui klien penting dari luar negeri, mereka akan datang satu jam lagi, jadi sambil aku menunggu apa salahnya kalau aku meminta kamu datang untuk sedikit “bersenang-senang” hahaha…”.

“Jadi kamu anggap semua ini senang-senang ya? Kamu mungkin bisa bersenang-senang, tapi apa kamu pikir aku juga bisa bersenang-senang dengan semua keadaan ini?”, nada bicara Adel terdengar semakin tinggi. Terlihat sekali kalau saat ini kekesalannya sudah memuncak terhadap laki-laki di hadapannya ini.

“Jadi kamu keberatan?”.

“Wanita waras manapun jelas akan keberatan dengan permintaan gilamu!”.

“Apa kamu bilang tadi?”.

“Kamu itu gila… tidak waras… psikopat!”, umpatan Adel terdengar semakin keras.

Laki-laki itu kemudian berdiri. Tak ada lagi senyuman di raut mukanya. Ia lalu berjalan mendekati Adel. Raut wajah Adel terlihat begitu tegang ketika laki-laki tegap itu mendekatinya.

Dan ketakutan Adel terbukti. Sebuah tamparan langsung mendarat keras di pipi kanan Adel sehingga membuat gadis cantik itu tersungkur di sofa. Tas jinjing milik Adel pun ikut terpendal dan membuat beberapa barang yang ada di dalamnya berserakan keluar, termasuk ponselnya. Adel meringis menahan rasa perih di pipinya. Kebencian yang sudah memuncak membuat Adel tidak ingin terlalu lama larut dalam rasa sakitnya itu dan segera berdiri. Dengan sekuat tenaga ia melayangkan tangan kanannya untuk memukul laki-laki jahanam di depannya. Namun apalah arti tenaga seorang wanita seperti Adel di depan laki-laki kekar seperti Pras. Dengan sigap Pras menangkap tangan Adel dan dengan cepat memelintir tangan tersebut. sehingga kembali Adel harus tersungkur di atas sofa.

“Aaakhh…!”, Adel berteriak kencang, karena rasa sakit pada tangannya yang saat ini masih dipelintir Pras.

Tangan kanan Pras masih dengan kencang menempelkan tangan Adel yang di pundaknya sendiri, sedangkan tangan kirinya juga dengan kencang menekan kepala Adel pada sofa. Adel sendiri terdengar mulai menangis tersedu-sedu karena ketidakberdayaannya dan rasa sakit yang ia rasakan saat ini.

“Kamu masih saja liar!”, Pras semakin menekan kepala Adel di sofa.

“Aaakkh…!”, kembali Adel hanya bisa berteriak menahan sakit.

“Agaknya aku harus bekerja lebih keras untuk membuatmu jinak”.

“Lepaskan aku bangsat!”.

Mendengar umpatan Adel, laki-laki itu justru semakin mengencangkan pelintiran tangannya.

“Aaakkh…”.

“Aku akan terus menyakiti kamu sampai aku mendengar kamu memelas meminta ampun”.

“Ti… tidak akan!”.

Ego Pras sebagai seorang laki-laki pun seakan terlecehkan oleh kata-kata bernada tantangan yang dikeluarkan Adel. Tanpa segan laki-laki itu semakin menekan kepala Adel ke sofa dan semakin mengencangkan pelintirannya pada tangan gadis tersebut.

“Aaakkh….!”, teriakan Adel terdengar semakin kencang. Isak tangis perlahan mulai terdengar keluar dari mulut gadis cantik tersebut.

“Kita lihat sampai mana kamu kuat menahan sakit”.

“Ampun Pras…”. Suara itu terdengar begitu lirih.

“Apa? Aku tidak dengar!”.

“Am… ampun Pras… sa… sakit!”, suara Adel yang memelas di tengah isak tangisnya rupanya sedikit membuat laki-laki itu iba, sehingga berlahan ia mengendurkan tenaganya walaupun sama sekali tidak terlihat adanya niat untuk melepaskan Adel dari posisinya saat ini.

Ketika Pras berlahan mengendurkan pegangannya, Adel mengambil kesempatan ini untuk membalikkan tubuhnya dan mendorong tubuh laki-laki itu sekuat dia bisa. Pras yang tidak siap menerima serangan Adel menjadi terhuyung-huyung dan kemudian terjerembab di lantai. Hampir saja punggung Pras terhantuk meja saat terjatuh tadi. Ketika laki-laki itu terjatuh, Adel segera berdiri dan dengan segala tenaganya yang masih tersisa berusaha berlari menuju pintu keluar. Namun hanya beberapa langkah, Pras berhasil menyambar kaki kiri Adel sehingga gadis itu pun tersungkur dengan keras di lantai dengan posisi tengkurap. “Aakhh…!”, beruntung lantai ruangan karaoke tersebut di lapisi karpet, kalau tidak mungkin tubuh Adel tidak akan kuat menerima benturan yang sedemikian keras.

“Dasar wanita binal…!”, Pras berdiri dan merabai pundaknya yang masih terasa sakit akibat terjatuh tadi. Ia lalu melempar meja kecil di belakangnya sehingga terpental mengenai dinding. “Masih mau melawan!”, dengan kasar Pras kemudian menendang pinggang Adel.

“Aaakkh…!”, kali ini Adel benar-benar merasakan sakit yang luar biasa di pinggangnya. Ia hanya bisa menangis sekencang-kencangnya. Namun seberapa pun kencangnya Adel menangis dan berteriak, orang-orang di luar tidak akan pernah mendengarnya karena peredam suara pada dinding-dinding ruangan tersebut begitu tebal. Wajah cantiknya kini sudah terlihat basah oleh air mata. Kini Adel hanya bisa pasrah menerima siksaan Pras karena hampir tak ada lagi tenaga yang tersisa untuk dipakainya melawan.

“Kenapa diam? Ayo… lawan aku lagi!”, kembali sebuah tendangan kembali mendarat di pinggang Adel.

“Aaakkh…!”.

Rasa sakit di sekujur tubuhnya membuat tenaga Adel semakin lemah. Jangankan untuk bergerak, bahkan untuk sekedar berteriak pun gadis cantik itu seakan tidak memiliki tenaga lagi. Isak tangis yang terdengar pun kini semakin lirih, tidak sekencang di awal tadi.

Melihat Adel yang hanya bisa terbaring lemah menerima dua tendangannya tadi, Pras menghentikan sejenak siksaannya. Ia merapikan kembali jas dan dasi yang dikenakannya, berikut tatanan rambutnya. Pras lalu berjongkok di samping tubuh Adel yang terbaring lemah. Ia lalu membalik tubuh Adel sehingga posisinya menjadi terlentang.

Terlihat sekali dari tatapan mata Adel yang sayu kalau saat ini tenaga gadis cantik ini sudah cukup banyak terkuras menahan rasa sakit di tubuhnya. Isak tangis masih terdengar begitu lirih. Lebam merah terlihat membekas di kedua pipi Adel bekas tamparan Pras beberapa saat yang lalu.

“Masih mau melawan?”.

Adel tetap hanyabisa menatap sayu sambil meringis ke arah wajah Pras.

“Adel… Adel… jika saja kamu mau menuruti kata-kataku pasti kamu tidak perlu mengalami siksaan seperti ini”, Pras mengusap air mata di kedua pipi Adel. Ia lalu menyeka rambut yang menutupi wajah Adel. “Sungguh luar biasa, bahkan dalam keadaan seperti ini pun kamu masih saja terlihat cantik hahaha…”.

“Dasar iblis!”, makian Adel terdengar hampir menyerupai bisikan.

“Ternyata kamu masih punya tenaga buat mencaci maki ya? Hahaha…”.

Pras menggenggam kerah blazer yang dikenakan Adel dan mengangkat tubuhnya sehingga gadis itu kini berada dalam keadaan posisi terduduk. Pras mendekatkan wajahnya ke wajah Adel. “Dengar…! Kamu boleh menyebutku dengan sebutan apa saja, jahanam, iblis, maniak, setan, apa saja… tapi seperti kataku sebelumnya, kamu itu milikku sekarang dan kamu harus belajar untuk menyadari itu!”.

“Puuiih…!”, dengan geram tiba-tiba saja Adel meludahi wajah Pras.

Hal ini kontan saja membuat Pras kembali naik pitam. Dengan kasar laki-laki itu menghempaskan kembali tubuh Adel ke lantai. Adel hanya bisa meringis karena rasa sakit di punggungnya yang cukup keras menghantam lantai. Namun rasa sakitnya ini hanya melengkapi rasa sakit di sekujur tubuhnya yang sudah sejak tadi ia rasakan begitu menyiksa.

Pras berdiri dan menyeka ludah di wajahnya. Terlihat sekali ekspresi kemarahan di wajah laki-laki tersebut.

“Kamu harus membayar atas kelancanganmu ini!”.

Adel memejamkan matanya, seakan-akan berusaha mempersiapkan diri untuk menerima siksaan lanjutan yang mungkin akan diterimanya dari Pras. Namun beberapa saat memejamkan mata, tak ada satupun tamparan, pukulan ataupun tendangan yang ia rasakan.

Perlahan ia pun membuka matanya. Adel pun merasa heran karena Pras tidak terlihat lagi di posisinya berdiri tadi. Tidak hanya itu, ketika dengan berlahan Adel mengangkat tubuhnya dan mulai menyapu pandangannya di sekeliling ruangan laki-laki tersebut tidak juga terlihat batang hidungnya. Ke mana laki-laki jahaman itu pergi? Pikir Adel dalam hati. Rasa sakit masih terasa di sekujur tubuh Adel. Sesungguhnya Adel ingin sekali pergi meninggalkan ruangan ini saat ini juga, namun kedua kakinya terasa begitu lemah untuk bisa ia gerakkan. Belum hilang rasa heran Adel, tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan sosok yang dicari Adel tadi pun berdiri di depannya. Namun kini tidak hanya Pras yang berdiri di depannya. Disamping laki-laki itu kini berdiri tiga sosok laki-laki lain. Adel ingat benar sosok ketiga laki-laki bertubuh besar dan berwajah sangar tersebut. Ketiganya adalah body guard penjaga karaoke yang ditemuinya di depan pintu masuk ketika ia datang tadi. Lalu kenapa mereka bisa ada disini bersama Pras? Kembali sebuah pertanyaan terlontar dalam hati Adel. Ketiga laki-laki berwajah sangar itu memang adalahbody guard di tempat karaoke tersebut. Dua orang memiliki tubuh yang tinggi besar dan berotot. Keduanya masing-masing bernama Yoyok dan Samsul. Sedangkan satu lagi yang bertubuh agak pendek dan gempal, bernama Karso. Yoyok berkumis tebal dan berambut gondrong dikuncir ke belakang. Samsul berkepala botak dan memiliki codet di pipi kanannya. Luka ini diperolehnya ketika masih berprofesi sebagai tukang pukul dari salah satu konglomerat di kotanya. Sedangkan Karso juga berambut gondrong namun keriting. Sekujur tubuhnya penuh tato berbagai macam gambar memberikan kesan seram bagi yang melihatnya. Apalagi ditambah brewok tipis sepanjang wajahnya seakan menambah kesan seram tersebut. Ketiganya adalah preman kampung di desanya masing-masing sebelum mereka memutuskan untuk mengadu nasib di kota. Tanpa adanya latar pendidikan sama sekali, tentunya sangat sulit untuk mencari pekerjaan di kota besar. Dengan latar belakang profesi yang pernah mereka lakukan demi menyambung hidup, mereka pun akhirnya dipertemukan di karaoke ini sebagai tenaga keamanan.

“Ini ceweknya Bos?”, celetuk Yoyok.

Pras mengangguk, sambil tetap menatap tajam ke arah Adel.

“Gile bener! Mimpi apa kita semalem ya Yok? Tiba-tiba ketiban duren runtuh gini? Hehehe…”, kini giliran Samsul yang bersuara.

“Dari cewek ini dateng tadi, gue udah kesemsem ngeliatnya Sul hehehe…”, ekspresi mupeng begitu tergambar jelas dari wajah Yoyok.

“Beneran gratis nih Bos?”, Karso pun akhirnya angkat bicara.

Kembali Pras hanya mengangguk, tanpa sama sekali melepaskan pandangannya dari Adel yang masih terlihat tergolek lemah di lantai.

Adel mempunyai perasaan tidak enak mendengar celoteh ketiga laki-laki sangar dan buruk rupa di depannya ini. Ia seakan-akan bisa merasakan kalau sesuatu yang buruk akan segera terjadi.

“Tunggu apa lagi bapak-bapak?”, Pras berujar lantang.

Mendengar kata-kata Pras tadi, ketiga laki-laki itu pun berlahan beranjak maju mendekati Adel. Adel yang melihat ketiga laki-laki itu bergerak maju dan semakin mendekatinya, berusaha menggeser tubuhnya mundur untuk menjauh. Gadis cantik itu terlihat begitu ketakutan melihat tatapan tajam dan seram dari ketiga laki-laki tersebut. Ketika ketiga laki-laki itu mendekati Adel, Pras sendiri justru nampak tenang melangkah menuju sofa, untuk kemudian duduk santai dan mengeluarkan satu bungkus rokok dari dalam saku jasnya.

“Jang… jangan mendekat!”, Adel berteriak tergagap. “Pras, kamu tidak bisa melakukan ini padaku!”, kini Adel berteriak ke arah Pras.

Pras dengan tatapan dingin, masih tetap terduduk di sofa dengan tenang. Laki-laki itu sama sekali tidak bergeming mendengar teriakan Adel.

“Tenang aja Non, kita ini nggak bakal nyakitin Non hehehe…”, Samsul menyeringai mesum.

Yoyok lalu menimpali, “Iya Non, malahan kita-kita ini mau ngasi Non kenikmatan yang luar biasa hahaha…”.

“Pergi… pergi kalian!”, Adel berusaha menggeser tubuhnya mundur. Namun tanpa disadari Adel dengan posisi menggeser tubuhnya seperti itu, membuat roknya tersingkap beberapa kali. Kedua betis indah dan paha mulus serta celana dalam yang sesekali terlihat mengintip secara bergantian menggoda mata ketiga laki-laki tersebut. Sepatu yang semula dikenakannya pun terlepas akibat gerakan Adel tersebut.

“Lu liat pahanya Kar? Mulus banget! Hahaha…”.

“Iya nih, luarnya mulus kayak gini, gimana dalemnya? Ya nggak Yok?”.

“Bener banget! Musti buru-buru dipretelin nih hahaha…”. Ketiga laki-laki itu terus mendekati Adel sambil berusaha mengintimidasi gadis tersebut.

Adel berusaha terus bergerak mundur sampai akhirnya gerakannya terhenti oleh tembok ruangan.

Gadis itu pun kini terpojok sedangkan di hadapannya berdiri tiga orang laki-laki berwajah seram yang terlihat begitu bernafsu melihat ketidakberdayaannya.

“Pak, saya mohon… jangan lakukan…”, Adel masih berusaha meminta belas kasihan dari ketiga laki-laki di hadapannya, namun kata-kata gadis cantik tersebut jelas sekali tidak mampu mengurangi niat jahat dari ketiganya.

Sedangkan di sofa, Pras masih terlihat begitu menikmati live show yang tersaji di hadapannya. Sesekali asap rokok terlihat mengepul dari mulutnya.

“Kita garap ini cewek sekarang ya Bos?”, Karso seolah-olah meyakinkan kembali kalau Pras memang benar-benar memperbolehkan mereka untuk menikmati tubuh gadis cantik tersebut.

Pras pun hanya mengangguk.

“Ayo kita mulai Yok, Sul…!”.

Melihat calon korbannya sudah terdesak tidak berdaya dan juga setelah mendapat “ijin” Prasetyo, segera saja Yoyok dan Samsul menyergap kedua tangan Adel dari sisi kanan dan kiri. Adel pun langsung berontak dan meronta sekuat tenaga. Walaupun bertubuh besar, namun keduanya tampak cukup kesulitan memegangi kedua tangan Adel yang terus meronta dan meronta.

“Lepaskan aku… kalian bajingan!”.

“Hahaha… gue suka cewek galak kayak kini Sul, makin semangat gue pengen nge-garepnya”, Yoyok tertawa mesum.

Melihat kedua temannya terlihat kesulitan, Karso bergerak mendekati Adel dari depan berusaha membantu memegang tubuh gadis tersebut. Namun belum beberapa langkah berjalan, tiba-tiba saja Adel melayangkan tendangan ke arah selangkangan Karso.

“Anjriiit…!”, Karso langsung berteriak kesakitan, sambil memegangi selangkangannya. “Brengsek! Kurang ajar!”, umpatan demi umpatan keluar dari mulut Karso. Dari ekspresi wajahnya yang nampak memerah, terlihat sekali kalau tendangan Adel tadi cukup keras menghujam daerah selangkangannya.

Yoyok dan Samsul yang melihat perbuatan Adel, semakin mempererat pegangan mereka masing-masing pada kedua tangan gadis tersebut.

“Kar, lu nggak apa-apa?”, Samsul berteriak sambil terus berusaha menahan rontaan Adel.

Agak lama Karso merintih menahan sakit, sebelum akhirnya berlahan rasa sakit itu berkurang. Namun begitu rasa sakit tersebut berlahan mereda, Karso dengan cepat berjalan mendekati Adel.

“Gue hajar lu!”, sebuah tamparan keras pun mendarat di pipi kanan gadis tersebut dan kemudian disusul tamparan pada pipi kirinya.

Akibat dua tamparan keras tersebut membuat pandangan Adel menjadi berkunang-kunang. Rontaan gadis cantik itu pun berhenti dan ia terlihat lunglai. Jika saja kedua tangannya tidak dipegangi oleh Yoyok dan Samsul mungkin tubuh Adel akan langsung ambruk ke lantai. Dan benar saja, ketika kemudian kedua laki-laki itu melepaskan pegangannya, tubuh Adel langsung ambruk tertelungkup ke lantai. Melihat itu Karso yang masih geram akibat tendangan Adel tadi, langsung membalik kasar tubuh gadis tersebut. Walau pandangannya terlihat sendu seperti tanpa tenaga, namun Adel masih terlihat tersadar.

“Yok, Sul, udah buruan kita garap wanita jalang ini!”.

Karso langsung membuka paksa blazer yang dikenakan Adel, sehingga mengakibatkan beberapa buah kancing terlepas paksa dari posisinya. Yoyok dan Samsul pun kini ikut berjongkok di depan tubuh Adel yang terkulai lemah. Tanpa perlawanan sama sekali blazer hitam itu pun terlepas dan terlempar entah kemana. Ketiga laki-laki menatap nanar ke arah kedua payudara Adel. Walapun masih tertutup tank top ketat berwarna biru muda, namun kedua bukit kembar tersebut terlihat begitu padat dan menggoda.

“Gile padet banget!”, Karso meremas-remas payudara kanan Adel.

Tindakan Karso ini langsung diikuti Yoyok yang meremas payudara kiri si gadis.

“Ayo buka saja semuanya sekalian, pengen liat toket non cantik ini”, Yoyok berujar mesum.

Ketika Karso berusaha membuka tank top-nya, Adel berusaha mencegahnya dengan cara beberapa kali menepis tangan laki-laki bertato tersebut. Walaupun sebenarnya tenaga yang tersisa di tubuhnya sudah sangat minim, namun Adel masih berusaha untuk mempertahankan kehormatannya sebagai seorang wanita. Karso pun akhirnya harus meminta bantuan kedua rekannya untuk bisa melepaskan tank top tersebut. Yoyok dan Samsul kemudian memegang kedua tangan Adel dan menaikkannya ke atas, sehingga berakhirlah perlawanan gadis cantik tersebut. Tank top berikut dengan bra putih yang merupakan pakaian terakhir yang menempel di tubuh atas Adel kemudian sukses terlepas tanpa perlawanan sama sekali. Pegangan tangan Yoyok dan Samsul terasa begitu kuat, sehingga kini gadis tersebut dibuat sama sekali tidak bisa menutupi ketelanjangan tubuh atasnya. Air mata kembali mengalir dari kedua mata Adel sambil sesekali terdengar isak tangis lirih.

“Gue duluan ya”, Karso langsung membungkukkan tubuhnya hendak menikmati payudara Adel. Namun terdengar protes dari Yoyok.

“Ntar dulu Kar, lu nggak bisa main duluan gitu, kita-kita kan mau juga”.

“Lu-lu pada ngeyotnya abis gue aja”.

“Lu nggak boleh gitu dong Kar!”.

“Udah kita undi aja biar lebih adil, gimana?”, Samsul menimpali.

OK!”, Yoyok dan Karso berseru hampir bersamaan.

Dengan tetap memegangi kedua tangan Adel, mereka bertiga lalu melakukan permainanhom pim pa seperti anak-anak kecil yang memperebutkan urutan pertama menikmati tubuh ranum gadis cantik di hadapannya.

“Hahaha… tuh… gue kan yang menang, udah lu-lu pada atur aja siapa giliran sehabis gue”.

Belum sempat Karso menjamah tubuh Adel, tiba-tiba saja Adel mendorong dirinya. Rupanya ketika melakukan hom pim pa tadi, Adel bisa merasakan kalau cengkraman di tangannya mulai mengendur. Karso pun tersungkur di lantai. Setelah berhasil membebaskan diri, segera saja Adel berdiri dan berlari menuju Pras yang terduduk di sofa. Karso nampak tersungut-sungut dan meringis. Kembali ia harus menjadi korban dari perjuangan Adel membebaskan dirinya. Adel sendiri kemudian bersimpuh dan memegang kedua kaki Pras.

“Pras, tolong aku… jangan biarin mereka melakukan ini kepadaku, aku mohon Pras”, suara Adel begitu memelas sambil terisak.

“Sudah terlambat Del”, Pras berdiri dan mengangkat tubuh Adel, kemudian menghempaskannya ke arah ketiga laki-laki berwajah sangar yang sudah menanti dengan tidak sabar.

Karso dan Samsul langsung menangkap tubuh Adel sebelum terjatuh ke lantai.

“Pras… aku mohon…”, Adel masih berusaha memelas.

Pras dengan dinginnya justru kembali duduk di sofa dan kemudian dengan tenang kembali menghisap rokoknya.

“Pras…!”, Adel masih berteriak sebelum akhirnya ia pun kini telah sepenuhnya kembali berada dalam kepungan ketiga laki-laki berwajah seram tersebut.

Merasa dirinya sudah tidak mampu melawan lagi dan tidak ada siapapun yang bisa membantu dirinya saat ini, Adel pun akhirnya pasrah dan membiarkan ketiga laki-laki itu mulai menjamahi kembali tubuhnya secara beramai-ramai. Ketika dirinya disetubuhi oleh Pras, Adel merasa telah melakukan hal yang paling memalukan dalam hidupnya. Namun kini ada tiga orang laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya, sebentar lagi mungkin akan menikmati kehangatan tubuhnya juga. Hal ini jelas lebih dari sekedar memalukan bagi gadis cantik tersebut. Apakah setelah semua ini berakhir, Adel akan mampu terus berbohong kepada Abi kalau saat ini semuanya masih berjalan baik-baik saja. Ketika di luar sana Abi sedang mempersiapkan masa depan untuk kelangsungan hubungan mereka berdua, sedangkan di sini dirinya justru sedang dinodai oleh gerombolan laki-laki ganas berwajah sangar. Adel pun kembali hanya bisa menangis dengan ketidakberdayaannya ini. Kini Adel terlihat tergolek lemah di lantai. Pandangannya kosong menatap langit-langit ruangan. Air mata terus mengalir membasahi wajah cantik Adel. Ditengah ketidakberdayaannya gadis cantik tersebut bisa merasakan kalau seseorang sedang mengulum dan menjilati payudara kanannya sambil meremasi payudaranya yang kiri. Seorang lagi kini sedang menciumi dan menjilati kedua betis dan pahanya. Sedangkan untuk laki-laki yang sedang menciumi bibirnya dengan ganas, ia bisa melihat kalau laki-laki itu adalah laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Yoyok oleh kawan-kawannya. Kumis tebal Yoyok terasa menggelitik hidung Adel ketika laki-laki itu menciuminya. Bau asap rokok sangat mengengat tercium ketika Yoyok mulai memainkan lidahnya di dalam mulut Adel dengan ganas. Lidah keduanya pun kerap beradu, sehingga mau tidak mau membuat Adel harus rela bertukar liur dengan laki-laki berambut gondrong tersebut. Atas semua perlakuan ketiga laki-laki sangar tersebut, kini Adel sama sekali tidak memberikan perlawanan. Di bawah sana, Adel bisa merasakan kalau laki-laki yang berada disana sedang sibuk melepaskan resleting roknya. Tak lama rok span itu pun melorot turun dan terlepas. Sesaat kemudian Adel bisa merasakan tangan laki-laki tersebut mengobok-obok selangkangannya yang masih tertutup celana dalam berwarna putih. Sementara dada montok Adel masih terus dikulum dan dijilati oleh laki-laki yang lain. Bekas-bekas cupangan berwarna merah semakin banyak terlihat di permukaan payudara gadis cantik tersebut. Diserang dari tiga bagian tubuh sensitifnya secara bersamaan seperti ini, mau tidak mau mulai menyeret Adel ke dalam gelora nafsunya sendiri. Perlahan cairan birahi mulai merembes keluar membasahi daerah kewanitaannya. Adel sudah terlihat benar-benar pasrah. Terus menerus terdengar desahan dan erangan diantara hujaman ciuman dan jilatan pada bibir dan mulutnya.

“Gile bener… wangi banget memek non cantik ini”, Karso berseru kencang setelah menghirup dalam-dalam kain tipis berukuran mungil di genggamannya dengan hidung.

Celana dalam tersebut terlihat sangat basah karena baru beberapa saat yang lalu terlepas dari tempatnya berada tadi. Kini Adel bisa melihat sosok yang mempermainkan tubuh bawahnya tadi. Rupanya laki-laki tersebut adalah Karso.

“Mana gue juga pengen nyium baunya”, Samsul menghentikan kulumannya di payudara Adel dan menyambar celana dalam tersebut dari tangan Karso. “Bener Kar, wangi! Kayaknya non ini rajin banget ngerawat memeknya”, seloroh laki-laki plontos tersebut.

Karso tersenyum mesum mendengar kata-kata kawannya tersebut. “Ntar gue mau ngerasain wanginya langsung dari sumbernya dulu”. Setelah berujar seperti itu Karso membuka kedua kaki Adel lebar-lebar dan langsung membenamkan kepalanya di selangkangan gadis cantik tersebut.

“Gimana Kar? Lebih wangi?”, giliran Yoyok yang menghentikan kulumannya di mulut Adel.

Kini kedua laki-laki tersebut memperhatikan dengan seksama Karso yang sedang asyik menjilati vagina Adel.

Karso tak menjawab. Ia masih terlihat menikmati menjilati dan menghisap vagina Adel. Laki-laki brewok tersebut hanya mengacungkan jempolnya ke arah kedua kawannya.

“Bawa sini Sul!”.

Samsul pun melempar kain mungil berwarna putih dalam genggamannya kepada Yoyok. Ia sendiri kemudian melanjutkan aktifitasnya meremas-remas kedua payudara Adel yang terlihat semakin padat menantang. Kini giliran Yoyok yang menghirup bau celana dalam tersebut. Ia kemudian menyeringai mesum dan mendekatkan wajahnya ke telinga Adel.

“Non ternyata nggak cuma cantik dan sexy, tapi rupanya non ini juga mulus dan wangi, nggak sabar nih pengen ngerasain jepitan memek non hahaha…”, bisik Yoyok di telinga gadis tersebut. Kemudian ia melempar celana dalam tersebut ke atas sofa dan kembali melumat bibir Adel.

Adel tidak terlalu memperhatikan kata-kata Samsul di telinganya. Ia hanya terpejam sambil terus mendesah dan mengerang lirih. Kini yang bisa ia rasakan hanyalah rasa geli dan nikmat di payudara dan selangkangannya. Payudaranya terasa begitu geli ketika Samsul dengan kuat meremas-remasnya sambil sesekali mempermainkan kedua putingnya. Sedangkan vaginanya sendiri terasa begitu nikmat ketika sebuah lidah seakan-akan menari-nari di permukaannya. Sesekali lidah panas itu juga menusuk-nusuk ke dalam lubang dan mengenai klitorisnya. Sensasi kenikmatan ini mau tidak mau semakin menerbangkan gairah birahi Adel semakin tinggi.

Sebagai wanita bertipe konservatif tentunya persetubuhan seperti ini menjadi pengalaman baru bagi Adel. Pengalaman yang ternyata memberikan kenikmatan yang jauh lebih luar biasa ketimbang melayani tunangannya seperti yang selama ini ia lakukan. Diserang pada ketiga titik sensitif tubuhnya secara bersamaan, mau tidak mau membuat tubuh Adel kian bereaksi. Berlahan tubuh molek Adel mengejang. Secara refleks ia justru membuka lebar kedua pahanya sehingga memberikan akses penuh untuk Karso menjilati lubang vaginanya. Sementara diatas sana Adel mulai nampak membalas lumatan bibir dan permainan lidah Yoyok, sambil mengusap-usap kepala Samsul yang sedang mengulum dan menjilati payudaranya. Akhirnya setelah beberapa menit tubuh Adel semakin mengejang dan terlihat kaku.

“Aaaakkkhh…!”, Adel melenguh kencang.

Rupanya perbuatan ketiga laki-laki sangar itu berhasil mengirim Adel untuk mencapai klimaksnya yang pertama.

Karso yang sedang mengoral vagina Adel bisa merasakan cairan kewanitaan banyak sekali merembes keluar dari lubang kenikmatan tersebut. Ia pun menghentikan aksi oralnya.

“Wah… non cantik ini ngencret lo kita jilatin hahaha…”.

Yoyok dan Samsul pun ikut menghentikan aksi mereka di tubuh Adel.

“Masa Kar? Hahaha… ternyata si non malu-malu tapi mau ya?”.

“Iya Yok, awalnya nolak eh akhirnya konak! Hahaha….”.

Adel benar-benar merasa malu mendengar kata-kata ketiga laki-laki sangar tersebut. Harga dirinya sebagai wanita benar-benar terasa diinjak-injak. Ia benar-benar merasa terhina lahir dan batin. Namun disisi lain, mau tidak mau ia harus mengakui kata-kata ketiga laki-laki tersebut. Baru saja ia memang merasakan sensasi yang berbeda dari persetubuhan-persetubuhan yang pernah ia alami sebelumnya. Sensasi yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Bahkan jauh di dalam hatinya ia tidak bisa berbohong kalau ia sangat menikmati sensasi ini. Jadi masih layakkah saat ini ia masih terus menangis dan melakukan penolakan?

Puas meremasi, menciumi dan menjilati seluruh tubuh molek Adel serta berhasil membuat gadis cantik itu mencapai klimaks pertamanya, dengan hampir bersamaan ketiga laki-laki bringas itu pun berdiri dan mulai melepaskan satu per satu pakaian yang mereka kenakan hingga ketiganya kini dalam keadaan telanjang bulat. Batang-batang penis ketiganya nampak telah mengacung tegang seakan siap menikmati kehangatan tubuh Adel. Ketiga batang penis tersebut memiliki ukuran yang hampir sama, besar dan panjang. Melihat ukurannya kelihatannya Adel akan sedikit bekerja keras apabila nantinya batang-batang penis tersebut secara bergiliran mengisi liang vaginanya. Sedang Adel sendiri masih terlihat tergolek lemah di lantai. Sementara Pras masih tetap dengan wajah dingin tanpa ekspresi sama sekali, terus memperhatikan dengan seksama tingkah laku ketiga laki-laki tersebut kepada Adel.

“Sesuai undian tadi, maka gue yang berhak pertama ngerasain memek Non cantik ini,OK?”.

Tanpa ada nada protes kedua laki-laki itu pun membiarkan Karso berjongkok di depan Adel dan kembali membuka lebar kedua kaki Adel. Perlahan laki-laki gondrong dan bertato itu mengusap-usap ujung penisnya di permukaan lubang kenikmatan Adel. Kemudian tak lama Karso pun menghujamkan batang penis besarnya ke dalam vagina gadis cantik tersebut.

“Aaakkhh…!”, baik Karso maupun Adel berteriak hampir bersamaan.

Karso berteriak karena merasakan jepitan dinding vagina Adel yang sedemikian kencang, sedangkan Adel berteriak karena rasa sakit akibat hentakan batang penis besar itu seakan-akan merobek liang kewanitaannya yang sempit. Hal ini diakibatkan karena vagina Adel belum cukup basah untuk siap menerima hujaman yang begitu kasar.

“Gimana Kar rasa memeknya?”, Yoyok berujar penasaran.

“Mantap Yok! Jepitannya masih kenceng, keliatan banget ni memek jarang dipake Aaah…”.

“Kar, inget lu jangan ngencret di dalem kita-kita kan mau make juga tu memek”, Samsul menimpali sambil mengocok-ngocok sendiri batang penisnya.

Cukup lama Karso menikmati vagina Adel dalam posisi konvensional. Sedangkan kedua kawannya hanya bisa menatap mupeng ke arahnya sambil memainkan sendiri batang penis mereka masing-masing, sambil sesekali menggosok-gosokkan batang penis tersebut di payudara Adel.

“Aaakhh…”, Adel berteriak kencang ketika Karso kembali dengan kasar menghujamkan batang penisnya.

“Tadi non nendang kontol bapak, sekarang rasain dasyatnya kocokan kontol bapak ini non hahaha….”.

“Aaakhh… aaakhh… aaakkh…!”, teriakan dan erangan Adel terus menerus terdengar, bahkan kian lama kian keras.

Tak tahan melihat pemandangan Adel yang sedang disetubuhi oleh Karso, kedua laki-laki lainnya pun mengambil tangan Adel dan meletakkan batang penis tegang mereka masing-masing dalam genggamannya.

“Koncokin kontol kita dong Non”, ucap Samsul sambil menggerak-gerakkan tangan Adel sehingga tangan tersebut mengurut-urut batang penisnya.

Adel pun melakukan permintaan Samsul. Ditengah kocokan penis Karso pada vaginanya yang semakin lama semakin kencang, gadis cantik itu berusaha membagi konsentrasi untuk mengocok penis Yoyok di tangan kirinya dan penis Samsul di tangan kanannya. Walaupun kocokan jari-jari mungil Adel tidak sepenuhnya bisa dilakukan dengan cara yang benar, namun cukup untuk membuat dua laki-laki tersebut menikmatinya.

“Kar, lu ngentotnya sambil nungging aja, gue pengen ngentot mulut non cantik ini”.

Karso pun mengikuti kata-kata Yoyok dan mengubah posisi tubuh Adel sehingga berbalik. Kini gadis cantik itu dalam posisi menungging dengan bertumpu pada kedua tangannya. Karso pun melanjutkan hujaman penisnya dalam posisi doggie sambil meremas-remas kedua bongkahan pantat montok Adel. Sedangkan Yoyok mulai menghujamkan batang penisnya ke dalam mulut Adel. Kini gadis cantik itu pun menerima dua kocokan penis secara bersamaan. Satu penis menghujam-hujam kencang ke dalam lubang vaginanya sedangkan satu penis lainnya menghujam-hujam ke dalam mulutnya.

“Giliran dong Kar, gue kan juga mau ngerasain memek Non ini”, nada protes mulai terdengar dari Samsul yang sedari tadi hanya kebagian mengocok penisnya sendiri.

“Ya udah kita gantian”.

Karso pun mencabut batang penisnya dari dalam lubang vagina Adel, namun tak lama setelah itu lubang vagina gadis tersebut kembali disesaki oleh batang penis yang tak kalah besarnya milik Samsul.

“Aakkh…!”, Samsul berteriak ketika pertama kali merasakan jepitan vagina Adel.

“Gimana Sul, kenceng banget kan?”.

“Iya Kar, kayak memek perawan”.

“Lu kocok aja dulu, ntar kita giliran lagi”.

Samsul pun mulai menghujam-hujamkan batang penisnya ke dalam lubang vagina Adel. Suara erangan tertahan kembali terdengar dari mulut Adel. Suara erangan dan lenguhan tersebut tidak keluar penuh karena dalam mulut Adel sendiri saat ini sedang disesaki oleh batang penis milik Yoyok.

“Gile Yok, non ini ternyata udah cantik, mulus, wangi, memeknya juga mantap banget! Gue serasa lagi ngentotin artis nih hehehe…”, Samsul berujar ditengah kocokan penisnya.

“Sebelum lu ngencret, lu gantian ama gue biar gue juga bisa ngerasain tu memek”.

OK tenang aja, pokoknya hari ini kita gilir non ini ampe puas hahaha….”.

“Udah sekarang giliran gue ngerasain emutan mulut non cantik ini Yok”, Karso pun mendekati Yoyok sambil mengocok-ngocok penisnya yang masih terlihat basah oleh lendir kewanitaan Adel.

Yoyok pun menarik penisnya dari mulut Adel. Namun Adel tak bisa berlama-lama menghirup udara dengan tenang karena tak lama kemudian giliran batang penis Karso yang memenuhi mulutnya. Tanpa ampun Karso langsung menghujam-hujamkan batang penisnya ke dalam mulut gadis cantik tersebut. Sementara itu Samsul juga semakin kencang melakukan kocokan ke dalam vagina gadis cantik tersebut. Menerima kocokan pada vagina dan mulutnya secara terus menerus dan bergantian membuat tubuhnya bereaksi semakin cepat.

“Aaaakkkhh…!”, Adel kembali melenguh kencang.

Dan benar saja beberapa menit kemudian tubuh Adel terlihat mengejang, bertanda ia telah mencapai klimaks keduanya hari ini. Ditengah kocokannya, Samsul bisa merasakan cairan kewanitaan Adel cukup banyak mengalir membasahi batang penisnya. Bermain bersama tiga laki-laki sekaligus sungguh menimbulkan sensasi yang sama sekali tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Walaupun saat ini batin Adel seakan-akan merasa sedang diperkosa, namun tubuhnya sendiri tidak bisa berbohong kalau aksi-aksi liar ketiga laki-laki bringas ini benar-benar membawanya semakin terhanyut dalam belenggu birahi yang begitu luar biasa.

Walau sudah mencapai klimaks, namun belum ada tanda-tanda kalau ketiga laki-laki bringas tersebut akan menghentikan aksi-aksinya. Bahkan kini ditengah tenaganya yang cukup banyak tersedot akibat klimaks yang dialaminya tadi, kocokan penis Samsul di dalam vaginanya justru semakin kencang dan semakin menggila.

“Aaahh…. gue keluar… gue keluar!, rancau Samsul ditengah kocokan penisnya yang semakin membabi buta.

Tubuh Adel semakin terguncang-gucang hebat menerima kocokan Samsul tersebut. Melihat keadaan yang sudah mulai memanas dan tidak terkendali Karso pun mencabut batang penisnya dari dalam mulut Adel. Walaupun begitu tetap saja bukan berarti Adel bisa menghirup udara dengan bebas, karena saat ini batang penis Samsul menghujam semakin ganas dalam liang vaginanya.

“Aaakkhh… aaahh… aaakkhh…”, desahan dan teriakan Adel kini terdengar semakin kencang seiring kocokan Samsul yang juga semakin kencang.

“Ooohh… nikmat bener… ooohh… aaakkhh…”, rancauan Samsul pun juga terdengar semakin hebat.

Dan tak lama kemudian samsul menarik batang penisnya dan mengarahkannya ke punggung Adel. Semprotan demi semprotan sperma pun keluar dari batang penis tersebut membasahi permukaan punggung mulus Adel.

“Ooohh…”, Samsul melenguh panjang menandakan sebuah kepuasan yang luar biasa.

Adel sendiri kemudian ambruk di lantai karena kedua tangannya terasa sangat lemas untuk mampu menopang tubuhnya. Baik Samsul maupun Adel terlihat ngos-ngosan akibat persetubuhan mereka tadi. Samsul membalikkan tubuh polos Adel. Kini gadis posisi tubuh cantik itu kembali terlentang di lantai. Laki-laki plontos bercodet itu berdiri mengangkang di atas kepala Adel kemudian mengambil posisi berjongkok. Ia lalu membuka paksa mulut Adel dan memasukkan batang penisnya. Di dalam sana Samsul mengusap-usapkan ujung dan batang penisnya yang masih menyisakan sedikit cairan sperma pada lidah Adel.

“Rasain nih pejuh abang non, enak kan? Hahaha…”.

Gadis cantik itu hanya bisa pasrah menerima perlakuan Samsul. Adel tetap tergolek lemah sampai akhirnya Samsul mengeluarkan batang penisnya tersebut dari dalam mulutnya. Adel bisa merasakan rasa yang begitu menyengat ketika beberapa kali ia harus menelan ludahnya. Menelan sperma bukanlah hal baru bagi Adel karena Abi pernah memintanya untuk melakukan ketika mereka bercinta. Namun saat itu ia langsung muntah-muntah, sehingga setelah kejadian tersebut Abi memang tidak pernah lagi meminta Adel untuk melakukan hal tersebut.

“Tumben nih gue ngencret cepet, mantep bener memek cewek ni, bener-bener dibuat nggak tahan gue”, Samsul kembali berdiri.

“Ah, emang dasar lu aja seringan main ama yang emperan, udah giliran dikasi yang bening kayak gini loyo deh lu hahaha…”, Karso tertawa lantang.

“Udah jangan banyak komen lu!”, Samsul sewot mendengar kata-kata Karso yang seolah-olah meragukan keperkasaan dan kemampuannya memuaskan wanita.

“Gitu aja sewot lu Sul, sensi amat!”, Karso kembali menimpali.

“Lu sendiri ngomongnya jangan gitu dong!”.

Keduanya pun terlibat adu mulut yang cukup keras. Baik Karso maupun Samsul saling mengeluarkan umpatan dan caci makian. Samsul benar-benar merasa terhina dengan kata-kata Karso, sedangkan Karso merasa kata-katanya hanya gurauan yang seharusnya tidak sampai diambil hati. Sebelum keduanya terlibat pertengkaran yang semakin jauh, tiba-tiba walki-talki yang melekat di celana Samsul yang tergeletak di lantai berbunyi.

“Sul, lu dimana? Bos nyariin lu tuh, ganti…”.

Masih dengan ekspresi wajah kesal Samsul pun beranjak dari tempatnya berdiri.

“Sul… lu dimana? Bisa di copy? Ganti…”.

Laki-laki plontos itu mengambil walki-talki tersebut dari sabuknya.

“Gue di depan nih, ntar gue kesana, ganti…”.

OK, buruan bos udah nungguin tuh, ganti…”.

OK!”.

Selesai percakapan itu, Samsul pun bergegas memakai kembali pakaiannya. Kemudian setelah itu ia berjalan mendekati Pras yang masih terlihat terduduk santai sambil menyilangkan kakinya. Pras terlihat memegang sebuah gelas kecil berisi minuman di tangan kirinya.

“Makasi Bos, udah mau bagi-bagi rejeki hari ini”, Samsul menyodorkan tangannya kepada Pras sambil tersenyum simpul.

Pras membalas sodoran tangan tersebut dan mereka bersalaman. Pras sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata. Laki-laki itu hanya mengangguk dan menyeringai singkat.

“Giliran siapa sekarang? Kasihan tuh cantik-cantik di anggurin”, Samsul berujar kepada kedua kawannya sebelum beranjak menuju pintu. Segera setelah itu laki-laki plontos itu pun kemudian menghilang dari balik pintu.

Kedua laki-laki sangar lainnya yang masih dalam keadaan telanjang itu pun saling menatap mata satu dengan lainnya. Keduanya kemudian menyeringai mesum dan memandang tubuh polos Adel yang tergolek lemah.

“Biarin Non cantik ini istirahat dulu Kar hehehe…”.

Adel sudah dua kali mencapai klimaks dari persetubuhan brutal ini dan satu laki-laki juga telah mencapai klimaksnya. Namun kebrutalan ini kini tentu masih jauh dari akhir, karena saat ini masih tersisa dua laki-laki bertubuh besar yang masih terlihat segar bugar. Batang penis keduanya masih tegak berdiri dan mengacung kokoh. Malah penis besar berurat tersebut keduanya semakin lama terlihat semakin tegang dan kuat. Ini berarti persetubuhan brutal ini masih akan berlanjut memasuki babak-babak berikutnya. Ekspresi wajah Adel terlihat memancarkan kelelahan yang luar biasa. Gadis cantik itu pun tidak tahu sampai kapan ia akan mampu bertahan melayani nafsu ganas dari kedua laki-laki berwajah seram tersebut. Sama sekali tidak ada yang tahu sampai kapan permainan birahi ini akan berakhir.

“Bos… nggak mau ikutan nih ama kita-kita?”, Karso menoleh ke arah Pras yang masih dengan dinginnya terduduk santai pada sofa kecil di sudut ruangan.

“Silakan bapak-bapak saja dulu, saya punya waktu saya sendiri untuk menikmati wanita itu”, Pras menyeringai ke arah Adel yang tergolek lemah di lantai.

Pras menuangkan kembali botol minuman berwarna kuning kecoklatan ke dalam gelas kecil yang dipegangnya.

“Dapat dimana nih cewek kayak gini bos?”, Yoyok menimpali.

“Kalian tidak usah tahu, mending kalian pakai saja dia selama kalian masih ada kesempatan”.

“Beres bos!”, seru kedua laki-laki itu hampir berbarengan.

“Giliran gue nih sekarang!”, Yoyok berujar dan langsung beranjak mendekati tubuh Adel.

Karso yang berdiri di dekat dinding sambil memegang batang penisnya yang masih tegang, tidak terlihat protes dengan perkataan Yoyok. Mungkin laki-laki gondrong itu memang ingin menjadi pembuka dan penutup dari persetubuhan liar ini, atau mungkin ia masih sedikit kesal akibat pertengkaran singkatnya tadi dengan Samsul sehingga tidak ingin memicu pertengaran yang sama dengan Yoyok.

“Ayo non, kita senang-senang lagi hahaha…”.

Gadis cantik itu masih terlihat begitu lemah, walaupun kini nafasnya sudah mulai berhembus dengan normal. Saking lemahnya, pandangan Adel terlihat begitu sayu dan redup. Yoyok lalu mengangkat tubuh molek dan polos itu dan merebahkannya berlahan di atas sofa panjang. Adel kemudian bisa merasakan kalau Yoyok sedang menggerakkan posisi kakinya hingga menjadi menekuk. Kemudian ia pun merasakan kalau laki-laki itu mulai membuka lebar kedua pahanya. Terlihat sekali Adel sudah tidak lagi mampu melawan. Ia terlihat begitu pasrah membiarkan perbuatan laki-laki gondrong berkumis lebat tersebut atas tubuhnya.

“Benar-benar memek non ini indah sekali”, Yoyok mengusap-usap vagina Adel yang terlihat tertutupi bulu-bulu hitam tipis.

Laki-laki gondrong tersebut kemudian menyibak bulu-bulu tipis yang menutupi permukaan vagina tersebut. Jari-jari tangan laki-laki itu kemudian merabai permukaan lubang vagina Adel, terutama bagian tonjolan kecil diatasnya.

“Aaah…”, desahan lirih keluar dari mulut Adel ketika Yoyok memutar-mutar bagian klitorisnya dengan pelan.

Merasakan vagina Adel mulai mengering, Yoyok kemudian memasukkan jari tengah dan jari telunjuk kanannya ke dalam lubang kenikmatan gadis tersebut. “Aaakkhh… aaahh… Aaakkhh…!”, Adel pun mengerang pelan ketika jari-jari tangan laki-laki gondrong itu mulai mengocok vaginanya dengan perlahan. Beberapa saat kemudian erangan Adel berubah menjadi teriakan kencang ketika Yoyok mulai semakin mengencangkan kocokan jari-jarinya.

Cukup lama Yoyok mengocok vagina Adel dengan jari-jarinya. Gairah Adel yang tadi sempat turun setelah beristirahat, kini berlahan mulai kembali naik. Desahan demi desahan mulai terdengar lagi keluar dari mulut gadis cantik tersebut. Bahkan kini cairan kewanitaan mulai berlahan membasahi kembali lubang vagina Adel.

“Aaakkhh… aaahh… aaakkhh…!”.

“Ayo non teriak yang keras, jangan malu-malu!”.

“Aaakkhh… aaahh… aaakkhh…!”.

“Ayo non lebih keras, jangan ditahan-tahan!”, Yoyok semakin mempercepat kocokannya.

“Aaakkhh… aaahh… aaakkhh…!”.

“Ayo, lebih keras lagi…!”.

“Aaakkhh… aaahh… aaakkhh…!” teriakan Adel pun terdengar semakin keras dan semakin keras. Kocokan liar jari-jari di vaginanya serta ucapan-ucapan propokatif Yoyok seakan-akan berhasil memancing keluar sisi liar Adel. Sisi liar yang lama terpendam olehimage wanita dewasa dan baik-baik yang selama ini selalu ia jaga. Kini semua imagetersebut kini berlahan tapi pasti mulai menghilang. Adel yang lugu dan polos kini berganti dengan Adel yang liar, bebas dan haus akan kenikmatan duniawi dan kepuasan ragawi.

“Non mau kontol?”.

“Aaakkhh… aaahh… aaakkhh…!”.

“Jawab non, non mau kontol?”, Yoyok sedikit menampar pipi Adel dengan tangan kirinya.

“I… iya pak”.

“Non mau dientot?”.

“I… iya pak, aaakkh…”.

Kocokan demi kocokan terus menghujam deras ke dalam vagina Adel.

“Kalau begitu bilang non, bilang kalau non mau dientot”.

“Saya mau dientot pak…”.

“Bilang yang keras non!”, Yoyok terus mengocok vagina Adel dengan jari-jari tangannya. Sementara itu cairan birahi semakin banyak keluar membasahi lubang kenikmatan Adel.

“Saya mau dientot, kasih saya kontol pak!”.

“Yang keras non!”.

Adel pun berteriak sekencang-kencangnya, “Tolong entot saya pak! Masukin… masukin pak! Saya mohon…”.

Adel sudah benar-benar kehilangan akal sehatnya. Dirinya sudah benar-benar dibelenggu oleh gairah birahinya sendiri akibat rangsangan yang dilakukan oleh Yoyok. Laki-laki gondrong itu benar-benar pandai membangkitkan sisi liar Adel. Ia mampu merubah drastis Adel yang semula alim dan polos menjadi Adel yang haus seks dan binal. Kini seolah-olah penolakan dan perlawanan Adel di awal permainan terlihat sia-sia belaka. Kini yang terlihat justru Adel-lah yang terdengar memohon untuk disetubuhi dan diberikan kenikmatan ragawi.

“Baik non, kalau non yang minta bapak kasih non kontol hahaha…”.

Yoyok pun mencabut jari-jarinya dari dalam vagina Adel. Jari-jari tangan laki-laki gondrong tersebut terlihat basah oleh cairan kewanitaan Adel. Yoyok kemudian mengusap-usapkan jari-jari tangannya ke payudara Adel. Segera setelah itu laki-laki itu mengangkat kaki kiri Adel sehingga bertumpu di pundaknya. Kemudian begitu kedua paha gadis itu terbuka lebar, langsung saja Yoyok menghujamkan batang penis kokohnya ke dalam lubang kenikmatan sang gadis.

“Aaakkhh….!”, kedua insan berlainan jenis itu pun berbarengan berteriak.

Karena lubang kenikmatan itu memang telah cukup basah, batang penis Yoyok pun dapat dengan mudah menerobos masuk ke dalamnya. Bahkan kini batang kokoh itu terlihat begitu mudah mengoyak lubang sempit itu dengan kocokan demi kocokannya. Sesekali ditengah hujaman demi hujaman tersebut keduanya terlihat berciuman dengan panas. Bibir mereka saling pagut dan lidah mereka saling beradu. Berbeda sekali dengan persetubuhannya dengan Samsul beberapa saat lalu, kali ini Adel terlihat begitu ganas. Gadis itu sama sekali tidak menghiraukan bau nafas Yoyok yang diawal tadi mengganggu penciumannya. Gadis cantik ini seakan-akan menyerahkan sepenuhnya tubuhnya kepada laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya ini untuk dinikmati. Hal seperti ini bahkan tak pernah ia lakukan kepada Abi, tunangannya. Dari ekspresi dan gerak tubuh Adel, terlihat seolah-olah berkata pada Yoyok untuk membawanya terbang ke langit ke tujuh dan merengkuh kenikmatan duniawi tertinggi.

“Enak non?”.

“Enak pak… enak banget!”.

“Terus non?”.

“Terus pak… ooohh yes… ooohh yes… fuck me… fuck me hard!”, Adel merancau dan mengeluarkan kata-kata tak senonoh yang jelas tidak akan pernah ia ucapkan dalam keadaan sadar.

“Kar, kita gantian”, Yoyok berteriak kepada Karso yang masih berdiri sambil mengocok-ngocok penisnya sendiri.

Karso pun berjalan mendekat.

Yoyok kemudian mencabut batang penisnya dan menepuk bahu Karso memberikan isyarat untuk segera menggantikan posisinya. Karso pun kembali bisa menikmati jepitan dinding-dinding vagina Adel. Tak perlu waktu lama menyesuaikan diri, laki-laki gondrong itu pun menghujam-hujamkan batang penisnya dengan cepat. Sedangkan Yoyok berjongkok di samping sofa dan memagut bibir Adel sambil meremas-remas payudara gadis tersebut yang terlihat bergoyang-goyang.

“Aaakkhh… aaahh… aaakkhh…!”, hanya terdengar teriakan dan desahan yang kini memenuhi ruangan karaoke itu.

“Yok, ternyata cewek terpelajar kayak gini kalau sudah konak nggak ada bedanya ama perek ya? Hahaha…”, Karso masih terus menghujam-hujamkan penisnya.

“Hahaha… yang bedain itu cuma status doang Kar, kalau sudah soal ngentot status udah nggak ada artinya lagi”.

Kedua laki-laki itu tertawa lantang melihat Adel yang tidak berdaya di dalam kekuasaan mereka. Gadis cantik itu hanya bisa terpejam dan terus menerus mendesah dan berteriak penuh kenikmatan. Ia seakan-akan tidak peduli lagi dimana ia berada saat ini. Bahkan Adel seakan-akan tidak peduli lagi batang penis siapa yang kini sedang mengocok lubang vaginanya. Adel terlihat sudah benar-benar dimabuk birahi sehingga diotaknya kini hanya ada pikiran untuk mencapai puncak setinggi-tingginya. Beberapa menit Karso menyetubuhi Adel, untuk kemudian mereka berganti posisi lagi. Kini Yoyok mengangkat pantat Adel dan menopangkan kedua kaki gadis tersebut pada kedua pundaknya. Dengan posisi seperti ini, batang penisnya menjadi semakin mudah dan semakin dalam memasuki lubang vagina Adel. Kedua tangan gadis cantik itu kini mencengkeram permukaan sofa dengan erat, berusaha menahan rasa sakit sekaligus nikmat yang ditimbulkan dari gesekan batang penis besar tersebut. Batang penis itu terasa begitu kokoh menyesaki lubang vaginanya. Apalagi dengan posisi ini batang penis Yoyok bisa semakin dalam mengaduk-aduk dalam vaginanya. Rasa nikmat begitu terasa sampai ke setiap simpul saraf-saraf Adel, bahkan kini sudah menjalar ke dalam sumsum tulangnya.

“Ayo teriak sepuas-puasnya non!”, Yoyok kembali menstimulus sisi liar Adel.

“Aaakkhh… aaahh… aaakkhh…!”.

“Jangan menahan diri non, lepaskan semuanya, bebaskan diri non, teriak yang keras…”.

“Aaakkhh… aaahh… oohh yes… oooh God!”, Adel terus merancau. Kedua tangan Adel kini semakin kuat mencengkeram permukaan sofa.

“Lepaskan non… lepaskan…!”.

“Ooohhh… aaakkh…”.`

Keringat membasahi membasahi tubuh kedua insan yang sedang di landa birahi itu. Nafas keduanya terus memburu dan kian lama semakin bergelora. Tak terlihat lagi Adel yang tadi terlihat rapi, anggun dan begitu elegan. Yang ada kini hanyalah Adel dengan rambut acak-acakan, liar dan garang. Suara teriakan dan desahan Adel akhirnya berhenti dan berganti menjadi desahan tertahan ketika batang penis besar Karso masuk dan memenuhi mulutnya. Laki-laki besar dan gondrong itu berdiri di pinggir sofa, memegang kepala Adel dan kemudian ia pun menghujam-hujamkan penisnya ke dalam mulut Adel. Kini kembali gadis cantik itu harus menerima dua kocokan penis secara berbarengan.

“Hhhmm… Hhhmmm… Hhhmmm…”, dengan ekspresi wajahnya jelas sekali menampakan gairah birahi yang begitu tinggi, Adel terus mendesah tertahan.

Kini kedua laki-laki bertubuh besar itu kembali berganti posisi. Kini penis Karso-lah yang menyesaki lubang vagina Adel. Karso nampaknya tidak mau membuang-buang waktu karena begitu batang penisnya menembus lubang kenikmatan tersebut, ia langsung tancap gas dan menghujam-hujamkan batang kokoh itu sekencang-kencangnya. Hal ini membuat tubuh Adel terguncang-guncang hebat. Kedua payudara bulat dan padat Adel pun ikut bergoyang-goyang. Goyangan payudara gadis cantik itu pun menggoda Yoyok untuk meremasinya bergantian. Yoyok mendekati Karso yang sedang menggenjoti vagina Adel. Laki-laki gondrong itu lalu membisikkan sesuatu ke telinga Karso dan laki-laki bertato itu pun tersenyum mesum mendengar bisikan Yoyok. Setelah itu Karso mencabut batang penisnya dan membalik tubuh Adel sehingga posisinya kini menungging. Karso kemudian kembali menghujam-hujamkan batang penis besarnya ke dalam vagina Adel dalam posisi doggie. Batang penis itu menghujam-hujam sedemikian kencang sehingga Karso harus memegang erat pantat Adel untuk menjaga agar tubuh Adel tidak terjatuh dari sofa. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja Karso mencabut batang penisnya dan sedetik kemudian lubang vagina Adel sudah terisi oleh batang penis Yoyok. Yoyok mengocok vagina Adel dengan kecepatan yang hampir sama dengan yang dilakukan Karso tadi. Rupanya kedua laki-laki itu berencana untuk memberikan sensasi seranganmachine gun, dimana genjotan demi genjotan terus menyerang vagina Adel dengan kecepatan yang sama tanpa mengakibatkan mereka sendiri mencapai klimaks dengan cepat.

“Aaakkhh… aaahh… aaakkhh…!”.

“Ayo Kar, serang terus!”.

“Aaakkhh… aaahh… aaakkhh…!”, menerima serangan penis beruntun seperti itu membuat Adel merasa nafasnya sesak. Adel hampir tidak bisa merasakan apa pun lagi selain lesakan penis yang datang bergantian sedemikian cepat. Keringat membasahi tubuhnya yang saat ini berguncang hebat.

“Gantian Yok!”.

Kini Yoyok yang menghujam-hujamkan batang penisnya dengan cepat.

“Enak kan non? Nikmat bener kan?”.

Adel sama sekali tidak bisa menjawab. Kocokan cepat yang terus menerus pada vaginanya membuat Adel sama sekali tidak bisa berpikir. Bahkan untuk sekedar menarik nafas pun Adel tidak sempat lagi. Yoyok kemudian mencabut batang penisnya yang membalik tubuh Adel lagi sehingga kembali menjadi terlentang.

“Ganti Kar!”.

Karso pun menggantikan Yoyok memasukkan batang penisnya dan mengocoknya cepat.

“Aaakkhh… aaahh… aaakkhh…!”, teriakan Adel terdengar semakin keras.

Diserang dengan gencar seperti itu, tubuh Adel terlihat menegang. Gadis cantik itu bisa merasakan sebentar lagi akan ada yang meledak dari dalam dirinya. sesuatu yang dasyat dan tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Dan saat-saat itu pun tiba. Adel terlihat mendongak terpejam dan tubuh moleknya terangkat kaku. Sementara batang penis Karso masih saja dengan brutal menghujam-hujam deras dalam vaginanya. “Aaaakkhh….!”, sebuah lenguhan panjang keluar dari mulut Adel. Kemudian tubuh Adel pun kembali terjerembab di sofa. Cairan kewanitaan Adel keluar dengan hebatnya dari lubang kenikmatannya, walaupun saat ini batang penis Karso masih menyesakinya. Pandangan mata Adel menatap kosong ke arah langit-langit ruangan. Adel baru saja mencapai klimaksnya yang ketiga hari ini. Sebuah puncak permainan yang jauh lebih dasyat dari dua puncak permainan yang sempat dicapainya tadi. Walau sebenarnya kedua laki-laki sangar itu sudah tahu kalau Adel baru saja mencapai klimaks, namun baik Karso maupun Yoyok terlihat tidak ada niat untuk menghentikan serangan mereka. Karso malah semakin ganas mengocok lubang vagina Adel.

“Yok, gue mau ngencret nih! Lu ganti deh…”.

Karso pun mencabut batang penisnya dan setelah itu segera saja Yoyok ganti menghujamkan batang penisnya ke dalam vagina Adel. Karso lalu mengangkang di depan payudara Adel yang bergoyang-goyang akibat kocokan Yoyok. Ia mengocok-ocok batang penisnya sendiri dan beberapa saat kemudian semburan demi semburan cairan putih membasahi permukaan payudara Adel. Beberapa diantara semburan tersebut juga muncrat mengenai wajah cantik Adel. Kini payudara Adel tidak hanya dipenuhi oleh bekas-bekas tanda merah tapi juga dipenuhi cairan putih lengket. Setelah habis, Karso pun beranjak menjauhi sofa.

Sementara itu Yoyok masih menggenjoti vagina Adel. “Aaakkhh… aaahh… aaakkhh…!”, Yoyok merancau semakin keras.

Sedangkan Adel hanya bisa tergolek lemah di sofa. Saat ini ia benar-benar merasa sama sekali tidak ada tenaga yang tersisa di tubuhnya. Pandangannya sudah benar-benar kosong. Tingkat kesadarannya pun terus menurun. Yang hanya bisa ia rasakan saat ini adalah guncangan-guncangan akibat kocokan kasar Yoyok pada vaginanya. Sama sekali tidak terdengar lagi teriakan dari mulut Adel. Jangankan berteriak, mungkin untuk sekedar berbisik saja gadis cantik itu sudah tidak memiliki tenaga lagi. Kocokan demi kocokan masih saja menghujam kencang dalam vagina Adel. Adel sendiri sudah merasakan kalau dinding-dinding vaginanya sudah terasa kelu dan perih. Ia merasakan lubang vaginanya berdenyut-denyut kencang akibat tiga kali klimaks yang dialaminya. Namun Yoyok sama sekali tidak terlihat mengurangi kecepatan kocokannya. Tingkat kesadaran Adel pun terus semakin menurun.

“Aaaakkkhh…!”, sayup-sayup Adel bisa mendengar suara lenguhan panjang Yoyok.

Setelah lenguhan panjang tersebut, sempat Adel merasakan batang penis Yoyok tercabut dari dalam vaginanya. Beberapa saat kemudian Adel juga sempat merasakan batang penis tersebut masuk ke dalam mulutnya. Dan bahkan sebelum kesadarannya semakin berkurang, Adel masih sempat merasakan muncratan demi muncratan sperma memenuhi mulutnya. Namun tak lama setelah itu semuanya menjadi gelap. Tak ada lagi suara yang terdengar. Tak ada lagi gerakan yang terasa. Gadis cantik itu pingsan.

************************

“Byuur…!”.

Siraman air mengenai wajah cantik Adel. Pelan-pelan kesadaran gadis cantik itu mulai muncul.

“Ayo bangun!”.

Sayup-sayup Adel mendengar suara seorang laki-laki. Ia kemudian merasakan kepalanya diguncang-guncang.

“Ooohh…”, Adel melenguh pelan karena merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya.

“Kau sudah sadar?”.

Walau dengan pandangan yang masih kabur, Adel bisa melihat sosok laki-laki yang berdiri di depannya adalah Prasetyo. Ia bisa merasakan kalau saat ini ia masih terbaring di atas sofa panjang tempat terakhir ia berada. Adel merasakan saat ini tubuh telanjangnya sedang tertutupi oleh selembar kain tebal bercorak kotak-kotak. Masih dengar ekspresi wajah dinginnya Pras berdiri di depan sofa. Dengan susah payah Adel berusaha mengangkat tubuhnya untuk mengambil posisi duduk. Dipegangnya erat kain penutup tubuhnya. Gadis itu lalu menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan. Ternyata di dalam ruangan itu kini hanya ada dirinya dan Pras. Tidak terlihat lagi kedua laki-laki sangar yang tadi menyetubuhinya dengan brutal. Suasana ruangan sendiri masih terlihat berantakan. Hampir tidak ada benda-benda di dalam ruangan tersebut yang masih berada di posisinya semula.

“Minum ini”, Pras menyodorkan sebotol air mineral.

Adel memalingkan wajahnya.

“Setelah semua yang kamu alami tadi kamu masih saja melawan aku, ayo minum!”, Pras kembali mengulang perkataannya, namun kali ini dengan nada keras terdengar seperti perintah.

Adel terlihat ketakutan. Ia segera mengambil botol air mineral tersebut dan meminumnya. Bekas-bekas sperma yang masih melekat di mulut Adel membuat rasa air tersebut menjadi sedikit aneh. Gadis cantik itu pun menyeka mulutnya berusaha membersihkan cairan sperma kering yang menempel disana. Tak hanya itu, Adel juga bisa melihat bekas-bekas cairan sperma memenuhi sekujur tubuhnya, terutama bagian payudaranya. Pras berjongkok di depan Adel lalu memegang wajah gadis cantik itu dan mengarahkannya untuk memandangi matanya,

“Kamu lihat sendiri tadi, aku sama sekali tidak perlu rekaman itu untuk bisa menguasai dirimu, aku bahkan mungkin saja bisa melakukan hal yang lebih kejam dari yang aku lakukan tadi”.

Pras kemudian berdiri. Adel sendiri terlihat tertunduk. Mata indah gadis cantik itu terlihat kembali berkaca-kaca. Ia benar-benar merasa tidak berdaya saat ini. Bayang-bayang perkosaan yang baru saja dialaminya benar-benar meninggalkan trauma yang mendalam kepada dirinya, walaupun untuk beberapa saat ia sempat menikmati persetubuhan brutal tersebut.

“Aku harap sekarang kamu benar-benar mengerti konsekuensi dari melawan perkataanku dan selalu camkan itu baik-baik, kamu bisa mengerti?”.

Adel mengangguk lemah.

“Kamu benar-benar mengerti?”.

Kembali Adel mengangguk.

“Bagus, karena sebenarnya aku tidak ingin menyakitimu, tapi kalau kamu tetap membandel maka aku tidak akan pernah segan-segan untuk menyiksamu lagi”.

Pras kemudian berjalan mendekati pintu.

“Rencana “bersenang-senang” kita tunda dulu karena ada klien yang harus aku temui saat ini. Aktifkan terus HP-mu dan setelah berpakaian kamu boleh pergi”.

Seperti sebelumnya Pras menghilang begitu saja dari balik pintu. Laki-laki yang begitu misterius, karena datang dan pergi sesuka hatinya. Selain itu laki-laki tersebut juga dengan seenaknya mengatur-atur kehidupan Adel, padahal mereka sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun. Yang paling tidak bisa diterima oleh Adel adalah sikap kasar cenderung brutal yang kerap dilakukan oleh laki-laki itu kepadanya. Siksaan demi siksaan benar-benar semakin menjadi sebuah mimpi buruk bagi gadis cantik tersebut. Adel menyeka air mata yang mulai mengalir. Ia bergegas mengumpulkan kembali pakaiannya dan mengenakannya kembali. Kali ini Adel cukup beruntung untuk tidak kehilangan lagi bra dan celana dalamnya seperti yang biasa ia alami. Gadis itu juga bergegas memasukkan kembali barang-barang pribadinya yang berserakan di lantai ke dalam tas jinjingnya. Ia pun lalu keluar dari ruangan tersebut dengan tergesa-gesa. Begitu keluar dari ruangan tersebut, Adel langsung berlari tanpa menghiraukan orang-orang yang mulai ramai berdatangan ke dalam bar dan karaoke tersebut. Suara dentuman musik dan kelap-kelip lampu sama sekali tidak menarik perhatian Adel lagi. Yang ada di pikiran gadis cantik tersebut, adalah segera pergi meninggalkan tempat maksiat ini. Begitu sampai di pintu masuk utama, Adel melihat dua sosok laki-laki besar yang sangat ia kenal berdiri di depan pintu tersebut. Dua sosok laki-laki bertubuh kekar itu adalah Yoyok dan Karso. Melihat mereka Adel berusaha makin mempercepat langkahnya, namun celaka bagi Adel karena Yoyok sudah keburu melihatnya berlari menuju pintu. Laki-laki plontos itu pun langsung menghalangi lari Adel.

“Eh, mau kemana non? Hahaha…”.

“Biarkan saya pergi Pak, saya mohon”, suara Adel terdengar memelas.

Adel hanya bisa menunduk sambil meletakkan tas jinjingnya di depan dada.

“Kok buru-buru sih non? Disini buka sampai pagi lo, ya nggak Kar? Hahaha…”.

“Hahaha… iya non, kita-kita siap kok nemenin non ampe pagi”.

“To… tolong pak, biarkan saya pergi”, kembali Adel memelas.

“Tenang non… non boleh pergi, lagian kita sudah puas banget kok hari ini hahaha…”, Yoyok menatap nanar tubuh Adel dari atas sampai bawah, seolah-olah ia masih bisa membayangkan bagaimana indahnya tubuh gadis cantik dihadapannya ketika dalam keadaan telanjang tadi.

Yoyok kemudian menepuk bahu Karso, dan kedua laki-laki bertubuh besar itu pun menggeser tubuhnya. Melihat hal itu Adel dengan segera melangkahkan kakinya. Namun belum sempat Adel melewati pintu keluar tersebut, ia merasakan sebuah tangan menepuk pantatnya. Bahkan tidak hanya menepuk, tangan usil itu pun sempat meremas pantat Adel.

“Kapan-kapan mampir lagi ya non hahaha…”, rupanya tangan tersebut adalah tangan Karso.

Adel sama sekali tidak ingin memperpanjang masalah dengan memprotes pelecehan yang dilakukan oleh Karso tadi. Dengan cepat Adel pun langsung berlari menuju pelataran parkir dan tidak menoleh lagi ke belakang. Sedangkan Yoyok dan Karso terlihat tertawa terbahak-bahak. Keduanya terlihat benar-benar puas karena baru saja mendapatkan kesempatan langka untuk menikmati kehangatan tubuh seorang bidadari. Kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi untuk kedua kalinya dalam hidup mereka.

*********

Kebahagian dan penderitaan ibarat dua sisi dari sebuah keping mata uang. Dua sisi yang tidak terpisahkan dan selalu berdampingan satu dengan lainnya. Sekali kita melempar sebuah keping mata uang ke udara, maka ia akan bergulir dan kita tidak akan pernah tahu sisi yang mana yang akan muncul saat ia mendarat nanti. Peluang satu sisi dengan sisi lainnya untuk muncul adalah sama besar. Hukum aritmatika numerik, menyebut istilah ini dengan probabilitas. Demikian pula dengan hidup, kita tidak akan pernah tahu hari ini kita akan mengalami kebahagian atau penderitaan. Semuanya berjalan bagaikan sebuah siklus yang penuh misteri. Dan kita sebagai manusia hanyalah sebuah titik kecil di dalam siklus tersebut. Jadi dengan demikian kapankah siklus penderitaan berputar menjadi kebahagiaan? Dan kapan siklus kebahagiaan berputar menjadi penderitaan? No body knows…

Innocent Angels 3: Love, Power and Desire

Short Note From Writter…
  • Here we are in Chapter Three… Serial INNOCENT ANGELS akhirnya bisa sampai di serinya yang ketiga. Cukup luar biasa untuk sebuah serial yang ditulis tanpa perencanaan. Yeah, selama semua masih bisa mengalir, maka biarkanlah mengalir sampai sebatas mana ia masih bisa mengalir.
  • Mungkin seri ketiga ini tidak akan menjadi menarik bagi pencinta hardcore, karena hampir semua adegan bernuansa softcore. Tetapi saya selalu berprinsip kalau sex story is not always about sex, but also about value in it. Jadi pada prinsipnya, sex story – atau kita sebut saja dengan cerita dewasa – harus memiliki riak dan liku agar selalu menarik untuk diikuti, tanpa mengekspolitasi seks itu sendiri secara berlebihan. Orang-orang berotak picik kerap mengatakan kalau penulis cerita dewasa hanya mengumbar kelamin dan sensualitas secara vulgar dan cenderung merusak moral bangsa. Mereka tidak pernah berpikir kalau apa yang tertulis dalam cerita dewasa hanya mengambil secuil kecil dari drama kehidupan seksualitas manusia. Perselingkuhan, pencabulan, free sex, perkosaan atau bentuk aktifitas seks lainnya adalah sesuatu yang nyata di dalam masyarakat. Lalu apa bedanya seorang penulis cerita dewasa dengan seorang pelukis, fotografer, novelis, sutradara atau profesi lainnya? Seks adalah sebuah fenomena klasik yang akan selalu menarik untuk dibicarakan. Dan seorang penulis cerita dewasa mempunyai caranya sendiri untuk membicarakan fenomena klasik ini.
  • Demikian corat-coret singkat yang coba diangkat sebagai sebuah bahan renungan. Semoga mampu sedikit merubah cara pandang ortodoks yang masih berlaku saat ini. Dan sebagai kata-kata penutup kembali saya sampaikan: Selamat Membaca…!
Somewhere in Earth, February, 2010.
Pendekar Maboek Ó
****************************



Laras

Suara ringtone berupa lagu dari salah satu grup band papan atas terdengar memenuhi kamar. Entah sudah berapa lama ponsel tersebut berbunyi, namun yang jelas sudah cukup lama untuk membuat pemiliknya terbangun dari tidurnya yang lelap. Laras berlahan membuka matanya. Gadis manis itu terlihat begitu terpaksa untuk melepaskan dirinya dari kenyamanan dunia mimpi. Rasa kantuk sebenarnya masih kuat membelenggu gadis manis ini. Bahkan kepalanya terasa begitu berat akibat kuatnya pengaruh rasa kantuk tersebut. Namun Laras berusaha untuk bangun, karena ia tahu siapa pun yang menelponnya pagi-pagi buta seperti ini pastilah memiliki tujuan yang sangat penting. Berlahan kesadaran Laras mulai bangkit dengan sempurna. Dengan berlahan pula ia mulai semakin jelas mendengar sumber suara yang membuatnya terbangun. Ketika hendak beranjak dari atas ranjang, Laras baru menyadari kalau saat ini Glen sedang memeluk tubuhnya. Laki-laki itu terbaring di belakangnya dan terlihat masih terlelap. Gadis manis itu baru sadar kalau saat ini dirinya sedang terbaring di atas ranjang Glen. Ia pun kini tidak heran kalau saat terbangun tadi ia dalam kondisi lelah yang teramat sangat. Kemarin malam Glen mencumbuinya berkali-kali sampai akhirnya ia baru bisa terlelap menjelang dini hari. Laras pun terpaksa harus memberikan pelayanan ekstra, karena bagaimanapun kemarin adalah hari spesial untuk kekasihnya ini. Beberapa plastik kondom bekas pakai yang tergeletak di lantai seakan menjadi saksi bisu jumlah ronde yang harus dilalui oleh gadis manis tersebut sepanjang permainan cinta mereka kemarin malam. Tentunya pemberian pelayanan ekstra seperti ini berarti ia harus menanggung resiko untuk rela menguras tenaga sampai ke titik maksimal yang mampu ditahan oleh tubuhnya. Laras perlahan menggeser tangan Glen yang memeluk tubuhnya. Ia melakukannya dengan hati-hati agar kekasihnya ini tidak sampai terbangun. Setelah berhasil melakukannya, Laras lalu dengan perlahan menggeser selimut yang menutup tubuh mereka berdua dan beranjak turun dari ranjang. Tubuh Laras kini menjadi terekspos bebas karena tak ada satu helaipun benang yang melekat pada tubuh molek tersebut. Bercak-bercak merah bekas cupangan terlihat hampir di seluruh permukaan payudara montok gadis manis tersebut. Noda-noda putih bekas sperma yang mengering juga terlihat pada bagian tersebut, selain beberapa pula terlihat menempel di perut, pinggang dan pahanya. Laras nampaknya tidak memperdulikan hal tersebut, ia hanya berkonsentrasi pada nada ponsel miliknya. Hawa dingin AC (=air conditioner) yang langsung mengenai pori-pori kulitnya tanpa penghalang membuat gadis manis itu sedikit menggigil. Laras melihat kemeja lengan panjang warna biru muda milik Glen tergeletak di lantai. Ia pun menyambar kemeja tersebut dan mengenakannya. Sambil berjalan, Laras hanya mengancingkan dua kancing terbawah dan membiarkan kancing-kancing di atasnya tetap terbuka. Hal ini jelas membuat belahan payudara indah miliknya tetap terekspos. Tujuan awal gadis manis itu mengenakan kemeja memang hanya untuk mengusir rasa dingin, bukan menutupi tubuhnya. Toh, di dalam kamar itu hanya ada dirinya dan Glen saja, sehingga Laras pun merasa sama sekali tidak perlu untuk menutupi ketelanjangannya.

“Pagi banget, Jeng?”, suara Laras terdengar serak khas orang yang baru bangun tidur.

Sorry Ras, gue ganggu lu pagi-pagi gini”.

“Nggak apa-apa Del, emang ada apa?”.

Penelpon tersebut ternyata adalah Adelia.

“Hari ini gue nggak masuk kerja, gue sakit, lu gantiin gue sementara di kantor ya”.

“Lu sakit apa? Perasaan kemarin lu baik-baik aja?”.

“Nggak tau nih, tiba-tiba aja gue nggak enak badan”.

Bagi yang mengetahui apa yang menimpa Adel kemarin, tentu akan mengetahui kalau saat ini Adel jelas sedang berbohong. Laras sama sekali tidak menyadari kalau nada suara sahabatnya ini terdengar seperti suara tangis yang tertahan.

“Ya udah, kalau gitu lu istirahat aja”.

“Makasi ya Ras, tolong bilangin sama temen-temen lain”.

OK! Cepet sembuh ya Jeng”.

Laras mematikan ponselnya. Adel hari ini tidak masuk, berarti ia harus meng-handlesemua tugas-tugas Humas dan Marketing seorang diri. Apalagi pergelaran fashion showakan segera memasuki hari-H dan masih banyak hal yang harus dipersiapkan. Laras pun tahu kalau hari ini akan menjadi hari yang sangat melelahkan.

“Siapa yang nelpon pagi-pagi gini honey?”.

Laras membalikkan tubuhnya. Ia melihat Glen sudah terbangun dan kini nampak duduk di pinggir ranjang sambil mengusap-usap kepalanya. Bagian tubuh atas laki-laki itu kini terlihat dalam keadaan telanjang, sementara bagian bawahnya tertutupi oleh selimut.

“Aduh… Sorry say jadi bikin kamu kebangun, tadi itu Adel, dia bilang nggak bisa kerja hari ini soalnya lagi nggak enak badan”.

“Oh gitu”.

Laras tersenyum simpul ke arah Glen yang masih terlihat belum sepenuhnya sadar dari tidurnya. Laki-laki itu kini nampak mengucek-ucek kedua matanya yang masih terlihat mengantuk. Gadis manis itu lalu berjalan mendekati kekasihnya tersebut. Sambil berjalan ia sempat mengambil gaun model terusan warna merah yang terlihat tergeletak di lantai, berikut dengan celana dalam sexy dan bra renda tanpa tali pundak berwarna senada dengan gaun tersebut. Gaun terusan itulah yang kemarin ia kenakan sewaktu acara ulang tahun Glen. Gadis itu kemudian menaruh pakaian tersebut di atas meja di dekat tas besar yang dibawanya kemarin. Begitu sampai di depan kekasihnya, sebuah ciuman pun mendarat lembut di bibir lelaki itu.

“Hhhmm… bau iih!”.

“Bau tapi kamu suka kan? Hehe…”, tiba-tiba Glen langsung menarik tubuh Laras sehingga gadis manis itu jatuh terduduk dipangkuannya.

“Aaoow…!”, Laras berteriak lirih. “Ini perlu ditertibkan dulu hehe…”, Gadis manis itu lalu menggenggam sesuatu yang keras yang terasa mengganjal pantatnya. Benda keras itu adalah batang penis Glen yang mengacung tegak. Ia lalu mengatur posisi penis Glen agar tidak mengganggu posisi duduknya. Setelah itu Laras menggelayut manja di pundak Glen. Keduanya pun kembali berciuman, dan kali ini berlangsung cukup lama.

“Kamu nggak usah ke kantor juga hari ini ya”.

“Kok gitu?”.

“Masih pengen nih hehehe…”.

“Ya ampun, kemarin kan udah sampai pagi”, Laras langsung memasang ekspresi cemberut yang dibuat-buat. “Untung ortu kamu milih nginep di hotel, kalau nggak bisa-bisa mereka bakalan nggak bisa tidur denger kamu teriak-teriak semaleman hehehe…”.

“Hehehe… Habis hadiah ulang tahunnya OK banget sih”.

“Suka ya? Hehehe…”.

“Suka banget!”, tangan Glen kemudian dengan nakal masuk ke dalam kemeja yang dikenakan Laras. Dalam sekejap payudara kanan gadis itu pun langsung berada dalam remasan tangannya.

“Udah dong Say, mau mandi nih”, Laras berusaha menghentikan aksi nakal Glen pada payudaranya, namun sia-sia karena Glen tetap saja meremas-remas bongkahan daging kenyal tersebut sambil sesekali memainkan puting kecilnya.

“Satu kali lagi ya? Please…”.

“Tapi aku udah capek banget nih”, suara gadis manis itu terdengar memelas.

Bagaimana pun kemarin Laras telah benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya melayani hasrat kekasihnya yang begitu kesetanan mengeksploitasi tubuhnya. Maka dari itu sangatlah wajar kalau pagi ini Laras ingin bersantai dan memulihkan kondisi tubuhnya kembali. Walaupun kemarin bukanlah percintaan mereka yang pertama, namun mungkin karena momen yang memang terasa spesial membuat gairah Glen begitu membara.

Please…”, Glen memasang ekspresi wajah yang tak kalah memelas.

Laras hanya menggelengkan kepalanya pelan. Sementara tangan Glen yang sejak tadi meremasi payudara, kini berpindah memasuki sela-sela paha mulus Laras mengincar selangkangan Laras yang tertutupi bulu-bulu pendek halus.

“Glen… ooh…”, Laras pun menggeliat dibuatnya. “Aduh…”, gadis manis itu kembali harus berusaha menghentikan aksi tangan kekasihnya yang kini telah berhasil menyentuh permukaan vaginanya.

Please honey…”.

Laras kembali menggeleng.

“Sekali… aja”.

Laras tahu penolakannya sama sekali tidak akan mampu menghentikan rengekan kekasihnya ini. Bahkan kini untuk sekedar menghentikan tangan Glen yang tengah bermain-main di daerah kewanitaannya pun ia sama sekali tak mampu. Laras kemudian melirik ke arah ponselnya. Jam di layar ponselnya menunjukkan pukul setengah tujuh kurang beberapa menit, berarti masih ada waktu sekitar sejaman untuk bersiap-siap sebelum berangkat ke kantor.

OK deh, tapi sambil mandi ya?”, ucap Laras pasrah.

Senyum sumringah langsung terpancar di wajah Glen. “Thanks ya honey!”.

********


Adel
Adel terlihat berbaring di atas ranjangnya. Gadis cantik itu terbaring dengan posisi tertelungkup. Ia terlihat mengenakan gaun tidurnya yang berbahan dasar sutera berwarna putih. Suara isak tangis pelan terdengar memenuhi ruangan kamar tersebut. Kedua mata Adel terlihat lebam dan bantal yang menjadi sandaran kepalanya terlihat basah oleh air mata. Nampak sekali kalau Adel sudah menangis cukup lama, bahkan mungkin sejak ia tiba di apartemennya kemarin. Gadis cantik itu benar-benar menyesali nasib buruk yang menimpa dirinya. Rasa sakit masih terasa hampir di sekujur tubuhnya, terutama di daerah selangkangannya. Pipi Adel masih terlihat memerah akibat tamparan demi tamparan yang ia terima kemarin. Begitu juga dengan tulang-tulang di tubuhnya yang masih terasa nyeri. Namun semua sakit yang mendera tubuhnya saat ini, jauh tidak sebanding dengan rasa sakit di dalam hatinya. Saat ini Adel benar-benar merasa sudah tidak memiliki harga diri sama sekali. Mengingat perkosaan yang dialaminya kemarin, Adel benar-benar merasa tubuhnya begitu kotor. Kotoran itu seakan-akan tidak bisa menghilang walaupun ia telah menggosok tubuhnya dengan sabun berkali-kali. Tak hanya itu, Adel juga kini semakin merasa telah semakin mengkhiati cinta Abi. Adel tahu kalau Abi dari kemarin telah beberapa kali menelpon dirinya. Namun dalam kondisi seperti ini jelas ia sama sekali tidak mampu untuk berbicara dengan kekasihnya tersebut. Adel tidak ingin membuat Abi khawatir karena pastilah ia tidak akan mampu menahan tangisnya ditengah-tengah pembicaraan mereka nanti. Adel benar-benar mengutuk Prasetyo yang telah menghancurkan hidup sekaligus cintanya. Cinta yang seharusnya bisa ia jaga hanya untuk kekasihnya, sampai akhirnya cinta mereka berlabuh di pelaminan. Entah sampai kapan Adel harus terus menangis seperti ini. Mungkin sampai seluruh air matanya mengering atau mungkin sampai tak ada lagi tenaga yang tersisa untuk menangis? Atau mungkin sampai semua mimpi buruknya ini berakhir? Namun itu pun kalau semua ini memiliki akhir, karena yang Adel rasakan kini justru semua mimpi buruk ini terasa menjadi semakin buruk dan menakutkan. Yang jelas sampai saat ini, menangis adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan Adel untuk mengurangi rasa gundah dan sesal di dalam hatinya. Di tengah isak tangisnya, ponsel yang tergeletak di samping tubuhnya tiba-tiba berbunyi. Kini tidak ada lagi perasaan was-was di hati Adel ketika mendengar suara ponselnya sendiri. Gadis cantik ini kini telah benar-benar tidak tahu lagi harus merasa takut, gundah atau khawatir. Semuanya sudah terasa begitu hampa. Adel melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Ia lalu mengusap air matanya yang membasahi pipinya. Ia pun berusaha untuk tidak terisak lagi.

“Hai…”.

Hi honey, yesterday night I call you so many time, but you didn’t peak up”.

Sorry honey, yesterday I’m so tired so I slept early”.

Are you sick? Your voice sound not so good”.

I’m OK, cuma lagi nggak enak badan aja”, entah ini kebohongan yang keberapa kali yang terucap dari mulut Adel kepada kekasihnya.

“Kalau gitu hari ini kamu nggak usah ke kantor aja”.

“Iya udah minta ijin kok, ini lagi tiduran”.

If it necessary, go to the doctor”.

No, I’ll be fine”.

Oh honey, you make me worried”.

I’m fine honey, really! Ntar juga baikan kok”, Adel sengaja menekankan nada bicaranya agar Abi mempercayai kata-katanya.

“Bener nggak ada apa-apa kan?”.

“Iya bener, cuma agak capek aja nih”.

I’ll go home as soon as possible, OK?”.

OK, kamu nggak ada kelas hari ini?”

“Ada, ini lagi di depan kelas, maybe my class will be start in a few minutes, I’ll have aneconomic exam today”.

If that so, I think you must prepare yourself now”, Adel berusaha memutuskan percakapan ini secepatnya, karena ia merasa sudah tidak tahan lagi menahan isak tangisnya mendengar suara kekasihnya.

Yeah that right,OK just take a rest now, I’ll call you again tonight”.

OKhave a nice exam, make me proud ”.

Love you… muaach…”.

Love you too…”.

Adel mematikan ponselnya dan kembali membenamkan wajah cantiknya ke bantal. Suara isak tangis pun kembali terdengar lirih. Hatinya benar-benar teriris-iris karena kerap harus terus menerus berbohong kepada kekasihnya kalau semuanya berjalan baik-baik saja. Tapi Adel tahu ia harus terus melakukannya karena ia tidak ingin konsentrasi Abi terganggu ketika menjalani studi, walaupun ia sendiri harus mengorbankan perasaannya untuk itu. Pengorbanan untuk cintanya kepada sang kekasih. Sebuah cinta murni yang kini telah terkoyak.

********

“Ooh…!”.

Laras mendesah tertahan ketika Glen mulai menggosok-gosok vaginanya dengan sabun. Tangan Glen yang lain nampak meremasi payudara Laras yang telah terlebih dahulu tertutupi busa sabun. Sementara di saat yang sama tangan Laras sibuk mengocoki batang penis kekasihnya yang sudah nampak mengacung tegang. Mereka berdua masing-masing melakukan aktifitas tersebut sambil berpagutan di bawah guyuran air pancuran. Sesekali ditengah pagutan tersebut, lidah mereka beradu satu sama lain sehingga menimbulkan sensasi yang begitu menggairahkan. Seandainya saja mereka memiliki lebih banyak waktu, tentunya kedua insan ini akan memilih bercumbu sambil berendam di dalam bath tub untuk mendapatkan sensasi romatisme yang lebih kuat. Kini kedua tubuh bugil tersebut sudah penuh dengan busa sabun, namun keduanya masih saja terlihat saling berpagutan panas sambil saling merabai tubuh pasangannya. Tak lama Laras melepaskan pagutan bibirnya kemudian mendorong pelan kekasihnya mendekati shower. Ia lalu mengambil gagang shower yang tergantung, lalu mulai membilas busa-busa sabun yang menempel di sekujur tubuh kekasihnya tersebut. Glen bisa merasakan sentuhan jari-jari lentik Laras terasa begitu lembut di seluruh permukaan kulitnya. Merasa tubuhnya sudah bersih, Glen mengambil gagang shower yang dipegang Laras dan giliran laki-laki itu yang membilas tubuh gadis manis tersebut. Berbeda dengan yang dilakukan Laras tadi, usapan tangan Glen lebih menyerupai bentuk eksplorasi ketimbang bilasan. Sambil membilas tubuh kekasihnya, Glen sempat cukup lama meremas-remas payudara montok Laras. Glen merundukkan tubuhnya guna mengulum puting payudara kanan kekasihnya. Cukup lama gundukan daging padat itu amblas ke dalam kuluman dan sedotan mulut Glen sebelum bagian kiri mendapatkan jatah perlakuan yang sama. Laras hanya bisa mengelus-elus rambut Glen sambil merasakan sensasi geli yang menyerang sekujur tubuhnya. Sambil mengulum, tangan Glen terus menjelajah menuruni tubuh mulus tersebut sampai akhirnya mencapai daerah kewanitaan kekasihnya. Bulu-bulu halus di daerah selangkangan Laras terasa begitu lembut di permukaan jari-jari Glen. Bagian tersebut rupanya memang menjadi prioritas, karena tangan Glen terlihat begitu lama berada disana.

“Aaah…!”, Laras mendesah pelan ketika sentuhan tangan Glen mengenai klitorisnya.

Glen melepaskan kulumannya kemudian tersenyum kecil ke arah Laras. Rupanya ia sengaja melakukan hal tersebut untuk menggoda kekasihnya.

“Udah dong say, jangan kelamaan, yang lain belum dibilas nih”, walau dengan tersenyum, namun terdengar nada protes dari kata-kata gadis manis tersebut karena bilasan Glen terlalu berkonsentrasi di daerah selangkangannya, sedangkan bagian-bagian tubuhnya yang lain masih terbalur busa-busa sabun.

“Hehe… sorry, abis enak sih”.

“Kebiasaan deh!”.

“Hehe…”, laki-laki itu hanya kembali tertawa ketika mendengar protes kekasihnya lagi.

Glen pun kemudian melanjutkan bilasannya ke bagian lain dari tubuh kekasihnya. Laki-laki itu begitu mengagumi keindahan tubuh kekasihnya ini. Hampir setiap lekuk tubuh Laras begitu terlihat sempurna di matanya. Apalagi dalam keadaan telanjang dan basah seperti saat ini, tubuh molek ini seakan-akan kian memancarkan pesona daya tarik sensual yang luar biasa. Sebagai laki-laki, Glen merasa benar-benar beruntung karena bisa terpilih untuk menikmati keindahan ciptaan yang Maha Kuasa di hadapannya ini. Birahi kelaki-lakian Glen pun mulai terpancing karenanya. Glen lalu mengangkat satu kaki Laras ke atas bath tub, sehingga gadis manis itu menjadi mengangkang. Laras yang sudah hapal betul kebiasaan kekasihnya ini, ia tahu benar kalau saat ini Glen ingin melakukan penetrasi. Ia pun menopangkan kedua tangannya ke dinding di belakangnya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Glen mematikan shower dan menggantungkan kembali gagangnya kembali ke posisi semula. Kemudian ia memegang batang penisnya yang sudah mengacung dan mengarahkannya ke selangkangan Laras yang telah terbuka lebar. Laras terlihat sedikit memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya. Gadis manis itu seakan-akan mempersiapkan dirinya untuk menerima penetrasi batang penis tersebut ke dalam vaginanya.

“Ooohh…!”, keduanya mendesah hampir bersamaan ketika batang penis Glen perlahan menerobos masuk ke dalam lubang vagina Laras.

Laras merasakan rasa sakit yang teramat sangat ketika berlahan dinding vaginanya membuka akibat batang penis Glen yang menyeruak masuk. Sebenarnya vagina Laras sama sekali belum siap menerima penetrasi penis Glen. Cairan kewanitaan gadis manis itu memang sudah keluar, namun jumlahnya belum cukup untuk melumasi lubang kenikmatan tersebut. Hal ini karena mereka sebelumnya memang tidak sempat melakukan foreplay mengingat waktu yang mereka miliki tidaklah banyak. Gadis manis itu mencoba untuk tidak memperdulikan rasa sakit tersebut dan mencoba menahannya. Berdasarkan pengalamannya, Laras tahu benar kalau semua ini hanya akan ia rasakan di awal permainan saja. Seiring permainan mereka nanti maka berlahan lubang vaginanya akan terus menerus terlumasi cairan cinta dan semua rasa sakit tersebut akan berangsur-angsur menghilang.

“Aaakhh… aakhh…”, Laras berteriak-teriak lirih seiring lesakan demi lesakan penis Glen ke dalam vaginanya. Gadis manis itu kini memeluk tubuh Glen dan mencengkramkan kuat tangannya kuat-kuat pada punggung kekasihnya itu. Sedangkan satu kakinya masih nampak berada di atas bath tub. “Aaakhh…!”, Laras semakin melenguh kencang ketika Glen semakin mempercepat hujaman penisnya.

“Pelan-pelan dikit say, sakit…”.

“Tahan bentar honey, ntar juga enak aahh…”.

“Iya, tapi jangan kenceng-kenceng dulu”.

Glen pun berlahan mengurangi kecepatan hujaman penisnya, walaupun sebenarnya birahinya sudah begitu menggelora. Jika dihitung dari malam setelah acara ulang tahunnya berakhir, ini adalah kali kelima ia menghujamkan batang penisnya ke dalam vagina Laras secara beruntun. Namun tetap saja setiap kali ia menikmati lubang kenikmatan kekasihnya ini, selalu saja ada sensasi baru yang membangkitkan gelora nafsunya. Hal inilah yang membuat Glen seakan-akan tidak pernah bosan menikmati kehangatan tubuh molek kekasihnya ini. Laras memejamkan matanya dan merebahkan kepalanya di pundak Glen. Rasa sakit masih terasa, walaupun tidak separah di awal tadi. Kedua tangan Laras menyilang di belakang leher Glen. Sementara tubuhnya nampak bergoyang-goyang seiring genjotan penis Glen di dalam vaginanya. Rasa sakit di selangkangannya berlahan mulai berkurang karena berlahan Laras bisa cairan kewanitaannya mulai semakin banyak merembes keluar. Gadis manis itu pun akhirnya mulai bisa menikmati persetubuhannya ini, bahkan gairahnya sendiri mulai ikut berlahan bangkit.

“Udah enakan?”.

“Aah… udah…”, sahut Laras pelan.

Mendengar jawaban kekasihnya, Glen mulai kembali mempercepat genjotan penisnya. Laras sendiri masih terlihat memeluk tubuh Glen sambil memejamkan matanya. Tubuhnya berguncang-guncang pelan seirama dengan genjotan penis yang kini mengaduk-aduk lubang vaginanya.

“Aaahh… oooh… aahh…!”, desahan demi desahan terdengar keluar dari kedua mulut insan tersebut.

“Ganti posisi yuk”, ucap Glen.

“Terserah kamu saja aah…”.

Glen lalu mencabut batang penisnya dan mengatur posisi tubuh Laras menjadi menunduk sambil kedua tangannya bertumpu pada pinggiran bath tub. Glen kemudian meremas-remas bongkahan pantat padat Laras, lalu berlahan memasukkan kembali batang penisnya ke dalam vagina Laras dari belakang. Laki-laki itu kemudian menggenjot vagina kekasihnya dengan kecepatan sedang. Sedangkan Laras sendiri merasakan posisi ini jauh lebih nikmat jika dibandingkan dengan posisi awal persetubuhan mereka yang terasa agak kaku.

“Ooh… honey it feels good, enak banget…”.

“Iya say… aah...”.

“Kamu suka?”, tanya Glen.

“Aahh… iya, su.. suka.. terus say…”.

Glen mempercepat genjotannya. Laras sendiri terlihat memperlebar kedua kakinya sehingga penis Glen dapat semakin mudah melakukan penetrasi ke dalam vaginanya.

“Aaakkh… aaakh… aakkh…!”, desahan dan teriakan terus secara bergiliran keluar dari mulut Glen dan Laras. Keduanya terlihat begitu menikmati persetubuhan yang mereka sedang lakukan. Baik Glen maupun Laras seolah-olah sama-sama ingin memberikan pelayanan terbaik untuk pasangannya. Laras berusaha menekan otot-otot vaginanya sehingga bisa menjepit dengan kencang, sedangkan Glen berusaha menghujamkan batang penisnya sedalam mungkin ke dalam lubang kenikmatan Laras.

Setelah hampir puluhan menit persetubuhan ini berlangsung, tubuh keduanya mulai nampak menegang. Kedua insan itu seakan-akan merasakan ada sesuatu yang dasyat ingin meledak dari dalam tubuh mereka masing-masing.

“Say, aku mau keluar nih!”.

“Aku juga honey, tahan sedikit lagi biar kita keluar bareng”.

Glen lalu semakin mempercepat genjotannya. Tubuh keduanya pun berguncang-guncang hebat. Glen dan Laras terlihat begitu ingin mencapai puncak permainan secara bersama.

“Aaakhh… aakhh… aakkh…”, nafas keduanya terdengar menderu kencang.

“Dikit lagi honey!”.

“Terus say… terus…”.

“Aaakhh… aakhh… aakkh…”, Laras merancau di ujung klimaksnya, begitu juga dengan Glen yang terus semakin mempercepat genjotannya.

“Say, aku keluar!”, Laras berteriak. “Aaaakkhhh….!”.

“Aku juga…”, Glen rupanya tidak sempat mencabut batang penisnya sebelum mencapai klimaksnya. “Oooh…!”, cairan putih kental pun tanpa terhalangi menyembur deras memasuki liang vagina Laras. Cairan itu nampak muncrat beberapa kali sebelum akhirnya batang penis Glen berlahan menyusut dan mengecil.

Laras yang semula sempat terlena dengan perasaan nikmat akibat klimaks yang diperolehnya, tiba-tiba tersentak dan tersadar kalau barusan Glen mengeluarkan spermanya di dalam vaginanya. Dengan cepat ia melepaskan pegangannya pada pinggiran bath tub dan segera berdiri. Beruntung beberapa saat tadi Glen sempat melepaskan batang penisnya, jika tidak mungkin penisnya akan tercabut dengan paksa dan pastinya akan terasa menyakitkan.

“Kok ngeluarinnya di dalem sih?”, ucap Laras kesal.

Glen sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa selain mematung melihat Laras menyambarshower kemudian berjongkok dan membasuh vaginanya dengan air. Gadis manis itu berusaha membersihkan lubang kewanitaannya dari sisa-sisa sperma Glen. Ia berharap dapat mencegah sperma Glen agar tidak cukup cepat mencapai rahimnya. Raut wajah Laras sendiri masih menampakkan kekesalan. Setelah beberapa menit dan merasa vaginanya sudah cukup bersih, Laras pun kembali berdiri. Sebuah pelukan mesra langsung menyambutnya dari belakang.

“Maaf ya…”, suara Glen terdengar mesra.

“Kan kemarin aku udah bilang hati-hati, soalnya minggu ini aku lagi subur”.

“Iya, tapi tadi tuh bener-bener nggak sengaja keceplosan”.

Laras hanya diam, dengan dahi yang masih berkerut. Ia meletakkan kembali shower yang dipegangnya kembali ke tempat semula dengan tetap dalam keadaan membisu.

“Jangan cemberut gitu dong pagi-pagi”.

“Habis kamu juga sih!”.

Ciuman mesra pun mendarat di pipi, leher dan bibir Laras. Glen memagut bibir ranum itu cukup lama dengan penuh perasaan, berharap mampu mengurangi rasa kesal kekasihnya.

“Masih kesel?”, ucap Glen setelah melepas pagutan bibirnya.

Laras masih tetap terdiam untuk beberapa saat. Kemudian gadis itu pun menggelengkan kepalanya pelan.

“Makasi ya honey atas pagi yang indah ini”.

Gadis manis itu mengangguk pelan.

“Senyum dong”, goda Glen kepada kekasihnya.

Bukannya tersenyum, malahan Laras kembali mengerutkan dahi dan bibirnya.

“Ye kok malah cemberut lagi? Ayo dong senyum hehe…”, kini Glen menggelitik pinggang Laras yang mau tidak mau membuat tawa gadis manis itu pun pecah.

“Udah dong, geli tau!”, Laras menepis tangan Glen dari pinggangnya.

Keduanya pun kembali berciuman untuk beberapa saat. Bibir kedua insan tersebut berpagutan mesra. Laras rupanya sudah melupakan rasa kesalnya tadi. Setelah cukup lama berpagutan keduanya kembali membersihkan diri dari bekas-bekas percintaan mereka tadi.

“Ayo, kita keluar”, Glen menggandeng tangan Laras.

“Kamu duluan saja, aku masih mau keramas dulu nih”.

OK deh, aku tunggu di luar ya”, Glen pun menghilang dari balik pintu kamar mandi, sedangkan Laras nampak mulai membasahi rambut panjangnya.

Tak lama setelah Glen mengenakan pakaian kerjanya, Laras nampak keluar dari kamar mandi dengan tubuh terbalut handuk berwarna kuning dengan corak garis-garis. Ia berjalan sambil mengelap rambut panjangnya yang basah dengan sebuah handuk yang berukuran lebih kecil. Glen yang berdiri di depan kaca sambil mengenakan dasinya, tersenyum ke arah kekasihnya. Laras pun membalas senyuman tersebut dengan senyuman pula.

Honey, nanti malam aku musti ke luar kota lagi nih”.

“Oh, ada proyek lagi?”, tanya Laras sambil mulai mengelap tubuh sintalnya dengan handuk.

“Iya, ada kerusakan di tower pemancar disana, jadi kita di minta mengecek kerusakannya”.

“Berapa lama?”.

“Mungkin seminggu paling lama”, Glen masih nampak merapikan dasinya. Mereka berbicara tanpa saling memandang satu dengan yang lain. Dengan perantara bayangan kaca di depannya, Glen bisa melihat kekasihnya telah selesai mengeringkan tubuhnya. Kini laki-laki itu bisa melihat Laras berjalan menuju meja kecil tempat ia meletakkan tas yang berisi seluruh pakaiannya dalam keadaan berbalut handuk sebatas dada sampai paha. Walau tertutupi handuk, namun Glen bisa melihat pantat montok kekasihnya bergoyang menggoda ketika berjalan. Ia pun hanya tersenyum kecil melihat pemandangan indah tersebut.

“Sama siapa saja kesana?”, Laras mengeluarkan sebuah hair dyer dari dalam tasnya.

“Sama teknisi dan sopir saja, mungkin sekitar tiga atau empat orang”.

“Cowok semua?”.

Glen berjalan mendekati Laras yang kini telah terlihat duduk di depan meja rias dan mulai mengeringkan rambutnya yang basah dengan menggunakan hair dyer . “Ya iyalah, kenapa emangnya? Cemburu nih ceritanya kalau ada ceweknya? Hehe…”.

“Nggak kok!”, Laras langsung membantah.

“Hehe… Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal lama?”.

“Nggak apa-apa, asal inget bawa oleh-oleh saja hehe…”.

“Iya dong, apa sih yang nggak for my honey bunny sweety”.

Glen mencium pipi Laras dari belakang sambil meremas payudara kekasihnya yang memang belum tertutupi bra. Laras tetap menatap ke arah cermin dan hanya melempar tersenyum kecil atas perbuatan nakal kekasihnya.

“Ya sudah sekarang kamu siap-siap aja dulu, biar aku yang nyiapin sarapan”.

OK…”, Laras menghentikan aktifitasnya, membalikkan kepalanya dan mengecup bibir kekasihnya.

Glen pun kemudian beranjak keluar dari kamar. Dalam keadaan duduk di depan meja rias dengan tubuh hanya berbalut handuk, Laras kembali melanjutkan aktifitasnya mengeringkan rambut. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba terdengar ringtone dari ponselnya menandakan adanya SMS (=short message service) yang masuk. Laras beranjak dari tempat duduknya dan mengambil ponselnya di atas meja yang lain. Rupanya sejak tadi ia tidak menyadari inbox-nya telah dipenuhi oleh beberapa SMS dari nomor yang sama. Laras lalu membuka beberapa SMS tersebut.

Kok ga prnh d bles c? smbong amat!”.

Ktemuan lg yuk”.

Bles dnk!

Klo ga bles lg aq dtng k kntormu lo”.

Laras menghela nafas setelah membaca SMS-SMS tersebut. Si pengirim adalah Aldo, salah satu dari mantan kekasihnya. Aldo atau Laras biasa memanggilnya Dodo, adalah mantan pacarnya ketika masih duduk di bangku kuliah. Sudah lama kisah cinta mereka berakhir dan itu pun harus berakhir melalui sebuah pertengkaran yang hebat. Semula Laras menyukai laki-laki itu karena perawakannya yang keren dan perlente. Namun berlahan Laras mulai tidak menyukai sifat Aldo yang cenderung egois dan keras kepala. Selain itu mantan kekasihnya ini kerap bolos kuliah akibat kebiasaannya dugem. Kisah cinta mereka pun berakhir hanya dalam hitungan bulan.

Kenangan kisah cinta mereka itu sudah lama terhapus dari ingatan Laras, sampai suatu saat mereka bertemu kembali di dalam sebuah acara seminar. Laras sendiri sudah tidak merasakan apa-apa lagi ketika bertemu dengan mantan kekasihnya ini, selain layaknya bertemu teman lama. Hal ini jelas berbeda dengan yang dirasakan oleh Aldo, karena sejak pertemuan itu Aldo hampir setiap hari selalu mengganggu Laras dengan telepon-telepon iseng ataupun SMS-SMS yang tidak jelas tujuannya. Pada dasarnya Aldo mencoba untuk menjalin kembali kisah cinta lama mereka kembali, walaupun Laras sudah dengan tegas mengatakan kalau dirinya kini sudah tidak sendiri lagi. Seperti biasa Laras tidak menggubris SMS tersebut. Gadis itu kemudian mengosongkan inboxponselnya agar Glen tidak sampai membaca SMS-SMS tersebut dan menimbulkan masalah di kemudian hari. Dengan tidak membalas SMS dan mengangkat telepon dari Aldo, Laras berharap mantan kekasihnya ini akan bosan dengan sendirinya dan tidak akan mengganggu kehidupannya lagi. Laras pun kembali melanjutkan aktifitasnya. Beberapa menit kemudian gadis manis itu telah terlihat mengenakan satu set pakaian kerjanya berupa blazer dan rok span berwarna hitam. Ia juga mengenakan syal sutra berwarna merah untuk mempermanis penampilannya. Setelah dirasa semuanya telah rapi, Laras memasukkan pakaian-pakaian lain ke dalam tas besarnya dan juga memasukkan barang-barang pribadinya ke dalam tas jinjing yang akan dibawanya. Kemudian gadis manis itu pun keluar kamar.

“Sudah selesai masak Chef Glen? Hehe…”, Laras menghampiri kekasihnya yang sedang sibuk di dapur dengan membawa sebuah wajan yang nampak berisi telur oseng-oseng.

“Sudah dong! Miss Laras duduk saja di meja makan, sebentar lagi masakan akan siap untuk dihidangkan hehe…”.

Laras tersenyum melihat tingkah kekasihnya yang bertingkah seperti koki profesional. Ia merasa geli saja melihat Glen yang saat ini memakai celemek, namun juga memakai pakaian kerja rapi lengkap dengan dasinya. Laras pun kemudian berjalan menuju meja makan kecil dimana diatasnya telah terhidang dua buah piring berisi nasi goreng serta dua gelas orange juice. Tak lama setelah ia duduk, Glen keluar dari dapur membawa sepiring telur oseng-oseng dan meletakkannya di atas meja.

Bon appetit, Mademoiselle…”, Glen bergaya ala chef dari negeri Perancis mempersilakan tamunya menikmati masakan hasil karyanya.

Laras tersenyum kecil, “Merci beaucoup, Monsieur”.

Kemudian Glen melepas celemek yang digunakannya lalu duduk di hadapan Laras. Keduanya kemudian menikmati sarapan mereka bersama. Keduanya saling menatap mesra sambil sesekali melemparkan senyum. Cinta terlihat begitu jelas terpancar dari wajah kedua insan tersebut. Sebuah cinta yang terasa begitu manis.

********

Tak terlihat namun bisa dirasakan seperti angin

Tenang namun mampu menghanyutkan seperti air

Hangat namun kadang menyengat seperti api

Damai namun kerap bergejolak seperti bumi

Begitulah Cinta

Sebuah misteri Yang Kuasa, untuk ciptaan-Nya.

********

Suasana di kantor.

“Mit, tolongin gue dong!”, Laras mendongakkan kepalanya dari pintu memanggil Mita yang duduk di meja kerjanya.

Mita pun beranjak dari mejanya dan masuk ke dalam ruangan.

“Ada apa Bu?”.

“Aduh! Udah berapa kali sih gue bilangin ke lu kalau jangan panggil gue ibu, kesannya tua banget tau nggak? Panggil gue Laras aja”, Laras yang berdiri di depan komputer langsung sewot. Agaknya beban pekerjaan yang sedemikian menumpuk sedari pagi dan itupun harus ia urus sendiri cukup memancing emosinya.

“Maaf Bu, eh maksud saya maaf mbak Laras”, Mita nampak masih segan memanggil Laras tanpa embel-embel Ibu atau mbak di depan namanya.

Mita masih berdiri di posisinya tadi. Gadis cantik ini adalah pegawai baru di bagian Humas dan Marketing. Umurnya masih 20 tahun dan masuk ke kantor ini dengan menggunakan ijasah D3-nya. Mita sendiri ditempatkan di bagian sekretaris merangkap administrasi atas permintaan Adel. Saat ini ia masih menjalani masa trainning selama 3 bulan dan telah berjalan selama 2 bulan. Adel sangat menyukai cara kerja Mita yang telaten, rapi dan cekatan sehingga mungkin tak perlu waktu lama bagi gadis tersebut untuk bisa diangkat sebagai pegawai tetap. Perawakan Mita sendiri cukup mungil namun proporsional. Rambutnya yang hitam dipotong pendek sebahu dan kadang-kadang ia ikat ekor kuda. Mita tergolong gadis yang cantik dan menarik, namun cenderung kalem dan pemalu.

“Ya udah, lu kesini deh gue bingung lihat hitung-hitungan yang satu ini”, Laras menunjuk ke layar komputer.

Mita kemudian berjalan mendekati tempat Laras di belakang meja.

“Ini hitungan laporan keuangan bagian Marketing yang dibuat Adel kan Mit?”.

“Iya Mbak, memang ini laporan yang terakhir dibuat sama Ibu Adel”.

“Terus sudah di print? Tadi soalnya Pak Gatot nanyain hard copy laporannya”.

“Kayaknya sih udah Mbak, saya dapet liat Ibu Adel ngeprint data ini begitu selesai disusun”.

“Terus lu tahu dimana biasanya ditaruh ama Adel?”.

“Biasanya sih di lemari berkas disana”, Mita menunjuk ke arah lemari berkas berbahan besi bertumpuk tiga di pojok ruangan.

Laras lalu beranjak menuju lemari besi tersebut dan mencoba membukanya.

“Dikunci Mit, lu ada kunci cadangannya nggak?”.

“Nggak ada mbak”.

“Coba lu cek dulu data yang ada di komputer ini sudah bener apa nggak, soalnya gue puyeng nih ngeliat angka sebanyak gini, ntar kalau sudah bener lu print ulang aja deh biar nanti gue yang bawa ke ruangan Pak Gatot”.

“Iya mbak”, Mita pun menggantikan posisi Laras duduk di depan komputer.

Entah untuk berapa lama Laras harus menggantikan posisi Adel. Yang jelas terasa sangat ruwet dan melelahkan menggantikan tugas seorang Manager Humas dan Marketing karena memang Laras bukanlah tipe pekerja gesit dan cekatan seperti Adel. Laras tahu benar kalau Adel bukanlah seorang wanita lemah yang gampang menyerah bila sakit menderanya. Jika memang Adel sampai harus meminta ijin karena sakit, maka sakit yang dialaminya jelaslah sungguh luar biasa. Hal ini pula yang mendasari mengapa sampai detik ini ia tidak menelpon Adel ketika masalah muncul di kantor, karena ia tidak ingin mengganggu sahabatnya tersebut. Walau penuh dengan keluh kesah, semua pekerjaan yang semestinya dikerjakan oleh Adel sudah cukup lumayan dapat Laras jalani dengan baik. Paling tidak, sampai saat ini belum tugas yang dikacaukan oleh tingkahnya yang urakan dan selengean. Juga belum ada data yang tidak sengaja terhapus ataupun file yang hilang oleh sifatnya yang teledor. Bersyukur di kantor ada Mita yang membantunya sehingga ia jadi tidak perlu repot lagi mempelajari semua masalah yang selama ini ditangani Adel. Jika tidak, mungkin Laras akan mengalami stroke ringan apabila harus meng-handle semua pekerjaan rumit seperti ini. Mita memang kerap diminta oleh Adel untuk ikut mempelajari tugas-tugas kantor guna berjaga-jaga seandainya Adel harus meninggalkan kantor untuk beberapa hari.

“Ini mbak”, Mita menyerahkan satu map berkas yang tadi diprintnya kepada Laras.

Thanks ya Mit, sekarang gue ke ruangan Pak Gatot dulu, lu tunggu disini saja siapa tahu ada tamu yang datang”.

“Iya mbak”.

Laras pun beranjak menuju pintu dan berjalan keluar ruangan. Namun belum beberapa langkah berjalan keluar ruangan tiba-tiba seseorang menabraknya dari belakang. Tubrukan itu terjadi lumayan keras sehingga otomatis semua berkas yang dipegang Laras terjatuh dari genggamannya dan berserakan di lantai.

“Pak hati-hati dong, berantakan nih!”, Laras langsung mengomel-ngomel ketika tahu yang menabraknya tadi adalah Pak Darmin, pesuruh di kantor tersebut.

“Ma… maaf Non, bapak nggak sengaja”.

Laras melengos lalu berjongkok memunguti satu persatu kertas-kertas yang berserakan di lantai dan memasukkannya kembali ke dalam map.

“Bantuin dong… bengong aja!”, umpatan kembali keluar dari mulut gadis manis tersebut ketika melihat Pak Darmin hanya berdiri mematung memandanginya.

“Eh, i… iya… Non”, Pak Darmin ikut berjongkok kemudian meletakkan baki kosong yang dipegangnya dilantai. Laki-laki tua berwajah buruk rupa itu lalu ikut membantu Laras mengumpulkan satu persatu kertas yang masih terlihat cukup banyak berserakan di lantai.

“Tuh ambil yang disana sekalian!”.

“I… iya… Non”.

Memang pada dasarnya otak Pak Darmin sudah ter-setting untuk berpikir mesum terhadap Laras, sehingga walau hari masih tergolong pagi namun tetap saja otak mesum laki-laki tua itu tetap mampu berkontraksi dengan otot-otot selangkangan melihat sosok bidadari di hadapannya. Sambil memunguti kertas-kertas yang berserakan di lantai laki-laki tua itu sempat-sempatnya sesekali melirik ke arah kedua paha dan betis Laras. Dalam keadaan berjongkok seperti ini, kedua paha dan betis Laras memang menjadi cukup terekspos. Kedua paha dan betis yang terlihat begitu mulus dan padat karena perawatan khusus yang selalu dilakukan oleh sang pemilik. Pemandangan yang jelas begitu menggoda birahi apalagi saat itu Laras mengenakan rok span pendek berukuran 10 cm diatas lutut. Sayang celah yang terbuka diantara kedua paha tersebut tidak begitu lebar sehingga Pak Darmin tidak begitu jelas melihat apa yang ada di balik rok pendek tersebut. Tapi walau begitu pemandangan itu sudah sangat cukup untuk membangkitkan gairah laki-laki tua itu.

“Apa liat-liat?”.

“Eh, nggak Non”.

“Bawa sini dong!”, kembali Laras berteriak cetus sambil berdiri.

“Eh… I… iya Non”, pikiran kotor Pak Darmin pun langsung lenyap akibat teriakan tersebut. Ia pun lalu berbegas berdiri dan menyerahkan beberapa lembar kertas yang dipegangnya kepada Laras.

“Dasar… bikin repot aja nih!”.

“Ma… maaf Non”, Pak Darmin menjawab singkat.

“Lain kali kalau jalan itu pake mata dong pak!”.

“I… iya Non, maaf”.

Setelah itu Laras langsung beranjak pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata apapun lagi kepada Pak Darmin. Pak Darmin sendiri hanya bisa berdiri terpaku sambil memandang kepergian Laras. Gerakan tubuh Laras ketika berjalan sungguh begitu terlihat indah di mata laki-laki tua itu. Di matanya hampir tidak ada cacat yang terlihat dari tubuh proporsional tersebut. Penilaian ini tentunya hanya sebatas untuk bagian-bagian tubuh yang bisa ditatap langsung oleh mata nakalnya. Sedangkan untuk apa yang tertutupi oleh pakaian, laki-laki tua itu tentu sampai saat ini hanya bisa sebatas membayangkan keindahannya. Semakin lama Pak Darmin semakin terobsesi oleh sosok gadis manis bernama lengkap Larasati Savitri tersebut. Obsesi liar yang ingin sekali ia wujudkan menjadi kenyataan suatu saat nanti.

********

“Hei… belum makan siang nih?”, Heri mendongakkan kepalanya ke dalam ruangan setelah ia mengetuk pintu beberapa kali.

Tak ada jawaban dari yang ditanya. Akhirnya Heri pun masuk ke dalam ruangan tanpa menunggu jawaban.

“Masih sibuk ya Ras?”.

“Iya nih Her, hari ini kerjaan gue numpuknya segudang nih!”, Laras menjawab tanpa melepaskan pandangannya dari layar komputer”.

“Ah? Sejak kapan cewek kayak lu dipindahin ke bagian gudang? Tega amat! Haha…”.

“Gudang lu dari Hongkong?! Maksud gue ini nih!”, Laras langsung mengomel dan menunjuk ke arah tumpukan berkas dan map di atas mejanya di samping komputer.

“Iya, iya gue tahu jangan ngambek gitu dong hehe…”, Heri lalu berjalan mendekat. “Ada yang bisa gue bantu nggak?”.

Heri adalah seorang pegawai yang bertugas di bagian tata usaha, namun kadang diperbantukan pula di bagian perlengkapan. Laki-laki bertubuh kurus dengan potongan rambut pendek belah dua tengah tersebut, berusia setahun lebih tua dari Laras. Sudah sejak lama sebenarnya Heri menaruh hati pada Laras, namun karena mendengar gadis manis itu telah memiliki kekasih ia pun memilih untuk memendam perasaannya. Memandang dan bercengkrama dengan gadis pujaan hatinya ini setiap hari sudah menjadi hal yang sangat membahagiakan bagi dirinya, termasuk melihat senyum Laras yang begitu terlihat indah di matanya. Laki-laki muda itu tahu benar kalau Laras saat ini hanya menganggapnya teman biasa, tapi paling tidak dengan begini ia bisa terus berada dekat dengan gadis pujaan hatinya itu setiap hari. Ia tahu ia harus tetap memendam cintanya, sampai mungkin suatu saat nanti ia bisa menemukan momen yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung. Cinta terpendam memang kadang terasa menyesakkan di dada, namun tidak ada lagi yang bisa Heri lakukan saat ini selain menahan rasa sesak tersebut dan menjalani kesemuanya dengan “normal”.

“Hari ini lu ada keluar nggak?”, Laras pun akhirnya melepaskan pandangannya dari layar komputer.

“Ada sih, ntar gue disuruh nganterin pakaian-pakaian untuk pemotretan besok ke studio”.

“Kalau gitu tolong sekalian beliin gue makanan dong, kayaknya gue nggak bakal bisa keluar kantor nih seharian”.

OK deh nona manis, Heri siap membantu hehe… memang mau makan apa?”.

“Hhhmmm… apa ya?”, Laras nampak mengerutkan dahinya sejenak. “Nasi campur di jalan *** aja deh, lu lewat sana nggak ntar?”.

“Ah itu sih bisa diatur, gampang deh ntar gue beliin”.

Thanks ya Her, sorry nih ngerepotin hehe…”, Senyuman manis pun tersungging di bibir gadis tersebut. Senyuman yang memang selalu dinanti Heri setiap harinya, jauh melebihi penantiannya terhadap apapun di dunia ini.

“Nggak apa-apa kok, nyante aja”.

Heri pun beranjak pergi meninggalkan ruangan tersebut.

“Eh Her! Satu lagi…”, Laras berteriak ketika Heri sampai di depan pintu.

“Apa lagi nona manis?”.

“Jangan lupa sambelnya dibanyakin, tambah krupuk and nggak pake lama ya, cacing-cacing di perut gue udah pada demo nih minta di subsidi hehehe…”.

“Ih dasar, cantik-cantik kok cacingan! Hahaha…”.

Laras hanya menjulurkan lidahnya menanggapi kata-kata Heri tadi. “Tolong ya…”, ucap Laras lagi dengan nada manja.

“Beres bos, hitung aja dari satu ampe satu milyar, sebelum hitungannya selesai gue pasti udah balik kok hahaha…”.

Heri pun menghilang dari balik pintu setelah sukses membuat manyun gadis manis tersebut.

********

Sementara itu di tempat lain, masih di hari yang sama.

Desi

Telepon berbunyi di atas meja. Seorang wanita berparas cantik ber-make up naturalis yang nampak sibuk memperhatikan beberapa berkas di atas meja kerjanya kemudian nampak mengangkat gagang telepon tersebut.

“Halo selamat siang, Bank *** dengan Ecy disini, ada yang bisa dibantu?”.

“Ibu Desi, bisa tolong ke ruangan saya sebentar”.

“Baik Pak, saya segera kesana”.

Wanita cantik itu pun berdiri dari tempat duduknya. Setelah merapikan beberapa lembar kertas dan map di atas meja kerjanya, wanita itu pun berjalan menuju sebuah ruangan tak jauh dari tempatnya tadi. Dari gerak tubuhnya terlihat sekali sisi feminisme dan keeleganan yang terpancar pada sosok wanita dewasa tersebut. Apalagi dibalut dengan pakaian kerja yang dikenakannya saat ini kian menambah pesona keelokan tubuh wanita tersebut. Wanita cantik itu adalah Desiany Lestari, biasa dipanggil Ecy atau Desi. Sosok wanita dewasa ini adalah kakak kandung kedua dari Adelia. Sama seperti adik kandungnya, di usia yang bisa dikatakan relatif sangat muda, 29 tahun, Ecy telah memiliki karier yang cemerlang. Wanita cantik ini sudah dipercaya sebagai manager keuangan dan fiskal di sebuah bank swasta. Sungguh suatu tanggung jawab yang sangat besar, dimana sirkulasi keuangan yang melewati manajemen bank tersebut sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Namun rupanya Ecy cukup mampu dan cekatan memikul tanggung jawab tersebut karena kian hari memang kariernya terlihat kian menanjak.

“Permisi Pak”, Ecy membuka pintu ruangan setelah sebelumnya mengetuk beberapa kali.

“Silakan masuk”.

Ecy pun beranjak masuk ke dalam ruangan dan perlahan menutup kembali pintu ruangan tersebut. Di belakang meja duduk seorang laki-laki paruh baya bertubuh tambun. Laki-laki itu jelas bukanlah orang sembarangan di kantor ini jika dilihat dari bahasa tubuh dan pakaian yang dikenakan. Setelan jas dan kemeja lengkap dengan dasi sangat terlihat berkelas, ber-merk dan jelas berharga mahal. Jam tangan dan sepatu yang dikenakan laki-laki tersebut mungkin senilai dengan lima bulan gaji pegawai biasa di kantor tersebut. Namun dengan segala kementerengan tersebut hanya satu kekurangan laki-laki tersebut, yaitu penampilan fisiknya. Wajah laki-laki itu sangat jauh dari unsur tampan, bahkan kalau harus di perhalus mungkin kita bisa mengatakan tidak cukup menarik. Rambut di kepalanya hanya tersisa di bagian-bagian pinggir sedangkan diatasnya sudah mengalami kebotakan. Kulit wajahnya penuh bopeng-bopeng bekas jerawat. Laki-laki itu adalah Pak Baskoro, Direktur Utama dari bank tempat Ecy bekerja.

“Maaf Pak, ada yang bisa saya bantu?”.

“Silakan duduk dulu”.

“Terima kasih Pak”.

Ecy menggeser kursi yang ada di depannya, kemudian duduk di depan Pak Baskoro. Laki-laki paruh baya itu sama sekali tidak menoleh ke arah Ecy. Ia nampak sibuk menandatangani beberapa tumpukan berkas yang ada di atas meja kerjanya. Setelah selesai menandatangani berkas-berkas tersebut, Pak Baskoro kemudian merapikannya dan memasukkannya kembali ke dalam map.

“Eehem…!”, Pak Baskoro berdehem. Ia lalu mengambil gelas air di ujung mejanya kemudian meminumnya. Setelah itu ia meletakkannya kembali di tempatnya semula.

Ecy sendiri terlihat hanya menunduk dan berdiam diri.

“Begini Ibu Desi, saya memanggil Ibu terkait dengan masalah proses pemberian kredit atas permohonan yang diajukan oleh PT. ***”.

“Memang ada masalah dengan permohonan kredit PT. *** Pak?”.

“Sama sekali tidak ada masalah dengan proses pengucuran dananya, namun yang menjadi masalah adalah pasca pengucuran dana kredit tersebut”.

“Pasca pengucuran kredit? Maksud Bapak?”.

“Apa Ibu tidak mendengar kalau kemarin putusan pengadilan telah memutus PT. *** pailit atau dengan kata lain bangkrut?”.

“Bangkrut Pak?”, Ecy cukup terkejut mendengar berita tersebut.

“Iya bangkrut, dan untuk sementara ini aset perusahaan itu telah dibekukan sambil menunggu perkembangan audit oleh kurator terhadap aset kekayaan total perusahaan baik di dalam maupun di luar negeri”.

Pak Baskoro lalu mengambil sebuah map berwarna merah dari dalam laci meja kerjanya dan menyerahkannya kepada Ecy. Ecy kemudian menerimannya dan berlahan membuka halaman berkas tersebut satu persatu.

“Itu adalah salinan putusan pengadilan, kita diberikan salinannya karena bank kita adalah menjadi salah satu debitur dari perusahaan tersebut. Dengan telah dikabulkannya permohonan pailitnya PT. ***, tentu Ibu Desi tahu apa konsekuensi terhadap bank kita?”.


Pak Baskoro
“Iya Pak”, ucap Ecy lemah.

“Apa konsekuensinya Bu?”

“Kredit yang telah kita kucurkan beserta dengan bunganya kemungkinan tidak akan bisa kembali sepenuhnya”.

“Benar… dan itu juga berarti bank kita akan mengalami kerugian yang sangat besar”.

Ecy sama sekali tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tahu benar kalau selama proses penilaian dan studi kelayakan pemberian kredit terhadap PT. *** dirinyalah yang memegang tanggung jawab penuh terhadap pengucuran dananya. Tapi saat itu, hasil studi menunjukkan kalau kondisi keuangan perusahaan tersebut sangatlah baik, sehingga diperkirakan akan mampu mengembalikan kredit yang mereka mohonkan beserta dengan bunganya terhitung selama lima tahun. Namun jika semua ternyata justru terjadi sebaliknya, maka jelas terdapat kesalahan atau pemalsuan data-data yang diberikan oleh perusahaan tersebut kepada pihak bank. Ecy benar-benar menyesal kenapa ia bisa begitu ceroboh dengan tidak melakukan cross check dengan teliti terhadap data-data tersebut.

“Ibu Desi tentu bisa menghitung sendiri kerugian yang mungkin akan kita alami. Ibu juga tentu tahu siapa yang paling bertanggung jawab atas semua kerugian ini”.

Ecy tetap hanya bisa membisu. Ia benar-benar tidak terbayang kalau kejadian seperti ini bisa menimpa dirinya. Saat ini Ecy benar-benar merasa seperti orang yang paling bodoh sekaligus orang yang paling sial sedunia. Wanita cantik ini sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana cara dirinya harus mempertanggungjawabkan kerugian ini. Bahkan mungkin konsekuensi yang paling buruk adalah mengalami pemecatan atau bahkan sanksi pidana berupa penjara. Ini berarti pemasukan bulanan untuk rumah tangganya akan berhenti, sedangkan saat ini tidak ada suami yang bisa ia andalkan untuk membiayai hidupnya serta anak semata wayangnya, Joshua. Hal ini jelas akan menjadi sesuatu berat bagi kehidupan Ecy yang memang saat ini sudah terasa sangat berat.

“Ada yang ingin Ibu sampaikan?”.

Ecy hanya bisa menunduk. Ia pun kemudian hanya bisa menggeleng dan berkata pelan, “Tidak ada Pak, ini semua memang kesalahan saya”.

“Bagus kalau Ibu sudah mengerti situasinya dengan jelas”, Pak Baskoro kemudian kembali mengambil sebuah map dari meja kerjanya. Laki-laki bertubuh tambun itu lalu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan mendekati Ecy. Ia kemudian duduk di tepian meja kerjanya, tepat disamping Ecy. “OK, saya sudah menyampaikan berita buruknya, sekarang saya akan menyampaikan berita baiknya untuk Ibu”.

“Maksud Bapak?”.

“Saya sudah dapat membicarakan masalah ini dengan Pak Candra, Komisaris Utama sekaligus pemilik dari PT. *** dan kami sudah memperoleh kesepakatan tentang cara penyelesaian hutang piutang terkait kredit yang telah dikucurkan oleh bank kita lengkap dengan bunganya. Bahkan kami juga sudah menyusun draft perjanjian terkait penyelesaian hutang piutang tersebut”.

Pak Baskoro lalu menyerahkan sebuah map berwarna biru yang dipegangnya kepada Ecy.

“Itu adalah draft perjanjian yang kami susun, Ibu bisa membacanya sendiri”.

Ecy menerima map tersebut, kemudian membukanya. Di dalamnya ada tiga lembar kertas, lalu ia pun mulai membaca isi yang tertulis di dalamnya. Isi perjanjian tersebut memang mengatakan kalau bank tempatnya bekerja mendapatkan prioritas utama untuk diselesaikan hutang piutangnya dan apabila aset yang ada kurang, maka harta kekayaan pribadi Komisaris beserta dengan Direksi sepenuhnya akan digunakan untuk mengganti kerugian tersebut. Hal ini sungguh suatu yang sangat menggembirakan bagi Ecy, karena memang ini berarti masih ada pemecahan terhadap masalah yang dihadapinya.

“Jadi masalah Ibu akan segera teratasi apabila perjanjian ini ditandatangani nanti. Sayangnya, hanya ada satu masalah yang sedikit mengganjal di dalam tercapainya kesepakatan antara saya dengan Pak Candra dan masalah itu ada kaitannya dengan Ibu Desi”.

“Saya Pak?”.

“Iya… Ibu…, Pak Candra menginginkan adanya sebuah klausul tidak tertulis di dalam perjanjian di mana Ibu Desi memiliki peranan yang besar di dalamnya”.

“Saya tidak mengerti Pak”.

Pak Baskoro kembali berdiri kemudian berjalan pelan menuju ke belakang Ecy.

“Selama proses negosiasi permohonan kredit Pak Candra mengatakan kepada saya, kalau Beliau menaruh perhatian spesial kepada Ibu Desi, bahkan semakin hari Beliau menjadi semakin terobsesi akan sosok Ibu. Ketika masalah ini muncul dan mendengar Ibu kemungkinan akan terseret ke dalam kasus ini, maka Beliau bersedia mengeluarkan uang dari rekening pribadinya untuk mengganti kerugian bank kita asalkan Ibu Desi terbebas dari jeratan hukum”.

Sesaat Pak Baskoro terdiam. Sedangkan Ecy masih hanya bisa menunduk, namun di dalam hati kecilnya seolah-olah ia bisa membaca arah pembicaraan bosnya ini. Ada perasaan tidak enak di dalam dirinya, seolah-olah mengatakan kalau semua ini akan berimbas tidak baik untuk dirinya.

“Eehem…!”, Pak Baskoro berdehem sebelum melanjutkan kata-katanya. “Sebagai konsekuensi atas kesediaan Pak Candra untuk mengeluarkan dana pribadinya demi Ibu, maka Beliau menginginkan Ibu Desi untuk menukar uang sejumlah tersebut dengan kehangatan tubuh molek Ibu”.

Bagaikan tersambar petir Ecy bergitu tersentak mendengar kata-kata atasannya tadi. Ia benar-benar tidak menyangka laki-laki yang begitu ia hormati bisa mengeluarkan kata-kata sekotor dan sehina itu. Bagaimana bisa atasannya ini menyetujui perjanjian yang jelas-jelas akan merugikan dan menyudutkan dirinya dalam keadaan serba salah seperti ini. Ecy terlihat begitu shock, sehingga kini ia hanya bisa duduk mematung dengan tatapan kosong.

“Ibu tidak perlu menjawabnya saat ini juga, Ibu bisa memikirkannya dulu matang-matang di rumah, namun saya minta besok Ibu sudah bisa memberikan jawaban”, Pak Baskoro kemudian kembali berjalan menuju ke belakang mejanya dan duduk di kursinya. “Sekarang saya akan coba mempertegas lagi posisi Ibu saat ini, Ibu Desi bisa memilih untuk mempertanggungjawabkan seluruh kerugian yang dialami bank dan menggantinya dengan sejumlah uang, dimana bila Ibu tidak mampu melakukannya maka bank akan menempuh jalur hukum atau di pihak lain Ibu bisa memenuhi permintaan Pak Candra mungkin hanya untuk beberapa hari saja dan masalah ini kita anggap selesai”.

Ecy terlihat masih shock dan masih belum bisa berkata apa-apa. Pak Baskoro melihat ekspresi kosong bawahannya ini dengan tersenyum kecil.

“Ibu Desi tentu tahu pilihan terbaik yang harus Ibu pilih demi masa depan Ibu dan anak Ibu”.

Wanita cantik itu pun kembali tersentak ketika Pak Baskoro menyebut-nyebut mengenai anaknya. Apa yang dikatakan atasannya yang berhati jahat ini memang benar adanya. Masalah ini memang tidak hanya menyangkut dirinya saja, tetapi juga menyangkut anaknya Joshua, satu-satunya yang tersisa dari hubungan rumah tangganya yang telah lama hancur.

“Sekarang Ibu boleh keluar dan melanjutkan kembali pekerjaan Ibu, tapi ingat besok saya akan meminta jawaban Ibu atas permasalahan ini”.

Ecy segera beranjak dari tempat duduknya. Wanita cantik lalu langsung berjalan keluar dari ruangan tersebut tanpa sama sekali melihat kembali ke arah atasannya tersebut. Sedangkan Pak Baskoro terlihat hanya tersenyum melihat Ecy yang berjalan menuju pintu dan kemudian menghilang dari baliknya. Senyuman itu seakan-akan memperlihatkan kalau dirinya tahu benar apa jawaban yang akan diberikan oleh bawahan cantiknya tersebut esok hari.

********

Malam harinya Ecy sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Ia masih terus terbayang-bayang kata-kata gila Pak Baskoro sore tadi. Bagaimana mungkin seorang pimpinan yang begitu ia hormati bisa sedemikian tega menukar dirinya demi mencapai kesepakatan dengan rekan bisnisnya. Semua masalah ini memang berawal dari dirinya, namun Ecy sama sekali tidak bisa menerima kalau ia sampai harus mempertanggungjawabkan semua masalah ini dengan menggunakan tubuhnya sebagai imbalan. Ecy membuka sedikit pintu kamar Joshua dan memandang ke arah anak kandungnya yang kini sedang tertidur di ranjang. Sebagai seorang ibu tentunya Ecy sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Jos seandainya ia harus berurusan dengan hukum dan pengadilan. Tentu ia tidak bisa menyerahkan begitu saja Jos kepada mantan suaminya, karena mantan suaminya tersebut kini telah memiliki keluarganya sendiri. Tentu Jos sendiri tidak akan bisa hidup dalam keluarga baru dengan status sebagai anak tiri. Pepatah memang mengatakan kalau kasih anak sepanjang galah dan kasih ibu sepanjang masa, namun jika ia mengutamakan cintanya kepada Jos maka itu berarti ia harus memilih untuk menyerahkan tubuhnya kepada laki-laki lain yang bukan suaminya dan masih berstatus suami orang. Hal inilah yang membuatnya begitu bingung karena jika ia menerima permintaan tersebut berarti ia melakukan dosa yang luar biasa karena melakukan perzinahan. Ecy memang seperti layaknya Adel, adalah juga wanita bertipe konservatif yang tidak suka berganti-ganti pasangan. Perbedaan antara dua saudara kandung ini adalah jika Adel pernah merasakan nikmatnya persetubuhan tidak hanya dengan satu laki-laki, maka Ecy merengkuh kenikmatan duniawi tersebut hanya dengan satu laki-laki. Ecy memang sebenarnya telah hamil sebelum melangsungkan pernikahan, namun laki-laki yang memerawaninya sekaligus menanamkan benih di rahimnya hanyalah mantan suaminya seorang. Setelah bercerai Ecy sama sekali tidak pernah melakukan hubungan intim dengan laki-laki manapun juga. Dengan wajah cantik dan tubuh yang indah, memang membuat banyak laki-laki yang coba untuk mendekati Ecy dan ingin menjadi pendamping hidupnya yang baru. Namun Ecy merasa belum menemukan adanya kecocokan dari mereka semua. Akhirnya wanita cantik ini pun memilih untuk tetap hidup sendiri. Ecy lalu menutup pintu kamar Jos dan beranjak menuju ke kamarnya sendiri. Di dalam kamar wanita cantik itu merebahkan tubuhnya. Dengan hanya berbalut gaun tidur berwarna hitam tipis, lekuk-lekuk tubuh sempurna Ecy terlihat begitu indah di atas ranjang. Memang ranjang tersebut sampai saat ini terasa begitu dingin, namun itu tentu tidak bisa menjadi pembenar bagi Ecy apabila ia terpaksa memilih untuk menyerahkan tubuhnya. Kehangatan cinta sejati tentu sangatlah berbeda dengan kehangatan yang ia peroleh hanya beralaskan nafsu belaka. Tanpa diinginkan air mata pun mulai mengalir dari kedua mata indahnya. Pergolakan batin itu pun terus berkecambuk di dalam diri Ecy, sampai akhirnya wanita cantik itu terlelap dalam tidurnya.

********

Keesokan harinya.

“Ooohhh… ssshh… ohhh… aaahh…”.

Terdengar suara desahan lirih dari dalam kamar mandi. Suara itu mungkin tidak akan terdengar begitu jelas oleh orang-orang yang kebetulan lewat dari luar, kecuali memang orang tersebut menempelkan telingannya di pintu kamar mandi. Di dalam ruangan kecil tersebut nampak seorang laki-laki tua sedang mengocok batang penisnya yang sudah terlihat menegang hebat menggunakan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya terlihat memegang sebuah ponsel dimana di layar ponsel tersebut terpampang foto wajah seorang gadis cantik.

“Aaah… ssshh… Oohh…”.

Walaupun sudah terlihat berumur cukup lanjut namun batang penis laki-laki tua tersebut terlihat begitu kokoh. Ukuran yang panjang, ditambah diameter yang lebar serta urat-urat yang kekar seolah-olah memperlihatkan betapa hebatnya kekuatan laki-laki tua tersebut diatas ranjang. Hal ini juga menunjukkan bagaimana tingginya nafsu birahi laki-laki tua tersebut. Kocokan laki-laki itu semakin kencang seiring foto-foto di layar ponselnya terus berganti pose dengan gambar gadis yang tetap sama. Laki-laki tua itu adalah Pak Darmin, sang pesuruh kantor. Sedangkan foto gadis di layar ponselnya adalah foto Laras, gadis idaman di dalam mimpi-mimpi mesumnya. Foto-foto tersebut jelas diambil secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan sang gadis. Memang kian hari obsesi Pak Darmin terhadap Laras kian tak terbendung. Ingin sekali rasanya ia memeluk tubuh molek gadis manis tersebut dan menikmati kehangatannya. Namun Pak Darmin jelas tahu benar kalau ia tidak bisa mengatakan niatnya tersebut secara langsung kepada sang gadis. Ia sadar kalau status dirinya di kantor tersebut hanya pegawai rendahan. Selain itu sosok nya yang menyerupai buruh kasar dan berperawakan buruk rupa jelas tidak akan menarik di mata Laras. Sehingga saat ini ia hanya bisa menjadikan Laras sebagai objek fantasi seksualnya setiap kali melakukan self service. Pak Darmin sendiri berperawakan pendek dengan rambut keriting dan keriput menghiasi wajah serta sekujur kulit tubuh yang memang telah termakan usia. Saat ini Pak Darmin masih memiliki seorang istri, tapi istrinya berada jauh di kampung. Ia baru bisa menemui istri, anak-anak dan cucu-cucunya hanya setahun sekali karena memang biaya untuk pulang ke kampung akan cukup menguras koceknya yang pas-pasan. Akibatnya, kebutuhan biologis laki-laki tua itu menjadi tidak tersalurkan padahal ia termasuk laki-laki dengan tingkat libido yang tinggi. Bertemu dengan wanita-wanita cantik, entah itu para model ataupun pegawai-pegawai yang kerap kali berseliweran di depannya kian menyiksa birahi Pak Darmin. Dorongan untuk menyalurkan libido pun kian hari kian tak tertahankan.

“Oohh… Non Laras… aahh…”, Pak Darmin merancau lirih.

Laki-laki tua itu pun terpaksa menambah sabun di penisnya karena kocokannya mulai terasa seret. Termasuk cukup gila juga Pak Darmin melakukan coli di kamar mandi kantor dimana setiap waktu bisa saja ada seseorang yang masuk ke dalamnya. Namun apabila nafsu sudah menjadi raja maka akal sehat otomatis akan terpinggirkan. Beruntung saat itu memang sedang waktunya makan siang, sehingga hanya tersisa beberapa pegawai saja yang berada di kantor.

“Ooohhh… ohhh… oooh…”, Pak Darmin kian mempercepat kocokannya, apalagi ketika di layar ponselnya memperlihatkan foto pantat Laras yang montok ketika berjongkok.

Setelah beberapa menit melakukan aktifitas onani, akhirnya tiba juga laki-laki tua itu pada puncak permainan. “Croot… croot… croot!”, batang kokoh itu pun menyemburkan beberapa kali cairan putih kental dari ujungnya. Cairan itu muncrat ke dalam lubang kloset. Pak Darmin nampak terpejam dan menikmati betul rasa nikmat yang diperolehnya walaupun tentunya rasa nikmat itu tidak sebanding dengan rasa nikmat apabila melakukan persetubuhan secara langsung. Ketika Pak Darmin tersadar dari belenggu birahinya dan hendak membersihkan sisa sperma di penisnya, laki-laki tua itu baru menyadari kalau dari luar ruangan tempatnya berada kini terdengar beberapa kali bentakan dan teriakan yang sangat keras. Suara teriakan tersebut terdengar seperti beberapa orang yang sedang berkelahi. Pak Darmin pun segera membersihkan diri dan bergegas mengenakan kembali celananya. Laki-laki tua itu keluar dari dalam kamar mandi dan dengan segera berlari menuju ke sumber suara. Suara-suara teriakan tersebut terdengar semakin kencang ketika Pak Darmin mendekati ruangan utama di kantor tersebut. Suara tersebut terdengar seperti suara seorang laki-laki. Begitu Pak Darmin memasuki ruangan tersebut ia melihat seorang pemuda dengan gaya berpakaian casualsedang meronta sambil berteriak-teriak karena kedua tangannya di pegangi oleh kedua satpam kantor. Sedangkan di depan pemuda tersebut berdiri Laras dengan didampingi beberapa karyawan lain yang tidak keluar makan siang hari itu. Laki-laki tua itu pun memilih untuk melihat kejadian itu dari kejauhan. Agaknya Pak Darmin memilih untuk memperhatikan dahulu apa yang sebenarnya terjadi di ruangan tersebut.

“Gue punya hak kok datang kesini Ras, lu nggak bisa ngusir-ngusir gue kayak gini!”.

“Iya, tapi bukan dalam kondisi nggak waras kayak gini Do! Ini tempat umum”.

“Gue itu cinta mati ama lu Ras, tapi kenapa sih dulu lu ninggalin gue? Kenapa Ras?”.

“Do, gue itu sudah nggak tahan jalan bareng lagi ama lu, berapa kali sih gue musti jelasin ke lu? Kita itu sudah nggak ada kecocokan lagi”.

“Gue nggak peduli pokoknya gue mau balik ama lu!”.

“Nggak bisa Do, beneran nggak bisa!”.

Pemuda itu terus meronta dan berteriak-teriak. Kedua satpam kantor yang kini memegang kedua tangannya terus berusaha menyeretnya keluar ruangan, namun pemuda tersebut tetap berusaha untuk bertahan. Pemuda itu adalah Aldo, mantan kekasih Laras yang kerap menerornya beberapa minggu ini. Entah kenapa tiba-tiba saja Aldo muncul di dalam kantor tersebut dan langsung menarik Laras keluar dari ruangan dan memaksa untuk mengikutinya meninggalkan kantor. Beruntung satpam kantor tersebut dengan sigap menangkap laki-laki tersebut sebelum melakukan hal-hal yang lebih gila lagi kepada gadis manis tersebut. Namun dari ekspresi wajah Laras nampak sekali kalau ia begitu shock atas kejadian ini.

“Lepasin! Lepasin gue!”, Aldo terus meronta namun pegangan kedua satpam tersebut justru semakin kencang mencengkeram kedua lengannya. “Anjing lu pada, lepasin gue!”.

“Do, mending lu pergi deh sekarang, nggak enak di lihat orang-orang”.

“Gue nggak bakal pergi Ras sebelum lu bilang kalau lu mau balik sama gue!”.

“Lu jangan keras kepala gitu dong, hubungan kita itu sudah selesai sejak dulu”, Laras hampir menangis melihat tingkah Aldo yang menggila dan kekanak-kanakan seperti ini.

Ia benar-benar malu karena pemuda di hadapannya ini mengumbar masalah yang seharusnya bersifat pribadi di depan teman-teman kantornya seperti sekarang. Dua orang pegawai wanita yang tadinya berdiri di samping Laras, kini memegang tubuh Laras karena melihat gadis manis itu mulai terlihat limbung dan kehilangan keseimbangannya. Sementara masih di tempatnya semula Pak Darmin nampak terus mengawasi apa yang sedang terjadi. Tatap matanya terlihat begitu tajam memperhatikan sosok laki-laki yang saat ini sedang berteriak-teriak ke arah Laras.

“Bilang kalau lu mau balik ke gue Ras!”.

“Do, lu tu sakit jiwa tahu nggak!”.

“Lu boleh bilang apa saja, gue cinta lu Ras, tolong balik ke gue!”.

“Nggak Do, nggak mungkin”.

Kini dua orang pegawai laki-laki ikut memegangi tubuh pemuda tersebut. Tak lama mereka pun kemudian berhasil menarik tubuh Aldo keluar dari ruangan tersebut. Aldo sendiri nampak masih terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri.

“Anjing… Bangsat! Lepasin gue! Lepasin gue!”, rontaan laki-laki tersebut semakin liar ketika keempat laki-laki tersebut berhasil menarik dirinya menjauhi Laras.

Kedua kakinya menendang-nendang kesegala arah dengan kesetanan. Umpatan-umpatan kasar pun terus keluar dari mulut laki-laki tersebut.

“Gue nggak bakal berhenti sampai lu bilang iya Ras, lu denger? Gue cinta lu Ras! Gue nggak bakal berhenti sampai gue ngedapetin lu lagi!”, teriak Aldo ditengah rontaannya.

Akhirnya Aldo pun berhasil ditarik keluar dari ruangan tersebut. Berlahan teriakan-teriakan Aldo terdengar semakin kecil dan kemudian menghilang. Laras berhasil menahan dirinya untuk tidak menangis, namun di dalam hatinya terbersit ketakutan dan perasaan was-was melihat kegilaan mantan kekasihnya tadi. Apalagi ditambah kata-kata Aldo yang mengatakan kalau dirinya tidak akan menghentikan kegilaannya ini. Laras hanya bisa merinding membayangkan hal gila apa lagi yang mungkin bisa dilakukan oleh laki-laki tersebut. Setelah berkali-laki meminta maaf kepada rekan-rekan kantornya, Laras pun kembali memasuki ruangannya. Pegawai-pegawai yang tadi berkerumun pun mulai membubarkan diri dan kembali ke tempat mereka masing-masing. Di dalam ruangan Laras menghempaskan dirinya di kursi. Ia lalu menopangkan kepalanya dengan kedua tangan di atas meja. Kepalanya terasa benar-benar pusing akibat kejadian yang baru saja terjadi. Rupanya Laras yang semula mengira kalau dengan cara tidak membalas dan mengangkat telepon dari Aldo maka laki-laki itu akan berhenti mengganggunya, ternyata tidak terealisasi. Justru kini Aldo menjadi semakin nekat dengan datang langsung ke kantornya. Hari ini beban pikirannya pun semakin bertambah, menambah berat hari ini yang memang telah terasa berat. Bagaimana tidak, di satu sisi gadis manis ini masih harus menggantikan posisi Adel yang masih belum juga kembali bekerja sedangkan di sisi lain Aldo datang di saat yang tidak tepat untuk mengacau di kantor ini.

“Maaf mbak Laras, ada yang bisa saya bantu?”, Laras baru menyadari kalau Minta rupanya tadi mengikutinya masuk ke dalam ruangan. Ia pun membuka kedua matanya dan menoleh ke arah Mita.

“Nggak ada Mit, lu keluar aja, gue lagi pengen sendiri nih”.

“Iya mbak”, Mita pun hendak beranjak keluar ruangan.

“Eh Mit, kalau ada tamu yang nggak begitu penting tolong lu handle sendiri aja dulu ya”.

Mita hanya mengangguk dan melanjutkan langkahnya. Sedangkan di lain pihak, Pak Darmin yang sedari tadi melihat kejadian tersebut dari kejauhan justru terlihat tersenyum. Sebuah senyuman penuh kelicikan. Entah pikiran jahat apa yang kini sedang melintas di dalam otak kotornya. Yang jelas kini laki-laki tua tersebut terlihat berjalan menuju ke luar ruangan tersebut, dengan tetap meyunggingkan senyumannnya. Senyuman yang penuh dengan kemisteriusan.

********

“Sepertinya saya tidak perlu berbasa-basi lagi, jadi bagaimana jawaban Ibu?”.

Akhirnya saat-saat yang paling ditakuti Ecy terjadi juga di hari ini. Wanita berparas cantik itu harus kembali duduk di depan atasannya yang ternyata berotak mesum dan berhati iblis. Parahnya lagi kini ia harus memberikan jawaban atas permintaan tidak waras yang disampaikan oleh atasannya ini kemarin. Jawaban yang sama sekali belum ia temukan walaupun telah ia pikirkan sepanjang malam. Ecy pun hanya terlihat duduk sambil menundukkan wajahnya.

“Bagaimana Bu?”.

Ecy masih belum bisa mengeluarkan kata-kata. Wanita cantik itu sampai saat ini tetap hanya bisa menunduk.

“Baiklah, kalau begitu kembali saya akan pertegas pilihan yang saya berikan kemarin. Opsi pertama, Ibu bersedia mempertanggungjawabkan segala kerugian yang dialami oleh bank, termasuk apabila masalah ini sampai ke ranah hukum atau opsi kedua permasalahan kredit ini akan diselesaikan secara pribadi oleh Pak Candra, tapi itu berarti Ibu bersedia untuk memenuhi klausul perjanjian yang ditawarkan oleh Beliau”. Sesaat Pak Baskoro berhenti berbicara, “Opsi mana yang akan ibu pilih?”.

Kata-kata yang keluar dari mulut Pak Baskoro terdengar begitu tenang dan berwibawa. Namun bagi Ecy kata-kata itu terdengar seperti musik horor di telinganya. Semua opsi yang diberikan oleh laki-laki bertubuh tambun di hadapannya ini masih tetap seperti yang didengarnya kemarin, dimana kesemuanya menyudutkan dirinya. Saat ini Ecy merasa bagaikan makan buah simalakama yang legendaris, dimana makan ataupun tidak memakannya tetap saja dirinyalah yang menjadi korban.

“Sa.. saya nggak tahu Pak”, ucap Ecy pelan.

“Jadi Ibu belum tahu harus menjawab apa?”.

Ecy mengangguk, kemudian ia kembali menunduk.

“Saya sudah memberikan Ibu waktu, sekarang kita sudah tidak memiliki waktu lagi, cepat atau lambat masalah ini akan terendus oleh media dan masyarakat, pada saat itu Ibu sama sekali tidak akan memiliki opsi seperti seperti yang saya tawarkan ini lagi”. Laki-laki tambun itu lalu memainkan pulpen yang dipegangnya kemudian melanjutkan kata-katanya, “Saat itu ibu suka tidak suka harus berhadapan dengan yang berwajib, bayangkan bagaimana nasib anak ibu yang kini beranjak dewasa, bagaimana ia akan menjadi ibarat seekor ayam yang kehilangan induknya”.

Ecy menggigit bibir bawahnya sambil tetap membisu dan tertunduk. Pak Baskoro nampaknya berusaha mempengaruhi psikologis wanita cantik tersebut dari sisi keibuannya. Melihat bahasa tubuh Ecy, agaknya usaha tersebut memang berhasil.

“Bukankah Ibu adalah seorang janda? Tentunya akan sangat berat bagi anak Ibu untuk hidup dibawah tekanan orang tua yang bercerai, apalagi kemudian Ibu juga akhirnya terpaksa untuk meninggalkannya akibat harus menjalani hidup di balik jeruji besi”, Pak Baskoro terus berusaha menstimulus otak Ecy dan menekan mentalnya.

Ecy mengepalkan erat kedua tangannya. Ia benar-benar kesal dengan ketidakberdayaannya ini.

“Siapa yang akan menafkahi anak Ibu lagi? Ayahnya? Bisa saja, tapi itu pun pasti tetap akan menyiksa batin Ibu karena akan terpisah dengannya untuk jangka waktu yang sangat panjang”.

“To… tolong hentikan Pak!”, Ecy berguman pelan. Emosinya mulai terstimulus mendengar kata-kata yang diucapkan oleh atasannya.

“Yang saya inginkan hanya ibu memikirkan baik-baik pilihan yang hendak Ibu ambil, pikirkan karier Ibu dan masa depan anak Ibu, tidak ada salahnya kan kalau Ibu menerima permintaan Pak Candra dan semua ini pasti akan berakhir dengan baik”.

Kembali Ecy harus mengepalkan telapak tangannya, berusaha menekan emosinya agar tidak meledak. Ia benar-benar sadar kini laki-laki tambun ini berusaha menggiring pikirannya untuk memberi jawaban seperti keinginannya, yaitu menyerahkan tubuhnya.

“Bagaimana Ibu Desi?”.

Untuk beberapa saat Ecy masih tetap terdiam sambil tetap berusaha menjaga akal sehatnya. Pak Baskoro hanya duduk di meja kerjanya memandangi wanita cantik di hadapannya yang masih tertunduk lesu. Karena masih belum juga ada jawaban yang keluar dari mulut Ecy setelah sekian lama ia menunggu, kesabaran Pak Baskoro nampaknya mulai berkurang.

“Tolong jangan menguji kesabaran saya, sekali lagi saya ulangi pertanyaan saya, opsi mana yang akan Ibu pilih?”, kini nada suara laki-laki tambun itu terdengar agak meninggi.

Dengan tetap dalam keadaan tertunduk, Ecy memejamkan matanya dan menghela nafas panjang. “Op.. opsi du… dua”, ucap wanita cantik lirih.

“Maaf bu, saya kurang jelas mendengarnya”, Pak Baskoro seakaan-akan berusaha menegaskan apa yang sebenarnya sudah sangat jelas ia dengar.

“Opsi kedua Pak”, ingin sekali Ecy mengutuk dirinya sendiri karena kata-kata penuh rasa putus asa itu akhirnya keluar dari mulutnya.

“Hahaha… pilihan yang bagus! Kalau begitu saya akan beritahukan Pak Candra secepatnya agar masalah ini segera beres”.

Walau dalam keadaan tertunduk, Ecy seolah-olah bisa melihat senyum mesum pasti kini sedang tersungging di wajah laki-laki bertubuh tambun dan berwajah buruk rupa dihadapannya. Hal ini pun menambah kesal dan rasa muak di dalam dirinya terhadap atasannya ini. Pak Baskoro kemudian berdiri dari kursinya dan berjalan ke belakang Ecy.

“Ibu benar-benar yakin dengan keputusan Ibu tadi?”, tangan Pak Baskoro menyentuh pundak Ecy dan berlahan memainkan ujung-ujung jarinya. Wanita cantik itu pun tidak berusaha menepisnya, ia rupanya memilih untuk diam dan membiarkannya.

Ecy hanya mengangguk pelan. Kata-kata telah terucap, pilihan telah diputuskan. Kini Ecy hanya bisa pasrah pada nasibnya. Dalam benaknya wanita cantik ini hanya bisa berkata yang terjadi maka biarkanlah terjadi, selama ia tidak terpisahkan dari buah hatinya.

“Baiklah sepertinya kesepakatan ini perlu kita rayakan dengan makan siang hehe…”.

“Ma… makan siang?”, ucap Ecy pelan.

“Iya, bukankah ini memang waktunya makan siang?”. Pak Baskoro melepaskan rabaan tangannya di pundak Ecy. Kemudian ia melangkah kembali ke belakang meja kerjanya. “Sekarang saya beri waktu Ibu sepuluh menit untuk membereskan meja Ibu, setelah itu kita pergi makan siang dan persiapkan diri Ibu karena mungkin kita akan kembali ke kantor cukup lama”.

Ecy sama sekali tidak mengerti dengan maksud dari kata-kata atasannya ini, namun ia jelas tidak ingin melawan laki-laki tambun tersebut. Ia pun berdiri dan beranjak menuju pintu ruangan. Langkah kakinya terlihat begitu gontai. Wanita itu pun kemudian menghilang dari pintu ruangan. Sedangkan Pak Baskoro merapikan berkas-berkas yang ada di atas mejanya, masih dalam keadaan senyum yang sama tersungging lebar di wajahnya.

********

“Bagaimana makanannya Ibu Desi? Enak?”.

Ecy hanya mengangguk pelan.

“Kalau Ibu mau menambah pesanan lagi, silakan saja tidak usah malu-malu hehe…”.

Pak Baskoro mengajak Ecy makan siang di sebuah restoran yang cukup berkelas di kota tersebut. Terlihat hanya beberapa orang yang makan di tempat tersebut. Rata-rata dari mereka terlihat seperti pebisnis ataupun eksekutif muda yang sedang membicarakan bisnis mereka dengan klien. Restoran ini memang merupakan bagian dari sebuah hotel bintang lima sehingga tentunya makanan yang tersedia di bandrol dengan harga yang cukup menguras kantong untuk ukuran masyarakat kelas menengah kebawah. Entah kenapa Pak Baskoro mengajaknya makan di tempat semewah ini. Apakah untuk merayakan kesuksesannya menyelesaikan perjanjian dengan Pak Candra? Bukanlah perjanjian itu belum terealisasi? Lalu kenapa harus dirayakan jauh-jauh hari sebelumnya? Ecy sebenarnya ingin mengetahui jawabannya, namun ia tetap milih untuk diam dan mengikuti apa yang diinginkan oleh Pak Baskoro.

“Ibu Desi sudah berapa lama bekerja di perusahaan?”.

“Hampir lima tahun Pak”.

“Hhmm… lama juga ya?”, Pak Baskoro sejenak mengelap bibirnya dengan serbet. “Kalau saya boleh tahu sudah berapa lama Ibu menjanda?”.

Ecy nyaris saja tersedak mendengar pertanyaan atasannya tersebut. Beruntung ia segera bisa menguasai dirinya kembali. “Hampir tiga tahun”, jawab Ecy singkat.

“Oh… tentu susah ya menjadi single parent untuk anak Ibu selama tiga tahun ini”.

“Begitulah Pak”, Ecy mulai merasa risih dengan pertanyaan Pak Baskoro yang mulai menjurus ke masalah pribadi.

“Kenapa Ibu berpisah dengan suami Ibu?”.

“Maaf Pak, saya tidak bisa menjawabnya soalnya masalahnya sedikit rumit”, Ecy berusaha dengan sehalus mungkin menghindar untuk menjawab pertanyaan tersebut, karena ia tidak ingin mengenang kembali masa-masa kelamnya dalam membina rumah tangga.

“O tidak apa-apa, saya mengerti, maafkan kalau saya sudah menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi terlalu jauh”.

Mereka pun kembali melanjutkan makan mereka dalam kesunyian.

“Sudah Bu?”, akhirnya Pak Baskoro membuka suara setelah melihat Ecy selesai menikmati segelas kecil vanilla ice cream di hadapannya sebagai makanan pencuci mulut.

Kembali Ecy hanya mengangguk pelan.

“Pelayan!”, Pak Baskoro lalu melambai ke arah seorang laki-laki yang berdiri beberapa meter dari tempatnya duduk.

Laki-laki berseragam itu pun berjalan ke arahnya.

“Maaf, ada yang bisa saya bantu?”.

“Tolong bill-nya”.

“Oh, sebentar Pak saya ambilkan untuk Bapak”, laki-laki muda itu lalu berjalan menuju ke belakang restoran, tepatnya ke bagian kasir.

Pak Baskoro lalu tersenyum kecil ke arah Ecy. Wanita cantik itu pun membalas dengan senyuman singkat, kemudian menundukkan kepalanya. Tak lama pelayan laki-laki itu pun kembali.

“Permisi Pak, ini bill-nya”, pelayan itu menyerahkan sebuah nampan kecil berisikan sebuah kertas bertuliskan sejumlah angka-angka.

Setelah melihat jumlah yang tertera pada kertas kecil tersebut, Pak Baskoro lalu menyerahkan nampan tersebut kembali disertakan dengan kartu kreditnya. “Tolong bilang ke manager hotel kalau bill ini digabung saja dengan pesanan saya yang lain dan semuanya di agar charge atas nama saya, saya akan bayar di resepsionis setelah semua urusan saya selesai”.

“Baik Pak, nanti saya sampaikan”, pelayan itu mengambil kembali nampannya. “Permisi Pak, Bu…”, ia pun kemudian beranjak meninggalkan meja tersebut.

Pak Baskoro lalu beranjak dari tempat duduknya dan kembali tersenyum ke arah Ecy. “Ayo Ibu Desi, mari kita tinggalkan restoran ini”.

Ecy pun ikut beranjak dari tempat duduknya. Pak Baskoro kemudian menggandeng tangannya.

“Lho Pak, bukannya pintu keluar di sebelah sana?”, Ecy sedikit heran karena Pak Baskoro menggandeng tangannya dan mengajaknya berjalan ke arah berseberangan dengan pintu dimana mereka masuk tadi.

“Siapa bilang kita mau keluar?”.

“Bukannya waktu makan siang sudah mau berakhir Pak? Harusnya kan kita segera balik ke kantor?”, suara Ecy terdengar cemas.

“Kamu kan bareng saya saat ini? Saya kan bosnya? Jadi kenapa Ibu musti takut kalau terlambat balik ke kantor? Hehehe…”.

Suara tawa Pak Baskoro benar-benar semakin terdengar menyeramkan di telinga Ecy. Naluri kewanitaannya jelas-jelas menangkap sesuai yang jahat di balik tawa tersebut. Sesuatu yang sangat menakutkan.

“Sudah Ibu ikut saya saja”, Pak Baskoro kembali menggandeng tangan Ecy dan dengan sedikit memaksa menariknya untuk mengikuti langkahnya. Ecy yang tidak ingin menimbulkan keributan di tengah restoran diantara orang-orang yang nampak cukup terpelajar ini akhirnya mengalah dan mengikuti kemauan atasannya tersebut.

Tak lama keduanya memasuki lift, bersama beberapa orang yang juga memiliki kepentingan untuk naik ke lantai atas hotel tersebut. Di dalam lift Ecy hanya bisa menunduk sambil berusaha membuang jauh-jauh pikiran yang berkecambuk di dalam kepalanya. Kata hatinya kian kuat mengatakan kalau sesuatu yang buruk akan segera menimpanya, namun ia tetap berusaha menekannya dengan menyakinkan dirinya kalau atasannya ini adalah seorang laki-laki terhormat yang tak mungkin melakukan hal-hal buruk kepada dirinya. ketika Ecy melirik singkat ke arah Pak Baskoro, rupanya laki-laki tambun itu juga sedang memandang ke arahnya. Kembali senyuman jahat yang dilihatnya tadi tersungging di wajah buruk rupa atasannya. Memang sejak dari restoran tadi hampir tidak ada kata-kata yang keluar dari atasannya ini, selain yang terlihat hanya beberapa kali senyuman saja. Ecy pun dengan segera memalingkan wajahnya dan kembali menunduk. Di genggamnya erat-erat tas jinjing yang dipegangnya berusaha menghilangkan gejolak perasaan yang tengah berkejambuk di dalam dirinya.

“Ting!”, pintu lift terbuka dan dua orang pasangan yang nampak seperti suami istri keluar dari dalam lift. Pak Baskoro tidak mengajak dirinya keluar, berarti bukan lantai ini yang dituju olehnya. Di dalam lift kini selain mereka berdua ada dua orang wanita dan seorang laki-laki muda yang tersisa. Tak ada orang yang masuk dan beberapa saat pintu lift kembali tertutup.

“Ting!”, kembali pintu lift terbuka. Kali ini Pak Baskoro dengan segera menggandeng tangan Ecy dan menariknya keluar dari dalam lift. Bersama mereka, seorang wanita juga keluar dari dalam lift namun mengambil arah yang berlawanan dengan mereka berdua.

Ecy sama sekali tidak bisa melawan tarikan tangan Pak Baskoro. Wanita cantik ini hanya bisa melangkahkan kakinya mengikuti langkah laki-laki tambun tersebut. Mereka pun melangkah pelan sampai akhirnya berhenti di depan sebuah kamar hotel bertuliskan nomor 117. Pak Baskoro mengeluarkan sebuah kunci dari dalam saku jasnya dan memasukkannya ke dalam lubang kunci pintu kamar tersebut. Sedetik kemudian pintu kamar itu pun terbuka.

“Silakan masuk Ibu Desi”, ucap laki-laki tambun itu pelan.

Sesaat Ecy menyapu pandangannya ke dalam kamar tersebut. Tidak ada seseorang pun berada di dalam kamar tersebut. Semula Ecy berpikir kalau mereka akan menemui klien atau tamu khusus di hotel ini, namun melihat kamar hotel yang kosong wanita cantik ini menjadi bingung tujuan mereka naik ke lantai ini.

“Kita mau menemui klien ya Pak?”.

“Sudah masuk saja dulu”.

Ecy pun berlahan melangkahkan kakinya ke dalam kamar tersebut. Matanya tetap dengan awas menyapu sekeliling ruangan kamar tersebut. Tidak berbeda dengan kamar hotel pada umumnya, ruangan kamar ini juga terlihat rapi dan bersih. Di dalam kamar terdapat sebuah ranjang single bed, televisi, AC, lampu hias dan sebuah lukisan kecil tergantung di dinding. Di dalam kamar tersebut juga terdapat sebuah kamar mandi berukuran 2x2 meter. Dari aksesoris yang terdapat di dalamnya kira-kira kelas kamar ini adalah kelas deluxe, dengan harga sewa diatas ratusan ribu per-malamnya. Setelah Ecy masuk ke dalam kamar, Pak Baskoro segera menyusulnya kemudian laki-laki paruh baya itu menutup pintu. Tanpa Ecy sadari selain menutup kamar Pak Baskoro juga mengunci pintu kamar tersebut.

“Kok tidak ada siapa-siapa sih Pak?”, nada curiga mulai terdengar dari suara Ecy.

“Memang tidak ada siapa-siapa”.

Perasaan Ecy kembali tidak enak mendengar kata-kata Pak Baskoro, “Terus maksud Bapak mengajak saya kemari?”.

Bukannya jawabannya yang diperoleh Ecy, namun sebuah dekapan langsung membekap tubuh sintalnya. Belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi, sebuah ciuman langsung mendarat di bibir lembut wanita cantik tersebut. Mendapat serangan yang tiba-tiba seperti itu Ecy pun meronta sebelum ciuman selanjutnya mendarat kembali di bibirnya. Ia pun langsung refleks mendorong tubuh Pak Baskoro menjauh.

“Bapak mau apa?”, Ecy lalu bergerak mundur menjauhi Pak Baskoro.

Dengan santainya kini Pak Baskoro melepaskan jas yang dikenakannya kemudian meletakkannya di kursi. “Hahaha… saya mau apa? Saat ini saya ingin tubuh Ibu yang ranum itu”.

“Tolong jangan macam-macam Pak!”, ekspresi kepanikan terlihat di wajah Ecy setelah mendengar kata-kata atasannya ini.

“Bukankah tadi Ibu mengatakan memilih opsi untuk melayani Pak Candra? Lalu kenapa sekarang Ibu bertingkah seolah-olah ingin menarik kata-kata Ibu tadi?”, kini laki-laki tambun itu terlihat melonggarkan ikatan dasi yang dikenakannya. “Saya sudah bilang tadi kepada Ibu, kalau saya hanya ingin melihat kesungguhan dari kata-kata Ibu tadi, jadi sebelum Pak Candra mendapatkan jatahnya anggap saja sekarang Ibu melakukan sedikit pemanasan dengan saya hahaha…”.

Ecy benar-benar tidak percaya kata-kata sekurang ajar seperti itu bisa keluar dari laki-laki yang sebelumnya sangat ia hormati ini. Wanita cantik ini pun akhirnya mengerti maksud dan tujuan Pak Baskoro mengajaknya makan siang di sebuah hotel mewah seperti ini. Atasannya ini rupanya ingin menikmati kehangatan tubuhnya sebelum menyerahkan dirinya kepada rekan bisnisnya, Pak Candra. Ternyata wibawa dan kebaikan Pak Baskoro selama ini kepadanya hanyalah topeng belaka, topeng yang ia gunakan untuk menutupi pikiran busuk dan kotor di dalam otaknya.

“Selama ini saya sangat menghormati Bapak, tapi ternyata Bapak tidak lebih dari hanya seorang iblis berotak kotor!”, umpat Ecy. Tanpa disadarinya mata indah wanita cantik tersebut mulai nampak berkaca-kaca.

“Haha… terserah apa yang ada dipikiran Ibu saat ini tentang saya, tapi saya ini cuma seorang laki-laki biasa yang tentunya akan berfantasi nakal ketika melihat tubuh seindah tubuh Ibu dan kini saya hanya ingin untuk mewujudkan fantasi tersebut”.

“Dasar laki-laki tidak bermoral!”, kedua telapak tangan Ecy terkepal dengan kencang. Ingin sekali ia mengayunkan kepalan tangan tersebut ke wajah penuh bopeng di hadapannya.

“Tolong jangan berbicara moral saat ini, Ibu tahu sendiri posisi Ibu seperti apa, jangan kira hanya Pak Candra saja yang memiliki kekuasaan dalam masalah ini, Ibu juga memerlukan tanda tangan saya di perjanjian tersebut sehingga wajar kiranya kalau saya berhak juga mendapatkan pelayanan yang sama dengan Beliau hahaha….”.

Tak ada lagi kata-kata umpatan yang mampu Ecy keluarkan untuk mengekspresikan emosinya. Yang dikatakan Pak Baskoro tadi sangatlah benar. Kini ia telah terjebak di dalam permainan kotor dua orang iblis berhati bejat dan mesum.

“Saya kira sudah cukup kita membahas masalah ini karena saya yakin Ibu sudah benar-benar mengerti dengan situasinya”, kini Pak Baskoro nampak melepaskan dasi yang ia kenakan. “Ibu terlihat sangat cantik dengan berbalut pakaian itu, namun saya lebih tertarik dengan apa yang ada di balik pakaian itu, jadi sekarang tolong Ibu mulai melepaskan pakaian tersebut satu per satu”.

Ecy benar-benar muak dengan laki-laki tambun yang ada di hadapannya ini. Bagaimana bisa Pak Baskoro dengan tenang dan santai begitu saja memintanya untuk melepaskan pakaian? Sebagai seorang wanita terhormat hal ini jelas sangatlah memalukan. Pak Baskoro menatap tajam ke arah Ecy yang masih tetap berdiri termangu. “Rupanya Ibu tidak sungguh-sungguh dengan opsi yang Ibu pilih sendiri, baiklah kalau begitu kita kembali ke kantor. Biarkan saja kasus ini mengalir dengan liar dan mulai detik ini Ibu harus mulai bersiap-siap menghadapi segala konsekuensi dari pilihan Ibu ini”. Laki-laki tambun itu pun mengalungkan kembali dasinya yang baru saja ia lepas. Ecy sama sekali tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Dia kini benar-benar terjebak dalam pilihan antara mempertahankan kehormatan dirinya sebagai wanita atau masa depan anaknya yang sangat ia cintai. Air mata pun mulai mengalir dari mata indahnya. Ia melihat ekspresi Pak Baskoro penuh kekecewaan dan rasa kesal. Laki-laki tambun itu kini telah selesai merapikan dasinya. Sebagai seorang ibu, Ecy menyadari ia terlalu mencintai anak semata wayangnya, lebih dari apapun di dunia ini. Ia tidak ingin Jos nantinya terlantar karena dirinya harus dipenjara. Sehingga kini tak ada lagi pilihan untuknya yang tersisa, selain mengikuti kemauan laki-laki bejat di hadapannya.

“Tunggu Pak!”, ucap Ecy pelan.

“Iya? Ada apa?”.

“Sa… saya akan melepaskan pakaian saya”.

Ekspresi kekecewaan yang semula bergelayut di wajah Pak Baskoro seketika itu juga berganti dengan sebuah senyuman. Senyuman itu pun bertambah lebar ketika matanya dengan nanar melihat bagaimana wanita cantik di hadapannya mulai melepaskan satu per satu kancing blazer yang dikenakannya, setelah tadi melepaskan sepatu high heel yang dipakainya.

Ecy melakukan semua gerakannya secara berlahan dengan berat hati, namun laki-laki tambun itu justru melihat adegan di hadapannya seperti sebuah adegan lamban penuh sensualitas. Ia pun kini kembali melonggarkan ikatan dasinya dan kemudian melepaskannya. Blazer berwarna biru tua itu pun telah tergeletak di ranjang. Berat rasanya Ecy melanjutkan aksi gilanya ini, namun ia tahu kalau ia tetap saja harus melanjutkannya. Dengan sangat berat jari-jari wanita cantik itu pun bergerak membuka kancing kemejanya. Ecy terus berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilakukannya ini adalah benar, walaupun itu berarti ia harus melawan kata hatinya sendiri. akhirnya kancing terakhir pun terbuka. Kembali dengan berat Ecy melepaskan kemeja putih itu dan meletakkannya di atas ranjang. Meskipun kini dadanya masih tertutupi oleh bra polos berwarna krem, namun wanita cantik itu bisa melihat Pak Baskoro sudah beberapa kali menelan ludah akibat melihat dadanya. Memang Ecy menyadari benar kalau payudaranya ini adalah bagian terbaik pada tubuhnya. Paling tidak itu yang dikatakan oleh semua laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya, bahkan juga oleh mantan suaminya.

“Jangan! Lepaskan rok Ibu dulu”, ucap Pak Baskoro ketika melihat Ecy hendak melepaskan kaitan branya.

Ecy pun membatalkan niatnya dan mengalihkan tangannya menuju resleting roknya. Ia sama sekali tidak merasa perlu memprotes permintaan atasannya ini. Bukankah di akhir nanti toh ia akan tampil polos juga di hadapan laki-laki mesum ini. Kini masalahnya hanya terletak pada urutan pakaian yang mana yang harus terlepas lebih dahulu dari tubuhnya. Resleting rok berwarna senada dengan blazernya itu pun terbuka. Berikutnya adalah kaitan roknya dan sedetik kemudian rok span pendek itu pun meluncur turun ke lantai. Sama seperti tubuh atasnya, kini tubuh bawah Ecy pun hanya terbalut celana dalam berwarna krem. Walau masih ada pakaian dalam yang tersisa membalut tubuh indahnya, namun Ecy merasa kini sudah benar-benar dalam keadaan telanjang.

“Aaahh… benar-benar indah!”, Pak Baskoro berjalan pelan mendekati Ecy yang hanya berdiri mematung di dekat ranjang. Terlihat sekali ada sesuatu yang menggunung di selangkangan laki-laki bertubuh tambun tersebut.

Laki-laki itu lalu berdiri di hadapan Ecy yang kini menundukkan kepalanya. Wajah wanita cantik itu nampak memerah menahan malu. Tangan Pak Baskoro kemudian membelai rambut ranjang Ecy yang bergelombang dan berwarna kecoklatan. Kemudian tangan itu turun menjelajahi leher, pundak dan berakhir di belahan dada Ecy yang membusung.

Kulit pemukaan tangan Pak Baskoro merasakan benar bagaimana lembut dan halusnya kulit tubuh wanita cantik tersebut. Sedangkan Ecy sendiri merasakan sensasi geli ketika kulitnya tersentuh tangan atasannya. Perasaan geli namun nikmat ini seakan membuat Ecy menyadari kalau tubuhnya ini sudah terlalu lama merindukan sentuhan seorang laki-laki. Pak Baskoro memegang lembut kening Ecy dan mengangkat wajah cantik yang tertunduk tersebut. Sebuah kecupan mendarat di bibir lembut Ecy. Kecupan pertama yang mendarat di bibir tersebut sejak tiga tahun yang lalu. Kemudian laki-laki tambun itu mendekatkan bibirnya di telinga Ecy.

“Sekarang lepaskan bra dan celana dalam Ibu, kemudian berbaring di ranjang”, bisiknya.

Bagai kerbau dicocok hidungnya, Ecy pun menuruti perkataan Pak Baskoro. Mendapat perlakuan lembut seperti itu, mau tidak mau mulai memicu birahi Ecy sebagai seorang wanita yang telah lama menjanda. Kini kedua tangannya telah selesai melepaskan kaitan branya dan kemudian tak perlu waktu lama bagi sepotong pakaian dalam tersebut untuk tergeletak di atas ranjang, menemani pakaian Ecy lainnya. Mata Pak Baskoro yang tadi telah mundur beberapa langkah nampak terbelalak melihat pemandangan indah tersebut. Sepasang payudara padat dan bulat dengan puting coklat mungil di tengahnya sungguh menggoda birahi setiap laki-laki normal untuk mencicipinya.

“Ooohh…”, Pak Baskoro melenguh pelan sambil meremas-remas selangkangan dari balik celananya yang kini sudah nampak semakin menonjol.

Nafas laki-laki tambun terasa semakin sesak, demikian pula dengan sesuatu yang ada di selangkangannya ketika melihat tangan Ecy yang kini telah memegang pinggiran karet celana dalamnya. Tak lama celana dalam itu pun melorot turun dan memperlihatkan selangkangan indah seorang wanita dewasa yang tertutupi bulu-bulu lebat berwarna hitam. Selangkangan itu terlihat begitu alami dan natural, tidak seperti selangkangan wanita-wanita panggilan papan atas yang seringkali ia booking demi kepuasan duniawi. Melihat selangkangan Ecy yang tertutupi bulu-bulu lebat rapi dan pakaian dalamnya bermodel polos berbahan katun tanpa renda, Pak Baskoro bisa memperkirakan kalau Ecy bukanlah seorang wanita bertipe penggoda dan binal di atas ranjang. Namun justru hal ini membuat birahi laki-laki itu kian meninggi. Bagaimana tidak, tentunya ia bisa membayangkan kalau penisnya sebentar lagi akan merasakan sensasi jepitan vagina yang pastinya masih akan terasa rapat karena belum dirusak oleh kocokan berbagai bentuk penis laki-laki.

Ini adalah pertama kalinya bagi Ecy untuk tampil polos di hadapan seorang laki-laki sejak perceraiannya. Parahnya, laki-laki yang berada dihadapannya bukanlah suami barunya ataupun mantan suaminya namun atasannya yang kini masih berstatus terikat tali perkawinan. Melihat tatapan mata nanar Pak Baskoro, secara refleks Ecy menggunakan kedua tangannya untuk menutupi payudara dan selangkangannya. Air mata semakin membasahi kedua pipi wanita cantik tersebut. Hatinya kini telah hancur, harga dirinya pun akan segera menyusul untuk hancur. Ecy tahu masih ada waktu untuk mundur sebelum akhirnya ia benar-benar menyerahkan kehormatannya kepada atasannya ini. Namun begitu teringat kembali anak semata wayangnya, ia pun menguatkan diri untuk mempertahankan keputusannya ini. Ecy lalu beranjak naik ke atas ranjang dan membiarkan tubuh indahnya tergolek pasrah di atas ranjang. Melihat Ecy yang kini telah terbaring di atas ranjang, dengan terburu-buru Pak Baskoro membuka seluruh pakaian berikut sepatu dan kaos kaki yang dipakainya. Di atas ranjang Ecy memejamkan matanya, seakan tidak ingin melihat wajah Pak Baskoro yang kini pastinya telah terbakar nafsu birahi. Sambil berbaring wanita cantik itu kembali menutupi bagian-bagian sensitif tubuhnya dengan kedua tangan. Gejolak pertentangan batin terus berkecambuk di dalam diri Ecy. Tak lama Ecy bisa merasakan kalau ranjang spring bed tempatnya berbaring mulai bergoyang. Ini berarti Pak Baskoro sudah naik ke atas ranjang dan siap menuntaskan nafsu birahinya. Ecy tetap memejamkan matanya. Bulir air mata pun terus menerus turun dari mata indah tersebut. Wanita cantik itu pun kian terisak ketika ia bisa merasakan sentuhan tangan Pak Baskoro mulai menjelajahi setiap jengkal tubuhnya. Sentuhan itu terasa begitu menyenangkan sekaligus memalukan. Apalagi ketika Ecy merasakan remasan lembut di payudaranya ditambah sebuah kuluman di permukaan payudaranya yang lain. Terasa begitu memalukan, tapi begitu nikmat! Ya begitu nikmat!

“Aaahhh… oohhh… aahh…”, walau masih terisak, mau tidak mau tubuh Ecy tidak bisa berbohong kalau ia menikmati benar sensasi yang ia rasakan saat ini. Desahan demi desahan pelan pun berlahan mulai mengganti suara isak tangis yang tadi keluar dari mulutnya.

“Bagaimana kalau saya memanggil Ibu dengan panggilan Ecy saja mulai sekarang? Ibu keberatan?”.

Ecy menggeleng pelan, sambil tetap merasakan sensasi nikmat yang ditimbulkan oleh sentuhan tangan Pak Baskoro yang kini sedang meremas-remas kedua payudaranya.

“Aahh… sungguh sempurna, berapa ukuran dadamu Cy?”.

“36”.

“Cup?”.

“B”, jawab Ecy sambil meringis nikmat akibat remasan tangan Pak Baskoro yang semakin kencang di kedua payudaranya.

“Ooohh… benar-benar padat dan kenyal!”.

Pak Baskoro kemudian melanjutkan kembali kuluman dan jilatannya di payudara Ecy. Kini kuluman dan jilatan tersebut menimbulkan jejak-jejak merah di permukaan daging padat tersebut. Jilatan lidah nakal Pak Baskoro perlahan mulai turun menjelajahi permukaan perut rata wanita cantik tersebut. Jilatan itu terus turun menuju pusarnya dan terus turun menuju kedua paha mulus dan padat milik Ecy. Kini Ecy sudah sepenuhnya terbelenggu dalam gejolak birahinya. Stimulus yang dilakukan Pak Baskoro pada tubuhnya terasa benar-benar nikmat. Semuanya terasa bagaikan hujan yang membasahi sisi gersang di dalam diri Ecy. Begitu lama terkungkung di dalam kesendirian, membuat tubuh wanita cantik itu menjadi begitu cepat terangsang.

“Srrup… srruup… ssrruup…”, terdengar suara sedotan di bawah sana. Kini Pak Baskoro memang sedang menghisap dan menjilati vagina Ecy.

“Aaakkhh…!”, Ecy berteriak kencang ketika lidah Pak Baskoro masuk ke dalam liang vaginanya. Ecy yang semula terpejam, kini mendadak terbelalak. Kenikmatan yang begitu luar biasa Ecy rasakan ketika lidah nakal tersebut menari-nari di dalam lubang vaginanya. Rasa nikmat tersebut terasa jauh lebih nikmat bila dibandingkan dengan kenikmatan yang ia rasakan ketika memainkan vagina dengan menggunakan tangannya sendiri. Tanpa disadarinya, Ecy secara refleks semakin membuka kedua kakinya dan mengangkang lebar guna memberikan akses penuh kepada lidah Pak Baskoro.

Cairan kewanitaan Ecy mengalir dengan derasnya menandakan kalau nafsu kini sudah benar-benar menguasai dirinya. Pak Baskoro pun masih nampak dengan telaten memainkan lidahnya pada vagina Ecy, sambil tangan kirinya memainkan klitoris wanita cantik tersebut yang sudah nampak menonjol. Sementara tangan kanan laki-laki tambun tersebut bergerak lincah meremas-remas kedua payudara Ecy yang terlihat sudah begitu tegang. Aroma wangi liang vagina Ecy semakin menggoda Pak Baskoro untuk terus dengan ganas memainkan lidahnya disana. Melihat bawahannya ini sudah mulai terangsang hebat, Pak Baskoro kemudian menghentikan kegiatannya di selangkangan Ecy. Ia tahu benar kalau vagina wanita cantik tersebut telah sepenuhnya siap menerima batang penisnya. Namun di saat yang sama batang penisnya justru belum tegang sempurna. Maka dari itu ia pun beranjak naik dan mencumbu bibir Ecy dengan bibirnya. Lidah mereka pun kini beradu mengakibatkan mau tidak mau mereka kerap kali harus bertukar air liur. Cukup lama keduanya berpagutan sampai kemudian Pak Baskoro berbisik di telinga Ecy.

“Kamu pernah mengoral penis mantan suamimu, Cy?”.

“Per… pernah Pak”, jawab Ecy lirih ditengah gelora birahinya.

“Sering?”.

“Nggak, sa.. saya nggak suka”.

“Kamu tidak suka mengoral penis?”.

Ecy hanya mengangguk.

“Suka atau tidak suka sekarang kamu harus mengoral penisku haha…”.

Selesai berbisik Pak Baskoro beranjak berdiri kemudian mengambil posisi duduk sambil bersandar di ujung ranjang. Laki-laki tambun itu lalu membantu Ecy untuk bangkit dari posisinya yang terlentang. Kini Ecy bersimpuh di depan atasannya tersebut. Saat itulah Ecy untuk pertama kalinya melihat batang penis Pak Baskoro secara jelas. Batang penis itu terlihat begitu besar dan panjang dengan urat-urat disekelilingnya. Penis itu jauh lebih besar dari milik mantan suaminya. Ecy pun bergidik melihatnya dan vaginanya pun terasa berdenyut membayangkan bagimana batang besar itu akan segera menyeruak masuk ke dalamnya. Memang Ecy tidak begitu suka melakukan oral seks. Ia merasa adalah sesuatu yang aneh harus memasukkan batang penis ke dalam mulutnya, dimana seharusnya benda itu masuk ke dalam vaginanya. Ada sedikit perasaan tidak nyaman dalam dirinya bila memberikan pelayanan oral dan kalaupun ia melakukannya maka selalu akan berujung pada rasa mual setelah selesai melakukannya. Ecy memang kadang kerap menolak saat mantan suaminya memintanya untuk melakukan oral sebagai bentuk foreplay. Oral seks paling hanya bersedia ia lakukan apabila mantan suaminya tiba-tiba bergairah sedangkan ia sendiri dalam keadaan menstruasi. Sebagai istri yang baik, Ecy pun berusaha membuang jauh-jauh perasaan tidak nyamannya dan berusaha memberikan pelayanan terbaik yang bisa ia berikan. Kini situasinya berbeda. Saat ini di dalam diri Ecy tengah bergejolak nafsu birahi yang luar biasa. Setiap titik syaraf di tubuhnya begitu merindukan sebuah kenikmatan dari sensasi persetubuhan. Vaginanya terasa berdenyut-denyut menantikan saat-saat batang penis besar itu menghujam masuk ke dalamnya. Seandainya saja ia bisa, maka ingin sekali rasanya saat ini juga ia mengangkang di atas batang kokoh tersebut dan menghujamkannya masuk ke dalam dirinya. Namun Ecy tahu kalau si pemilik batang kokoh tersebut ingin merasakan pelayanan mulutnya terlebih dahulu. Tak lama batang penis besar itu pun amblas masuk ke mulut wanita cantik tersebut. Kemudian batang penis itu pun bergerak keluar masuk di dalamnya.

Awalnya Ecy merasakan bau yang tidak sedap di selangkangan atasannya ini, namun wanita cantik itu berusaha tidak memperdulikannya dan terus mengulumnya. Yang ada di pikiran Ecy saat ini adalah secepatnya membuat batang besar itu mencapai ukuran maksimal dan menanjapkannya ke dalam lubang vaginanya.

“Ooohh… aaahh…!”, Pak Baskoro melenguh kencang karena saat ini batang penisnya benar-benar terasa sedang termanjakan. “Ternyata Ibu tidak hanya memuaskan saat bekerja di kantor, tapi juga memuaskan saat “bekerja” di ranjang hehe…”, ucap laki-laki tersebut ditengah kenikmatan yang mendera sekujur tubuhnya. Dengan pelan ia membelai rambut wanita cantik yang kini sedang memberikan pelayanan dengan mulut dan lidahnya.

Ecy sendiri sebenarnya sudah tidak kuat lagi menahan gejolak birahinya yang kian meninggi. Vagina terasa begitu basah dan berdenyut kencang. Jauh di dalam dirinya, ia sebenarnya ingin sekali agar Pak Baskoro secepatnya meng-“eksekusi” dirinya. Namun sebagai seorang wanita bermartabat tentunya mengatakan hal seperti ini secara langsung tentu adalah sebuah hal yang tabu. Akhirnya Ecy pun hanya bisa meraba-raba vaginanya sendiri dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya terlihat sibuk mengocok batang penis Pak Baskoro.

“Cukup Cy, sekarang giliran memekmu yang merasakan kontolku hahaha…”, saat ini Pak Baskoro seakan-akan merasa tidak perlu lagi menjaga image-nya sebagai seorang atasan. Laki-laki tambun itu pun kini tidak segan-segan lagi menggunakan kata-kata “aku” dan “kamu, serta “kontol “ dan “memek”.

Pak Baskoro mengangkat tubuh sintal Ecy yang sejak tadi merunduk di depan selangkangannya. Kini ia mengatur posisi tubuh Ecy sehingga giliran terduduk bersandar di ujung ranjang. Kemudian laki-laki tambun itu menekuk kaki Ecy dan membuka kedua pahanya lebar-lebar. Mata Pak Baskoro nampak terbelalak melihat pemandangan indah yang terpampang dihadapannya. Sebuah vagina berwarna merah segar, begitu menggoda untuk dinikmati. Sedangkan wajah Ecy terlihat memerah menahan malu karena harus mempertontonkan bagian tubuhnya yang seharusnya menjadi bagian yang paling privasi dari dirinya.

“Ooohh… benar-benar ranum!”, Pak Baskoro menjulurkan tangan kanannya guna menyentuh bulu-bulu di vagina Ecy, kemudian mengusap-usap permukaan lubangnya dengan lembut.

“Aaahhh…”, Ecy mendesah.

“Selain mantan suamimu, siapa lagi yang pernah memakai memek ini?”.

Wajah Ecy semakin memerah mendengar pertanyaan atasannya ini.

“Siapa saja?”, Pak Baskoro mengulang pertanyaannya, kali ini sambil mengusap-usap tonjolan kecil yang ada dipermukaan vagina Ecy.

“Aaahh…”, kembali Ecy melenguh. “Ti… tidak ada lagi”.

Senyum sumringah terpancar di wajah kali-laki tambun tersebut. “Jadi artinya aku akan menjadi yang kedua?”.

Ecy mengangguk malu.

“Aku akan benar-benar menikmati saat-saat ini hahaha…”.

Pak Baskoro kemudian menghujamkan jari tengahnya ke dalam lubang vagina Ecy.

“Aaakkhh…!”, Ecy memejamkan matanya.

Ecy benar-benar tersiksa dengan keadaan ini. Ia sebenarnya sudah benar-benar siap untuk melakukan persetubuhan, bahkan setiap jengkal tubuhnya dan setiap simpul syarat yang ada di otaknya begitu merindukan sensasi kenikmatan tersebut. Tapi rupanya Pak Baskoro ingin mempermainkan dulu psikologis wanita cantik tersebut, sebelum melakukan “eksekusi”. Sebenarnya laki-laki itu tahu benar kalau saat ini bawahannya ini sudah terbakar birahi. Jari tengahnya yang kini mulai nampak menghujam pelan keluar masuk ke dalam lubang vagina Ecy, bisa merasakan kalau bagian tersebut telah benar-benar membanjir. Ecy sendiri merasakan jari Pak Baskoro memberikan kenikmatan kepadanya, tapi itu tidaklah cukup baginya. Jika hanya sebatas memasukkan jari ia sendiri sudah sering melakukannya ketika bermasturbasi. Saat ini yang sangat ia mendambakan adalah sesuatu yang lain berada di dalam kewanitaannya, sesuatu yang tak pernah ia rasakan lagi sejak lama yaitu penis laki-laki. Ketika Pak Baskoro merubah posisinya yang semula terduduk menjadi berbaring, Ecy pun sama sekali tidak menolak. Ia tahu saat-saat yang dinantikannya akan segera tiba. Benar saja! Setelah merasakan kalau Pak Baskoro kembali membuka lebar kedua pahanya, tak beberapa kemudian Ecy merasakan sesuatu yang lembut menyapu permukaan vaginanya. Ecy tahu benar kalau yang saat ini sedang mengusap-usap liang kewanitaannya adalah kepala penis Pak Baskoro.

“Ayo Pak, masukkan, tolong segera hujamkan batang itu ke dalam!”, teriak Ecy di dalam hatinya. Ia malu untuk mengucapkan kata-kata itu secara langsung, namun ia juga tidak bisa berbohong kalau semua kata-katanya itu adalah gambaran hatinya saat ini. Ecy memejamkan matanya sambil meremas erat sprei dengan kedua tangan, menanti saat-saat yang ditunggunya.

“Ooohh…!!!”, pantat Ecy nampak terangkat beberapa senti dari atas ranjang.

Suara lenguhan panjang terdengar dari mulutnya. Remasan erat kedua tangannya menjadi semakin kencang. Kini batang penis Pak Baskoro sudah sepenuhnya berada di dalam liang kewanitaannya. Ketika batang penis itu melesak masuk ke dalam vaginanya, Ecy seperti merasakan kembali sensasi malam pertama ketika mantan suaminya memerawaninya. Sensasi yang luar biasa! Sungguh luar biasa! Ecy merasa seperti terbang melayang ketika Pak Baskoro mulai menghujam-hujamkan batang penisnya. Kenikmat ini sudah lama sekali tidak ia rasakan. Sedangkan di sisi lain, Pak Baskoro juga merasakan sensasi yang sama. Jepitan dinding vagina Ecy terasa begitu kencang bak seorang anak gadis yang baru saja diperawani. Hal ini jelas membanggakannya karena batang penisnya ini adalah batang penis kedua yang mengisi lubang kenikmatan bawahannya yang cantik mempesona ini.

“Aaahh… Ooohhh… Aaakkh…”, kini Ecy tidak hanya mendesah dan melenguh. Kini ia sudah berteriak, berteriak dan berteriak. Ia sepertinya telah lupa segalanya. Ia lupa kalau saat ini yang menyetubuhinya adalah atasannya sendiri. Ia lupa kalau saat ini seharusnya ia berada di kantor, bukan di hotel. Ia lupa kalau di awal tadi ia menangis dan selalu teringat akan dosa. Kini di dalam otak Ecy hanya ada kenikmatan duniawi yang sejati dan keinginan untuk mencapai puncak kenikmatan yang sejak lama tidak pernah dirasakannya lagi. Ecy benar-benar sudah menggila. Cukup lama berada di bawah, kini dengan meyakinkan ia menggulingkan tubuh tambun Pak Baskoro sehingga menjadi terlentang di sampingnya. Lalu dengan segera ia bangkit dari posisinya untuk kemudian berdiri mengangkang di atas tubuh Pak Baskoro. Laki-laki tambun itu nampak terkejut dengan perubahan bawahannya ini, namun ia juga merasa senang karena berhasil memicu sisi liar Ecy sehingga menjadi binal dan nakal. Ecy kemudian berjongkok sambil menggenggam batang penis Pak Baskoro dan kemudian mengarahkannya ke lubang vaginanya. Setelah merasa posisinya pas, Ecy pun duduk di atas tubuh Pak Baskoro dan penis laki-laki itu pun kembali amblas ke dalam vaginanya. Kini Ecy menguasai sepenuhnya permainan dalam posisi woman on top. Wanita cantik itu menggoyangkan pinggulnya dengan liar. Nampaknya ia ingin batang penis besar itu sepenuhnya mengaduk-aduk vaginanya dan memberinya kenikmatan yang lebih dasyat.

“Ooohhh… goyang terus Cy! Nikmat banget memekmu!”, rancau Pak Baskoro.

Dalam posisi seperti ini tidak terlihat lagi siapa yang menyetubuhi siapa. Tak terlihat lagi Ecy yang tadi menangis dan menyesal karena menyerahkan tubuhnya atas paksaan. Semuanya berubah 180 derajat. Kini yang terlihat justru Ecy-lah yang begitu bersemangat menyetubuhi Pak Baskoro.

Ecy mengambil kedua tangan Pak Baskoro dan meletakkannya pada kedua payudaranya. Rupanya ia ingin selama bergoyang, pasangan bercintanya ini terus meremas-remas payudaranya yang sudah nampak semakin memadat.

“Aaaahh… ooohhh…”.

“Uuhh… aaaakkhh…”.

“Oooohh…!!”.

Di dalam ruangan kamar hotel itu kini dipenuhi oleh suara teriakan penuh kenikmatan dari kedua insan yang sedang bersetubuh tersebut. Dinginnya AC sama sekali tidak bisa menetralisir panasnya birahi dari keduanya. Kedua tubuh polos tanpa sehelai benang tersebut terlihat dipenuhi peluh. Ranjang pun kini terlihat semakin kencang bergoyang, menandakan begitu dasyatnya gairah yang membelenggu dua insan tersebut. Cukup lama Pak Baskoro membiarkan Ecy memegang kendali permainan. Namun rupanya kini Pak Baskoro ingin berganti posisi kembali dan mengambil kendali permainan kembali. Ia kemudian membuat tubuh Ecy terlentang kembali di atas ranjang. Kemudian ia mengangkat satu kaki Ecy ke pundaknya, sehingga membuat tubuh Ecy dalam posisi menyamping. Lalu dengan segera kembali menghujam-hujamkan batang penis besarnya ke dalam vagina wanita cantik tersebut.

“Oooohh…!!”.

“Oooohh… aahhh…!!”.

Teriakan penuh nafsu masih terus terdengar. Pak Baskoro rupanya benar-benar perkasa di atas ranjang. Di saat Ecy mulai merasakan sesuatu yang dasyat akan segera meledak dari dalam dirinya, genjotan penis Pak Baskoro sama sekali tidak terlihat mengendur, justru semakin kencang. Bahkan Pak Baskoro kini kembali mengganti posisi genjotannya menjadi doggie style. Dengan begini batang penis besar tersebut dapat menghujam semakin kencang dan semakin dalam. Hal ini membuat Ecy semakin bisa merasakan kalau puncak permainan akan segera direngkuhnya.

“Terus Pak, yang kenceng, yang dalem!”, rancau Ecy. Jika saja saat ini Ecy dalam keadaan sadar, mungkin ia tidak akan percaya kata-kata seronok seperti itu akan keluar dari mulutnya.

Kata-kata wanita cantik tersebut membuat Pak Baskoro merasa semakin perkasa. Ia pun kian semangat menggenjot vagina Ecy.

“Pak, saya keluar! Saya keluar!”, rancau Ecy.

“Tahan Cy, tahan bentar!”.

“Pak… Pak Baskoro… aaahh… ooohhh…”.

“Ooohh… Ooohh… Ooohh…”, Pak Baskoro terus melenguh seiring genjotan penisnya yang semakin kencang.

Tubuh polos Ecy dan Pak Baskoro kini berguncang semakin hebat. Nampaknya keduanya akan segera mencapai klimaks dengan gemilang bersamaan.

“Aaaakkh…. Pak….!!!”, Ecy melolong panjang. Disusul kemudian dengan Pak Baskoro, “Aaakkh…!!!”.

Keduanya pun ambruk di atas ranjang, dimana tubuh tambun Pak Baskoro menindih tubuh sintal Ecy. Setelah itu Pak Baskoro berguling kesamping dengan nafas terengah. Kenikmatan yang luar biasa yang saat ini menderanya membuat Ecy tidak menyadari kalau cairan sperma Pak Baskoro menyembur kencang ke dalam liang vaginanya. Bahkan ketika mereka ambruk tadipun penis laki-laki itu masih berkedut beberapa kali mengeluarkan semburan sperma tambahan. Ecy sepertinya tidak peduli kalau akibat persetubuhan ini mungkin saja bisa mengakibatkan kehamilan baginya. Yang ada kini dalam pikiran Ecy adalah perasaan nikmat yang sangat ia rindukan dan nantikan sejak perceraiannya. Bahkan ketika masih melayani mantan suaminya, Ecy tidak pernah merasakan kenikmatan dari persetubuhan seperti saat ini. Kini Ecy benar-benar telah terbang ke langit ke tujuh. Kesadaran wanita cantik tersebut baru mulai perlahan muncul ketika ia merasakan sebuah ciuman di bahunya. Ciuman itu terus menyerang bahu, pundak, leher dan telinganya. Selain itu Ecy juga merasakan belaian lembut di rambutnya yang panjang. Berlahan rasa sesal yang tadi menyelimuti diri wanita tersebut mulai muncul kembali seiring kesadarannya yang mulai bangkit. Kembali bulir air mata jatuh dari pinggir kelopak mata indahnya. Tapi rasa sesal ini sudah tidak berguna lagi. Tubuhnya ini kini telah dinikmati oleh Pak Baskoro. Namun ketika tangan Pak Baskoro mulai bergerilya menuju payudaranya, Ecy seakan tiba-tiba sadar akan ketelanjangan dirinya. Ecy pun menarik selimut dan dengan segera menutupi tubuh polosnya.

“Hahaha… untuk apa lagi kamu tutupi tubuh indahmu ini Cy?”.

Pak Baskoro berusaha membalikkan tubuh Ecy yang tertelungkup membelakanginya, namun Ecy menolak dan mempertahankan posisinya. Suara isak tangis kini terdengar keluar dari mulut Ecy.

“Baiklah, menangislah sepuasmu, semua wanita yang aku tiduri untuk pertama kali memang melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan saat ini hahaha…”.

Ecy benar-benar kesal dengan kata-kata Pak Baskoro tadi. Dari kata-kata tersebut berarti dirinya bukanlah wanita pertama yang menjadi “korban” nafsu bejatnya. Tak ada lagi yang bisa dilakukan Ecy selain menangis. Walaupun harus diakuinya kalau beberapa saat yang lalu ia benar-benar menikmati persetubuhan yang mereka lakukan, namun tetap saja sebagai wanita normal Ecy menyesali hal tersebut. Ecy memegang erat selimut yang membungkus tubuh polosnya.

“Aku akan membersihkan diri lebih dulu, setelah itu silakan kamu melakukan hal yang sama karena kita masih harus kembali ke kantor”.

Sebelum beranjak dari atas ranjang, Pak Baskoro mencium pipi Ecy dan kemudian berbisik, “Ibu Desi, ini bukanlah yang terakhir, sekarang Ibu sepenuhnya adalah milik saya hahaha…”.

Tak lama kemudian terdengar suara senandung dari dalam kamar mandi. Suara yang terdengar seperti lantunan suara iblis di telinga Ecy. Saat ini wanita cantik itu tetap terbaring pada posisinya semula sambil terus menangis dan menyesali apa yang baru saja telah terjadi. Kini ia merasa kalau dirinya benar-benar telah ternoda. Noda yang tidak akan pernah hilang seumur hidupnya. Awan hitam pun mulai saat ini akan terus bertengger dan menyelimuti kehidupan Ecy.

********

Manusia mengklaim dirinya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna. Merasa berada pada tingkat tertinggi dalam siklus kehidupan. Selalu berbangga diri karena dikaruniai akal dan pikiran oleh-Nya. Namun manusia kerap lupa kalau mereka juga dibekali dengan nafsu birahi. Ketika birahi berbicara maka akal dan pikiran itu pun terpental entah kemana. Apalagi bila kemudian birahi itu diperkuat dengan sebuah kekuasaan yang besar. Maka berlakulah apa yang diistilahkan dengan homo homoni lupushomo homoni sosius. Manusia yang satu akan menjadi serigala bagi manusia yang lainnya. Ketika ini terjadi, manusia pun tidak ada bedanya dengan binatang. Bergerak berdasarkan insting demi mencapai apa yang disebut dengan : kepuasan!

********

Laras nampak keluar dari dalam mobil Swift merah marun miliknya. Mobil itu terlihat terparkir rapi di depan garasi rumah kontrakan yang sudah dikontraknya hampir selama 2 tahun ini. Ekspresi wajah gadis manis itu memperlihatkan kelelahan yang sungguh luar biasa, setelah satu hari full ia harus berkonsentrasi menyelesaikan segala aktifitas dan masalah di kantornya. Rumah yang dikontraknya ini cukup mungil, namun cukup luas untuk ditinggali seorang diri. Halaman di depan rumah tersebut dihiasi sebuah taman kecil yang menempel di pinggir-pinggir gerbang. Sedangkan seluruh areal halaman tertutupi oleh kerikil-kerikil kecil, kecuali jalan setapak kecil yang menuju ke dalam rumah yang nampak tertutupi semen. Gadis manis itu melangkah gontai menuju ke dalam rumah. Beberapa langkah berjalan, dari dalam tas jinjingnya terdengar nada ponsel. Laras mengeluarkan ponselnya tersebut dan senyuman pun terkembang di wajahnya ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel.

“Hai say!”, suara Laras terdengar manja. Paling tidak setelah menghadapi berbagai macam masalah di kantornya hari ini, kini ia bisa tersenyum mendengar suara kekasihnya.

“Hai juga, gimana kabar cintaku hari ini?”.

“Cuaapek buangeeet…”.

“Hahaha… kacian nih, coba aku disana pasti udah aku pijitin”.

“Halah, kalau kamu yang mijit bisa bahaya tuh hehe…”.

“Kan pijitan kasih sayang hehehe…”.

“Dasar! Gimana proyeknya?”.

“Ini masih di lapangan, baru ngurus satu tower, ini juga masih belum nemu kerusakannya”.

“Rumit juga ya kayaknya?”.

“Iya nih maklum tower lama, eh udah dulu ya honey kayaknya aku diperluin tuh ama temen temen yang lain, ntar aku telpon lagi”.

“Iya deh, ati-ati ya kerjanya”.

OK, muaachh…”.

Laras mematikan ponselnya dan memasukkannya lagi ke dalam tas. Ia kemudian berganti mencari kunci rumahnya di dalam tas jinjing coklat yang dibawanya sambil berjalan. Laras baru bisa menemukan benda yang dicarinya tersebut, ketika ia sampai di depan pintu. Gadis manis itu lalu memilih salah satu kunci diantara sekian banyak anak kunci yang tergantung menjadi satu. Ia kemudian memasukkan kunci tersebut ke dalam lubang kunci. Belum sempat ia memutar kunci tersebut, tiba-tiba sebuah bekapan kuat mencengkram tubuhnya dari belakang. Laras langsung meronta dan hendak berteriak, namun suara teriakannya tidak sempat keluar karena hidung dan mulutnya kini telah ditutup oleh sebuah kain beraroma aneh dan menyengat. Laras masih terus berusaha meronta walaupun bekapan di tubuhnya terasa sangat kuat. Beberapa saat kemudian rontaan Laras pun berakhir. Tubuh molek itu akhirnya terbujur lemas di dalam bekapan sosok misterius yang secara tiba-tiba muncul tersebut. Semuanya pun menjadi gelap karena gadis manis tersebut tak sadarkan diri.

No comments:

Post a Comment